29 Juni 2009

perbedaan efektifitas antara diapraghmatic breathing dan clapping terhadap saturasi oksigen arteri pada klien asma

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan pada sistem pernafasan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernafasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ lain dan berkisar dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai pneumonia berat (Price, 1995). Perilaku masyarakat dengan pola hidup yang kurang baik serta dampak dari perkembangan tehnologi dapat menimbulkan berbagai macam penyakit salah satu diantaranya adalah penyakit pada saluran pernafasan. Pada beberapa jenis penyakit paru apabila tidak mendapat penanganan yang adequat dapat menimbulkan penyakit pada tingkat yang lebih berat dan menjadi kronis, penyakit tersebut salah satunya adalah penyakit asma bronchiale. Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan. Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 300 juta orang di dunia mengidap asma, dan 225 ribu orang meninggal karena asma pada 2005. Hasil penelitian pada tahun sama menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari 4,2% menjadi 5,4 % (Aditama, 2009). Sedangkan berdasarkan survei di berbagai rumah sakit, jumlah penderita asma di sejumlah propinsi seperti Bali (2,4%), Jawa Timur (7%), Jakarta untuk anak-anak (16,5%), Malang untuk anak-anak (22%), Jakarta Timur untuk dewasa (18,3%) dan Jakarta Pusat (7%) (Yunus, 2009). Perkembangan kasus gangguan pada sistem pernafasan khususnya Status Asmatikus di ruang Cendrawasih BP SUD Wangaya Denpasar, berdasarkan data-data yang didapat dari catatan medis bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 dari 388 jumlah pasien yang dirawat terdapat 63 orang pasien (16,23%) dengan kasus gangguan pada sistem pernafasan yang terdiri dari PPOK 20 orang (31,74%), Asma Bronchiale 12 orang (19,04%), TB paru orang (19,04%), Pneumonia 6 orang (9,52%), Status Asmatikus 2 0rang (3,17%) dan Ca. Paru 1 orang (1,585%).
Asma dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas selama serangan akut. Gangguan ini dapat menimbulkan hipoksemia dari yang ringan sampai berat. Derajat arterial hypoxemia (hipoksemia arteri) berhubungan dengan beratnya obstruksi jalan napas (National Institute of Health, 2004). Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002). Klien dengan asma akut mempunyai potensi untuk terjadinya gangguan bersihan mukus dari jalan napas yang besar maupun kecil. Inflamasi bronkus dapat mengganggu transport mukosiliari dan kemungkinan menyebabkan retensi mukus (Samransamruajkit, 2003).
Salah satu metode non farmakologis untuk mengeluarkan sekresi mukus pada klien asma dan merupakan tindakan mandiri dari perawat adalah fisioterapi dada. Metode ini merupakan kelompok terapi yang didesain untuk meningkatkan efisiensi pernapasan, meningkatkan ekspansi paru, menguatkan otot-otot pernapasan dan mengeluarkan sekresi mukus dari sistem pernapasan (Smith, Joseph, F, 2003). Fisioterapi dada terdiri dari tehnik drainage postural, clapping (perkusi dada), vibrasi, diaphragmatic breathing (pernapasan diapragma) dan batuk efektif. Metode ini dapat membantu klien untuk bernapas lebih bebas dan memperoleh lebih banyak oksigen ke dalam tubuh (Smith, Joseph, F, 2003). Perawat melakukan clapping untuk membebaskan dan melepaskan sekresi mukus yang kental dari paru, bronkiolus dan bronkus pada klien penyakit paru obstruksi menahun termasuk asma di berbagai area perawatan termasuk unit perawatan kritis, rumah sakit, poliklinik, dan perawatan rumah. Diaphragmatic breathing diajarkan ke klien asma agar kerja otot diapragma menjadi efektif (Smith, Joseph, F, 2003). Kenyataan di lapangan menunjukkan tindakan-tindakan tersebut tidak diobservasi dengan oksimetri nadi sehingga tidak diketahui efektifitasnya terhadap saturasi oksigen arteri.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti terdorong untuk mengetahui perbedaan efektifitas antara diapraghmatic breathing dan clapping terhadap saturasi oksigen arteri pada pasien asma, mengingat tanggung jawab perawat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yaitu memenuhi kebutuhan oksigenasi.






B. Perumusan Masalah
Dalam proposal ini penulis merumuskan masalah penelitian yaitu, apakah ada perbedaan efektifitas antara diapraghmatic breathing dan clapping terhadap saturasi oksigen arteri pada klien asma?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan efektifitas antara diapraghmatic breathing dan clapping terhadap hipoksemia pada klien asma di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Wangaya
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui saturasi oksigen arteri sesudah tindakan diapraghmatic breathing dan clapping pada klien asma di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Wangaya.
b. Membuktikan perbedaan efektifitas antara diapraghmatic breathing dan clapping (tehnik perkusi) terhadap saturasi oksigen arteri pada klien asma di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Wangaya

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Klien
Pemahaman terhadap prosedur diapraghmatic breathing dan clapping (tehnik perkusi).
2. Bagi Rumah Sakit
Tersusunnya protap cara melakukan diapraghmatic breathing dan clapping (tehnik perkusi) pada klien asma.
3. Bagi Perawat
Menambah khasanah pengetahuan tentang perbedaan efektifitas antara diapraghmatic breathing dan clapping (tehnik perkusi) terhadap saturasi oksigen arteri pada klien asma dan dapat memilih metode yang efektif.

PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK SOSIALISASI TERHADAP TINGKAH LAKU KLIEN MENARIK DIRI DI BPK RSJ PROPINSI BALI DI BANGLI PENELITIAN QUASY-EXPERIM


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan suatu psikosa fungsional yang sering dijumpai sejak dahulu diperkirakan angka kejadiannya di seluruh dunia 0,2-0,8 % setahun, (W.F.Maramis,1998). Di Indonesia angka kejadian Skizoprenia sekitar 1 % atau diperkirakan sekitar 2 juta penduduk Indonesia mengidap Skizoprenia (Soejono dalam www.republika.co.id/koran_detail/18 Agustus 2007, jam 14.05 wita. Menurut data yang ada di Badan Pembina Kesehatan Jiwa msyarakat Propinsi Bali tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita Skizoprenia di Propinsi Bali sebanyak 5.147 orang atau 0,15 % penduduk Bali, sedangkan data di Badan Pelayanan khusus Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli tahun 2006 menyebutkan bahwa dari 2702 orang yang dirawat inap sebanyak 2602 orang atau 96,3 % didiagnosa Skizoprenia. Skizofrenia berasal dari kata Skizo artinya retak/pecah dan prenia berarti jiwa. Keretakan jiwa ini dibuktikan dengan adanya ketidakharmonisan antara pikiran, perasaan dan perbuatan dari seseorang penderita Skizofrenia. Gambaran gangguan jiwa Skizofrenia beraneka ragam,mulai dari gangguan alam pikir, perasaan dan prilaku yang mencolok sampai tersamar. Salah satu prilaku yang nampak pada klien Skizofrenia adalah gangguan hubungan sosial : manarik diri (Townsend 1998).
Hasil survei pendahuluan peneliti di BPK RSJ Propinsi Bali di Bangli pada klien yang masuk rumah sakit dirawat inap dengan tingkah laku menarik diri pada bulan Mei 2007 cukup banyak, dari 246 klien yang dirawat didapatkan 15,2% dirawat dengan gangguan proses pikir, 26,8 % dirawat dengan gangguan persepsi sensori, 23,9 % dengan tingkah laku menarik diri, 10,9 % dengan gangguan konsep diri 8,5 % dengan tingkah laku kekerasan, 11,2 % dengan dimensia, 4,1% dengan gangguan alam perasaan, 2,2 % dengan ketergantungan obat (Rekam Medik, 2007) angka klien dengan tingkah laku menarik diri cukup tinggi, hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serta penanganan yang serius bagi semua pihak yang terkait khususnya para perawat yang ada di BPK Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli sehingga klien mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan segera kembali kepada keluarga dengan kondisi yang sesuai tata nilai masyarakat.
Tingkah laku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain atau suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (Rawlins, 1993;336). Menarik diri terjadi apabila individu menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Pemutusan proses hubungan terkait erat dengan ketidakpuasan individu terhadap proses hubungan yang disebabkan oleh kurangnya peran serta, respons lingkungan yang negatif, kondisi ini dapat mengembangkan rasa tidak percaya diri dan keinginan menghindar dari orang lain. Apabila tingkah laku tersebut tidak segera ditanggulangi dapat menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa yang elbih berat seperti munculnya halusinasi, risiko mencederai diri dan orang lain dan penurunan minat kebutuhan dasar psikologis.
Penatalaksanaan klien dengan tingkah laku menarik diri di Badan Pelayanan Khusus Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli selama ini lebih menekankan pada medikasi antipsikotik berupa pemberian obat-obat psikofarmaka dalam perbaikan klinis. Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan Skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis. Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat. Sebagian besar klien Skizofrenia mendapat manfaat dari pemakaian kombinasi tersebut (Kaplan dan Sadock,1994;723). Seiring dengan perkembangan ilmu keperawatan jiwa, telah banyak dikembangkan berbagai terapi modalitas keperawatan, salah satunya adalah Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) : Sosisalisai.
Terapi Aktifitas Kelompok (TAK): Sosialisasi adalah suatu bentuk terapi yang meliputi sekelompok orang yang setiap kali mengadkan pertemuan rutin dengan seorang terapis yang memfokuskan pada kesadaran diri dan mengenal diri sendiri dalam memperbaiki hubungan interpersonal dan merubah tingkah laku (Stuart dan Sundeen,1995). Terapi ini diajarkan dan mempraktekkan kepada individu atau klien untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal (Satu dan Satu), kelompok dan massa. Aktifitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam kelompok, sehingga klien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap.
Metoda/manajemen TAK belum dilaksanakan di semua ruangan, maka penulis ingin mengkaji efektifitas bahwa terapi aktifitas kelompok : Sosialisasi khususnya sangat bermanfaat bagi klien dengan tingkah laku menarik diri.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah Terapi Aktifitas Kelompok : Sosialisasi berpengaruh terhadap tingkah laku klien menarik diri?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari pengaruh TAK : Sosialisasi terhadap tingkah laku klien menarik diri

1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi tingkah laku menarik diri sebelum dilakukan TAK : Sosialisasi pada kelompok kontrol dan perlakuan.
2. Mengidentifikasi tingkah laku menarik diri setelah dilakukan TAK :Sosialisasi pada kelompok kontrol dan perlakuan.
3. Menganalisis pengaruh TAK Sosialisasi terhadap tingkah laku menarik diri.
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1. Teoritis
Sebagai informasi untuk pengembangan ilmu keperawatan terutama mengidentifikasi pengaruh TAK : Sosialisasi terhadap tingkah laku klien menarik diri. Serta merupakan data pembanding untuk melaksanakan penelitian selanjutnya.
1.4.2. Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat ditingkatkan pelaksanaannya dan dijadikan masukan bagi teman sejawat tentang pentingnya pemberian TAK : Sosialisasi sehingga mempercepat kesembuhan klien.
2. Penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan pengalaman kepada klien tentang cara melakukan Sosialisasi sehingga setelah pulang dari rumah sakit dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.

Hubungan antara pengetahuan dengan peran yang dilakukan suami dalam mendampingi proses persalinan

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan AKI negara- negara ASEAN lainnya. Berbagai faktor yang terkait dengan resiko terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan dan cara pencegahannya tidak diketahui, jumlah kematian ibu dan bayi masih tetap tinggi diperkirakan terjadi 5 juta persalinan setiap tahunnya. Dua puluh ribu diantaranya berakhir dengan kematian akibat sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan (Abadi, 2009). Penurunan AKI serta peningkatan derajat kesehatan ibu menjadi prioritas utama dalam pembangunan, bidang kesehatan di Indonesia. Adapun salah satu upaya yang dapat dilakukan dapat terwujud dalam bentuk safe motherhood atau disebut juga penyelamat ibu dan bayi (Sarwono, 2002).
Dalam rangka menurunkan AKI di Indonesia, pada tahun 2000 pemerintah merancangkan Making Pregnensi Safer (MPS) yang merupakan strategi sektor kesehatan secara terfokus pada pendekatan dan perencanaan yang sistematis dan terpadu. Salah satu strategi MPS adalah mendorong pemberdayaan perempuan dan keluarga. Output yang diharapkan dari strategi tersebut adalah menetapkan keterlibatan suami dalam mempromosikan kesehatan ibu dan meningkatkan peran aktif keluarga dalam kehamilan dan persalinan (Depkes RI, 2001).
Salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia adalah kurangnya peran keluarga, khususnya suami dalam proses persalinan. Padahal keberadaan suami sangat berperan untuk membantu menenangkan kondisi fisik maupun psikis sang istri saat melahirkan. Peran suami sangat diperlukan selama proses persalinan. Seorang suami sebaiknya mendampingi istri tidak hanya pada saat istri sedang hamil melainkan juga pada saat menjelang persalinan. (Lestiningsih, S. 2009).
Kondisi menjelang persalinan merupakan saat-saat paling menegangkan dan melelahkan bagi seorang ibu. Dalam situasi demikian, keberadaan suami di sisi sang istri sangat membantu perasaan ibu menjadi lebih terkontrol. Banyak hasil penelitian menyebutkan jika ibu diperhatikan dan diberi dukungan serta didampingi oleh suami selama persalinan dan kelahiran bayi serta mengetahui dengan baik mengenai proses persalinan dan yang akan mereka terima ibu akan mendapatkan rasa aman serta dapat mengurangi rasa nyeri dan persalinan berlangsung lebih cepat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa calon ibu yang persalinannya didampingi oleh suami lebih jarang mengalami depresi pasca persalinan dibandingkan yang tidak didampingi. (Depkes RI 2002).
Di Negara berkembang, beberapa RS besar terlalu dipadati oleh persalinan resiko rendah sehingga dukungan persalinan tidak dapat diberikan. Di Indonesia, tidak semua RS mengizinkan suami atau anggota keluarga lainnya menemani ibu diruang bersalin. Hampir seluruh persalinan berlangsung tanpa didampingi oleh suami. Penelitian lain terhadap 200 ibu melahirkan di RS yang berada di 5 kota besar di Indonesia, diperoleh fakta sekitar 86,2% menyatakan perasaan senang dan bahagia karena selama proses persalinan didampingi oleh suami dan sisanya merasa senang didampingi oleh keluarga khususnya ibu kandung. Namun saat ini partisipasi suami masih sangat rendah, masih banyak suami belum tahu bahwa pentingnya peran suami dalam proses persalinan, terdapat 68% persalinan di Indonesia tidak didampingi oleh suami selama proses persalinan (Cholil,2002). Berdasarkan dari catatan medik di ruang bersalin RS Cut Nyak Dien Kabupaten Aceh Barat, jumlah pasien melahirkan dari bulan Januari sampai Desember 2008, sebanyak 534 orang persalinan normal sekitar 10% didampingi oleh keluarga dan 5 % didampingi suami dan sisanya tidak didampingi oleh suami.
Peran dan tanggung jawab suami sangat berpengaruh dalam kesehatan terkait dengan persiapan persalinan. Suami diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan istrinya saat dalam proses kehamilan dan persiapan sampai dengan saat proses persalinan. Sampai saat ini masih banyak suami yang bersikap dan berperilaku kurang bertanggung jawab dalam kesehatan reproduksi, sehingga membahayakan persalinan. Pendekatan baru dalam meningkatkan peran suami dalam kesehatan reproduksi adalah membekali suami dengan informasi yang benar dan mengikutsertakan mereka dalam setiap upaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi. Kenyataannya pria/suami merupakan patner yang potensial untuk mencapai tingkat kesehatan reproduksi yang lebih baik (Lucianawaty, 2009). Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik melakukan penelitian tentang” hubungan pengetahuan dengan peran yang dilakukan suami dalam mendampingi proses persalinan

12 Juni 2009

HUBUNGAN PERAN YANG DILAKUKAN SUAMI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA IBU PRIMIGRAVIDA INFARTU

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Persalinan pertama bagi seorang wanita merupakan salah satu periode krisis dalam kehidupannya. Pengalaman baru ini memberikan perasaan yang bercampur baur, antara bahagia dan penuh harapan dengan kekhawatiran tentang apa yang akan dialaminya selama proses persalinan. Kecemasan tersebut dapat muncul karena masa panjang saat menanti kelahiran penuh ketidakpastian, selain itu bayangan tentang hal-hal yang menakutkan saat proses persalinan walaupun apa yang dibayangkannya belum tentu terjadi. Situasi ini menimbulkan perubahan drastis, bukan hanya fisik tetapi juga psikologis (Kartono, 1992).
Berdasarkan data dari catatan medik di……., jumlah pasien melahirkan dari bulan …. sampai ….. sebanyak …….. orang, primigravida sebanyak…..dan multtigravida sebanyak ….. dari study pendahuluan yang peneliti terhadap ibu primigravida dari 15 orang yang peneliti observasi, 11 orang menunjukkan tanda gangguan psikiatri berupa kecemasan atau ansietas.
Taylor (1995) mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lain-lain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya). Kecemasan dibedakan dengan ketakutan, karena ketakutan merupakan respon terhadap hal-hal yang bersifat riil atau nyata sedangkan kecemasan merupakan respon terhadap hal-hal yang belum pasti atau tidak riil (Priest, 2009).
Dalam rangka menurunkan AKI di Indonesia, pada tahun 2000 pemerintah merancangkan Making Pregnensi Safer (MPS) yang merupakan strategi sektor kesehatan secara terfokus pada pendekatan dan perencanaan yang sistematis dan terpadu. Salah satu strategi MPS adalah mendorong pemberdayaan perempuan dan keluarga. Output yang diharapkan dari strategi tersebut adalah menetapkan keterlibatan suami dalam mempromosikan kesehatan ibu dan meningkatkan peran aktif keluarga dalam kehamilan dan persalinan (Depkes RI, 2001). Walaupun secara kondisi suami tidak dapat melahirkan, tetapi tetap memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dengan istri dalam kesehatan reproduksi khususnya kesehatan ibu dan anak (MNPP, 2001). Pada kenyataannya di Indonesia masih terjadi permasalahan adanya ketimpangan gender baik dalam akses informasi maupun peran sehingga masih adanya anggapan bahwa kesehatan reproduksi adalah urusan perempuan. Selama ini pendampingan suami dalam proses persalinan dianggap aneh bahkan cenderung suami tidak ingin tahu bagaimana penderitaan istri yang sedang berjuang dengan penuh resiko dalam menghadapi persalinan.
Kehadiran suami merupakan salah satu dukungan moral yang dibutuhkan, karena pada saat ini ibu sedang mengalami stress yang berat sekali. Walaupun faktor tunggal terbesar yang dapat memodifikasi proses persalinan dan kelahiran dalam kebudayaan kita adalah para personil medis serta situasinya. Dimana hal ini dapat berpengaruh besar terhadap bentuk kecemasan dan depresi yang dirasakan ibu selama dan sesudah persalinan (Pelita, 2002).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa calon ibu yang persalinannya didampingi oleh suami lebih jarang mengalami depresi pasca persalinan dibandingkan yang tidak didampingi. Penelitian lain terhadap 200 ibu melahirkan di rumah sakit yang berada di 5 kota besar di Indonesia, diperoleh fakta sekitar 86,2% menyatakan perasaan senang dan bahagia karena selama proses persalinan didampingi oleh suami dan sisanya merasa senang bila didamping keluarga khususnya ibu kandung (Aswiningrum. 2009). Pendamping terutama orang terdekat ibu selama proses persalianan ternyata dapat membuat persalinan menjadi lebih singkat, nyeri berkurang, robekan jalan lahir lebih jarang serta nilai AFGAR pun menjadi lebih baik (Iskandar, 2005). Namum saat ini partisipasi pria dalam kesehatan reproduksi masih sangat rendah, masih banyak suami belum mampu menunjukkan dukungan penuh terhadap proses persalinan, terdapat sekitar 68% persalinan di Indonesia tidak didampingi suami selama proses persalinan (Cholil, 2002). Di ......... data tentang pendampingan suami selama proses persalinan tidak ada karena sebelumnya tidak pernah diadakan penelitian.
Dalam proses persalinan suami biasanya ingin turut berpartisipasi dalam kelahiran anak mereka. Dalam proses kelahiran, suami dapat ikut berperan membantu agar ibu dapat menjalani proses persalinan dengan lancar. Peran yang dapat suami lakukan dalam proses persalihan antara lain mengatur posisi ibu, memberikan nutrisi dan cairan, mengalihkan perhatian ibu dari rasa nyeri selama proses persalinan, mengukur waktu kontraksi, mengusap-usap punggung ibu, menjadi titik fokus, bernapas bersama ibu saat kontraksi, menginformasikan kemajuan persalinan, memberikan dorongan spiritual, memberi dukungan moral, menghibur dan memberi dorongan semangat (Lucianawaty, 2009).
Peran dan tanggung jawab suami sangat berpengaruh dalam kesehatan terkait dengan persiapan persalinan. Suami diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan istrinya saat dalam proses kehamilan dan persiapan sampai dengan saat proses persalinan. Merujuk pada teori Buffering Hipothesis yang berpandangan bahwa kehadiran orang terdekat terutama suami mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi individu dari efek negatif stress. Perlindungan ini akan efektif hanya ketika individu menghadapi stressor yang berat. Dukungan yang didapatkan dari suami akan meimbulkan ketenangan batin dan perasaan senang dalam diri isteri (Dagun, 1991).