20 Juni 2011

Asuhan Keperawatan pada Ibu dengan Seksio Caesarea

Asuhan Keperawatan pada Ibu dengan Seksio Caesarea

Definisi

Suatu persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan saraf rahim dalam keadaan utuh serta berat di atas 500 gram.

Indikasi
1. Indikasi ibu
a. Panggul sempit absolute
b. Tumor-tumor jalan lahir menimbulkan obstruksi.
c. Stenosis vagina
d. Plasenta previa.
e. Disproporsi sefalopelvis.
f. Ruptur uterus.
g. Diabetes (kadang-kadang).
h. Riwayat obstetric yang buruk.
i. Riwayat seksio caesarea klasik.
j. Infeksi hipervirus tipe II (genetic).

2. Indikasi janin
a. Letak janin yang tidak stabil tidak bias dikoreksi.
b. Presentasi bokong (kadang-kadang).
c. Penyakit atau kelainan berat pada janin seperti eritoblastosis atau retardasi pertumbuhan yang nyata.
d. Gawat janin.

Komplikasi
1. Pada ibu
a. Infeksi puerperalis
Ringan: peningkatan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas.
Berat: peritonitis sepsis
b. Perdarahan
c. Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih, emboli paru-paru.
2. Pada bayi
a. Kematian perinatal pasca seksio caesarea sebanyak 4-7%.

Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Sirkulasi
a. Hipertensi
b. Terdapat perdarahan vagina
2. Integritas ego
a. Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda kegagalan dan atau refleksi negative pada kemampuan sebagai wanita.
3. Makanan cairan
a. Nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, dan edema ebagai tanda-tanda hipertensi karena kehamilan (HKK)
4. Nyeri/ketidaknyamanan
a. Distosia
b. Persalinan lama/disfungsional, kegagalan induksi
c. Terdapat nyeri tekan uterus.
5. Keamanan
a. Penyakit hubungan seksual aktif (misalnya herpes)
b. Prolaps tali pusat, distress janin
c. Ancaman kelahiran janin yang premature
d. Presentasi bokong dengan versi sefalik eksternal yang tidak berhasil
e. Ketuban pesah selama 24 jam atau lebih lama
f. Adanya komplikasi ibu seperti HKK, diabetes, penyakit ginjal atau jantung, serta infeksi asendens.
6. Seksualitas
a. Disproporsi sefalopelvik (CPD)
b. Kehamilan multiple atau gestasi (uterus sangat distensi)
c. Melahirkan secara bedah uterus atau serviks sebelumnya.
d. Tumor/neoplasma yang menghambat pelvis/jalan lahir.
7. Penyuluhan/pembelajaran
a. Kelahiran caesarea yang tidak direncanakan, dapat memengaruhi kesiapan dan pemahaman ibu terhadap prosedur.

Pemeriksaan diagnostic
1. Hitung darah lengkap, golongan darah (ABO) dan percobaan silang, serta tes Coombs.
2. Urinalisis: menentukan kadar albumin/glukosa.
3. Kultur: mengidentifikasi adanya virus herpes simpleks tipe II.
4. Pelvimetri: menentukan CPD
5. Amniosentesis: mengkaji maturitas paru janin.
6. Ultrasonografi: melokalisasi plasenta menentukan pertumbuhan, kedudukan, dan presentasi janin.
7. Tes stress kontraksi atau tes non-stres: mengkaji respons janin terhadap gerakan/stress kontraksi atau tes non-stres: mengkaji respon janin terhadap gerakan/stress dari pola kontraksi uterus/pola abnormal.
8. Pemantauan elektronik kontinu: memastikan status janin/aktivitas uterus.

Diagnosis keperawatan
1. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai prosedur pembedahan, harapan, regimen pasca-operasi yang berhubungan dengan kurang pemahaman tidak mengenal informasi, kesalahan interprestasi.
2. Ansietas yang berhubungan dengan kritisituasi, ancaman konsep diri, ancaman yang diraakan/actual dari kesejahteraan maternal dan janin transmini interpersonal.
3. Risiko tinggi terhadap harga diri rendah yang berhubungan dengan kegagalan yang dirasakan pada kejadian hidup.
4. Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan interaksi interpersonal, persepsi terhadap aturan yang berhubungan dengan penyakit keputusan gaya hidup.
5. Risiko tinggi terhadap penyebaran infeksi yang berhubungan dengan peningkatan/kontraksi otot lebih lama, reaksi psikologi.
6. Risiko tinggi terhadap penyebaran infeksi yang berhubungan dengan prosedyr infasif, pecah ketuban, kerusakan kulit, penurunan Hb.
7. Risiko tinggi terhadap lerusakan pertukaran gas pada janin yang berhubungan dengan perubahan aliran darah ke plasenta dan/atau melalui tali pusat.
8. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan prosedur invasive, insisi bedah.

Interveni keperawatan
1. Diagnosis 1: Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasi, ancaman konsep diri, ancaman yang dirasakan/actual dari kesejahteraan maternal, dan janin transmini interpersonal.
Tujuan: ansietas pada ibu dapat teratasi
Kriteria hasil:
a. Mengungkapkan rasa takut pada keselamatan ibu dan janin.
b. Mendiskusikan peraaan tentang kelahiran caesarea.
c. Klien tampak benar-benar rileks.
d. Menggunakan sumber/system pendukung dengan efektif.
Intervensi Rasional
a. Kaji respons psikologi pada kejadian dan ketersediaan sitem pendukung.
a. Makin ibu meraakan ancaman, makin besar tingkat ansietas.
b. Pastikan apakah prosedur direncanakan atau tidak direncanakan. b. Pada kelahiran caesarea yang tidak direncanakan, ibu dan pasangan biasanya tidak mempunyai waktu untuk petsiapan psikologi atau fisiologi

c. Tetap bersama ibu, dan tetap bicara perlahan, tunjukan empati. c. Membantu membatasi transmisi ansietas interpersonal dan mendemonstrasakan perhatian terhadap ibu/pasangan.

d. Beri penguatan aspek poitif dari ibu dan kondisi janin d. Menfokuskan pada kemungkinan keberhasilan akhir dan membantu membawa ancaman yang dirasakan/actual ke dalam perspektif.

e. Anjurkan ibu pasangan pengungkapkan atau mengekspresikan perasaan. e. Membantu mengidentifikasikan perasaan dan memberikan kesempatan untuk mengatasi perasaan ambivalen atau berduka. Ibu dapat merasakan ancaman emosional pada harga dirinya karena perasaannya bahwa ia telah gagal, wanita yang lemah.

f. Dukung atau arahkan kembali mekanisme koping yang diekspresikan. f. Mendukung mekanisme koping dasar dan otomatis meningkatkan kepercayaan diri serta penerimaan dan menurunkan ansietas.

g. Berikan masa privasi terhadap rangsangan lingkungan seperti jumlah orang yang ada sesuai keinginan ibu.
g. Memungkinkan kesempatan bagi ibu untuk memperoleh informasi, menyusun sumber-sumber, dan mengatasi cemas dengan efektif.

2. Diagnosis 2; Risiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan prosedur invasive pecah ketubah, kerusakan kulit, dan penurunan Hb.
Tujuan: infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
a. Klien bebas dari infeksi
b. Pencapaian tepat waktu dalam pemulihan luka tanpa komplikasi.

Intervensi Rasional
Mandiri
a. Tinjau ulang kondisi factor risiko yang ada sebelumnya.
a. Kondisi dasar ibu: seperti DM dan hemoragi menimbulkan potensial risiko infeksi atau penyembuhan luka yang buruk. Adanya proses infeksi dapat meningkatkan risiko kotaminasi janin.

b. Kaji terhadap tanda dan gejala infeksi (misalnya peningkatan suhu, nadi, jumlah sel darah putih, atau bau/warna secret vagina. b. Pecah ketuban terjadi 24 jam sebelum pembedahan dapat mengakibatkan korioamnionitis sebelum intervensi bedah dan dapat mengubah penyembuhan luka.

c. Berikan perawatan perinel sedikitnya setiap 4 jam bila kebutuhan telah pecah.
c. Membantu risiko infeksi asenden.

Kolaborasi
d. Lakukan persiapan kulit praoperatif, scrub sesuai protocol d. Menurunkan risiko kontaminan kulit memasuki insisi, menurunkan risiko infeksi pasca operasi.

e. Dapatkan kultur darah vagina dan plasenta sesuai indikasi. e. Mengidentifikasi organisme yang menginfeksi dan tingkat keterlibatan.

f. Catat Hb dan Ht cacat perkiraan kehilangan darah selama prosedur pembedahan.
f. Risiko infeksi paca melahirkan serta penyambuhan lebih lama bila kadar Hb rendah dan kehilangan darah berlebihan.

g. Berikan antibiotic spectrum luas parenteral pada pra-operasi.
g. Antibiotik profilaktik dapat dipesankan untuk mencegah terjadinya proses infeksi sebagai pengobatan pada infeksi yang teridentifikasi.


Implementasi kepawaratan
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.
Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan lain.
Tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas kesehatan lain.

Evaluasi keperawatan
Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak dicapai.




WOC (Web of Causation)

ROM ( RANGE OF MOTION)

ROM ( RANGE OF MOTION)


A. Pengertian
Adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.
B. Tujuan
1. Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot.
2. Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan
3. Mencegah kontraktur dan kekakuan pada sendi
C. Jenis ROM
1. ROM pasif
Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %
2. ROM aktif
Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Keuatan otot 75 %
D. Jenis gerakan
1. Fleksi Adalah gerakan melipat sendi dari keadaan lurus. Contohnya : flexi lengan bawah, flexi jari.
2. Ekstensi Adalah gerakan meluruskan sendi dari keadaan terlipat, keadaan lurus ini mengakibatkan ukuran lengan atas tungkai menjadi lebih panjang disbanding dari keadaan terlipat. Duplikasi (makna atau ganda) terjadi untuk gerakan sendi kaki antara doro flexi dan plantar flexi, mana yang flexi mana yang extensi atau keduanya flexi. Boleh digunakan istilah dorso flexi, plantar flexi atau flexi kaki, = dorso flexi atau extensi kaki = plantar flexi, karena dengan extensi dimaksud di sini ukuran seluruh tungkai menjadi lebih panjang.
3. Supinasi
Adalah gerakan putar kearah luar dari lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan kembali menghadap ke depan
4. Pronasi
Adalah gerakan putar kearah dalam dari lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke belakang
5. Abduksi
Adalah gerakan pada bidang frontal untuk “ membuka sudut “ terhadap garis tengah. Contohnya : gerakan merentangkan lengan, merentangkan tungkai dan merentangkan jari-jari tangan.
6. Aduksi
Adalah gerakan pada bidang frental untuk menutup sudut terhadap garis tengah. Gerakan ini merupakan gerakan yang sebaliknya dari gerakan abduksi.
7. Exoratasi
Adalah gerak putar pada sumbu panjang seluruh tungkai kearah luar.

E. Sendi yang digerakan
1. ROM Aktif
Seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif.
2. ROM Pasif
Seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.
- Leher (fleksi/ekstensi, fleksi lateral)
- Bahu tangan kanan dan kiri ( fkesi/ekstensi, abduksi/adduksi, Rotasi bahu)
- Siku tangan kanan dan kiri (fleksi/ekstensi, pronasi/supinasi)
- Pergelangan tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi)
- Jari-jari tangan (fleksi/ekstensi/hiperekstensi, abduksi/adduksi, oposisi)
- Pinggul dan lutut (fleksi/ekstensi, abduksi/adduksi, rotasi internal/eksternal)
- Pergelangan kaki (fleksi/ekstensi, Rotasi)
- Jari kaki (fleksi/ekstensi)
F. Indikasi
1. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran
2. Kelemahan otot
3. Fase rehabilitasi fisik
4. Klien dengan tirah baring lama

G. Kontra Indikasi
1. Trombus/emboli pada pembuluh darah
2. Kelainan sendi atau tulang
3. Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung)
H. Attention
1. Monitor keadaan umum klien dan tanda-tanda vital sebelum dan setelah latihan
2. Tanggap terhadap respon ketidak nyamanan klien
3. Ulangi gerakan sebanyak 3 kali
F. Prosedur latihan
1. Latihan Pasif Anggota Gerak Atas
a. Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu :
- Tangan satu penolong memegang siku, tangan lainnya memengang lengan.
- Luruskan siku naikan dan turunkan legan dengan siku tetap lurus


b. Gerakan menekuk dan meluruskan siku :
- Pegang lengan atas dengan tangan satu, tangan lainnya menekuk dan meluruskan siku

c. Gerakan memutar pergelangan tangan :
- Pegang lengan bawah dengan tangan satu, tangan yang lainnya menggenggam telapak tangan pasien
- Putar pergelangan tangan pasien ke arah luar (terlentang) dan ke arah dalam (telungkup)



d. Gerakan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan:
- Pegang lengan bawah dengan tangan satu, tangan lainnya memegang pergelangan tangan pasien
- Tekuk pergelangan tangan ke atas dan ke bawah

e. Gerakan memutar ibu jari:
- Pengang telapak tangan dan keempat jari dengan tangan satu, tangan lainnya memutar ibu jari tangan





f. Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari tangan
- Pegang pergelangan tangan dengan tangan satu, tangan yang lainnya menekuk dan meluruskan jari-jari tangan

2. Latihan pasif anggota gerak bawah
a. Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha
- Pegang lutut dengan tangan satu, tangan lainnya memegang tungkai
- Naikkan dan turunkan kaki dengan lutut yang lurus



b. gerakan menekuk dan meluruskan lutut
- Pegang bawah lutut dengan tangan satu, tangan lainnya memegang tungkai
- Tekuk dan dan luruskan lutut

c. Gerakan untuk pangkal paha

d. Gerakan memutar pergelangan kaki

3. Latihan aktif anggota gerak atas dan bawah
a. Latihan I
- Angkat tangan yang lumpuh menggunakan tangan yang sehat ketas
- Letakan kedua tangan diatas kepala
- Kembalikan tangan ke posisi semula

b. Latihan II
- Angkat tangan yang lumpuh melewati dada ke arah tangan yang sehat
- Kembalikan ke posisi semula

c. Latihan III
- Angkat tangan yang lemah menggunakan tangan yang sehat ke atas
- Kembalikan ke posisi semula

d. Latihan IV
- Tekuk siku yang lumpuh mengunakan tangan yang sehat
- Luruskan siku kemudian angkat ketas
- Letakan kembali tangan yang lumpuh ditempat tidur.

e. Latihan V
- Pegang pergelangan tangan yang lumpuh mengunakan tangan yang sehat angkat keatas dada
- Putar pengelangan tangan ke arah dalam dan ke arah luar

f. Latihan VI
- Tekuk jari-jari yang lumpuh dengan tangan yang sehat kemudian luruskan
- Putar ibu jari yang lemah mengunakan tangan yang sehat

g. Latihan VII
- Letakan kaki yang seht dibawah yang lumpuh
- Turunkan kaki yang sehat sehingga punggung kaki yang sehat dibawah pergelangan kaki yang lumpuh
- Angkat kedua kaki ketas dengan bantuan kaki yang sehat, kemudian turunkan pelan-pelan.










h. Latihan VIII
- Angkat kaki yang lumpuh mengunakan kaki yang sehat ke atas sekitar 3 cm
- Ayunkan kedua kaki sejauh mungkin kearah satu sisi kemudian ke sisi yang satunya lagi
- Kembali ke posisi semula dan ulang sekali lagi











i. Latihan IX
- Anjurkan pasien untuk menekuk lututnya, bantu pengang pada lutut yang lumpuh dengan tangan Satu
- Dengan tangan lainnya penolong memegang pingang pasien
- Anjurkan pasien untuk memegang bokongnya
- Kembali keposisi semula dan ulangi sekali lagi










REFRENSI
1. A.Tohamuslim.S. Perawatan Rehabilitasi Medik Pendierita Stroke, RSHS Bandung
2. Kozier, B, Erb & Olivieri, R, 1991. Fudamental of Nursing : Conceps, proses and Practice: Claifornia : Addison wesley

3. Wawan H. Materi Kuliah Tentang Perawatan Sistem Muskuloskletal tidak dipublikasi PSIK UNPAD

4. http://binhasyim.wordspress.com/2009/10/15/penatalaksanaan-fisioterapi-pada-stroke-kondisi-akut-by-srujitoamf/

PENGARUH PERAWATAN PAYUDARA TERHADAP PENINGKATAN PENGELUARAN ASI PADA IBU POST PARTUM PRIMIPARA DENGAN PARTUS SPONTAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Air susu ibu (ASI) adalah cairan kehidupan terbaik yang sangat dibutuhkan oleh bayi. ASI mengandung berbagai zat yang penting untuk tumbuh kembang bayi dan sesuai dengan kebutuhannya. ASI merupakan makanan yang terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkan. Selain komposisinya sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi yang berubah sesuai kebutuhan, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindarkan bayi dari berbagai penyakit. Banyaknya manfaat dan pentingnya ASI, maka seorang ibu dan tenaga kesehatan harus memperhatikan kecukupan ASI pada bayi. Oleh karena itu, disini peran seorang ibu harus dipersiapkan sebaik mungkin pada proses laktasi baik pada masa prenatal maupun pada masa post natal. Salah satunya adalah melakukan perawatan payudara pada ibu nifas untuk memperlancar laktasi (Ambarwati dan wulandari, 2008).
Laktasi atau menyusui terjadi dibawah pengaruh berbagai kelenjar endokrin, terutama hormon-hormon hipofisis yaitu prolaktin dan oksitosin. Hubungan yang utuh antara hipotalamus dan hipofisis akan mengatur kadar prolaktin dan oksitosin dalam darah. Produksi ASI dapat meningkat atau menurun tergantung pada stimulasi pada kelenjar payudara terutama pada minggu pertama laktasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ASI antara lain faktor makanan ibu, faktor isapan bayi, frekuensi menyusui, riwayat penyakit, faktor psikologis, berat badan lahir, jenis persalinan, umur kehamilan saat melahirkan, konsumsi rokok, konsumsi alkohol, cara menyusui yang tidak tepat, rawat gabung dan perawatan payudara (Soetjiningsih, 2007).
Perawatan payudara masa menyusui adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan teratur untuk memelihara kesehatan payudara saat menyusui. Perawatan payudara yang baik dan benar memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan produksi ASI. Selain memaksimalkan produksi ASI eksklusif, perawatan payudara yang baik dan benar dapat menghindarkan ibu dari bahaya pembengkakan payudara dan saluran ASI tersumbat (Hanafiah, 2004).
Perawatan Payudara pasca persalinan merupakan kelanjutan perawatan payudara semasa hamil, yang mempunyai tujuan sebagai berikut : untuk menjaga kebersihan payudara sehingga terhindar dari infeksi, untuk mengenyalkan puting susu, supaya tidak mudah lecet, untuk menonjolkan puting susu. menjaga bentuk buah dada tetap bagus, untuk mencegah terjadinya penyumbatan, untuk memperbanyak produksi ASI dan mengetahui adanya kelainan. Pelaksanaan perawatan payudara hendaknya dimulai sedini mungkin yaitu 1- 2 hari setelah bayi dilahirkan dan dilakukan dua kali sehari. Perawatan payudara yang dilakukan meliputi pengurutan payudara, pengosongan payudara, pengompresan payudara dan perawatan puting susu. Dengan perawatan payudara pada ibu nifas yang baik maka laktasi akan lancar, sehingga akan memberikan kecukupan ASI pada bayi yang baru dilahirkan. Faktor-faktor yang menyebabkan ibu tidak melakukan perawatan payudara adalah kurangnya informasi yang didapat dari tenaga kesehatan, adanya rasa takut dan malas serta ketidak ketersediaan waktu untuk melakukan perawatan payudara selama masa menyusui (Huliana, 2003).
Hasil penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh perawatan payudara terhadap produksi ASI, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Hidayati di RSUP Haji Adam Malik Medan tahuan 2008. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa hampir seluruh terjadi peningkatan produksi asi setelah dilakukan perawatan payudara ibu post partum yaitu 12 orang (80%) dari 15 sampel yang dipergunakan. Dari hasil perhitungan statistik didapatkan hasil ada pengaruh yang signifikan antara inisiasi menyusu dini dengan kecepatan involusi uteri dengan P <0,5 (p =0,002).
Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2005-2006 hanya ada empat persen bayi yang mendapat ASI dalam satu jam kelahirannya. Salah satu alasan tidak diberikannya ASI pada bayi adalah para ibu menyusui merasa bahwa ASI yang dikeluarkanya kurang untuk kebutuhan bayi. Hal tersebut juga diikuti dengan ibu post partum yang melakukan perawatan payudara secara khusus yang bertujuan untuk memaksimalkan agar ASI yang keluar dapat maskimal belum sepenuhnya dilakukan, sehingga kuantitas ASI yang dikeluarkanpun tidak dapat maksimal (Daulat, 2006).
Dari study pendahuluan yang dilakukan penulis pada bulan Oktober 2010 di RSU Bakti Rahayu terhadap 15 ibu post partum spontan pervaginam setelah 12 jam melalui wawancara didapatkan hasil sebanyak 12 orang (80%) tidak melakukan perawatan payudara. Data yang didapatkan di RSU Bakti Rahayu pada bulan Oktober sampai Desember 2010 ditemukan 15 orang ibu post partum mengalami masalah-masalah dalam menyusui antara lain : puting susu datar atau terbenam sebanyak 2 orang (13,3%), puting susu lecet sebanyak 8 orang (53,3%), payudara bengkak sebanyak 1 orang (6,7%), saluran susu tersumbat sebanyak 2 orang (13,3%) dan mastitis sebanyak 2 orang (13,3%).
Sebagai seorang tenaga kesehatan untuk mencegah terjadinya masalah dalam menyusui, maka harus benar-benar memperhatikan betapa pentingnya perawatan payudara untuk mempelancar produksi ASI. Perawatan payudara bisa dilakukan secara teratur 2 kali sehari selama + 15 menit yaitu pagi dan sore sebelum mandi, menjaga kebersihan payudara, menggunakan BH yang menyokong payudara, perawatan payudara dihentikan apabila ibu merasa nyeri Andriani, (2006).
Menurut Ambarwati dan wulandari, (2008) banyak hal yang dapat mempengaruhi produksi ASI. Produksi dan pengeluaran ASI dipengaruhi oleh dua hormon, yaitu prolaktin dan oksitosin. Prolaktin mempengaruhi jumlah produksi ASI, sedangkan oksitosin mempengaruhi proses pengeluaran ASI. Perawatan payudara bermanfaat merangsang payudara sehingga mempengaruhi hipofise untuk mengeluarkan hormon prolaktin dan oksitosin dimana kedua hormon ini sangat berpengaruh terhadap pengeluaran dan produksi ASI (Soetjiningsih, 2007).
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang Pengaruh perawatan payudara terhadap peningkatan pengeluaran ASI Pada Ibu Post Partum Primipara dengan partus spontan di RSU Bakti Rahayu Denpasar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang peneliti uraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah perawatan payudara berpengaruh terhadap peningkatan pengeluaran ASI pada ibu post partum primipara dengan partus spontan di RSU Bakti Rahayu Denpasar?.

C. Tujuan Penelitian
1. Umum
Mengetahui pengaruh perawatan payudara terhadap peningkatan pengeluaran ASI pada ibu post partum primipara dengan partus spontan di RSU Bakti Rahayu Denpasar.
2. Khusus
a Mengidentifikasi pengeluaran ASI pada ibu post partum primipara dengan partus spontan sebelum dilakukan perawatan payudara
b Mengidentifikasi pengeluaran ASI pada ibu post partum primipara dengan partus spontan setelah dilakukan perawatan payudara
c Menganalisis pengaruh perawatan payudara terhadap peningkatan pengeluaran ASI pada ibu post partum primipara dengan partus spontan sebelum dan setelah dilakukan perawatan payudara.

D. Manfaat penelitian
1. Secara Teoritis
a. Bagi Praktik Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan informasi dan masukan bagi perawat terutama perawat maternitas untuk menerapkan perawatan payudara post partum dalam asuhan keperawatan maternitas.
b. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan informasi bagi tenaga pendidik keperawatan khususnya dalam bidang keperawatan maternitas untuk menambah pengetahuan peserta didik tentang pengaruh perawatan payudara terhadap peningkatan pengeluaran ASI pada ibu post partum primipara dengan partus spontan.
c. Bagi penelitian keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan informasi dan sebagai bahan acuan bagi penelitian berikutnya dengan ruang lingkup yang sama.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit, Bidan Praktek Swasta, klinik bersalin dan khususnya RSU Bakti Rahayu Denpasar dalam menerapkan perawatan payudara post partum untuk peningkatan pengeluaran ASI pada ibu post partum primipara dengan partus spontan.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pengaruh perawatan payudara terhadap peningkatan pengeluaran ASI pada ibu post partum primipara dengan partus spontan belum pernah dilakukan sebelumnya di RSU Bakti Rahayu, sehingga keaslian dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan dan sejenis dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Hidayati di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2008 yang meneliti tentang pengaruh perawatan payudara terhadap produksi ASI ibu post partum. Berdasarkan hasil uji didapatkan hasil P = 0,003 karena nilai P dengan taraf kesalahan 0.05 lebih kecil maka disimpulkan H0 ditolak, berarti pengaruh perawatan payudara terhadap produksi ASI ibu post partum, Yang membedakan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sampel penelitian dimana penelitian yang dilakukan oleh Hidayati menggunakan ibu primipara dan multipara sedangkan peneliti menggunakan sampel ibu primipara saja.
Penelitian yang dilakukan oleh Arifin di BLU Rumah Sakit Daerah Cepu, Surakarta tahun 2006 yang meneliti tentang pengaruh perawatan rooming-in terhadap produksi ASI pada ibu postpartum. Berdasarkan hasil uji didapatkan hasil P = 0,001 karena nilai P dengan taraf kesalahan 0.05 lebih kecil maka disimpulkan H0 ditolak berarti ada pengaruh perawatan rooming-in terhadap produksi ASI pada ibu postpartum, yang membedakan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sampel penelitian dimana penelitian yang dilakukan oleh Arifin menggunakan ibu primipara dan multipara sedangkan peneliti menggunakan sampel ibu primipara saja, variabel bebas yang digunakan juga berbeda dimana pada penelitian yang peneliti lakukan variabel bebasnya perawatan payudara sedangkan sebelumnya adalah perawatan rooming-in.

HUBUNGAN OBESITAS SENTRAL DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PENDUDUK DEWASA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dahulu perut buncit karena obesitas merupakan lambang kemakmuran, namun kini dianggap sebagai penyakit modern yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan di kemudian hari. Resiko terjadinya gangguan kesehatan semakin meningkat bila obesitas terkonsentrasi diseputar perut atau yang dikenal sebagai obesitas sentral. Perut buncit atau obesitas sentral merupakan pertanda adanya bahaya yang mengancam kesehatan kita. Meskipun tidak ada keluhan, dalam tubuh orang yang berperut buncit sudah terjadi gangguan metabolisme yaitu sindrom metabolik yang meningkatkan resiko diabetes melitus serta penyakit jantung dan pembuluh darah (Kurniawan, 2008).
Obesitas merupakan kelainan metabolisme yang paling sering diderita manusia. Obesitas merupakan masalah global yang tidak hanya terjadi di negara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Obesitas khususnya obesitas sentral berhubungan dengan beberapa penyakit kronik seperti, diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular. Saat ini penderita obesitas di dunia terus meningkat, World Health Organization (WHO) memperkirakan di dunia ada sekitar 1.6 milyar orang dewasa berumur 15 tahun kelebihan berat dan setidak-tidaknya sebanyak 400 juta orang dewasa gemuk (obesitas) pada tahun 2008, dan diperkirakan >700 juta orang dewasa akan gemuk (obesitas) pada tahun 2015). Penelitian di Swiss tahun 2008 didapatkan hasil bahwa angka kejadian obesitas sentral pada wanita lebih banyak dibandingkan pada pria yaitu 30,6% dan 23,9%. Obesitas sentral meningkat dengan usia dan menurun dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada kedua jenis kelamin. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2008 menunjukkan bahwa 8.8% orang dewasa berumur 15 tahun kelebihan berat dan 10.3% gemuk, sedangkan angka kejadian obesitas sentral pada wanita lebih banyak dibandingkan pada pria yaitu 35,1% dan 21,5% (Balitbangkes Depkes 2008).
Peningkatan jumlah penderita sindroma metabolik sejalan dengan peningkatan obesitas. Obesitas didefenisikan sebagai penimbunan lemak berlebihan dalam jaringan tubuh. Penimbunan ini dapat terjadi diseluruh tubuh atau di tempat-tempat tertentu misalnya di daerah perut yang lebih sering disebut sebagai obesitas sentral atau obesitas abdominal. Salah satu cara untuk mengukur distrubusi lemak dalam tubuh adalah dengan metode antropometri, yaitu dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan obesitas seluruh tubuh, dan lingkar pinggang serta rasio lingkar pinggang-panggul untuk menentukan obesitas sentral. Pada orang obesitas diketahui terjadi berbagai gangguan metabolisme diantaranya diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, penyakit jantung, dan batu empedu. Besarnya risiko menderita penyakit-penyakit ini sebanding dengan besar penumpukan lemak yang terjadi dan lingkar perut yang besar merupakan peringatan adanya peningkatan risiko diabetes mellitus (Aris Wibudi, 2001).
Kumpulan lemak pada perut orang yang mengalami obesitas sentral menyebabkan resistensi insulin yakni kondisi ketika kemampuan hormon insulin untuk menurunkan kadar glukosa darah dengan menekan produksi glukosa hepatik dan menstimulasi pemanfaatan glukosa di dalam otot skelet dan jaringan adiposa menurun, semua ini membuat pankreas terus-menerus memproduksi insulin sehingga kemudian mengakibatkan cedera insulin, tubuh tidak mampu mengeluarkan insulin sesuai kebutuhan. Kondisi yang demikian membuat produksi gula pada hati tidak terkendali sehingga kadar gula dalam darah naik. Bila tak dikendalikan hal itu bisa berkembang menjadi diabetes mellitus (Wibudi, 2001).
Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas, yang bertanggung jawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang normal. Insulin memasukkan gula ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi. Kurangnya insulin mengurangi efisiensi penggunaan glukosa, sehingga glukosa plasma meningkat menjadi 300 sampai1200 mg/100 ml. Peningkatan kadar glukosa plasma selanjutnya menimbulkan berbagai pengaruh di seluruh tubuh (Guyton, 2008). Peningkatan kadar gula darah setelah makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar gula darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah menurun secara perlahan. Menurut Direktur Gizi Masyarakat Dirjen BKM Depkes RI (2007), jika kadar gula darah terus menerus tinggi yang tidak terkontrol, lama kelamaan akan timbul penyulit (komplikasi) yang pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah misalnya pembuluh darah otak (stroke), pembuluh darah mata (dapat terjadi kebutaan), pembuluh darah ginjal (gagal ginjal kronis) dan lain-lain. Jika sudah terjadi penyulit (komplikasi) maka, usaha untuk menyembuhkan keadaan diatas kearah normal sangat sulit. Oleh karena itu, usaha pencegahan dini untuk penyulit tersebut diperlukan dan diharapkan sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan.
Studi pendahuluan juga peneliti lakukan di Puskesmas Gianyar II pada tanggal 15 Nopember 2010, dari 10 orang yang terlihat gemuk di lingkar pinggangnya menunjukkan sebanyak 8 orang (80%) mengalami obesitas sentral dari 8 orang yang mengalami obesitas sentral sebayak 6 orang (75%) mengalami peningkatan kadar gula darah dan 4 orang (50%) adalah wanita.
Data tentang penduduk yang mengalami obesitas pada catatan kependudukan di Banjar Medahan dari 583 orang penduduk dewasa (35-50 tahun) tercatat 105 (18,01%) orang mengalami obesitas (Regester Kependudukan Banjar Medahan, 2010). Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Banjar Medahan pada tanggal 15 Nopember 2010, dari 10 orang yang mengalami obesitas setelah di ukur lingkar pingangnya menunjukkan sebanyak 6 orang (60%) mengalami obesitas sentral, dari 6 orang yang mengalami obesitas sentral sebanyak 4 orang (66,7%) mengalami peningkatan kadar gula darah dan 4 orang (66,7%) adalah wanita. Jumlah penduduk dewasa di Banjar Medahan umur 35-50 tahun baik laki-laki maupun wanita pada bulan Januari 2011 sebanyak 583 orang. Data mengenai penduduk yang mengalami obesitas sentral di Puskesmas Gianyar II tahun selama ini belum pernah dilakukan pendataan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan obesitas sentral dengan kadar gula darah di Banjar Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan obesitas sentral dengan kadar gula darah di Banjar Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar?.




C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan obesitas sentral dengan kadar gula darah di Banjar Medahan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi kejadian obesitas di Banjar Medahan, Gianyar
b. Mengidentifikasi kadar gula darah di Banjar Medahan
c. Menganalisis hubungan obesitas sentral dengan kadar gula darah di Banjar Medahan Gianyar.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan pengetahuan khususnya tentang hubungan obesitas sentral dengan kadar gula darah.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan hubungan obesitas sentral dengan kadar gula darah.
2. Manfaat secara praktis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan kepada keluarga dalam memahami pentingnya hubungan obesitas sentral dengan kadar gula darah.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data/ informasi bagi masyarakat yang mengalami obesitas.
c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data/informasi bagi tenaga kesehatan/perawat guna memberikan penyuluhan tentang hubungan obesitas sentral dengan kadar gula darah

E. Keaslian Penelitian.
Berdasarkan pengetahuan peneliti, penelitian yang berjudul hubungan obesitas sentral dengan kadar gula darah di Banjar Medahan belum pernah dilakukan, namun terdapat beberapa penelitian mengenai obesitas sentral sebagai berikut:
1. Hubungan antara obesitas sentral dengan adiponektin pada pasien geritari dengan penyakit jantung koroner di RSUP Sanglah Denpasar, oleh Wira Gotera (2008). Penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian Deskriptip Korelasional pada pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner di ruang rawat jalan dan inap Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Hasil penelitian menunjukan terdapat perbedaan nilai rata-rata yang bermakna pada IMT, tekanan darah sistolik, kolesterol total, kolesterol HDL dan log adiponektin. Adapun perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sampel penelitian dimana penelitian yang dilakukan oleh Wira Gotera menggunakan sampel lansia sedang pada penelitian ini menggunakan sampel penduduk dewasa umur 30-50 tahun. Perbedaan yang lain adalah pada variabel penelitian, dimana penelitian ini variabel terikatnya adalah kadar gula darah sedangkan penelitian sebelumnya kadar adiponektin. Adapun persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah pada variabel bebas yaitu obesitas sentral serta jenis penelitian yaitu sama-sama menggunakan jenis penelitian Deskriptip Korelasional.
2. Hubungan nilai antropometri yakni Indeks Massa Tubuh (IMT), Lingkaran Pinggang (LP) dan Rasio Lingkar Pinggang dan Panggul (RLPP) dengan kadar glukosa darah pada orang dewasa Desa Kampung Paneh, Kecamatan Enam Lingkung, Pakandangan Kabupaten Padang Pariaman. oleh Nur Indrawaty, penelitian ini memakai desain cross sectional study. Hasil penelitian menunjukkan Uji korelasi memperlihatkan hubungan yang signifikan antara indeks massa Tubuh dengan kadar glukosa darah (0.02 < 0,05). Adapun perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah pada variabel penelitian dimana pada penelitian ini variabel bebasnya adalah obesitas sentral sedangkan penelitian sebelumnya adalah IMT. Adapun persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah pada variabel terikatnya yaitu kadar gula darah serta desain penelitian yaitu sama-sama menggunakan desain desain cross sectional study.

EFEKTIVITAS INISIASI MENYUSU DINI TERHADAP INVOLUSI UTERUS PADA IBU POST PARTUM MULTIPARA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa nifas secara harfiah didefinisikan sebagai masa segera setelah kelahiran, masa ini juga meliputi minggu-minggu berikutnya pada waktu saluran reproduksi kembali ke keadaan tidak hamil yang normal, umumnya berlangsung 6 minggu atau tidak lama sesudahnya. Selama masa nifas, alat-alat reproduksi berangsur-angsur kembali seperti keadaan sebelum hamil. Salah satu perubahan pada alat reproduksi yaitu terjadi involusi (Saleha, 2009).
Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil. Involusi uteri dapat juga dikatakan sebagai proses kembalinya uterus pada keadaan semula atau keadaan sebelum hamil (Varney, 2003). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi involusi uterus antara lain senam nifas, mobilitas dini ibu post partum, inisiasi menyusu dini, gizi, psikologis dan faktor usia serta faktor paritas (Sarwono, 2002).
Inisiasi menyusu dini (IMD) adalah proses bayi menyusu segera setelah dilahirkan selama 1 jam. Protokol evidenbased yang baru telah diperbaharui oleh WHO (world health organization) dan UNICEF tentang asuhan bayi baru lahir satu jam pertama, salah satu dari pernyataannya, yaitu bayi harus mendapatkan kontak kulit dengan kulit dengan ibunya segera setelah lahir selama paling sedikit satu jam (Ambarwati dan wulandari, 2008). Pendekatan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) yang sekarang dianjurkan adalah dengan metode breast crawl di mana segera setelah bayi lahir ia diletakkan di perut ibu dan dibiarkan merangkak untuk mencari sendiri puting ibunya dan akhirnya mengisapnya tanpa bantuan. Karena proses ini menekankan kata “menyusu” bukan “menyusui” sebab bayilah yang menjadi pusat perhatian untuk aktif melakukannya sendiri (Februhartanty, 2009).
Inisiasi menyusu dini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi involusi uterus karena saat menyusui terjadi rangsangan dan dikeluarkannya hormon antara lain oksitosin yang berfungsi selain merangsang kontraksi otot-otot polos payudara, juga menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterus. Hal ini akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta serta mengurangi perdarahan (Roesli, 2008). Menurut Praborini (2008) ibu yang melakukan inisiasi menyusu dini akan mempercepat involusi uterus karena pengaruh hormon oksitosin yang dapat meningkatkan kontraksi uterus. Peningkatan pemberian ASI perlu dilakukan dalam upaya peningkatan kesehatan bagi bayi dan ibu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rita (2008) tentang pengaruh waktu menyusu dini terhadap involusi uterus di Klinik Alisa Ponorogo Jawa Timur didapatkan hasil 95% dengan menyusui secara dini involusi ibu postpartum baik, dan 41,7% involusi uterus kurang baik karena tidak menyusu dini.
Hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan IMD terhadap involusi uteri salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Sendra (2009) di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa hampir seluruh involusi uteri berjalan kurang dari 10 hari yaitu 12 orang (80%) ibu post partum. Dari hasil perhitungan statistic didapatkan hasil ada pengaruh yang signifikan antara inisiasi menyusu dini dengan kecepatan involusi uteri.
Inisiasi menyusu dini tidak hanya berhubungan dengan involusi uteri, tetapi juga sangat membantu dalam keberlangsungan pemberian ASI eksklusif, lama menyusui dan mengurangi angka kematian bayi. Suatu penelitian di Ghana yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics menunjukkan, 16% kematian bayi dapat dicegah melalui pemberian ASI pada bayi sejak hari pertama kelahirannya. Angka ini naik menjadi 22% jika pemberian ASI dimulai dalam satu jam pertama setelah kelahiran bayi (Roesli, 2008).
Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2002-2003 hanya ada 4% bayi yang mendapat ASI dalam satu jam kelahirannya. Sampai pemerintahpun menghimbau semua petugas kesehatan yang terlibat dalam persalinan, termasuk dokter, perawat, dan bidan, agar membantu ibu-ibu melaksanakan inisiasi menyusu dini segera setelah melahirkan (Depkes RI, 2008). Berdasarkan hasil survei yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar, jumlah persalinan yang dilakukan inisiasi menyusu dini tahun 2009 sebanyak 975 (65,8%) dari 1481 persalinan. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sanjiwani Gianyar menerapkan Asuhan Persalinan Normal (APN) yang menjadi acuan pertolongan persalinan dan menerapkan tehnik Insiasi Menyusu Dini (IMD).
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di ruang VK RSUD Sanjiwani Gianyar tentang pelaksanaan IMD didapatkan data dari 32 ibu post partum yang melahirkan normal pada bulan Oktober 2010 sebanyak 21 ibu post partum yang dilakukan IMD sedangkan 11 ibu post partum tidak dilakukan IMD. Berdasarkan wawancara dengan Kepala ruang VK diketahui beberapa faktor yang menyebabkan pelaksanaan IMD tidak maksimal dilakukan salah satunya karena keterbatasan tenaga yang dimiliki. Sedangkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di ruang Poli Klinik RSUD Sanjiwani Gianyar pada bulan Oktober 2010 dari 10 ibu post partum hari ke tujuh didapatkan hasil sabagai berikut : 7 ibu post partum yang dilakukan IMD didapatkan hasil rata-rata Tinggi Fundus Uteri (TFU) adalah 3 jari di atas simpisis pubis, sedangkan 3 ibu post partum yang tidak dilakukan IMD didapatkan hasil rata-rata TFU adalah 4 jari di atas simpisis pubis. Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang ”Efektivitas Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Involusi Uterus Pada Ibu Post Partum Multipara di RSUD Sanjiwani Gianyar”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang peneliti uraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah inisiasi menyusu dini efektif terhadap involusi uterus pada ibu post partum multipara di RSUD Sanjiwani Gianyar?.

C. Tujuan Penelitian
1. Umum
Untuk mengetahui efektivitas inisiasi menyusu dini terhadap involusi uterus pada ibu post partum multipara di RSUD Sanjiwani Gianyar.
2. Khusus
a. Mengidentifikasi involusi uterus pada ibu post partum multipara yang dilakukan inisiasi menyusu dini di RSUD Sanjiwani Gianyar
b. Mengidentifikasi involusi uterus pada ibu post partum multipara yang tidak dilakukan inisiasi menyusu dini di RSUD Sanjiwani Gianyar
c. Menganalisis efektivitas inisiasi menyusu dini terhadap involusi uterus pada ibu post partum multipara di RSUD Sanjiwani Gianyar.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah kasanah ilmu keperawatan maternitas dan menambah kepustakaan atau literatur tentang pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap involusi uterus pada ibu post partum multipara.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan teori selanjutnya serta dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya tentang inisiasi menyusu dini.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit, Bidan Praktek Swasta, Klinik Bersalin dan khususnya RSUD Sanjiwani Gianyar dalam penerapan inisiasi menyusu dini untuk mempercepat involusi uterus.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang efektivitas inisiasi menyusu dini terhadap involusi uterus pada ibu post partum multipara belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUD Sanjiwani Gianyar, sehingga keaslian dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan dan sejenis dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Sendra (2009) yang meneliti tentang hubungan antara IMD dengan involusi uterus di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri. Hal yang membedakan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sampel penelitian dimana penelitian yang dilakukan oleh Sendra menggunakan ibu post partum primipara dan multipara, pengukuran TFU mengunakan ukuran jari, dan yang dipakai patokan adalah hari ke 10. Sedangkan peneliti menggunakan sampel ibu post partum multipara saja, pengukuran TFU menggunakan pita ukur dengan skala cm (centimeter) dan dihitung pada hari ke 7.

PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK : STIMULASI PERSEPSI TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI YANG DIALAMI PASIEN SKIZOPRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA PRO

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Multi krisis yang menimpa masyarakat dewasa ini merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyatakan paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. Diperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Di Indonesia diperkirakan sebanyak 246 dari 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Angka ini menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari cemas, depresi, stress, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. (Yosep, 2007).
Gangguan jiwa merupakan proses psikologis dari seseorang yang tidak berfungsi dengan baik sehingga mengganggu dalam keadaan sehari-hari, oleh karena menyulitkan diri-sendiri dan orang lain di sekitarnya. Gangguan jiwa yang menonjol adalah gejala yang patologik dari unsur psikologik, berarti bahwa unsur yang lain tidak terganggu yang sakit dan menderita adalah manusia seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwa/lingkungannya. (Maramis, 2005). Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Secara umum gangguan jiwa (neurosa) ataupun sakit jiwa (psikosa) ialah gejala – gejala patologik dominan berasal dari unsur psikis dan akan melibatkan semua unsur. Jenis dan karakteristik gangguan jiwa sangat beragam, salah satunya gangguan jiwa yang sering kita temukan dan dirawat yaitu skizoprenia (Maramis, 2005). Sekitar 45 % penderita yang masuk rumah sakit jiwa merupakan klien skizoprenia dan sebagian besar klien skizoprenia yang memerlukan perawatan (rawat inap dan rawat jalan) yang lama.
Melalui survey kesehatan jiwa yang dilakukan oleh Soejono (2007) pada penduduk 11 kota terpilih di Indonesia, dilaporkan prevalensi gangguan kesehatan jiwa sebesar 185 orang pada 1000 penduduk. Ini berarti bahwa disetiap rumah tangga yang terdiri dari 5-6 anggota keluarga terdapat satu orang yang menderita gangguan jiwa. Dari hasil survey di seluruh rumah sakit di Indonesia yang dilakukan oleh Chaery Indra (2009), ada 0,5-1,5 perseribu penduduk mengalami gangguan jiwa, sedangkan di kota-kota besar jumlahnya berkisar antara 0,5-1 perseribu penduduk. Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali di Bangli jumlah rata-rata pasien yang dirawat tiap bulan dalam tiga bulan terakhir yaitu bulan Juli sampai dengan September tahun 2010 sebanyak 285 orang. Dari 285 pasien tersebut 62 orang (21,7%) adalah pasien dengan halusinasi. Data bulan Oktober tahun 2010 menunjukkan jumlah pasien halusinasi mengalami peningkatan yaitu 68 orang (24,1%) dari 282 orang pasien yang mengalami rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali (Rekam medik, 2010). Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada Bulan Oktober 2010 terhadap 10 pasien yang mengalami halusinasi yang dilakukan dengan wawancara tentang frekuensi halusinasi yang dialami pasien, menunjukkan enam orang mengalami halusinasi dengan frekuensi < lima kali dan empat orang mengalami halusinasi dengan frekuensi > lima kali.
Klien dengan kasus Skizoprenia mempunyai banyak masalah salah satunya adalah halusinasi. Pasien yang mengalami halusinasi disebabkan karena ketidakmampuan klien dalam mengadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara mengontrol halusinasi. Adanya ancaman terhadap kebutuhan akan menyebabkan seseorang akan berusaha menanggulangi ancaman tersebut dengan mengadakan adaptasi, pada klien dengan gangguan jiwa kemampuan untuk menghadapi stressor sangat kurang disertai ketidakmampuan untuk mengadakan adaptasi akan mengakibatkan terjadinya kekambuhan (Maramis, 2005). Dari survey pendahuluan yang peneliti lakukan sebagian besar pasien halusinasi mengalami gangguan dalam berhubungan dengan orang lain (menarik diri). Adanya gangguan dalam berhubungan dengan orang lain akan mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi kepada orang lain, bila ada masalah klien cenderung akan memendamnya sendiri dan berusaha mencari solusi pemecahan dengan caranya sendiri. Karena berperilaku menarik diri mereka biasanya mereka akan mulai dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya, apabila hal ini terus menerus berlangsung maka klien akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan stimulus yang dialami.
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh klien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan. Dimana klien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Aktifitas fisik merefleksi isi halusinasi seperti ; perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang komplek. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang (Hawari, 2003).
Jumlah pasien yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali dengan halusinasi cukup tinggi, hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serta penanganan yang serius karena semakin awal pasien ditangani dapat mencegah klien mengalami fase yang lebih berat sehingga resiko kekerasan dengan sendirinya dapat dicegah. Penanganan pasien skizofrenia dengan halusinasi yang dilakukan dengan kombinasi psikofarmakologi dan intervensi psikososial seperti psikoterapi, terapi keluarga, dan terapi terapi aktivitas kelompok menampakan hasil yang lebih baik. Hal ini telah terlihat dari penelitian mengenai pengaruh terapi aktivitas kelompok orientasi realitas terhadap frekuensi terjadinya halusinasi pada klien psikosis. Penelitian menggunakan tehnik purposive sampling. Pada penelitian ini di mendapatkan adanya pengaruh yang bermakna dari pelaksanaan terapi aktivitas kelompok orientasi realita terhadap frekuensi terjadinya halusinasi pada klien psikosis (Megayanthi, 2009).
Penggunaan terapi aktifitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi dalam praktek keperawatan jiwa memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan, atau terapi serta pemulihan kesehatan jiwa seseorang. Meningkatnya penggunaan terapi modalitas merupakan bagian dan memberikan hasil yang positif terhadap perilaku pasien. Proses TAK stimulus persepsi adalah merangsang atau menstimulasikan klien melalui kegiatan yang disukainya dan mendiskusikan aktivitas yang telah dilakukan yang untuk mencegah pencerapan panca indra tanpa ada rangsang dari luar dan bertujuan membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptive dengan aktivitas mengenal halusinasi, aktivitas mengusir/menghardik halusinasi, aktivitas mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, aktivitas mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, aktivitas mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat. Dengan aktivitas yang telah dilakukan tersebut sehingga klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya, serta klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat, klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami sehingga bila klien mampu mengontrol maka frekuensi halusinasinya akan menurun (Keliat,2005).
Metode TAK stimulasi persepsi selama ini jarang dilaksanakan oleh perawat di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, berdasarkan hal tersebut peneliti terdorong untuk meneliti pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap frekuensi halusinasi yang dialami pasien skizoprenia di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali tahun 2011.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap frekuensi halusinasi yang dialami pasien skizoprenia di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali?.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap frekuensi halusinasi yang dialami pasien skizoprenia di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali tahun 2011.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui frekuensi halusinasi sebelum diberikan TAK : stimulasi persepsi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang tidak diberikan TAK : stimulasi persepsi.
b. Mengetahui frekuensi halusinasi sesudah diberikan terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang tidak diberikan TAK : stimulasi persepsi.
c. Menganalisis pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap frekuensi halusinasi pasien kelompok perlakuan dan kelompok kontrol kelompok kontrol yang tidak diberikan TAK : stimulasi persepsi.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi institusi rumah sakit jiwa propinsi Bali
Sebagai bahan masukan penentuan kebijakan dalam menangani dan merawat klien yang mengalami halusinasi untuk mencapai mutu pelayanan rumah sakit yang optimal.
2. Bagi Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali
Sebagai acuan dalam meningkatkan ketrampilan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami halusinasi.
3. Bagi instansi pendidikan
Sebagai masukan bagi proses pembelajaran untuk optimalisasi kemampuan dan pengetahuan peserta didik tentang perawatan klien dengan halusinasi dan sebagai bahan literatur dalam kegiatan pembelajaran mengenai pengaruh pelaksanaan TAK : stimulasi persepsi terhadap penurunan frekuensi halusinasi terutama pada klien Skizoprenia
4. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian yang didapatkan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar oleh peneliti lain dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan pelaksanaan TAK stimulasi persepsi

E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap penurunan frekuensi halusinasi belum pernah dilakukan, namun terdapat beberapa penelitian mengenai pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Murjana tahun 2009 dengan judul pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi di Tumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli. Mahasiswa Stikes Wira Medika PPNI Bali. Skripsi ini tidak diterbitkan, adapun hasil penelitian yang didapatkan hasil yang signifikan dengan p<0,5 (p =0,000). Adapun perbedaan skripsi ini dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah pada variabel terikatnya dimana pada penelitian sebelumnya variable terikatnya adalah kemampuan mengontrol halusinasi, sedangkan pada penelitian yang akan penulis lakukan adalah penurunan frekuensi halusinasi. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah Jenis penelitian sama-sama Quasi Experiment (eksperimen semu), sampel pasien halusinasi, teknik sampling Probability sampling yaitu dengan Purposive sampling dan variabel besas terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Megayanthi tahun 2009 dengan judul pengaruh terapi aktivitas kelompok orientasi realita terhadap frekuensi terjadinya halusinasi pada klien psikosis di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang. Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, adapun hasil penelitian didapatkan hasil yang cukup signifikan yaitu p<0,5 (p =0,004). Adapun perbedaan skripsi ini dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah pada variable bebas dimana pada penelitian sebelumnya TAK yang digunakan adalah orientasi realita sedangkan pada penelitian yang akan penulis lakukan mempergunakan TAK stimulasi persepsi. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah Jenis penelitian sama-sama Quasi Experiment (eksperimen semu), sampel pasien halusinasi, teknik sampling Probability sampling yaitu dengan Purposive sampling dan variabel terikatnya penurunan frekuensi halusinasi.

HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN MINUM OBAT DENGAN KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA PROPINSI BALI

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Pada saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2006 disebutkan bahwa sekitar 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, dari tingkat ringan hingga berat. Sedangkan data yang dikeluarkan Departemen Kesehatan menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,5 juta jiwa, yang diambil dari data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) se-Indonesia (www. mediaindonesia.com. 20 Desember 2010).
Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak produktif dan tidak efesien (Hawari, 2006). Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah skizofrenia. Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Hawari, 2006).
Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di Indonesia, di mana sekitar 99% klien di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006). Berdasarkan laporan rumah sakit di Indonesia, ditemukan prevalensi gangguan jiwa cenderung meningkat dari 1,9% pada tahun 1990 menjadi 2,0% pada tahun 1995 (Depkes RI, 2006). Sedangkan Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) yang dilakukan pada tahun 2005 menemukan prevalensi gejala gangguan jiwa sebesar 220 orang per 1000 penduduk (Bahar 2006). Di Bali diperkirakan terdapat 7000 orang penduduk mengalami gangguan jiwa berat (Suryani, 2009). Berdasarkan laporan tahunan RSJ Propinsi Bali tahun 2010 dari tiga bulan terakhir (Agustus, September, Oktober diperoleh data bahwa dari 915 pasien yang masuk dan dirawat inap di RSJ terdapat 874 klien (95,5 %) yang menderita skozofrenia diantaranya 620 laki – laki (70,9 %) dan 254 perempuan (29,1 %).
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang dianggap paling serius. Bagi kalangan medis, terapi paling dasar yang diberikan untuk pemulihan pasien yaitu pengobatan antipsikotik. Akan tetapi, kegagalan untuk rutin meminum obat-obatan anti psikotik menjadi penghambat pemulihan. Skizofrenia harus dipahami dan ditangani dengan tepat untuk mengurangi terjadinya kekambuhan sehingga pasien dapat memiliki kehidupan yang lebih produktif. Dalam menghadapi penyakit ini, kontinuitas pengobatan merupakan salah satu faktor utama keberhasilan terapi. Pasien yang tidak patuh pada pengobatan akan memiliki resiko kekambuhan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang patuh pada pengobatan. Ketidakpatuhan berobat ini yang merupakan alasan pasien kembali dirawat di rumah sakit (Aswin,2010).
Pasien dengan diagnosis skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua (Suryani, 2005) dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit jiwa (Suryani, 2005). Sedangkan menurut Solomon dkk, dalam Akbar (2008), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40% penderita mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat inap 40%-50% penderita mengalami kekambuhan, dan setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75% penderita mengalami kekambuhan, (Porkony dkk, dalam Akbar, 2008). Konsekuensi dari kekambuhan juga menyengsarakan penderita yaitu sebanyak 50% psikiater mengatakan klien mereka bunuh diri sebagai akibat kambuh (Lilly, 2008). Dengan pengobatan modern, bila klien datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan mereka masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social recovery). Sisanya biasanya mempunyai prognosa yang jelek, mereka tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju kemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa (Maramis, 2004).
Pasien yang kambuh membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali pada kondisi semula dan dengan kekambuhan yang berulang, kondisi penderita bisa semakin memburuk dan sulit untuk kembali ke keadaan semula, oleh karena itu, kecenderungan pengobatan skizofrenia saat ini tidak cukup hanya pada pengendalian gejalanya saja, tetapi juga harus dapat mencegah kekambuhan penyakit sehingga dapat mengembalikan fungsi pasien untuk produktif dan akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidupnya. (Aswin,2010).
Sedangkan pada pasien yang telah dipulangkan ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress. sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit (Widodo, 2009).
Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali adalah rumah sakit milik pemerintah Propinsi Bali yang diklasifikasikan sebagai kelas A pendidikan Berikut ini dapat diketahui perbandingan jumlah pasien yang mengalami kekambuhan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali pada triwulan terakhir tahun 2009 dan tahun 2010 dengan rincian:
Bulan Tahun 2009 Tahun 2010
Pasien lama Pasien baru Pasien lama Pasien baru
Oktober 113 102 126 120
Nopember 119 107 131 124
Desember 110 115 128 121
Jumlah 342 324 385 365
Sumber : catatan medik RS Jiwa Propinsi Bali, 2010
Dari data tersebut diatas dapat terlihat jelas pada data tiga bulan terakhir pada tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah pasien yang mengalami kekambuhan di RS Jiwa Propinsi Bali, yaitu sebanyak 43 pasien dari jumlah pasien lama pada periode yang sama tahun 2009. Perbandingan pasien lama dan baru yaitu pada tahun 2009 sebanyak 342 pasien lama dan 324 pasien baru, sedangkan tahun 2010 sebanyak 385 pasien lama dan 365 pasien baru. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang hubungan kepatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Propinsi Bali.

I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat ditentukan rumusan masalah yaitu : Apakah ada hubungan ketidakpatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Propinsi Bali tahun 2010?
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ketidakpatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Propinsi Bali tahun 2010.
I.3.2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui :
a. Mengidentifikasi ketidak patuhan minum obat pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.
b. Mengidentifikasi kekambuhan klien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.
c. Menganalisa hubungan ketidakpatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Propinsi Bali.
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya body of knowledge dari ilmu kesehatan jiwa.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat bagi Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, agar petugas medis dan paramedis dapat mengetahui dan memahami hubungan ketidakpatuhan minum obat kekambuhan yang dialami pasien skizofrenia.