12 Mei 2010

Konsep Dasar Keluarga

a. Pengertian
Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional serta social individu-indidu yang didalamnya dilihat dari interaksi yang regular dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum. ( Duval, 1972 ).
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah satu atap dalam keadaaan saling ketergantungan ( Depkes RI, 1998 ).
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergantung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta empertahankan kebudayaan. ( Salvicion G. Bailon dan Aracelis Maglaya, 1989 ).



b. Fungsi Keluarga Menurut Friedman, (1987).
1) Fungsi Afektif
Yaitu yang berhubungan dengan fungsi internal keluarga yang merupakan dasar keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Anggota keluarga mengembangkan ganbaran dirinya yang positif, peranan yang dimiliki dengan baik dan penuh rasa kasih saying.
2) Fungsi Social
Yaitu proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang menghasilkan interaksi social dan melaksanakan perannya dalam lingkungan sosial. Keluarga merupakan tempat individu melakukan sosialisasi dimana anggota keluarga belajar disiplin norma keluarga, prilaku melalui interaksi dalam keluarga. Selanjutnya individu maupun keluarga berperan didalam masyarakat.
3) Fungsi Reproduksi
Yaitu fungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.
4) Fungsi Ekonomi
Yaitu memenuhi kebutuhan keluarga seperti makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain.
5) Fungsi Perawatan Kesehatan
Yaitu keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan dan asuhan Kesehatan / keperawatan atau pemeliharaan kesehatan yang mempengaruhi status kesehatan keluarga dan individu. ( Zaidin Ali, 1999 ).
c. Tipe Keluarga
Delapan tipe keluarga menurut Frieman ( 1986 ) :
1) Nuclear Family
Yaitu terdiri dari orang tua dan anak yang m,asih menjadi tanggungan dan tinggal alam satu rumah terpisah dari sanak keluarga lainnya.
2) Extended Family
Yaitu suatu keluarga yang terdiri dari satu atau dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah dan saling menunjang satu sama lainnya.
3) Single Parent Family
Yaitu suatu keluarga yang dikepalai oleh satu kepala keluarga dan hidup bersama dengan anak-anak yang masih bergantung padanya.
4) Nuclear Dyatd
Yaitu keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri tanpa anak, tinggal dalam satu rumah yang sama.
5) Recontituened atau Blended Family
Yaitu suatu keluarga yang terbentuk dari perkawinan pasangan dan masing-masing membawa anak dari hasil perkawinan terdahulu.
6) Tree Generation Family
Yaitu keluarga yang terdiri dari tiga generasi yaitu kakek, nenek, bapak,ibu, anak dalam satu rumah.
7) Single Adult Living Alone
Yaitu bentuk keluarga yang terdiri dari seorang dewasa yang hidup dalam rumahnya.
8) Midle Age Atau Ederly Coople
Yaitu keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri usia pertengahan.
d. Tingkat Perkembangan Keluarga
Terdapat delapan tahap tingkat perkembangan keluarga menurut Friedman, ( 1998 ) :
1) Tahap I : Keluarga Pemula (juga menunjuk pasangan menikah atau tahap pernikahan). Tugasnya adalah :
a) Membangun perkawinan yang saling memuaskan.
b) Menghubungkan jaringan persaudaraan secara harmonis.
c) Keluarga berencana (keputusan tentang kedudukan sebagai orang tua)
2) Tahap II : Keluarga sedang mengasuh anak (anak tertua adalah bayi sampai umur 30 bulan). Tugasnya adalah :
a) Membentuk keluarga muda sebagai sebuah unit yang mantap (mengintegrasikan).
b) Rekontruksi tugas-tugas perkembangan yang bertentangan dan kebutuhan anggota keluarga.
c) Memperluas persahabatan dengan keluarga besar dengan menambahkan peran orang tua, kakek dan nenek.
3) Tahap III : Keluarga dengan anak usia pra sekolah (anak tertua berumur 2 hingga 6 tahun). Tugasnya adalah :
a) Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti rumah
b) Mensosialisasikan anak.
c) Mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak-anak yang lain.
d) Mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga (hubungan perkawinan dan hubungan orang tua dan anak) dan diluar keluarga (keluarga besar dan komunitas).
4) Tahap IV : Keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua berumur 6 hingga 13 tahun). Tugasnya adalah :
a) Mensosialisakan anak-anak termasuk meningkatkan prestasi sekolah dan mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sehat.
b) Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan.
c) Memenuhi kebutuhan Kesehatan fisik anggota keluarga.
5) Tahap V : Keluarga dengan anak remaja (anak tertua berumur 13 hingga 20 tahun). Tugasnya adalah :
a) Menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab ketika remaja menjadi dewasa dan semakin mandiri.
b) Memfokuskan kembali hubungan perkawinan.
c) Berkomunikasi secara terbuka antara orang tua dan anak-anak.
6) Tahap VI : Keluarga melepas anak usia dewasa muda (mencakup anak pertama sampai anak terakhir yang meninggalkan rumah). Tugasnya adalah :
a) Memperluas siklus keluarga dengan memasukkan anggota keluarga baru yang didapatkan melalui perkawinan anak-anak.
b) Melanjutkan untuk memperbaharui dan menyesuaikan kembali hubungan perkawinan.
c) Membantu orang tua lanjut usia dan sakit-sakitan dari suami maupun istri.
7) Tahap VII : Orang tua usia pertengahan (tanpa jabatan, pension). Tugasnya adalah :
a) Menyediakan lingkungan yang meningkatkan Kesehatan.
b) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dan penuh arti dengan para orang tua lansia dan anak-anak.
c) Memperkokoh hubungan perkawinan.
8) Tahap VIII : Keluarga dalam masa pensiunan dan lansia (juga menunjuk kepada keluarga yang berusia lanjut usia atau pension hingga pasangan yang sudah meninggal dunia). Tugasnya adalah :
a) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan.
b) Menyesuaikan terhadap pendapatan yang menurun
c) Mempertahankan hubungan perkawinan
d) Menyesuaikan diri terhadap kehilangan pasangan
e) Mempertahankan ikatan keluarga antar generasi
f) Meneruskan untuk memahami eksistensi mereka (penelaahan dan integrasi hidup).
e. Lima Tugas Keluaga Dalam Bidang Kesehatan
Lima tugas keluarga dalam bidang Kesehatan menurut Friedman, (1981) adalah :
1) Mengenal gangguan perkembangan Kesehatan setiap anggotanya
2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
3) Memberikan keperawatan pada anggota keluarga yang sakit, dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya terlalu muda.
4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.
5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga Kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas Kesehatan yang ada.

Konsep Dasar Sindrom Kurang Perawatan Diri

a. Pengertian
Sindrom kurang perawatan diri adalah keadaan dimana individu mengalami suatu kerusakan fungsi motorik atau fungsi kognitif yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk melakukan masing-masing dari kelima aktivitas perawatan diri (Carpenito,2000) yang meliputi :
1) Kurang perawatan diri : makan.
2) Kurang perawatan diri : mandi/higiene.
3) Kurang perawatan diri : berpakaian/berdandan.
4) Kurang perawatan diri : instrumental.
Personal higiene atau kebersihan perorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Dampak fisik banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Dampak psikososial yang berhubungan dengan gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Tarwoto,2003).
b. Batasan karakteristik (Carpenito,2000)
1) Data mayor
a) Kurangnya kemampuan untuk makan sendiri
(1) Tidak dapat tidak dapat memotong atau membuka)
(2) Tidak dapat membawa makanan ke dalam mulut
b) Ketidakmampuan untuk mandi sendiri (termasuk membasuh keseluruh tubuh, menyisir rambut, menggosok gigi, melakukan perawatan terhadap kulit dan kuku serta menggunakan rias wajah)
c) Ketidakmampuan untuk memakai baju sendiri
(1) Kegagalan kemampuan untuk memakai atau melepaskan pakaian
(2) Ketidakmampuan untuk mengancingkan pakaian
(3) Ketidak mampuan untuk berdandan diri yang memuaskan
d) Ketidakmampuan untuk melakukan toileting sendiri
(1) Tidak dapat untuk pindah ke dan dari kamar mandi atau kamar kecil
(2) Tidak dapat untuk menangani pakaian sampai ke kamar mandi
(3) Tidak dapat menyiram toilet atau mengosongkan WC
(4) Tidak dapat atau tidak ada keinginan untuk melaksanakan kebersihan
(5) Tidak dapat atau tidak ada keinginan untuk ke kamar mandi atau kamar kecil.
e) Kurang perawatan diri instrumental
(1) Kesulitan mengunakan telepon
(2) Kesulitan mengakses transportasi
(3) Kesulitan menyiapkan makanan
(4) Kesulitan mensterika, mencuci pakaian
c. Faktor-faktor yang berhubungan (Carpenito, 2000)
1) Patofisiologi
a) Berhubungan dengan kurangnya koordinasi
b) Berhubungan dengan spastisitas atau flaksiditas
c) Berhubungan dengan kelemahan otot
d) Berhubungan dengan paralisis total atau sekunder
e) Berhubungan dengan atropi
f) Berhubungan dengan koma
g) Berhubungan dengan kelainan visual
2) Tindakan yang berhubungan
a) Berhubungan dengan alat eksternal
b) Berhubungan dengan keletihan pasca operatif
3) Situasional
a) Berhubungan dengan defisit kognitif
b) Berhubungan dengan nyeri
c) Berhubungan dengan penurunan motivasi
d) Berhubungan dengan kebingungan
e) Berhubungan dengan ansietas
4) Maturasional
Lansia : berhubungan dengan penurunan kemampuan visual, kelemahan otot.

d. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien. Untuk pasien dengan stroke pemeriksaan diagnostik yang dilakukan antara lain :
1) Laboratorium
2) Radiologi
3) CT Scan
e. Penatalaksanaan medis (Mansjoer,2000)
Penatalaksanaan medis disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien. Pada pasien dengan stroke dilakukan perawatan secara umum bertujuan untuk meminimalkan komplikasi non neurologis salah satunya aktivitas. Pasien dengan strok harus di mobilisasi dan dilakukan fisioterapi sedini mungkin bila kondisi klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Untuk fisioterapi pasif pada pasien yang belum boleh bergerak, perubahan posisi badan dan ekstremitas setiap 2 jam untuk mencegah dikubitus, latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif 4 kali sehari untuk mencegah kontraktur, splin tumit untuk mempertahankan pergelangan kaki dalam posisi dorsofleksi dapat juga mencegah pemendekan tendon achilles.
Posisi kepala 30 derajat dari bidang horisontal untuk menjamin aliran darah adequat ke otak dan aliran balik vena ke jantung, kecuali pada pasien hipotensi (posisi datar), pasien dengan muntah-muntah (dekubitus lateral kiri), pasien dengan gangguan jalan nafas (posisi kepala ekstensi). Bila kondisi memungkinkan, maka pasien harus segera dimobilisasi aktif ke posisi tegak, duduk dan pindah ke kursi sesuai toleransi hemodinamik dan neurologis.
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Sindrom Kurang Perawatan Diri

Konsep Dasar Pola Nafas Tidak Efektif

a. Pengertian
Pola nafas tidak efektif adalah kondisi dimana pola inhalasi dan ekshalasi pasien tidak mampu karena adanya gangguan fungsi paru (Tarwoto,2003).
Pola nafas tidak efektif adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami kehilangan ventilasi yang aktual atau potensial yang berhubungan dengan perubahan pola nafas (Carpenito, 2001).
b. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigen
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen adalah :
1) Faktor Fisiologis
a) Menurunnya kemampuan meningkatkan O2 seperti pada anemia.
b) Menurunnya konsentrasi O2 yang di inspirasi seperti obstruksi saluran pernafasan bagian atas.
c) Hivopolemia sehingga tekanan darah menurun yang mengakibatkan terganggunya O2.
d) Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam, ibu hamil.
e) Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada seperti pada kehamilan, obesitas, muskulus skeletor yang abnormal, penyakit kronis seperti TBC paru.
2) Faktor Perkembangan
a) Bayi prematur, yang disebabkan kurangnya pembentukan surfaktan.
b) Bayi dan Toddler, adanya resiko infeksi saluran pernafasan acut.
c) Anak usia sekolah dan remaja, resiko infeksi saluran pernafasan dan merokok.
d) Dewasa muda dan pertengahan, diet yang tidak sehat, kurang aktivitas, stres yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru.
e) Dewasa tua, adanya proses penuaan yang mengakibatkan kemungkinan arteriosklerosis, elastisitas menurun, ekspansi paru menurun.
3) Faktor Perilaku
a) Nutrisi
b) Exercise
Exercise akan meningkatkan kebutuhan oksigen
c) Merokok
Nikotin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifir dan koroner.
d) Substance abuse (alkohol dan obat-obatan
e) Kecemasan

4) Faktor lingkungan
a) Tempat kerja (polusi)
b) Suhu lingkungan
c) Ketinggian dari permukaan laut
c. Patofisiologi
Berhubungan dengan adanya obstruksi tracheobroncial oleh skret yang banyak, penurunan ekspansi paru dan proses inflamasi maka pasien mengalami kesulitan dalam bernafas menyebabkan pemasukan O2 berkurang sehingga pemenuhan kebutuhan O2 dalam tubuh tidak mencukupi yang ditandai dengan :
1) Perubahan kedalaman dan/atau kecepatan pernafasan
2) Gangguan perkembangan dada
3) Bunyi nafas tidak normal misalnya mengi
4) Batuk dengan atau tanpa produksi sputum.
d. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik penting dalam menegakkan diagnosa yang tepat sehingga kita dapat memberikan obat yang tepat. Pemeriksaan diagnostik yang tepat adalah :
1) Test untuk menentukan keadequatan sistem konduksi jantung.
a) EKG
b) Exercise stress test
2) Test untuk menentukan kontraksi miokardium aliran darah
a) Echocardiographi
b) Kateterisasi jantung
c) Angiographi
3) Test untuk mengukur ventilasi dan oksigenisasi
a) Test fungsi paru-paru dengan spirometri
b) Test astrup
c) Oksimetri
d) Pemeriksaan darah lengkap
4) Melihat struktur sistem pernafasan
a) X-ray thorax
b) Bronchoskopi
c) CT scan paru
5) Menentukan sel abnormal/infeksi sistem pernafasan
a) Kultur apus tenggorok
b) Sitologi
c) Spesimen sputum (BTA)
e. Penatalaksanaan medis
Pengobatan yang dilaksanakan pada pasien dengan gangguan pola nafas tidak efektik yaitu :
1) Pemberian nebuleser
2) Pemberian kebutuhan O2
3) Mengukur tanda-tanda vital
4) Memberikan posisi yang nyaman
5) Mengajarkan batuk efektif
6) Pemberian infut cairan baik melalui minuman maupun cairan infus

2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dalam mengumpulkan informasi dan pengumpula data sesuai respon manusia terhadap penyakit yang dapat berupa keluhan subyektif dan obyektif.
1) Data Subyektif
Merupakan informasi lansung didapatkan dari pasien seperti sesak nafas, batuk, nafas berbunyi, dada terasa berat.
2) Data oyektif
Data yang didapat melalui pemeriksaan fisik, observasi, serta pemeriksaan penunjang seperti respirasi 30x/menit, nadi 90-92x/menit, tekanan darah 130/80 mmhg, suhu tubuh 360c, terdengar wheezing, pasien tampak gelisah dan pasien tampak sesak. Dari data tersebut maka diagnosa keperawatan yang muncul yaitu pola nafas tidak efektif.

TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK

Dalam menanggapi pesan yang disampaikan klien, perawat dapat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1987; 124):

1. Mendengar (Listening)
Merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk bicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif.

2. Pertanyaan Terbuka (Broad Opening)
Memberi kesempatan untuk memilih, contoh: apakah yang sedang saudara pikirkan?, apa yang akan kita bicarakan hari ini?. Beri dorongan dengan cara mendengar atau mengatakan, saya mengerti atau oohh .…

3. Mengulang (Restarting)
Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien.

4. Klarifikasi
Dilakukan bila perawat ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau klien berhenti karena malu mengemukakan informasi, informasi yang diperoleh tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah. Contoh: dapatkah anda menjelaskan kembali tentang …? Gunanya untuk kejelasan dan kesamaan ide, perasaan dan persepsi perawat-klien.

5. Refleksi
a. Refleksi isi, memvalidasi apa yang didengar. Klarifikasi ide yang diekspresikan klien dengan pengertian perawat.
b. Refleksi perasaan, memberi respon pada perasaan klien terhadap isi pembicaraan agar klien mengetahui dan menerima perasaannya.
Gunanya untuk:
a. mengetahui dan menerima ide dan perasaan
b. mengoreksi
c. memberi keterangan lebih jelas.
Kerugiannya adalah:
a. mengulang terlalu sering tema yang sama
b. dapat menimbulkan marah, iritasi dan frustasi.

6. Memfokuskan
Membantu klien bicara pada topik yang telah dipilih dan yang penting serta menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yaitu lebih spesifik, lebih jelas dan berfokus pada realitas.
Contoh:
Klien : Wanita sering jadi bulan-bulanan.
Perawat : Coba ceritakan bagaimana perasaan anda sebagai wanita.

7. Membagi Persepsi
Meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan dan pikirkan. Dengan cara ini perawat dapat meminta umpan balik dan memberi informasi.
Contoh: Anda tertawa, tetapi saya rasa anda marah kepada saya.

8. Identifikasi Tema
Mengidentifikasi latar belakang masalah yang dialami klien yang muncul selama percakapan. Gunanya untuk meningkatkan pengertian dan mengeksplorasi masalah yang penting.
Misalnya: Saya lihat dari semua keterangan yang anda jelaskan, anda telah disakiti. Apakah ini latar belakang masalahnya?

9. Diam (Silence)
Cara yang sukar, biasanya dilakukan setelah mengajukan pertanyaan. Tujuannya untuk memberi kesempatan berpikir dan memotivasi klien untuk bicara. Pada klien yang menarik diri, teknik diam berarti perawat menerima klien.

10. Informing
Memberi informasi dan fakta untuk pendidikan kesehatan.

11. Saran
Memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan.

Perawat perlu menganalisa teknik komunikasi yang tepat setiapkali ia berhubungan dengan klien. Melalui komunikasi verbal dapat disampaikan informasi yang akurat tetapi aspek emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan seluruhnya secara verbal.
Dengan mengerti proses komunikasi dan menguasai berbagai keterampilan berkomunikasi, diharapkan perawat dapat memakai dirinya secara utuh (verbal dan non verbal) untuk memberi efek terapeutik kepada klien.

KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN KLIEN ANAK

KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN KLIEN ANAK

Cara yang terapeutik dalam berkomunikasi dengan anak adalah sebagai berikut:

1. Nada suara
Bicara lambat dan jika tidak dijawab harus diulang lebih jelas dengan pengarahan yang sederhana. Hindari sikap mendesak untuk dijawab dengan mengatakan “jawab dong”.

2. Mengalihkan aktivitas
Kegiatan anak yang berpindah-pindah dapat meningkatkan rasa cemas terapis dan mengartikannya sebagai tanda hiperaktif. Anak lebih tertarik pada aktivitas yang disukai sehingga perlu dibuat jadual yang bergantian antara aktivitas yang disukai dan aktivitas terapi yang diprogramkan.

3. Jarak interaksi
Perawat yang mengobservasi tindakan non verbal dan sikap tubuh anak harus mempertahankan jarak yang aman dalam berinteraksi.

4. Marah
Perawat perlu mempelajari tanda kontrol perilaku yang rendah pada anak untuk mencegah temper tantrum. Perawat menghindari bicara yang keras dan otoriter serta mengurangi kontak mata jika respon anak meningkat. Jika anak mulai dapat mengontrol perilaku maka kontak mata dimulai kembali namun sentuhan ditunda dahulu.

5. Kesadaran diri
Perawat harus menghindari konfrontasi secara langsung, duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Meja tidak diletakkan antara perawat dan anak. Perawat secara non verbal selalu memberi dorongan, penerimaan dan persetujuan jika diperlukan.

6. Sentuhan
Jangan sentuh anak tanpa izin dari anak. Salaman dengan anak merupakan cara untuk menghilangkan stres dan cemas khususnya pada anak laki-laki.

HUBUNGAN TERAPEUTIK PERAWAT-KLIEN

Hubungan terapeutik perawat-klien adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman untuk memperbaiki emosi klien. Dalam hubungan ini perawat memakai diri sendiri dan teknik pendekatan yang khusus dalam bekerja dengan klien untuk memberi pengertian dan merubah perilaku klien.
Secara umum tujuan hubungan terapeutik adalah untuk perkembangan klien (Stuart dan Sundeen, 1987; 96), yaitu:
1. Kesadaran diri, penerimaan diri dan penghargaan diri yang meningkat
2. Pengertian yang jelas tentang identitas diri dan integritas diri ditingkatkan
3. Kemampuan untuk membina hubungan intim interdependen, pribadi dengan kecakapan menerima dan memberi kasih sayang.
4. Meningkatkan fungsi dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pribadi yang realistis.
Untuk mencapai tujuan di atas, berbagai aspek kehidupan klien akan diekspresikan selama berhubungan dengan perawat. Perawat akan mendorong klien untuk mengekspresikan perasaan, pikiran dan persepsi serta dihubungkan dengan perilaku yang tampak (hasil observasi dan laporan). Area yang diidentifikasi sebagai konflik dan kecemasan perlu diklarifikasi. Penting bagi perawat untuk mengidentifikasi kemampuan klien dan mengoptimalkan kemampuan melakukan hubungan sosial dan keluarga. Komunikasi akan menjadi baik dan perilaku maladaptif akan berubah jika klien sudah mencoba pola perilaku dan koping baru yang konstruktif.
Status klien dalam hubungan terapeutik perawat-klien sudah berubah dari dependen menjadi interdependen. Pada waktu yang lalu, perawat mengambil keputusan untuk klien, saat ini perawat memberi alternatif dan membantu klien dalam proses pemecahan masalah (Cook dan Fontaine, 1987; 14).
Di dalam hubungan terapeutik perawat-klien, perawat memakai dirinya secara terapeutik dalam membantu klien, perlu mengenal dirinya, termasuk perilaku, perasaan, pikiran dan nilai agar asuhan yang diberikan tetap berkualitas dan menguntungkan klien.
Makalah ini akan menguraikan bagaimana meningkatkan kesadaran diri perawat agar berkembang kualitasnya dalam memberikan asuhan keperawatan yang mencakup uraian tentang tahap hubungan perawat-klien, sifat hubungan dan teknik komunikasi dalam berhubungan.


ANALISA DIRI PERAWAT

Perawat merupakan profesi yang menolong manusia untuk beradaptasi secara positif terhadap stres yang dialami. Pertolongan yang diberikan harus bersifat terapeutik. Instrumen utama yang dipakai adalah diri perawat sendiri. Jadi analisa diri sendiri merupakan dasar utama untuk memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas.
Fokus analisa diri yang penting adalah kesadaran diri, klarifikasi nilai, eksplorasi perasaan, kemampuan menjadi model dan rasa tanggung jawab. Khususnya dalam berhubungan dengan klien anak, perawat perlu mengkaji pengalaman masa kanak-kanaknya karena dapat mempengaruhi interaksi. Dengan mengetahui sifat diri sendiri diharapkan perawat dapat memakai dirinya secara terapeutik untuk menolong klien tanpa merusak integritas diri.


KESADARAN DIRI

Banyak pendapat mengatakan bahwa perawat perlu menjawab pertanyaan “siapa saya?”. Perawat harus dapat mengkaji perasaan, reaksi dan perilakunya secara pribadi maupun sebagai pemberi asuhan keperawatan. Kesadaran diri akan membuat perawat menerima perbedaan dan keunikan klien.
Kesadaran diri dan perkembangan diri perawat perlu ditingkatkan agar penggunaan diri secara terapeutik dapat lebih efektif. Johari Window (Stuart dan Sundeen, 1987; 98) menggambarkan tentang perilaku, pikiran dan perasaan seseorang melalui gambar berikut.


1
Diketahui oleh diri sendiri
dan orang lain

2
Hanya diketahui oleh
orang lain


3
Hanya diketahui oleh
diri sendiri

4
Tidak diketahui oleh
siapapun

Johari Window Sundeen, SJ., dikutip oleh Stuart dan Sundeen (1987; 98)

Kuadran 1 adalah kuadran yang terdiri dari perilaku, pikiran dan perasaan yang diketahui oleh individu dan orang lain di sekitarnya. Kuadran 2 sering disebut kuadran buta karena hanya diketahui oleh orang lain. Kuadran 3 disebut rahasia karena hanya diketahui oleh individu. Ada 3 prinsip yang dapat diambil dari Johari Window, yaitu:
1. Perubahan satu kuadran akan mempengaruhi kuadran yang lain.
2. Jika kuadran 1 yang paling kecil, berarti komunikasinya buruk atau kesadaran dirinya kurang.
3. Kuadran 1 paling besar pada individu yang mempunyai kesadaran diri yang tinggi.

Kesadaran diri dapat ditingkatkan melalui 3 cara (Stuart dan Sundeen, 1987; 98-99), yaitu:

1. Mempelajari diri sendiri
Proses eksplorasi diri sendiri, tentang pikiran, perasaan, perilaku, termasuk pengalaman yang menyenangkan, hubungan interpersonal dan kebutuhan pribadi.

2. Belajar dari orang lain
Kesediaan dan keterbukaan menerima umpan balik dari orang lain akan meningkatkan pengetahuan tentang diri sendiri. Aspek yang negatif memberi kesadaran bagi individu untuk memperbaikinya sehingga individu akan selalu berkembang setiap menerima umpan balik.

3. Membuka diri.
Keterbukaan merupakan salah satu kriteria kepribadian yang sehat. Untuk ini harus ada teman intim yang dapat dipercaya untuk menceritakan hal yang meupakan rahasia.
Proses peningkatan kesadaran diri sering menyakitkan dan tidak mudah khususnya jika ditemukan konflik dengan ideal diri tetapi hal ini merupakan tantangan untuk berubah dan tumbuh.
KLARIFIKASI NILAI

Walaupun hubungan perawat-klien merupakan hubungan timbal balik tetapi kebutuhan klien selalu diutamakan. Perawat sebaiknya mempunyai sumber kepuasan dan rasa aman yang cukup sehingga tidak menggunakan klien untuk kepuasan dan keamanannya.
Jika perawat mempunyai konflik, ketidakpuasan, sebaiknya perawat menyadari dan mengklarifikasi agar tidak mempengaruhi hubungan perawat-klien. Dengan menyadari sistem nilai yang dimiliki perawat, misalnya kepercayaan, seksual, ikatan keluarga, perawat akan siap mengidentifikasi situasi yang bertentangan dengan sistem nilai yang dimiliki.


EKSPLORASI PERASAAN

Perawat perlu terbuka dan sadar terhadap perasaannya dan mengontrolnya agar ia dapat menggunakan dirinya secara terapeutik (Stuart dan Sundeen, 1987; 102). Jika perawat terbuka pada perasaannya maka ia mendapatkan dua informasi penting yaitu bagaimana responnya terhadap klien dan bagaimana penampilannya terhadap klien. Sewaktu berbicara dengan klien, perawat harus menyadari responnya dan mengontrol penampilannya.


KEMAMPUAN MENJADI MODEL

Perawat yang mempunyai masalah pribadi seperti ketergantungan obat, hubungan interpersonal yang terganggu akan mempengaruhi hubungannya dengan klien. (Stuart dan Sundeen, 1987; 103). Perawat mungkin menolak dan mengatakan bahwa ia dapat memisahkan hubungan profesional dengan kehidupan pribadi. Tetapi hal ini tidak mungkin pada asuhan kesehatan jiwa karena perawat memakai dirinya secara terapeutik dalam menolong klien.
Perawat yang efektif adalah perawat yang dapat memuaskan kehidupan pribadi serta tidak didominasi oleh konflik, distres atau pengingkaran dan memperlihatkan perkembangan serta adaptasi yang sehat. Perawat diharapkan bertanggung jawab atas perilakunya, sadar akan kelemahan dan kekurangannya.

HUBUNGAN TERAPEUTIK

Hubungan terapeutik antara perawat-klien adalah hubungan kerjasama yang ditandai dengan tukar-menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik (Stuart dan Sundeen, 1987; 103). (Lihat Tabel 1)

Tabel 1. Perbedaan Hubungan Sosial dan Hubungan Terapeutik

Komponen Hubungan Hubungan Sosial Hubungan Terapeutik
Saling membuka diri


Fokus percakapan


Topik yang tepat


Hubungan pengalaman dengan topik percakapan


Orientasi waktu

Pengungkapan perasaan


Pengakuan harkat individu
Bervariasi


Tidak dikenal oleh partisipan


Sosial, bisnis, umum dan tidak pribadi

Tidak terkait dan mengguna-kan pengetahuan yang tidak berhubungan

Masa lalu dan masa mendatang

Ungkapan perasaan dihindari


Tidak diakui
Klien membuka diri, pera-wat membuka diri dalam rangka menanggapi saja.
Dikenal oleh perawat dan klien

Pribadi dan berhubungan dengan perawat dan klien

Ada keterlibatan dan meng-gunakan pengetahuan yang berkaitan.

Sekarang

Ungkapan perasaan dido-rong oleh perawat.

Sangat diakui.

Sumber: Longo, DC. dan William, RA (1986; 25)

Dalam proses membina hubungan sesuai dengan tingkat perkembangan klien dengan mendorong perkembangan klien dalam menyadari dan mengidentifikasi masalah dan membantu pemecahan maslah. Menurut ahli pendidikan anak membutuhkan asuhan dan pengalaman belajar agar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Perawat memberi umpan balik dan alternatif pemecahan dan klien dapat memakai informasi untuk menangani masalah yang belum dipecahkan secara konstruktif.
Proses berhubungan perawat-klien dapat dibagi dalam 4 fase, yaitu fase pra interaksi, fase perkenalan atau orientasi, fase kerja dan fase terminasi (Stuart dan Sundeen, 1987; 104). Setiap fase ditandai dengan serangkaian tugas yang perlu dilaksanakan (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Tugas Perawat pada Hubungan Terapeutik

Fase Tugas
Prainteraksi
• Eksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan sendiri
• Analisa kekuatan-kelemahan profesional
• Dapatkan data tentang klien jika mungkin
• Rencanakan pertemuan pertama
Orientasi
• Tentukan alasan klien minta pertolongan
• Bina rasa percaya, penerimaan dan komunikasi terbuka
• Rumuskan kontrak pertama
• Eksplorasi pikiran, perasaan dan perilaku klien
• Identifikasi masalah klien
• Rumuskan tujuan dengan klien
Kerja
• Eksplorasi stressor yang tepat
• Dorong perkembangan kesadaran diri klien dan pemakaian mekanisme koping yang konstruktif.
• Atasi penolakan perilaku adaptif
Terminasi
• Ciptakan realitas perpisahan
• Bicarakan proses terapi dan pencapaian tujuan
• Saling mengeksplorasi perasaan penolakan dan kehilangan, sedih, marah dan perilaku klien
Sumber: Stuart dan Sundeen (1987; 104)



FASE PRA INTERAKSI

Fase pra interaksi dimulai sebelum kontak pertama dengan klien. Perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat dipertanggungjawabkan.
Perawat yang sudah berpengalaman dapat menganalisa diri sendiri serta nilai tambah pengalamannya berguna agar lebih efektif dalam memberikan asuhan keperawatan. Ia seharusnya mempunyai konsep diri yang stabil dan harga diri yang adekuat, mempunyai hubungan yang konstruktif dengan orang lain dan berpegang pada kenyataan dalam menolong klien (Stuart dan Sundeen, 1987; 105).
Pemakaian diri secara terapeutik berarti memaksimalkan pemakaian kekuatan dan meminimalkan pengaruh kelemahan diri dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien.
Tugas tambahan pada fase ini adalah mendapatkan informasi tentang klien dan menetukan kontak pertama


FASE ORIENTASI

Fase ini dimulai pada saat pertemuan pertama dengan klien. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien minta pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan perawat-klien.
Dalam memulai hubungan, tugas utama perawat adalah membina rasa percaya, penerimaan dan pengertian, komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan klien. Elemen-elemen kontrak (lihat Tabel 3) perlu diuraikan dengan jelas kepada klien sehingga kerjasama dapat dilakukan secara optimal. Diharapkan klien berperan serta secara penuh dalam kontrak, tetapi pada kondisi tertentu misalnya pada klien dengan gangguan realitas, maka kontrak dilakukan sepihak dan perawat perlu mengulang kontrak jika kontak relitas klien meningkat.
Tugas perawat adalah mengeksplorasi pikiran, perasaan, perbuatan klien dan mengidentifikasi masalah serta merumuskan tujuan bersama klien.

Tabel 3. Elemen Kontrak Perawat-Klien

• Nama individu (perawat dan klien)
• Peran perawat dan klien
• Tanggung jawab perawat dan klien
• Tujuan hubungan
• Tempat pertemuan
• Waktu pertemuan
• Situasi terminasi
• Kerahasiaan
Sumber: Stuart dan Sundeen (1987; 107)

FASE KERJA

Pada fase kerja perawat dan klien mengeksplorasi stressor yang tepat dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, pikiran, perasaan dan perbuatan klien. Perawat membantu klien mengatasi kecemasan, meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab diri sendiri serta mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif. Perubahan perilaku maladaptif menjadi adaptif merupakan fokus fase ini.


FASE TERMINASI

Terminasi merupakan fase yang sangat sulit dan penting dari hubungan terapeutik. Rasa percaya dan hubungan intim yang terapeutik sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Keduanya (perawat dan klien) akan merasakan kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau klien pulang.
Apapun alasan terminasi, tugas perawat pada fase ini adalah menghadapi realitas perpisahan yang tidak dapat diingkari. Klien dan perawat bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Perasaan marah, sedih, penolakan perlu dieksplorasi dan diekspresikan.
Fase terminasi harus diatasi dengan memakai konsep proses kehilangan. Proses terminasi yang sehat akan memberi pengalaman positif dalam membantu klien mengembangkan koping untuk perpisahan. Reaksi klien dalam menghadapi terminasi dapat bermacam cara. Klien mungkin mengingkari perpisahan atau mengingkari manfaat hubungan. Klien dapat mengekspresikan perasaan marah dan bermusuhannya dengan tidak menghadiri pertemuan atau bicara yang dangkal. Terminasi mendadak dan tanpa persiapan mungkin dipersepsikan klien sebagai penolakan atau perilaku klien kembali pada perilaku sebelumnya dengan harapan perawat tidak akan mengakhiri hubungan kerena klien masih memerlukan bantuan.


KOMUNIKASI TERAPEUTIK

Teori komunikasi sangat sesuai dalam praktek keperawatan (Stuart dan Sundeen, 1987; 111), karena:
1. Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan terapeutik. Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran.
2. Maksud komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti keberhasilan intervensi keperawatan tergantung pada komunikasi karena proses keperawatan ditujukan untuk merubah perilaku dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
3. Komunikasi adalah hubungan. Hubungan perawat-klien yang terapeutik tidak mungkin dicapai tanpa komunikasi.

Dalam membina hubungan terapeutik dengan klien, perawat perlu mengetahui proses komunikasi dan keterampilan berkomunikasi dalam membantu klien memecahkan masalahnya.

Elemen yang harus ada pada proses komunikasi adalah pengirim pesan, penerima pesan, pesan, media dan umpan balik. Semua perilaku individu (pengirim dan penerima) adalah komunikasi yang akan memberikan efek pada perilaku. Pesan yang disampaikan dapat verbal maupun non verbal. Bermain merupakan cara berkomunikasi dan berhubungan yang baik dengan klien anak.

Perawat dapat menyampaikan atau mengkaji pesan secara non verbal antara lain:
1. Vokal: nada, kualitas, keras atau lembut, kecepatan yang semuanya menggambarkan suasana emosi.
2. Gerakan: refleks, postur, ekspresi muka, gerakan yang berulang atau gerakan-gerakan yang lain. Khusus gerakan dan ekspresi muka dapat diartikan sebagai suasana hati.
3. Jarak (space): jarak dalam berkomunikasi dengan orang lain menggambarkan tingkat keintiman hubungan.
4. Sentuhan: dikatakan sangat penting tetapi perlu mempertimbangkan aspek budaya dan kebiasaan setempat.


SIKAP PERAWAT DALAM BERKOMUNIKASI

Perawat hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu berkomunikasi dengan klien. Perawat tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap atau penampilan dalam berkomunikasi.


KEHADIRAN DIRI SECARA FISIK

Egan (1975, dikutip oleh Kozier dan Erb, 1983; 372) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik, yaitu:
1. Berhadapan. Arti dari posisi ini adalah ”saya siap untuk anda”.
2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar sesuatu.
4. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
5. Tetap relaks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon terhadap klien.

Sikap fisik dapat pula disebut sebagai perilaku non verbal yang perlu dipelajari pada setiap tindakan keperawatan. Beberapa perilaku non verbal yang dikemukakan oleh Clunn (1991; 168-173) yang perlu diketahui dalam merawat anak adalah:

1. Gerakan mata.
Gerakan mata dapat dipakai untuk memberikan perhatian. Kontak mata berkembang pada anak sejak lahir. Kontak mata antara ibu dan bayi merupakan cara interaksi dan kontak sosial. Perawat perlu mengetahui perkembangan kontak mata, misalnya usia 2 bulan bayi tersenyum jika kontak mata dengan ibu. Bayi dan anak memperlihatkan reaksi yang tinggi terhadap rangsangan visual (Mahler, dikutip oleh Clunn, 1991; 171).
Kontak mata dan ekspresi muka adalah alat pertama yang dipakai untuk pendidikan dan sosialisasi. Anak sangat mengerti akan ekspresi ibu yang marah, sedih atau tidak setuju.

2. Ekspresi muka
Ekspresi muka umumnya dipakai sebagai bahasa non verbal namun banyak dipengaruhi oleh budaya. Orang yang tidak percaya pasti akan tampak dari ekspresi muka tanpa ia sadari.

3. Sentuhan
Sentuhan merupakan cara interaksi yang mendasar. Konsep diri didasari oleh asuhan ibu yang memperlihatkan perasaan menerima dan mengakui. Ikatan kasih sayang dibentuk oleh pandangan, suara dan sentuhan yang menjadi elemen penting dalam pembentukan ego, perpisahan dan kemandirian (Rubin, dikutip oleh Clunn, 1991, 173).
Sentuhan sangat penting bagi anak sebagai alat komunikasi dan memperlihatkan kehangatan, kasih sayang yang pada kemudian hari (dewasa) mengembangkan hal yang sama baginya.


KEHADIRAN DIRI SECARA PSIKOLOGIS

Kehadiran diri secara psikologis dapat dibagi dalam 2 dimensi yanitu dimensi respon dan dimensi tindakan (Truax, Carkhoff dan Benerson, dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 126).

Dimensi Respon

Dimensi respon terdiri dari respon perawat yang ikhlas, menghargai, empati dan konkrit. Dimensi respon sangat penting pada awal berhubungan dengan klien untuk membina hubungan saling percaya dan komunikasi yang terbuka. Respon ini harus terus dipertahankan sampai pada akhir hubungan.

1. Keikhlasan
Perawat menyatakan melalui keterbukaan, kejujuran, ketulusan dan berperan aktif dalam berhubungan demgan klien. Perawat berespon dengan tulus, tidak berpura-pura, mengekspresikan perasaan yang sebenarnya dan spontan.

2. Menghargai
Perawat menerima klien apa adanya. Sikap perawat harus tidak menghakimi, tidak mengkritik, tidak mengejek dan tidak menghina. Rasa menghargai dapat dikomunikasikan melalui: duduk diam bersama klien yang menangis, minta maaf atas hal yang tidak disukai klien dan menerima permintaan klien untuk tidak menanyakan pengalaman tertentu.

3. Empati
Empati merupakan kemampuan masuk dalam kehidupan klien agar dapat merasakan pikiran dan perasaannya. Perawat memandang melalui pandangan klien, merasakan melalui perasaan klien dan kemudian mengidentifikasi masalah klien serta membantu klien mengatasi masalah tersebut. Melalui penelitian, Mansfield (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 129) mengidentifikasi perilaku verbal dan non verbal yang menunjukkan tingkat empati yang tinggi sebagai berikut:
• Memperkenalkan diri kepada klien.
• Kepala dan badan membungkuk ke arah klien.
• Respon verbal terhadap pendapat klien, khususnya pada kekuatan dan sumber daya klien.
• Kontak mata dan berespon pada tanda non verbal klien misalnya nada suara, gelisah, ekspresi wajah.
• Tunjukkan perhatian, minat, kehangatan, melalui ekspresi wajah.
• Nada suara konsisten dengan ekspresi wajah dan respon verbal.

4. Konkrit
Perawat menggunakan terminologi yang spesifik, bukan yang abstrak. Hal ini perlu untuk menghindarkan keraguan dan ketidakjelasan. Ada 3 kegunaannya, yaitu:
• Mempertahankan respon perawat terhadap perasaan klien
• Memberi penjelasan yang akurat oleh perawat
• Mendorong klien memikirkan masalah yang spesifik.


Dimensi Tindakan

Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon. Tindakan yang dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan pengertian. Perawat senior sering segera masuk dimensi tindakan tanpa membina hubungan yang adekuat sesuai dengan dimensi respon. Dimensi respon membawa klien pada tingkat penilikan diri yang tinggi dan kemudian dilanjutkan dengan dimensi tindakan.
Dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, emotional chatarsis dan bermain peran (Stuart dan Sundeen, 1987; 131)

1. Konfrontasi.
Konfrontasi merupakan ekspresi perasaan perawat tentang perilaku klien ynag tidak sesuai. Carkhoff (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 131), mengidentifikasi 3 katagori konfrontasi, yaitu:
a. Ketidaksesuaian antara konsep diri klien (ekspresi klien tentang dirinya) dan ideal diri klien (keinginan klien)
b. Ketidaksesuaian antara ekspresi non verbal dan perilaku klien.
c. Ketidaksesuaian antara pengalaman klien dan pengalaman perawat.
Konfrontasi berguna untuk meningkatkan kesadaran klien terhadap kesesuaian perasaan, sikap, kepercayaan dan perilaku. Konfrontasi dilakukan secara asertif, bukan marah atau agresif.
Sebelum melakukan konfrontasi perawat perlu mengkaji antara lain: tingkat hubungan saling percaya, waktu yang tepat, tingkat kecemasan klien dan kekuatan koping klien. Konfrontasi sangat diperlukan pada klien yang telah mempunyai kesadaran diri tetapi perilakunya belum berubah.

2. Kesegeraan
Kesegeraan berfokus pada interaksi dan hubungan perawat-klien saat ini. Perawat sensitif terhadap perasaan klien dan berkeinginan membantu dengan segera.

3. Keterbukaan
Perawat harus terbuka memberikan informasi tentang dirinya, ideal diri, perasaan, sikap dan nilai yang dianutnya. Perawat membuka diri tentang pengalaman yang berguna untuk terapi klien. Tukar pengalaman ini memberi keuntungan pada klien untuk mendukung kerjasama dan memberi sokongan.
Melalui penelitian ditemukan bahwa peningkatan keterbukaan antara perawat-klien dapat menurunkan tingkat kecemasan perawat-klien (Johnson, dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 134).

4. Emotional Chatarsis
Emotional chatarsis terjadi jika klien diminta bicara tentang hal yang sangat mengganggu dirinya. Ketakutan, perasaan dan pengalaman dibuka dan menjadi topik diskusi antara perawat-klien.
Perawat harus dapat mengkaji kesiapan klien mendiskusikan masalahnya. Jika klien mengalami kesukaran mengekspresikan perasaannya, perawat dapat membantu dengan mengekspresikan perasaannya jika berada pada situasi klien.

5. Bermain Peran
Bermain peran adalah melakukan peran pada situasi tertentu. Hal ini berguna untuk meningkatkan kesadaran dalam berhubungan dan kemampuan melihat situasi dari pandangan orang lain. Bermain peran menjembatani anatara pikiran serta perilaku dan klien akan merasa bebas mempraktekkan perilaku baru pada lingkungan yang aman.

Ringkasan dimensi respon dan tindakan dapat dilihat pada Tabel 4. Perawat senantiasa harus mencoba berbagai teknik, cara dan sikap yang dapat meningkatkan efektivitas komunikasi dan hubungan perawat-klien.

Tabel 4. Respon dan Tindakan Terapeutik dalam Hubungan Perawat-Klien

Dimensi Karakteristik

Respon:

1. Ikhlas

2. Respek (Menghargai)



3. Empati







4. Konkrit


- Perawat terbuka, jujur, realistis, dapat dipercaya

- Menerima klien, mempercayai klien mempunyai kemampuan memecahkan masalah dengan bantuan
- Menghargai klien tanpa syarat

- Memandang klien melalui pandangan klien sendiri (internal)
- Peka terhadap perasaan klien saat ini
- Dapat mengidentifikasi masalah klien dan memberi alternatif pemecahan pada klien sesuai dengan ilmu dan pengalaman perawat tanpa menggangu integritas diri perawat

- Menggunakan terminologi yang spesifik bukan yang abstrak dalam mendiskusikan perasaan, pengalaman dan perilaku


Tindakan:

1. Konfrontasi


2. Segera




3. Keterbukaan



4. Emotional chatarsis



5. Bermain peran







- Perawat mengekspresikan kesenjangan perilaku klien untuk meningkatkan kesadaran dirinya.

- Memberi respon segera pada hal yang terjadi sekarang di tempat ini.
- Terjadi pada waktu interaksi dan dipakai untuk mempelajari fungsi klien dalam hubungan interpersonal

- Perawat mengemukakan informasi tentang dirinya, ide, perasaan, nilai dan sikapnya untuk mendukung kerjasama dengan klien

- Mendorong klien bicara hal yang mencemaskan, perasaan takut, pengalaman dan kecemasan didiskusikan secara terbuka

- Bermain peran tentang situasi tertentu untuk meningkatkan kesadaran dalam hubungan interaksi dan kemampuan melihat situasi dari pandangan yang berbeda
- Klien belajar perilaku baru pada situasi yang aman.
Sumber: Stuart dan Sundeen, 1987; 13.

SETRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN PASIEN ARN DENGAN DIAGNOSA SNH TERHADAP DENGAN TINDAKAN ROM PASIF

SETRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN PASIEN ARN DENGAN DIAGNOSA SNH TERHADAP DENGAN TINDAKAN ROM PASIF


Nama pasien : ARN
Diagnose medis : SNH
Ruang : Mawar
1. Kondisi pasien
a. Alasan MRS
Klien dating dengan keluhan lemah separuh tubuh bagian kiri sejak 4 hari yang lalu saat bangun dari tempat tidur. Keluhan ini disertai dengan muntah, nyeri kepala dan suara tiba- tiba pelo
TTV
RR : 22x/menit Suhu : 36,5 oC
Nadi : 80 x/menit TD : 110/70 mmHg
b. Data focus
Data subjektif
- Mengeluh merasa lemah separuh tubuh bagian kiri
Data obyektif
- GCS : E = 4, V=5, M=6
- Parase N VII Sinistra, parase N XII Sinistra
- Tonus
555 332
555 332
N ↓
N ↓
2. Diagnose Keperawatan
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot ditandai dengan klien tidak mampu menggerakkan tangan dan kaki kiri secara optimal.
3. Tujuan
Setelah diberikan tindakan 1x15 menit selama 3 hari diharapkan kekuatan otot klien membaik secara perlahan-lahan.
4. Tindakan Keperawatan
Melatih ROM Pasif
5. SOP tindakan terlampir.


STRATEGI KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

1. Tahap Orientasi
Selamat sore bapak…. Bagaimana keadaan bapak sore ini, perkenalan saya mahasiswa STIKES Wira Medika yang praktek hari ini, apakah bapak masih merasakan lemas pada tangan dan kaki ? Kalau masih terasa saya akan memberikan latihan pada tangan dan kaki bapak . Latihan ini bertujuan supaya bisa pelan-pelan digerakkan dan berfungsi normal. Tindakan ini akan berlangsung ± 5-10 menit. Saya mohon kejasamanya ya bapak agar tindakan ini bisa berjalan dengan lancar. Kita akan lakukan di tempat tidur ini ya .

2. Tahap kerja
Sebelumnya saya sampaikan kalau saya telah mencuci tangan. Mungkin sebelum saya mulai , apakah bapak ada pertanyaan ? Jika tidak ada saya akan mulai latihannya. Baiklah bapak saya akan menutup pintunya supaya latihannya lebih nyaman. Bapak tetap dalam posisi terlentang. Sekarang saya bengkokkan siku hingga jari-jari tangan menyentuh dagu kemudian luruskan kembali. Bapak saya genggam tangannya ya dan saya putar ke bawah, kemudian saya akan genggam telapak dengan satu tangan, dan saya pegang lengan bawah bapak ya dan saya akan bengkokkan pergelangan tangan bapak ke depan ini dilakukan 3x berulang-ulang ya. Karena sudah selesai di tangan sekarang baru saya lakukan di bagian kaki. Angkat kaki bapak dan bengkokkan lututnya dan gerakan mendekati dada pelan-pelan kemudian turunkan datar di kasur seperti semula.Ini dilakukan berulang-ulang 3x ya pak

3. Terminasi
S : Bagiaman perasaan bapak setelah latihan tadi
O: Klien tampak lelah .
Tindak lanjutnya : Bapak latihan ini bisa dilatih oleh keluarga untuk mempercepat kesembuhan tangan dan kaki bapak


4. Kontrak yang akan datang
Baik latihan hari ini sudah cukup nanti bapak bisa latihan dengan dibantu oleh keluarga. Saya akan dating lagi ke ruangan ini untuk memberikan obat minum. Terima kasih, selamat sore .

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN MENGUKUR GLASGOW COMA SCALE

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
MENGUKUR GLASGOW COMA SCALE


Nama pasien : Nym. T
Diagnosa medis : stroke non hemoragik

1. Kondisi klien
a. Alasan MRS
Mengeluh badan terasa lemah, tiba-tiba tidak sadarkan diri setelah sadar, klien merasakan tubuh bagian kiri (tangan dan kaki) tidak bisa digerakkan
b. TTV
RR : 28 x/mnt S : 36,50 C
Nadi : 84 x/mnt TD : 150/90 mmHg
c. Data fokus
1) Data Subyektif : pasien mengeluh kaki sebelah kiri masih lemah dan tidak bisa digerakkan
2) Data Obyektif : klien tampak terbaring di tempak tidur, semua kebutuhan di Bantu oleh keluarga
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan, hemiparese
3. Tujuan khusus
Mengetahuit tingkat kesadaran pasien
4. Tindakan keperawatan
Mengukur GCS






SOP TINDAKAN MENGUKUR GCS
LOGO
Tindakan keperawatan mengukur GCS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
STANDAR PELAYANAN KEPERAWATAN Tanggal Berlaku Ditetapkan di :........
Direktur


Pengertian GCS merupakan suatu tindakan yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pederita dengan menilai respon penderita terhadap rangsngan yang diberikan
Tujuan Untuk mengetahui tingkat kesadaran penderita
Kebijakan 1. Kebijakan Direktur tentang pelaksanaan penilaian tingkat kesadaran
2. Dilaksanakan oleh perawat
3. Ada pedoman tentang skalatingkat kesadaran
Prosedur 1. Beri salam, panggil pasien dengan namanya, perkenalkan diri
2. Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan
3. berikan kesempatan pasien bertanya
4. Menjaga privasi pasien
5. Mengatur hal-hal yang bisa menghalangi tindakan
6. Pasien di siapkan tidur terlentang di tempat tidur
7. cuci tangan
8. Melakukan melakukan pemeriksaan dengan cara-cara sebagai berikut
a. Mata
- Penderita di suruh membuka matanza
- Bila penderita membuka mata secara spontan, scale 4
- Bila penderita menutup mata tetapi dapat diperintah dengan verbal (lisan) untuk membuka matanya, scale 3
- Dengan perintah verbal penderita tidak bisa membuka matanya, tetapi dengan rangangan sakit yaitu dengan memberikan tekanan pada supraorbita, pangkal kuku, sternum bisa membuka matanya, scale 2
- Dengan rangsangan sakit penderita tidak membuka mata, scale 1
b. Motoris
- Penderita disuruh menunjukkan telunjuk kanan atau kiri atau mengangkat tangan kanan atau kiri. Bila penderita dapat mmelaksanakan perintah sesuai dengan perintah yang diberikan, scale 6
- Penderita tidak menurut perintah dan pada pemberian rangsangan sakit di supraorbita penderita berusaha menghindarkan penyebab sakit dengan tangannya sampai melewati daga, scale 5
- Penderita yang dirangsang sakit pada pangkal kukunya hanya berusaha menarik jarinya tetapi tangan yang lain tidak berusaha menghindarkan penyebab sakitnya, scale 4
- Dengan rangsangan sakit di dada maupun di tempat lain penderita tidak melakukan fleksi pada kedua tangannya, scale 3
- Dengan rangsangan sakit klien melakukan ekstensi, scale 2
- Dengan rangsangan apapun penderita tidak bereaksi, scale 1
c. Verbal
Tanyakan pada penderita tentang waktu dan tempat
- Bila penderita dapat menjawab pertanyaan baik waktu maupun tempat, scale 5
- Penderita yang bingung sehingga menjawab pertanyaan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, scale 4
- Penderita menjawab pertanyaan tetapi tidak sesuai dengan pertanyaannya, scale 3
- Penderita berteriak-teriak, hanya mengerang bila di rangsang sakit, scale 2
- Penderita tidak menjawab ataupun bereaksi terhadap rangsangan verbal/sakit, scale 1
9. Mengatur posisi pasien dengan nyaman
10. Membenahi pakaian dan selimut
11. lakukan kontrak selanjutnya
12. Cuci tangan
13. Dokumentasikan tindakan



























Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


A. Orientasi

1. Salam terapeutik
Selamat sore bu . Perkenalkan, saya I wayan Darsana, tiang Mahasiswa Stikes Wira Medika PPNI Bali, tiang yang akan merawat ibu hari ini, hingga pukul 19.00, Nama Ibu siapa…?senang di panggil siapa?
2. Evaluasi / Validasi
Bagaimana perasaan ibu saat ini?
3. Kontrak :
Topik : Saya akan melakukan pemeriksaan tentang kondisi kesadaran ibu, apakah ibu setuju?
Waktu : Sekitar 30 menit.
Tempat : Ditempat ini.
B. Kerja (Langkah–langkah tindakan keperawatan)
- Sebelum saya memulainya apakah ada yang ingin ibu tanyakan ?
- Sebelum saya melakukan pemeriksaan, silakan ibu tidur terlentang !
- Ibu relaks saja ya jangan tegang?
- Baiklah bu pemeriksaan saya mulai, mohon ibu mengikuti perintah saya!
- Sekarang ibu buka mata!
- Selanjutnya coba ibu tunjukkan jari telunjuk kanan ibu!
- Sekarang ini ibu ada dimana/..dan sekarang apakah pagi atau sore?
C. Terminasi
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
Evaluasi subyektif : setelah saya melakukan pemeriksaan tadi bagaimana perasaaan ibu saat ini
Evaluasi obyektif : coba tunjukkan tangan kanan ibu!
3. Kontrak
Bu...,karena tindakannya sudah selesai sekarang saya mau permisi dulu,saya ada dikamar sebelah dan ibu boleh memanggil saya kalau ada yang dibutuhkan.