05 Mei 2010

pengetahuan dan sikap ibu tentang imunisasi dasar pada bayi usia 0-1 tahun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan anak di dunia, khususnya di negara yang sedang berkembang masih tergolong rendah. 11 juta anak di bawah 5 tahun meninggal setiap tahunnya. Empat juta dari anak ini masih berusia di bawah 1 bulan. Sedang jutaan lainnya hidup dengan gangguan kesehatan seperti menderita penyakit polio, diare, cacat bawaaan dan perkembangan seperti lambat berjalan dan bicara. Kematian anak ini, umumnya dipicu oleh faktor yang masih bisa dicegah, seperti kurang gizi dan infeksi misalnya infeksi saluran Pernafasan dan infeksi saluran pencernaan. (Partiwi, 2009).
Menurut hasil SDKI 2005/2006 Angka kematian bayi (AKB) diIndonesia berkisar sekitar 35 per 1000 kelahiran hidup. AKB di Indonesia masih terbilang tinggi bila dibandingkan dengan Negara-negara lain dikawasan ASEAN. AKB di Malaysia pada tahun 2001 tercatat enam per 1000 kelahiran hidup dan di Singapura hanya dua kematian bayi per 1000 kelahiran hidup, di Vietnam menunjukan 30 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun (Partiwi, 2009).
Propinsi Bali merupakan daerah yang memiliki angka kematian bayi yang rendah di bandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. Berdasarkan hasil survey yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) yang bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bali angka kematian bayi pada tahun tahun 2008 sebesar 6,8 per 1000 kelahiran hidup, tahun 2009 sebesar 4,1 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan Kabupaten Klungkung yang merupakan salah satu kabupaten di Bali dengan angka kematian bayi sebesar 2,6 per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Propinsi Bali, 2009).
Kesehatan merupakan masalah yang penting dalam sebuah keluarga, terutama
yang berhubungan dengan bayi dan anak. Anak merupakan harta yang paling berharga sebagai titipan Tuhan Yang Maha Esa, juga dikarenakan kondisi tubuhnya yang mudah sekali terkena penyakit. Oleh karena itu, bayi dan anak merupakan prioritas pertama yang harus dijaga kesehatannya. Pemerintah mewajibkan setiap anak untuk mendapatkan imunisasi dasar terhadap tujuh macam penyakit yaitu penyakit TBC, Difteria, Tetanus, Batuk Rejan (Pertusis), Polio, Campak (Measles, Morbili) dan Hepatitis B, yang termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) meliputi imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B. (Soerpardi, 2005).
Angka cakupan imunisasi dasar di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2007 angka cakupan imunisasi dasar mencapai 95,3%, tahun 2008 angka cakupan imunisasi dasar mencapai 96, 8 % dan angka cakupan tahun 2009 mencapai 97,5%. Sedangkan cakupan imunisasi di Propinsi Bali juga mengalami peningkatan, pada tahun 2007 angka cakupan imunisasi dasar mencapai 96,7%, tahun 2008 angka cakupan imunisasi dasar mencapai 97,1 % dan angka cakupan tahun 2009 mencapai 98,2%. (http://www. bukuimunisasi.com Acessed 24 Januari 2010)
Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting. Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut. Dalam hal ini peran orang tua dan keluarga, khususnya ibu menjadi sangat penting. Pengetahuan, kepercayaan, dan perilaku seorang ibu akan mempengaruhi kepatuhan pemberian imunisasi dasar anak, sehingga dapat mempengaruhi status kesehatan anaknya. Masalah pengertian, pemahaman dan kepatuhan ibu dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan yang besar jika ibu mempunyai pengetahuan,
sikap dan prilaku yang baik (Partiwi, 2009).
Secara geografis Desa Lembongan merupakan daerah perbukitan dan sulitnya transportasi untuk mengakses tempat pelayanan kesehatan. Kendala yang ditemui dari pelaksanaan program imunisasi adalah kesadaran orang tua khususnya para ibu untuk mengajak anaknya imunisasi sangat kurang, hal ini disebabkan karena jarak yang jauh dan adanya kepercayaan warga setempat untuk tidak mengajak anak keluar rumah hingga umur 42 hari, sehingga untuk mencapai cakupan imunisasi dasar sesuai target petugas sampai mendatangi rumah- rumah penduduk terutama yang memiliki anak umur 0-1 tahun untuk memberikan imunisasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui pengetahuan dan sikap ibu tentang imunisasi dasar pada bayi usia 0-1 tahun di Desa Lembongan Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida II tahun 2010.

B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakangan masalah diatas rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengetahuan dan sikap ibu tentang imunisasi dasar pada bayi usia 0-1 tahun di Desa Lembongan Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida II tahun 2010.?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum
Untuk mengetahui pengetahuan dan sikap ibu tentang imunisasi dasar pada bayi usia 0-1 tahun di Desa Lembongan Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida II tahun 2010.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar pada bayi usia 0-1
tahun berdasarkan umur
b. Mengidentifikasi pengetahuan ibu imunisasi dasar pada bayi usia 0-1 tahun berdasarkan pendidikan.
c. Mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar pada bayi usia 0-1 tahun berdasarkan pekerjaan.
d. Mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar pada bayi usia 0-1 tahun berdasarkan paritas.
e. Mengidentifikasi sikap ibu tentang imunisasi dasar pada bayi usia 0-1 tahun

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat secara teoritis
a. Untuk Akademi Kebidanan Kartini Bali
Sebagai masukan untuk memperluas wawasan mahasiswa dan menambah sumber referensi di perpustakaan
b. Untuk peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan imunisasi dasar.
2. Manfaat secara praktis
a. Bagi masyarakat
Dapat mengubah pola pikir masyarakat sehingga mau mengajak anaknya untuk di imusisasi.
b. Bagi tenaga kesehatan
Dapat digunakan sebagai salah satu bahan masukan untuk menambah pengetahuan mengenai pengetahuan dan sikap ibu tentang imunisasi dasar dan dapat dijadikan dasar untuk memberikan konsling imunisasi dasar

gambaran pengetahuan ibu nifas tentang inisiasi menyusu dini

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pemberian air susu ibu (ASI) dari awal kelahiran sampai 4-6 bulan akan menjadikan sendi-sendi kehidupan yang terbaik baginya kelak. ASI juga menjamin bayi tetap sehat dan memulai kehidupannya dalam cara yang paling sehat. Karena ASI adalah makanan terbaik diawal kehidupan bayi (Soetjiningsih, 2007).
Angka kematian bayi di Indonesia menurut SDKI 2006-2007 masih sangat tinggi yaitu 35 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan data SDKI tahun 2006 dan 2007 lebih dari 95% ibu pernah menyusui bayinya, namun yang menyusui dalam 1 jam pertama cenderung menurun dari 8% pada tahun 2006 menjadi 3,7% pada tahun 2007 (Nasution, 2009).
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2006-2007 hanya ada empat persen bayi yang mendapat ASI dalam satu jam kelahirannya, delapan persen bayi Indonesia yang mendapat ASI eksklusif enam bulan, sedangkan pemberian susu formula terus meningkat hingga tiga kali lipat dalam kurun waktu lima tahun terakhir, sedangkan di Propinsi Bali tahun 2008 hanya ada 10 persen bayi mendapat ASI dalam satu jam pertama, 18% mendapat ASI eksklusif enam bulan. Data pelaksanaan program IMD Di RSUP Sanglah tahun 2009 didapatkan data sebanyak 95% dari semua ibu yang melahirkan normal sudah melakukan IMD angka ini meningkat dari tahun 2008 sebanyak 82%.
Inisiasi menyusu dini ialah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir. Pada satu jam pertama bayi harus disusukan pada ibunya, bukan untuk pemberian nutrisi tetapi untuk belajar menyusu atau membiasakan menghisap puting susu dan mempersiapkan ibu untuk mulai memproduksi ASI kolostrum. Kolostrum adalah susu awal yang diproduksi oleh ibu yang baru melahirkan yakni dihasilkan dalam waktu 24 jam pertama setelah melahirkan Utami Roesli, (2009)
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) merupakan langkah awal menuju kesuksesan menyusui, salah satu faktor penting dari pembangunan sumber daya manusia kedepan. Penelitian menunjukan bahwa mortalitas dapat ditekan dengan efektif saat kita memberikan kesempatan pada bayi untuk bersama ibunya, dengan kontak kulit dan membiarkan mereka bersama-sama minimal 1 jam. Disaat itu ibu dapat merespon bayinya, memberi perhatian, memberi kehangatan dan memperkenalkan arti kehidupan dunia yang baru, sehingga bayi pun lebih tenang dan jarang menangis, bayi menjadi lebih hangat sehingga dapat menurunkan resiko kedinginan, bayi pun dapat menghadapi proses adaptasi dengan lebih baik. Utami Roesli, (2009).
Program IMD dilakukan dengan cara langsung meletakkan bayi yang baru lahir di dada ibunya dan membiarkan bayi ini merayap untuk menemukan puting susu ibu untuk menyusu. IMD harus dilakukan langsung saat lahir, tanpa boleh ditunda dengan kegiatan menimbang atau mengukur bayi. Bayi juga tidak boleh dibersihkan, hanya dikeringkan kecuali tangannya. Proses ini harus berlangsung skin to skin antara bayi dan ibu. Tahapannya adalah setelah bayi diletakkan, dia akan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, maka kemungkinan saat pertama kali diletakkan di dada ibu, bayi belum bereaksi. Kemudian berdasarkan bau yang dicium dari tangannya, ini membantu dia menemukan puting susu ibu. Dia akan merangkak naik dengan menekankan kakinya pada perut ibu. Bayi akan menjilati kulit ibunya yang mengandung bakteri baik sehingga kekebalan tubuh bayi dapat bertambah dalam IMD tidak boleh memberikan bantuan apapun pada bayi tapi biarkan bayi menyusu sendiri. Biasanya, bayi dapat menemukan puting susu ibu dalam jangka waktu 1 jam pertama. Dengan melakukan IMD, kedekatan antara ibu dengan bayinya akan terbentuk sebab, dengan memisahkan si ibu dengan si bayi ternyata daya tahan tubuh si bayi akan drop hingga mencapai 25%. Ketika si ibu bersama dengan si bayi, daya tahan si bayi akan berada dalam kondisi prima (Nasution, 2009).
Menurut Hadriyanto (2009) sebanyak 50 persen bayi lahir normal yang dipisahkan dari ibunya saat dilahirkan tidak dapat menyusu, sedangkan bayi yang lahir dengan bantuan tindakan atau obat-obatan dan dipisahkan dari ibunya nyaris semua tidak dapat menyusu dan sebanyak 22% kematian bayi baru lahir dapat dicegah bila bayi disusui oleh ibunya dalam satu jam pertama kelahiran. Melakukan IMD dipercaya akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh si bayi terhadap penyakit-penyakit yang berisiko kematian tinggi, Misalnya kanker syaraf, leukimia, dan beberapa penyakit lainnya. Tidak hanya itu, IMD juga dinyatakan menekan Angka Kematian Bayi (AKB) baru melahirkan hingga mencapai 22 persen. Menurut penelitian yang dilakukan di Ghana dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah "Pediatrics", 22 persen kematian bayi yang baru lahir - yaitu kematian bayi yang terjadi dalam satu bulan pertama – dapat dicegah bila bayi disusui oleh ibunya dalam satu jam pertama kelahiran. Mengacu pada hasil penelitian itu, maka diperkirakan program "Inisiasi Menyusui Dini" dapat menyelamatkan sekurang-kurangnya 30.000 bayi Indonesia yang meninggal dalam bulan pertama kelahiran. Dengan pemberian ASI dalam satu jam pertama, bayi akan mendapat zat-zat gizi yang penting dan mereka terlindung dari berbagai penyakit berbahaya pada masa yang paling rentan dalam kehidupannya. (Soegianto, 2009)
Program IMD mempunyai manfaat yang besar untuk bayi maupun sang ibu yang baru melahirkan. Tetapi, kurangnya pengetahuan dari orang tua, pihak medis maupun keengganan untuk melakukannya membuat Inisiasi Menyusu Dini masih jarang dipraktekkan. Banyak orang tua yang merasa kasihan dan tidak percaya seorang bayi yang baru lahir dapat mencari sendiri susu ibunya. Ataupun rasa malu untuk meminta dokter yang membantu persalinan untuk melakukannya. Begitu juga dengan dokter atau bidan yang tidak mau direpotkan dengan kegiatan ini sehingga akhirnya bayi tidak diberi kesempatan untuk melakukan ini Utami Roesli, (2009).
Berdasarkan data yang didapatkan di ruang Bersalin IRD RSUP Sanglah jumlah ibu yang melahirkan selama tiga bulan terakhir (Nopember 2009-Januari 2010) didapatkan data bulan Nopember 2009 jumlah ibu yang melahirkan sebanyak 86 orang dimana 55 orang (63,8%) melakukan IMD, Bulan Desember sebanyak 92 orang dimana 80 orang (86,9%) melakukan IMD dan bulan Januari 2010 sebanyak 96 orang dimana 83 orang (86,4%) melakukan IMD. Dari studi pendahuluan yang dilakukan di Ruang bersalin IRD RSUP sanglah pada bulan Februari 2010 ibu yang melahirkan sebanyak 87 orang yang dilakukan IMD sebanyak 79 orang (90,8%) dan yang tidak dilakukan sebanyak 8 orang (9,2%) dari wawancara yang dilakukan terhadap 12 orang ibu Nifas tentang IMD didapatkan data sebanyak sembilan orang memiliki pengetahuan yang kurang tentang IMD dan tiga memiliki pengetahuan yang cukup. Hasil tersebut tidak dapat dijadikan gambaran secara keseluruhan tentang pengetahuan ibu-ibu yang melahirkan di RSUP sanglah tentang Program IMD sehingga hal tersebut membuat ketertarikan peneliti untuk mengadakan penelitian tentang gambaran pengetahuan ibu nifas tentang inisiasi menyusu dini di ruang bersalin IRD RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2010.

B. Rumusan Masalah Penelitian
Sesuai latar belakang di atas, dapat dirumuskan “Bagaimanakah gambaran pengetahuan ibu nifas tentang inisiasi menyusu dini di Ruang Bersalin IRD RSUP
Sanglah Denpasar Tahun 2010?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan mum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu nifas tentang inisiasi menyusu dini di Ruang Bersalin IRD RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2010.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengidentifikasi pengetahuan ibu nifas tentang inisiasi menyusu dini berdasarkan umur.
b. Untuk mengidentifikasi pengetahuan ibu nifas tentang inisiasi menyusu dini berdasarkan berdasarkan pendidikan.
c. Untuk mengidentifikasi pengetahuan ibu nifas tentang inisiasi menyusu dini berdasarkan berdasarkan pekerjaan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan sebagai dasar untuk mengingkatkan kualitas asuhan kebidanan khususnya yang menyangkut konseling tentang program inisiasi menyusu dini untuk mendukung visi “Kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman, serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat” sehingga angka kematian anak dapat di turunkan.
2. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur dan memperkaya sumber bacaan di bidang asuhan kebidanan, hasil penelitian dapat digunakan untuk data dasar dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan inisiasi menyusu dini.

penpengetahuan bidan tentang perawatan bayi hipotermia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuntutan masyarakat terhadap kualitas layanan kesehatan semakin hari semakin meningkat. Ini didorong berbagai perubahan mendasar di masyarakat, baik ekonomi, pendidikan, teknologi dan informasi serta berbagai perubahan lainnya. Tidak terkecuali perubahan tuntutan masyarakat terhadap peningkatan kualitas layanan kesehatan, termasuk layanan kebidanan. Salah satu asuhan kebidanan yang memerlukan peningkatan kualitas layanan adalah peningkatan kualitas asuhan terhadap bayi dengan hipotermi. Kualitas dari asuhan kebidanan itu sendiri salah satunya bisa dilihat dari Intervensi yang merupakan petunjuk untuk penanganan, aktivitas dan tindakan yang membantu pasien mencapai hasil yang diharapkan, serta merupakan unsur pengetahuan asuhan kebidanan yang utama (Doenges at al, 2005).
Kehidupan Bayi Baru Lahir yang paling kritis adalah saat mengalami masa transisi dari kehidupan intrauterin ke kehidupan extrauterin yang berubah secara mendadak. Salah satu masalah yang dialami bayi pada masa transisi ini salah satunya adalah hipotermi. Seorang bayi dikatakan mengalami hipotermi bila suhu badan bayi dibawah normal. Adapun suhu normal bayi adalah 36,5-37,5 °C. Gejala awal hipotermi apabila suhu <36°C atau kedua kaki & tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36°C), disebut hipotermi berat bila suhu <32°C (Istikowati 2010).
Peran bidan sangat diperlukan untuk mencegah risiko yang diakibatkan oleh keadaan hipotermi yang dialami bayi. Oleh sebab itu pertolongan cara-cara mengatasi masalah transisi ini sangat penting bagi tenaga kesehatan khususnya bidan untuk dapat mempertahankan suhu bayi tetap normal dan dapat meningkatkan suhu bayi yang mengalami hipotermi. Untuk dapat mengambil sikap sesuai dengan peran bidan dalam memberikan pertolongan bagi bayi risiko tinggi perlu adanya pengetahuan sebelumnya tentang intervensi maternitas pada bayi risiko tinggi. Begitu juga menolong bayi risiko tinggi dengan hipotermi, perlu pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berkualitas agar dapat memberikan asuhan maternitas yang tepat dan cepat pada bayi. Apabila tiga hal tersebut tidak terpenuhi, maka bisa timbul “Malpractice-Negligence”, yang bisa mengakibatkan kecacatan dan bahkan kematian pada bayi yang mana bisa menimbulkan efek hukum bagi bidan. Oleh sebab itu pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan yang berkualitas diperlukan baik dalam pengkajian, menentukan diagnosa maternitas, perencanaan, implementasi dan evaluasi asuhan maternitas. Dengan intervensi yang baik maka angka kejadian kematian bayi baru lahir dengan risiko tinggi dapat dikurangi(Effendy, 2005).
Komalasari (2007) mengemukakan bahwa di Indonesia pada periode 2005–2007 penurunan angka kematian neonatal yakni kematian bayi umur kurang dari satu bulan masih rendah yaitu dari 28,8 per 1000 kelahiran hidup menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Propinsi Bali merupakan daerah yang memiliki angka kematian bayi yang rendah di bandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. Berdasarkan hasil survey yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) yang bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) provinsi Bali angka kematian bayi pada tahun 2007 tercatat 39,5 per 1000 kelahiran hidup menjadi 14 per 1000 kelahiran hidup tahun 2008. Sedangkan untuk balita juga menurun menjadi 19 pada tahun 2007-2008 dari 44 pada tahun 2006. Berdasarkan data tahun 2008, angka kematian bayi di propinsi Bali sebesar 7,8 per 1.000 kelahiran hidup atau lebih rendah dari angka nasional sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup dimana sekitar 0,5% kematian bayi disebabkan karena hipotermia (Abadi,2009). Berdasarkan data yang didapatkan di ruang NICU IRD bayi RSUP Sanglah jumlah bayi yang mengalami hipotermi didapatkan data dari tiga bulan terakhir (Desember 2009-Februari 2010) dari 58 bayi yang dirawat sekitar delapan orang (13,7%) pernah mengalami hipotermi, akan tetapi kematian bayi akibat hipotermia tidak ada.
Tuntutan masyarakat terhadap kualitas layanan kesehatan semakin hari semakin meningkat. Ini didorong berbagai perubahan mendasar di masyarakat, baik ekonomi, pendidikan, teknologi dan informasi serta berbagai perubahan lainnya. Tidak terkecuali perubahan tuntutan masyarakat terhadap peningkatan kualitas layanan kesehatan, termasuk layanan maternitas. Salah satu layanan di bidang maternitas yang memerlukan peningkatan kualitas layanan adalah peningkatan kualitas asuhan terhadap bayi dengan risiko tinggi, contohnya bayi dengan hipotermi. Kualitas dari asuhan maternitas itu sendiri salah satunya bisa dilihat dari Intervensi yang merupakan petunjuk untuk penanganan, aktivitas dan tindakan yang membantu pasien mencapai hasil yang diharapkan, serta merupakan unsur pengetahuan maternitas yang utama. Dalam penerapannya bidan diharapkan dapat membuat intervensi tersebut secara benar (Istikowati 2010). Bayi yang mengalami hipotermia mempunyai risiko tinggi terhadap kematian sehingga memerlukan pengawasan dan perawatan yang ketat dari tenaga kesehatan yang berpengalaman dan berkualitas tinggi.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran pengetahuan bidan tentang penatalaksanaan bayi dengan hipotermi di ruang NICU IRD bayi RSUP Sanglah.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat merumuskan masalah penelitian sebagai berikut “Bagaimanakah gambaran pengetahuan bidan tentang penatalaksanaan bayi dengan hipotermi di ruang NICU IRD bayi RSUP Sanglah Tahun 2010?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan bidan tentang penatalaksanaan bayi dengan hipotermi di ruang NICU IRD bayi RSUP Sanglah Tahun 2010.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan bidan tentang penatalaksanaan bayi dengan hipotermi Berdasarkan umur.
b. Untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan bidan tentang penatalaksanaan bayi dengan hipotermi Berdasarkan Masa Kerja.

D. Manfaat Penelitian

1. Praktis
a. Mendorong peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan khususnya pengetahuan bidan tentang penatalaksanaan bayi dengan hipotermi.
b. Memberikan informasi tentang gambaran tingkat pengetahuan bidan tentang penatalaksanaan bayi dengan hipotermi.
c. Untuk meningkatkan pendapatan rumah sakit pada akhirnya karena dengan kualitas pelayanan maternitas yang diberikan dapat meningkatkan kepuasan
d. Pasien yang pada akhirnya pasien tetap loyal terhadap rumah sakit yang bersangkutan dan tidak berpindah ke tempat pelayanan jasa yang lain.
2. Teoritis
a. Menambah pengetahuan dalam upaya meningkatkan kualitas personal bidan dalam memberikan perawatan pada bayi dengan hipotermi.
b. Dapat memberi gambaran atau informasi bagi peneliti berikutnya