11 Maret 2009

PENGARUH TAK : STIMULASI PERSEPSI TERHADAP

BAB 1

1.1 Latar Belakang

Sebagian besar klien yang menderita skizofrenia yang dirawat di BPK RSJ Propinsi Bali masuk rumah sakit dengan riwayat mengalami halusinasi pada fase III dan fase IV. Dari catatan medik dan perawatan klien, rata-rata 7-14 hari setelah mendapat pengobatan dan tindakan keperawatan gejala halusinasi yang dialami klien sudah menghilang. Akan tetapi kenyataan yang peneliti temukan dilapangan halusinasi yang dialami klien seperti siklus yang berulang yaitu klien yang dulunya mengalami gejala halusinasi setelah mendapat pengobatan kemudian gejala halusinasinya hilang akan tetapi beberapa lama kemudian klien kembali mengalami halusinasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kejadian klien yang sudah tenang, tiba-tiba kembali gelisah seperti keadaan saat masuk rumah sakit. Factor utama yang menyebabkan klien kembali mengalami halusinasi adalah kurangnya perhatian dari keluarga selama klien dirawat, dimana klien yang kembali mengalami halusinasi kebanyakan jarang dikunjungi oleh keluarga dan sudah menjalani perawatan lebih dari 6 bulan. Ini dibuktikan dengan keluhan yang paling sering dikatakan oleh klien adalah klien merasa dikucilkan karena tidak pernah dikunjungi dan tidak dijemput pulang oleh keluarga walaupun sudah baikan. Hal ini dapat menjadi sumber tekanan, rasa frustasi dan konflik bagi klien, sehingga klien harus mengadakan adaptasi dan menanggulangi stressor tersebut. Tetapi klien dengan gangguan jiwa kemampuan untuk menghadapi dan menanggulangi stressor sangat kurang sehingga akhirnya klien menjadi stress. Klien yang mengalami halusinasi sering kali beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari lingkungannya, padahal rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tidak dapat mengendalikan dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri. Gejala halusinasi baru disadari lingkungan pada saat klien mengalami periode akut yaitu, ketika timbul gejala positif seperti gaduh dan gelisah, tidak bisa tenang, selalu ingin bergerak, juga merasa mendengar, melihat, mencium atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tak ada (halusinasi). Karenanya pasien sering bicara atau tertawa sendiri seperti ada yang memerintahnya dari dunia luar, jadi perbuatan yang dilakukan diluar akal normal (Chaery Indra dalam http://www.jambi-independent.co.id/home, 21 Juli 2007, jam 17.15 wita. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh klien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan. Dimana klien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Aktifitas fisik merefleksi isi halusinasi seperti ; perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang komplek. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang. (Hawari dalam www.schizophrenia.com/21 Juli 2007, jam 16.25 wita).

Melalui survey kesehatan jiwa yang dilakukan pada penduduk 11 kota terpilih di Indonesia, dilaporkan prevalensi gangguan kesehatan jiwa sebesar 185 orang pada 1000 penduduk. Ini berarti bahwa disetiap rumah tangga yang terdiri dari 5-6 anggota keluarga terdapat satu orang yang menderita gangguan jiwa (Soejono dalam www.republika.co.id/koran_detail/21 Juli 2007, jam 16 50 wita. Dari hasil survey di rumah sakit di Indonesia, ada 0,5-1,5 perseribu penduduk mengalami gangguan jiwa. Sedangkan di jumlahnya berkisar antara 0,5-1 perseribu penduduk. Selain itu resiko penyakit ini lebih rentan dari keluarga penderita. Gangguan jiwa salah satunya adalah Schizophrenia dapat menimpa siapa pun, terutama orang yang memiliki keturunan secara genetis. Episode kegilaan pertama umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Pada anak yang kedua orang tuanya tidak menderita schizophrenia, kemungkinan terkena penyakit ini adalah satu persen. Sementara pada anak yang salah satu orang tuanya menderita schizophrenia, kemungkinan terkena adalah 13 persen. Dan jika kedua orang tua menderita schizophrenia maka risiko terkena adalah 35 persen. (Chaery Indra dalam http://www.jambi-independent.co.id/home, 21 Juli 2007, jam 17.15 wita. Hasil survey pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal 30 Mei 2007 di BPK RSJ Propinsi Bali pada klien yang dirawat inap dengan perubahan persepsi sensori cukup banyak. Dari kapasitas rumah sakit 275 orang, klien yang dirawat inap berjumlah 246 orang, 66 orang (26,8 %) dengan perubahan persepsi sensori, 40 orang (16,2 %) dengan gangguan proses pikir, 59 orang (23,9 %) dengan gangguan hubungan social, 27 orang (10,9 %) dengan gangguan konsep diri, 21 orang (8,5 %) dengan perilaku kekerasan, 3 orang (1,2 %) dengan dimensia, 10 orang (4,1 %) dengan gangguan mental organic, 15 orang (6,2 %) dengan gangguan alam perasaan, ketergantungan obat 5 orang (2,2 %). Dari 66 klien yang mengalami perubahan persepsi, 12 orang (18,1 %) mengalami ilusi, 54 orang (81,9 %) mengalami halusinasi. Dari 54 orang yang mengalami halusinasi, 42 orang (77,8 %) mengalami halusinasi pendengaran dan 12 orang (22,2 %) mengalami halusinasi penglihatan. Dari 42 orang yang mengalami halusinasi pendengaran, 8 orang (33,3 %) pada fase I : Comforting, 25 orang (52,5 %) pada fase II : condemning, 6 orang (19,1 %) pada fase III : controlling dan 3 orang (7,1 %) pada fase IV : conquering.

Terjadinya kekambuhan pada klien yang sedang dirawat di BPK RSJ Propinsi Bali terutama pada klien yang mengalami gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran disebabkan karena ketidakmampuan klien dalam mengadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara mengontrol halusinasi. Adanya ancaman terhadap kebutuhan akan menyebabkan seseorang akan berusaha menanggulangi ancaman tersebut dengan mengadakan adaptasi, pada klien dengan gangguan jiwa kemampuan untuk menghadapi stressor sangat kurang disertai ketidakmampuan untuk mengadakan adaptasi akan mengakibatkan terjadinya kekambuhan. Dari survey pendahuluan yang peneliti lakukan sebagian besar klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi mengalami gangguan dalam berhubungan dengan orang lain (menarik diri). Adanya gangguan dalam berhubungan dengan orang lain akan mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi kepada orang lain, bila ada masalah klien cenderung akan memendamnya sendiri dan berusaha mencari solusi pemecahan dengan caranya sendiri. Karena berperilaku menarik diri mereka biasanya mereka akan mulai dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya, apabila hal ini terus menerus berlangsung maka klien akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan stimulus yang dialami. Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalami, ketidakmampuan untuk mempersepsikan stimulus secara riil akan menyulitkan kehidupan klien. Halusinasi yang dialami oleh klien berbeda intensitas dan keparahannya. Halusinasi di bagi dalam 4 fase yang berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya. Ada empat fase halusinasi yaitu : ansietas sedang (comforting), ansietas berat I (condemning), ansietas berat II (controling), dan panic (conguering). Perilaku klien akibat panik dapat meyebabkan terjadinya suicide atau homicide. Hawari dalam www.schizophrenia.com/21 Juli 2007, jam 16.25 wita).

Angka klien yang dirawat di BPK RSJ Propinsi Bali dengan halusinasi pendengaran cukup tinggi, hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serta penanganan yang serius karena semakin awal pasien ditangani dapat mencegah klien mengalami fase yang lebih berat sehingga resiko kekerasan dengan sendirinya dapat dicegah. Penanganan klien tidak hanya ditekankan dari aspek pengobatan saja karena Keberhasilan pengobatan akan bertambah bila terapi ditambah dengan terapi holistik, yang meliputi terapi psikososial dan vokasional. Tindakan keperawatan yang tepat untuk mengatasi halusinasi dimulai dengan melakukan hubungan saling percaya dengan pasien. Selanjutnya membantu pasien mengenal halusinasi dan membantu mengontrol halusinasi. Pelaksanaan pengenalan dan pengontrolan halusinasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kelompok dan individu. Secara kelompok selama ini sudah kita kenal dengan istilah terapi aktifitas kelompok (TAK) dan secara individu dengan cara face to face ( interaksi). Penggunaan kelompok dalam praktek keperawatan jiwa memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan, atau terapi serta pemulihan kesehatan jiwa seseorang. Meningkatnya penggunaan terapi modalitas merupakan bagian dan memberikan hasil yang positif terhadap perilaku pasien. Dan juga dinamika kelompok tersebut membantu individu atau pasien meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptive. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh individu atau klien melalui aktivitas kelompok meliputi dukungan (support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan hubungan. Terapi aktifitas kelompok dibagi empat yaitu : terapi aktifitas kelompok sosialisasi, stimulasi persepsi, stimulasi sensori, dan orientasi realita. Terapi aktifitas kelompok stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktifitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesian masalah. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya. Metode TAK selama ini belum dilaksanakan oleh perawat di BPK RSJ Propinsi Balioleh sebab itu peneliti tertarik ingin mengkaji pengaruh terapi aktivitas kelompok : stimulasi persepsi terhadap tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh terapi aktivitas kelompok (TAK) : stimulasi persepsi terhadap tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran?.

Pengukuran status gizi anak berdasarkan umur/BB

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan penurunan daya beli dan konsumsi pangan sehingga mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Laporan yang diterima dari beberapa daerah tingkat II dan Rumah Sakit menunjukkan telah terjadi perubahan kuantitas maupun kualitas pola konsumsi dan munculnya kasus Kwashiorkor dan Marasmus akibat kurang pangan yang memerlukan perawatan intensif di Puskesmas perawatan maupun Rumah Sakit (Dep Kes RI, 2008 ).

Masalah gizi masyarakat bukan menyangkut aspek kesehatan saja, melainkan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan sebagainya. Kasus gizi buruk pada anak balita yang meningkat akhir-akhir ini di Indonesia telah menyadarkan pemegang kebijakan untuk melihat lebih jelas bahwa anak balita sebagai sumber daya untuk masa depan ternyata mempunyai masalah yang sangat besar. Faktor penyebab kurang gizi, pertama makanan yang kurang dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Kedua, ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, ketiga faktor tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga (Dep Kes RI, 2008 ).