BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Narkoba) dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecendrungan peningkatan yang sangat pesat, baik kualitas maupun kuantitas. Menurut laporan data terakhir tahun 2004 United Nations Drugs Control Programme (UNDPC), saat ini kurang lebih 200 juta orang diseluruh dunia telah menggunakan jenis barang berbahaya ini, dari jumlah tersebut 1% (+ 2 juta orang berada di Indonesia (BNN, 2004).
Penyalahgunaan narkoba biasanya diawali dengan pemakaian pertama pada usia SD atau SMP, karena tawaran, bujukan, dan tekanan seseorang atau kawan sebaya. Didorong rasa ingin tahu atau ingin mencoba, mereka mau menerimanya, selanjutnya tidak sulit untuk menerima tawaran berikutnya. Dari pemakaian sekali, kemudian beberapa kali, akhirnya menjadi ketergantungan terhadap zat yang digunakan. Narkoba yang sering disalahgunakan dan menyebabkan ketergantungan antara lain heroin (putauw), sabu (metamfetamine), ekstasi, obat penenang dan obat tidur, ganja dan kokaian. Tembakau dan alkohol (minuman keras) yang sering disalahgunakan, juga menimbulkan ketergantungan.
Penyalahgunaan narkoba telah menimbulkan banyak korban, terutama kalangan muda yang termasuk klasifikasi usia produktif. Masalah ini bukan hanya berdampak negatif terhadap diri korban/pengguna, tetapi lebih luas lagi berdampak negatif terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat, perekonomian, kesehatan nasional (HIV dan Hepatitis), mengancam dan membahayakan keamanan, ketertiban, bahkan lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya biaya sosial yang tinggi (Social High Cost) dan generasi yang hilang (Lost Generation). (Depsos RI, 2004).
Upaya pencegahan harus dilakukan sedini mungkin, yaitu pada masa anak usia SD, SMP, dan SMA, sebagai upaya yang berkesinambungan. Pencegahan yang dimaksud bukan semata-mata memberikan informasi mengenai bahaya narkoba, tetapi lebih menekankan pemberian ketrampilan psikososial kepada anak untuk bersikap dan berprilaku positif mengenai situasi penawaran/ajakan dan ketrampilan menolak tawaran/ajakan tersebut. Penyalahgunaan narkoba merupakan masalah perilaku manusia, bukan semata-mata masalah zat atau narkoba itu sendiri. Sebagai masalah perilaku, banyak variabel yang mempengaruhi, oleh karena itu informasi mengenai bahaya narkoba kepada anak dan remaja, tanpa usaha mengubah perilakunya dengan memberikan ketrampilan yang diperlukan akan kurang bermanfaat, bahkan dikhawatirkan terjadi efek paradoksal (sebaliknya), yaitu meningkatnya keingintahuan atau keinginan mencoba pada anak dan remaja. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba perlu dilakukan pencegahan secara komprehensif di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat agar para remaja yang merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan pembangunan bangsa, tidak terjerumus dalam penggunaan narkoba.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan umum
Dapat memperoleh gambaran umum tentang peran orang tua dan guru dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba.
2. Tujuan khusus
Diharapkan dapat :
a. Mengetahui tentang model-model pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba.
b. Mengetahui tentang peran orang tua dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba.
c. Mengetahui tentang peran guru dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba.
d. Mengetahui tentang keterampilan dasar yang harus dimiliki orang tua dan guru dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba.
C. METODA PENULISAN
Metoda yang digunakan dalam penulisan tugas makalah ini adalah diskusi dengan teman-teman, dengan metoda kepustakaan yaitu dengan cara mempelajari buku-buku, literature-literatur, makalah-makalah seminar dan symposium yang ada kaitannya dengan makalah ini.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan makalah ini disusun dalam empat BAB dengan sistematika sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, tujuan penulisan, metoda penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan teori yang menguraikan tentang pengertian, faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkoba, penggolongan narkoba, pengaruh berbagai jenis narkoba pada tubuh, pola pemakaian narkoba, akibat penyalahgunaan narkoba. BAB III : Pembahasan yang menguraikan tentang model-model pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba, peran orang tua dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba, peran guru dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba, keterampilan dasar yang harus dimiliki orang tua dan guru dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba. BAB IV : Penutup, yang menguraiakan kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Pada bab ini akan dibahas beberapa pengertian yang meliputi :
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Martono, 2000)
2. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku (Martono, 2000)
3. Zat adiktik adalah zat atau obat yang dapat menyebabkan ketagihan/adiksi (Martono, 2000)
4. Narkoba atau nafza adalah bahan/obat/zat yang bukan tergolong makanan, jika diminum, diisap, dihirup, ditelan atau disuntukkan berpengaruh terutama pada kerja otak (susunan saraf pusat), dan sering menyebabkan ketergantungan, akibatnya kerja otak berubah (meningkat atau menurun) demikian pula fungsi vital organ tubuh lain seperti jantung, peredaran darah, pernafasan dan lain-lain (Joewono, 2004).
5. Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih yang secara kurang teratur dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan fisik, mental, dan kehidupan sosialnya (Joewono, 2004).
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba sangat komplek, tetapi selalu merupakan interaksi. Ada tiga faktor penyebab penyalahgunaan narkoba yang dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini :
Bagan 1
Interaksi Tiga Faktor-Faktor Penyebab
Dari bagan diatas, ketiga faktor penyebab tersebut harus ada, maka barulah terjadi penyalahgunaan. Faktor narkoba berbicara tentang zat, yaitu jenis, dosis dan cara pakai dan pengaruhnya pada tubuh, serta ketersedian dan pengendalian peredarannya. Dari sudut individu penyalahgunaan narkoba harus dipahami dari masalah perilaku yang kompleks, yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan berbicara tentang keluarga, kelompok sebaya, kehidupan sekolah dan masyarakat luas.
C. Penggolongan Narkoba
Karena bahaya ketergantungan, penggunaan, dan peredaran narkoba diatur dalam undang-undang, yaitu undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika, undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika. Penggolongan jenis-jenis narkoba didasarkan pada peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. Narkotika
Menurut undang-undang Nomor 22 tahun 1997, narkotika dibagi menurut potensi yang menyebabkan ketergantungannya adalah sebagai berikut :
a. Narkotika Golongan I : berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan, tidak digunakan untuk terapi (pengobatan). Contoh : heroin, kokain dan ganja. Putauw adalah heroin tidak murni berupa bubuk.
b. Narkotikan Golongan II : berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan, digunakan pada terapi sebagai pilihan terakhir. Contoh : morfin, petidin dan metadon.
c. Narkotika Golongan III : berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan banyak digunakan dalam terapi. Contoh : kodein.
2. Psikotropika
Menurut undang-undang Nomor 5 tahun 1997 psikotropika dibagi menurut potensi yang dapat menyebabkan ketergantungan antara lain :
a. Psikotropika Golongan I : amat kuat menyebabkan ketergantungan dan tidak digunakan dalam terapi. Contoh : MDMA (ekstasi)
b. Psikotropika Golongan II : kuat menyababkan ketergantungan, digunakan terbatas pada terapi. Contoh : amfetamin, metamfetamin (sabu), fensiklidin, dan ritalin.
c. Psikotropika Golongan III : potensi sedang menyebabkan ketergantungan, banyak digunakan dalam terapi. Contoh : pentobarbital dan flunitrazepam.
d. Psikotropika Golongan IV : potensi ringan menyebabkan ketergantungan dan sangat luas digunakan dalam terapi. Contoh : diazepam, klobazam, fenobarbital, barbital, klorazepam, klordiazepoxide, dan nitrazepam (nipam, pil KB/koplo)
3. Zat psiko-aktif lain
Tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan tentang narkotika dan psikotropika. Yang sering disalah gunakan adalah :
a. Alkohol, yang terdapat pada berbagai jenis minuman keras
b. Inhalasia/sovel, yaitu gas atau zat yang mudah menguap yang terdapat pada berbagai keperluan pabrik, kantor dan rumah tangga.
c. Nikotin yang terdapat pada tembakau
d. Kafein pada kopi, minuman penambah energi dan obat sakit kepala tertentu.
Penggolongan narkotiba, psikotropika, dan zat adiktik lainnya menurut WHO didasarkan atas pengaruhnya terhadap tubuh manusia antara lain :
1. Opioida : mengurangi rasa nyeri dan menyebabkan mengantuk atau turunnya kesadaran. Contoh : opium, morfin, heroin dan petidin.
2. Ganja : menyebabkan perasaan riang, meningkatkan daya khayal, dan perubahan perasaan waktu. Contoh : mariyuana, hasis.
3. kokain dan daun koka, tergolong stimulansia (meningkatkan aktivitas otak/fungsi organ tubuh lain).
4. Golongan amfetamin, tergolong stimulansia. Contoh : ekstasi, sabu.
5. Alkohol, yang terdapat pada minuman keras.
6. Halusinogen, memberikan halusinasi (khayal). Contoh : Lysergic Acid (LSD) sering disebut acid, red dragon, blue heaven, sugar cuber, trips dan tabs.
7. Sedativa dan Hipnotika (obat penenang/obat tidur, seperti pil BK, MG)
8. Solven dan inhalasi : gas atau uap yang dihirup. Contoh : tiner dan lem
9. Nikotin, terdapat pada tembakau (termasuk stimulansia).
10. kafein, terdapat dalam kopi, berbagai jenis obat penghilang rasa sakit atau nyeri, dan minuman kola (termasuk stimulansia).
D. Cara Kerja Narkoba Dan Pengaruhnya Pada Otak
Narkoba berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan perasaan yang disebut sistem limbus. Hipotalamus merupakan pusat kenikmatan pada otak adalah bagian dari sistem limbus. Narkoba menghasilkan perasaan ”High” dengan mengubah susunan biokimia molekul pada sel otak yang disebut neurotransmitter. Dapat dikatakan otak bekerja dengan motto jika merasa enak. Lakukanlah. Otak dilengkapi alat untuk menguatkan rasa nikmat dan menghindarkan rasa sakit atau tidak enak, guna membantu kita memnuhi kebutuhan dasar manusia seperti rasa lapar, haus, rasa hangat dan tidur. Mekanisme ini merupakan mekanisme pertahanan diri. Jika kita lapar, otak menyampaikan pesan agar mencari makanan yang kita butuhkan, kita berupaya mencari makanan itu dan menempatkat diatas segala-galanya, kta rela meninggalkan pekerjaan dan kegiatan lain demi memperoleh makanan itu.
Yang terjadi pada adiksi adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan (hipotalamus), jika mengonsumsi narkoba, otak akan membaca tanggapan kita jika nikmat otak akan menngeluarkan neurotransmitter yang menyampaikan pesan ”zat ini berguna bagi mekanisme pertahanan tubuh, jadi ulangi pemakaiannya” jika memakai narkoba lagi, kita kembali merasa nikmat seolah-olah kebutuhan kita terpuaskan. Otak akan merekamnya sebagai suatu yang harus dicari sebagai prioritas akibatnya otak membuat program salah, seolah-olah kita memang memerlukanya sebagai mekanisme pertahanan diri maka terjadilah kecanduan.
E. Pengaruh Berbagai Jenis Narkoba Pada Tubuh
1. Opioida
a. Pengaruh jangka pendek : hilangnya rasa nyeri, ketegangan berkurang, rasa nyaman (eforik) diikuti perasaan seperti mimpi dan rasa mengantuk.
b. Pengaruh jangka panjang : ketergantungan (gejala putus zat, toleransi) dan meninggal dunia karena over dosis. Dapat menimbulkan komplikasi seperti sembelit, gangguan mentruasi dan impotensi. Karena pemakaian jarum suntik tidak steril timbul abses dan tertulas hepatitis B/C atau penyakit HIV/AIDS.
2. Ganja (mariyuana, cimeng, gelek, dan hasis)
a. Pengaruh jangka pendek : segera setelah pemakaian akan timbul rasa cemas, gembira, banyak bicara, tertawa cekikikan, halusinasi, dan berubahnya perasaan waktu (lama dikira sebentar) dan ruang (jauh dikira dekat), peningkatan denyut jantung, mata merah, mulut dan tenggorokan kering, selera makan meningkat.
b. Pengaruh jangka panjang : daya pikir berkurang, motivasi belajar turun, perhatian ke sekitarnya berkurang, daya tahan terhadap infeksi menurun, aliran darah ke jantung berkurang dan perubahan pada sel-sel otak.
3. Kokain
a. Pengaruh jangka pendek : rasa percaya diri meningkat, banyak bicara, rasa lelah hilang, kebutuhan tidur berkurang, minat seksual meningkat, halusinasi visual dan taktil (seperti ada serangga merayap), waham curiga dan waham kebesaran.
b. Pengaruh jangka panjang : kurang gizi, anemia, sekat hidung rusak/berlubang, dan gangguan jiwa psikotik.
4. Alkohol
a. Pengaruh jangka pendek : alkohol dapat menyebabkan mabuk, jalan sempoyongan, bicara cadel, kekerasan atau perbuatan merusak, ketidakmampuan belajar dan mengingat dan menyababkan kecelakaan karena mengendarai dalam keadaan mabuk.
b. Pengaruh jangka panjang : menyebabkan kerusakan pada hati, kelenjar getah lambung, saraf tepi, otak, gangguan jantung, meningkatkan risiko kanker, dan bayi lahir cacat dari ibu pecandu alkohol.
5. Golongan amfetamin
a. Pengaruh jangka pendek : tidak tidur (terjaga), rasa riang, perasaan melambung (fly), rasa nyaman, meningkatkan keakraban. Namun setelah itu timbul rasa tidak enak, murung, nafsu makan hilang, berkeringat, rasa haus, rahang kaku dan bergerak-gerak, badan gemetar, jantung berdebar dan tekanan darah meningkat.
b. Pengaruh jangka panjang : kurang gizi, anemia, penyakit jantung, dan gangguan jiwa. Pembuluh darah otak dapat pecah sehingga mengalami stroke atau gagal jantung yang dapat menyebabkan kematian.
6. Halusinogen (lysergic acid)
a. Pengaruh jangka pendek : pengaruh LSD tak dapat diduga dimana sensasi dan perasaan berubah secara dramatis, mengalami flasbacks dan bad trips (halusinasi) secara berulang tanpa peringatan sebelumnya, pupil melebar, tidak dapat tidur, selera makan hilang, suhu tubuh meningkat, berkeringat, denyut nadi dan tekanan darah meningkat.
b. Pengaruh jangka panjang : merusak sel otak, gangguan daya ingat, dan pemusatan perhatian, meningkatnya resiko kejang, kegagalan pernafasan dan jantung.
7. Sedativa dan hipnotika (obat penenang dan obat tidur)
a. Pengaruh jangka pendek : perasaan tenang dan otot-otot mengendur. Pada dosis lebih besar dapat terjadi gangguan bicara (pelo), persepsi terganggu, dan jalan sempoyongan, untuk dosis lebih tinggi mengakibatkan tertekannya pernafasan, koma, dan kematian.
b. Pengaruh jangka panjang : gejala ketergantungan.
8. Solven dan inhalasi
a. Pengaruh jangka pendek : dapat mengakibatkan kematian mendadak karena otak kekurangan oksigen atau karena ilusi, halusinasi dan persepsi salah (merasa bisa terbang sehingga mati ketika terjun dari tempat tinggi).
b. Pengaruh jangka panjang : kerusakan otak, paru-paru, ginjal, sumsum tulang dan jantung.
9. Nikotin
Menyebabkan kanker paru, penyempitan pembuluh darah, penyakit jantung dan tekanan darah tinggi.
F. Pola Pemakaian Narkoba
Ada beberapa pola pemakaian narkoba antara lain :
1. Pola coba-coba
Yaitu karena iseng atau ingin tahu. Pengaruh tekanan kelompok sebaya sangat besar, yang menawarkan atau membujuk untuk memakai narkoba. Ketidakmampuan berkata ”tidak” mendorong anak untuk mencobanya, apabila ada rasa ingin tahu atau ingin mencoba.
2. Pola pemakaian sosial
Yaitu pemakaian narkoba untuk tujuan pergaulan agar diakui/diterima kelompok.
3. Pola pemakaian situasional
Yaitu karena situasi tertentu, misalnya kesepian, stres dan lain-lainnya. Disebut juga tahap instrumental, karena dari pengalaman pemakaian sebelumnya disadari narkoba dapat menjadi alat untuk mempengaruhi atau memanipulasi emosi dan suasana hatinya. Disini pemakaian narkoba telah mempunyai tujuan yaitu sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini pamakai berusaha memperoleh narkoba secara aktif.
4. Pola habituasi (kebiasaan)
Ketika telah memakai narkoba secara teratur/sering, terjadi perubahan pada faal tubuh dan gaya hidupnya. Teman lama berganti dengan teman kalangan pecandu. Kebiasaan, pakaian, pembicaraan dan sebagainya akan berubah. Menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah, sulit tidur dan berkonsentrasi, sebab naokoba mulai menjadi bagian hidupnya. Minat dan cita-cita semua hilang, sering membolos dan prestasi disekolah merosot, lebih suka menyendiri dari pada berkumpul bersama keluarga. Meskipun masih dapat mengendalikan pemakaiannya, tetapi telah terjadi gejala awal ketergantungan. Pola pemakaian narkoba inilah yang secara klinis disebut penyalahgunaan.
5. Pola ketergantungan
Dengan gejala khas yaitu : timbulnya toleransi atau gejala putus zat. Pemakai akan berusaha untuk selalu memperoleh narkoba dengan berbagai cara seperti berbohong, menipu dan mencuri menjadi kebiasaannya. Tidak dapat lagi mengendalikan diri dalam penggunaannya, sebab narkoba telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman menjadi rusak.
G. Akibat Penyalahgunaan Narkoba
1. Bagi diri sendiri
a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal remaja seperti :
1) Daya ingat sehingga mudah lupa
2) Perhatian sehingga sulit berkonsentrasi
3) Perasaan sehingga tidak dapat bertindak rasional dan impulsif
4) Persepsi sehingga memberi perasaan semu/khayal
5) Motivasi sehingga keinginan dan kemampuan belajar merosot, persahabatan rusak, minat dan cita-cita semula padam
b. Intoksikasi (keracunan)
Yaitu gejala yang timbul akibat pemakaian narkoba dalam jumlah yang cukup berpengaruh pada tubuh dan perilakunya. Gejalanya tergantung jenis, jumlah dan cara penggunaannya.
c. Over dosis
Dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernafasan (heroin) atau perdarahan otak (amfetamin,sabu). Over dosis terjadi karena toleransi maka perlu dosis yang lebih besar, atau karena sudah lama berhenti pakai, lalu memakai lagi dengan dosis yang dahulu digunakan.
d. Gejala putus zat
Yaitu gejala ketika dosis yang dipakai berkurang atau dihentikan pemakiannya. Berat ringan gejala bergantung jenis zat, dosis dan lama pemakaian.
e. Berulang kali kambuh
Yaitu ketergantungan yang menyebabkan craving (rasa rindu pada narkoba), walau telah berhenti pakai. Narkoba dan perangkatnya seperti kawan-kawan sesama pemakai, suasana dan tempat-tempat penggunaannya dahulu mendorong untuk memakai narkoba kembali. Itu sebabnya pecandu akan berulang kali kambuh.
f. Gangguan perilaku/mental-sosial
Sikap acuh tak acuh, sulit mengendalikan diri, mudah tersinggung, menarik diri dari pergaulan, hubungan dengan keluarga dan teman terganggu, terjadi perubahan mental diantaranya gangguan pemusatan perhatian, motivasi belajar/bekerja lemah, ide paranoid, gejala parkinson.
g. Gangguan kesehatan
Yaitu kerusakan atau gangguan fungsi organ tubuh seperti hati, jantung, paru, ginjal, kelenjar endokrin, alat reproduksi, infeksi hepatitis B/C, HIV/AIDS, penyakit kulit dan kelamin, kurang gizi dan gigi berlubang.
h. Kendornya nilai-nilai
Mengendornya nilai-nilai kehidupan agama, sosial, budaya seperti perilaku seks bebas dengan akibatnya (penyakit kelamin, kehamilan yang tidak diinginkan), sopan santun hilang, menjadi asosial, mementingkan diri sendiri dan tidak memperdulikan kepentingan orang lain.
i. Keuangan dan hukum
Yaitu keuangan menjadi kacau karena harus memenuhi kebutuhan akan narkoba. Itu sebabnya ia akan mencuri, menipu dan menjual barang-barang milik sendiri atau orang lain. Jika masih sekolah,uang sekolah digunakan untuk membeli narkoba sehingga akan terancam putus sekolah. Dapat juga malakukan tindakan kriminal sehingga bisa terkena sanksi hukum (ditahan, dipenjara atau didenda).
2. Bagi keluarga
Suasana hidup nyaman dan tentram menjadi terganggu, membuat keluarga resah karena barang-barang berharga di rumah hilang. Anak berbohong, mencuri, menipu, bersikap kasar, acuh tak acuh dengan urusan keluarga, tidak bertanggung jawab, hidup semaunya dan asosial.
Orang tua menjadi malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah, tetapi juga sedih dan marah. Perilakunya ikut berubah sehingga fungsi keluarga terganggu. Orang tua menjadi putus asa karena masa depan anak tidak jelas, stres meningkat dan membuat kehidupan ekonomi morat-marit, pengeluaran uang meningkat karena pemakaian narkoba atau karena harus berulang kali dirawat dan bahkan mungkin mendekam di penjara.
3. Bagi sekolah
Narkoba merusak disiplin dan motivasi yang sangat penting bagi proses belajar. Siswa penyalahguna narkoba mengganggu suasana belajar-mengajar di kelas dan prestasi belajar turun drastis. Penyalahgunaan narkoba juga berkaitan dengan kenakalan dan putus sekolah, kemungkinan siswa penyalahguna narkoba membolos lebih besar dari siswa lain.
Penyalahgunaan narkoba juga berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu suasana tertib dan aman, perusakan barang-barang milik sekolah, meningkatnya perkelahian. Mereka juga menciptakan iklim acuh tak acuh dan tidak menghormati pihak lain. Banyak diantara mereka menjadi pengedar atau pencuri barang milik teman atau karyawan sekolah.
4. Bagi masyarakat, bangsa dan negara
Mafia perdagangan gelap selalu berusaha memasok narkoba. Terjalin hubungan antara pengedar/bandar dan korban sehingga tercipta pasar gelap. Oleh karena itu, sekali pasar terbentuk akan sulit memutus mata rantai peredarannya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan, sehingga kesinambungan pembangunan terancam. Negara menderita kerugian karena masyarakatnya tidak produktif dan tingkat kejahatan meningkat, belum lagi sarana dan prasarana yang harus disediakan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Model-Model Pencegahan Dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba.
Ada empat model pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba , dimana setiap model mempunyai srategi atau cara pendekatan, sesuai disiplin ilmu dari setiap model antara lain :
1. Model Moral Legal
Model ini juga disebut sebagai model tradisional/konvensional. Penganut model ini adalah para penegak hukum, tokoh agama dan kaum moralis. Disini narkoba dianggap sebagai penyebab masalah. Oleh karena itu , pengedar/penjual dan penggunanya secara moral (sosial) dan legal adalah pelaku kejahatan yang harus dihukum dan dijauhkan dari lingkungan sosialnya.
Tujuan utama pencegahan dan penanggulangan model ini adalah ”bagaimana menjauhkan narkoba dari penggunaannya oleh masyarakat”. Narkoba adalah unsur aktif, sedangkan masyarakat adalah korban yang harus dilingdungi dengan pengaturan moral, sosial dan legal. Pencegahan dilakukan dengan pengawasan ketat peredaran narkoba, meningkatkan harga jual, ancaman hukuman berat dan peringatan keras akan bahayanya. Diharapkan kepada masyarakat agar waspada terhadap bahayanya.
Model ini dahulu menjadi bobot terbesar cara penanggulangan di banyak negara. Saat ini pun berlaku pada negara yang penegakkan hukumnya menjadi tolak ukur seperti Singapura dan Malaysia. Indonesia mengikuti upaya ini, tetapi penegakkan hukumnya masih sangat lemah.
2. Model Medik dan Kesehatan Masyarakat
Penganut model ini adalah ahli kedoteran dan kesehatan, dimana mereka menganggap penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit menular yang berbahaya sehingga penanggulangannya pun harus mengikuti cara pemberantasan penyakit menular seperti malaria. Model narkoba-individu-lingkungan tidak ubahnya model kesehatan masyarakat dalam memberantas penyakit menular dengan model segitiga agent-host-environment.
Sama halnya dengan model pertama, model ini masih mengganggap narkoba sebagai penyebab masalah. Penanggulangan tidak jauh berbeda dengan model pertama. Hanya disini, narkoba tidak dilihat sebagai unsur berbahaya dan melanggar hukum, tetapi sebagai penyebab suatu penyakit. Individu pun digolongkan sebagai rawan atau tidak rawan.
Indonesia menganut model ini, misalnya penyalah guna ditolong hanya secara medik dengan melakukan pengawasan terhadap penggunaan dan peredaran narkoba serta informasi mengenai narkoba sebagai penyebab ketergantungan. Upaya pencegahan ditujukan pada sekelompok masyarakat dari bahaya ”ditularkan” oleh pecandu, identifikasi dan pertolongan pada sekelompok yang berisiko tinggi, serta penerangan. Informasi bahaya narkoba dilakukan seperti halnya kampanye anti rokok.
3. Model Psikososial
Model psikososial menempatkan individu sebagai unsur aktif dalam rumus narkoba individu lingkungan. Penanggulangannya ditujukan pada faktor perilaku individu. Disebut model psikososial karena perilaku seseorang bergantung pada dinamika dengan lingkungannya, baik dari segi perkembangan dan pendidikannya maupun dalam berinteraksi dengan lingkungannya (dinamika kelompok).
Penyalahgunaan narkoba pada model ini dilihat sebagai masalah perilaku, tidak berbeda dengan masalah perilaku lain. Ada beberapa prinsip yang perlu diketahui dalam penerapan model ini, diantaranya sebagai berikut :
a. Pemakaian narkoba berbeda pada setiap individu, setiap individu memakai narkoba yang berbeda dalam takaran yang berbeda, untuk alasan yang berbeda, dalam konteks sosial yang berbeda dan dengan hasil atau efekyang berbeda.
b. Sebagai penomena psikososial, penyalahgunaan narkoba tidak selalu mempunyai hubungan sebab akibat, sebab banyak faktor yang mempengaruhinya yaitu keluarga, sekolah, agama, masyarakat dan kelompok sebaya.
c. Pemberian informasi saja tidak akan mempenagruhi perilaku seseorang. Informasi yang diberikan secara pasif yang tidak dikaitkan dengan seluruh proses perubahan perilaku tidak akan banyak bermanfaat.
Model psiko sosial tidak melihat penyalahgunaan narkoba sebagai masalah narkoba, tetapi sebagai masalah manusia ”It is not a problem of drugs, but it is a problem of people”, sehingga sumber masalahnya adalah diri sendiri, bukan narkoba atau penggunanya. Pencegahan pada model ini ditujukan pada perbaikan kondisi pendidikan atau lingkungan psikososialnya seperti keluarga, sekolah dan masyarakat. Pemberian informasi tentang narkoba dengan cara menakut-nakuti (Horror tecnique atau scare tactic) sangat tidak dianjurkan.
4. Model Sosial Budaya
Model ini menekankan pentingnya lingkungan dan konteks sosial budaya. Contohnya merokok adalah perilaku normal yang dapat diterima oleh sebagian besar orang dewasa. Pemakaian ganja pada beberapa daerah atau negara dianggap wajar, namun penyalahgunaan narkoba jenis lain dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang atau tidak wajar. Artinya menyimpang dari norma sosial-budaya yang berlaku yang variabelnya ditentukan oleh kultur atau subkultur yang sangat kompleks.
Pandangan sosial budaya melihat perilaku penyimpang tersebut sebagai produk yang kurang menguntungkan dari sistem sosial tertentu. Sasaran penanggulangan pada model ini adalah perbaikan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan masyarakat. Industrialisasi, urbanisasi, kurangnya kesempatan kerja dan sebagainya menjadi perhatian utama. Oleh karena itu lembaga-lembaga terutama pendidikan perlu dimodifikasi menjadi lebih manusiawi, pelayanan kesehatan dan sosial ditujukan bagi kepentingan klien/konsumen, pengembangan potensi masyarakat pada setiap kelompok umur dan perluasan kesempatan kerja dan sebagainya.
B. Peran Orang Tua Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba.
Orang tua dapat berperan dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba dengan jalan melaksanakan tugas sebagai berikut:
1. Mengajarkan standar perilaku benar/salah dan baik/buruk serta menunjukkan keteladanan dalam standar perilaku tersebut dengan cara :
a. Menjadi contoh yang baik bagi anak dan tidak memakai narkoba
b. Menjelaskan sedini mungkin kepada anak sampai remaja bahwa penyalahgunaan narkoba tidak dapat dibenarkan dan berbahaya
c. Mendisiplinkan anak dengan memberi tugas harian untuk melatih tanggung jawab atas kegiatan dan perilakunya sehari-hari.
d. Mendorong anak agar berdiri teguh jika menghadapi tekanan kelompok sebaya untuk memakai narkoba.
2. Membantu anak menolak tekanan kelompok sebaya untuk memakai narkoba, mengawasi kegiatan, mengetahui teman-teman anak dan berbicara dengan mereka mengenai minat dan permasalahannya dengan cara :
a. Mengetahui kegiatan anak sehari-hari dan teman-temannya
b. Meningkatkan komunikasi keluarga dan mendengarkan anak secara aktif
c. Membahas hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba
d. Bersikap selektif terhadap acara televisi dan film yang ditonton annak.
3. Memiliki pengetahuan tentang narkoba dan tanda-tanda penyalahgunaannya, jika menemukan gejala segera mengambil langkah yang diperlukan, dengan cara :
a. Mempelajari luasnya permasalahan penyalahgunaan narkoba di lingkungannya dan di sekolah anaknya.
b. Terampil mengenal tanda-tanda penyalahgunaan narkoba
c. Jika anak diduga menyalahgunakan narkoba membahas hal itu dengan tenang bersama anak, tidak pada saat anak memakai narkoba, membuat peraturan yang dapat menjauhkan anak dari lingkungan yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan narkoba.
d. Bersama para orang tua membahas masalah penyalahgunaan narkoba di sekolah, menciptakan mekanisme informasi mengenai penyalahgunaan narkoba.
4. Mendukung kebijakan sekolah bebas narkoba dengan :
a. Mendukung mereka yang giat dibidang penanggulangan penyalahgunaan narkoba.
b. Membantu sekolah memonitor kehadiran siswa, merencanakan dan mendukung kegiatan-kegiatan yang disponsori sekolah.
c. Berkomunikasi teratur dengan sekolah perihal perilaku anaknya.
C. Peran Guru Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba.
Disekolah guru dapat berperan dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba dengan jalan melaksanakan tugas sebagai berikut :
1. Menetapkan peraturan dan tata tertib di sekolah dan dalam kegiatan sekolah, agar lingkungan sekolah aman dan terhindar dari pengaruh negatif terhadap kegiatan belajar mengajar.
2. Membuat program sekolah bebas narkoba
3. Mengawasi pelaksanaan dan mensosialisasikan program sekolah bebas narkoba
4. menjalin kerja sama dengan lembaga kesehatan, sosial agama, penegak hukum, tokoh-tokoh masyarakat dan tenaga profesi lainnya
5. Bersama komite sekolah dan masyarakat membentuk tim/pokja anti narkoba, anti kekerasan dan penegakan disiplin
6. Menyampaikan pesan moral dan nilai sebagai pedoman hidup dalam pembentukan pribadi siswa, agar memiliki ketahanan mental-sosial-spiritual
7. Menyampaikan materi pendidikan pencegahan penyalahgunaan narkoba dan tindakan kekerasan dalam kegiatan ektrakurikuler.
8. Mendata faktor resiko tinggi siswa dan keluarga
9. Melatih siswa sebagai konselor sebaya
10. Mendata kasus penyalahgunaan narkoba, kekerasan dan pelanggaran disiplin
11. memberikan bimbingan dan konseling secara proaktif
D. Keterampilan Dasar Yang Perlu Dimiliki Orang Tua Dan Guru Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba.
Beberapa keterampilan dasar yang perlu dimiliki orang tua dan guru dalam upaya mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba diantaranya:
1. Cara berkomunikasi efektif
a. Tidak menebak perasaan anak, tetapi mendengarkannya dengan baik agar dapat menentukan permasalahan anak
b. Mewaspadai bahasa nonverbal ketika sedang bicara
c. Tidak melipat tangan ketika sedang berbicara dengan anak (yang menggambarkan sikap menutup diri)
d. Menyatakan perasaan atau keinginan dengan jujur, baik untuk hal-hal yang positif maupun negatif.
e. Menggunakan kata-kata positif untuk menunjukkan penghargaan atau pujian.
f. Tidak menggunakan kata-kata seperti seharusnya, selalu, tidak pernah. Hal ini menimbulkan perasaan bahwa siswa hanya bilangan, bukan seseorang
g. Tidak mengancam, menyuruh anak melakukan sesuatu dan mengancam dengan hukuman. Hal ini akan menyebabkan anak berlaku curang atau memberontak
h. Menghindari memberi nasehat. Nasehat lebih baik daripada menggurui atau memberinya ceramah, tetapi tidak mendorong anak belajar mandiri dan berpikir kreatif.
2. Mendengarkan aktif
a. Mengulang komentar anak (mendengar refleksi) dengan tujuan memastikan bahwa berkataan anak didengarkan, membuat anak mendengar kembali apa yang dikatakan, memastikan bahwa anda mengerti apa yang dikatakan.
b. Memperhatikan wajah dan bahasa tubuh. Jika keduanya berbeda, percayai bahasa tubuh yang menyatakan perasaan sebenarnya.
c. Memberi dukungan baik secara verbal maupun non verbal (sentuhan, menepuk bahu, kontak mata dan mengangguk).
d. Menggunakan nada yang sesuai dengan jawaban. Jangan sampai nada suara menunjukkan hal-hal yang bertentangan dengan perkataan, yang menunjukkan kesan tidak berminat atau seolah-olah mengetahui semuanya.
e. Gunakan kata atau ungkapan pada waktu yang tepat, misalnya waktu jeda untuk menunjukkan minat agar pembicaraan tetap berlanjut.
3. Keterampilan menolak tawaran narkoba
Anak perlu memiliki keberanian untuk berdiri teguh dalam sikap dan kenyakinannya, terutama jika menghadapi teman yang memintanya untuk menuruti apa yang dikehendakinya. Anak perlu menyadari bahwa teman sejati adalah mereka yang menginginkan setiap orang menjadi dirinya sendiri.
Tekanan untuk memakai narkoba dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Tekanan langsung adalah 1-2 teman mencoba menyuruh anak memakai narkoba, tekanan tidak langsung misalnya pada suatu pesta diedarkan ganja, tanpa ada orang yang menyuruh memakainya akan tetapi anak merasa memperoleh tekanan untuk memakainya agar ia dapat diterima oleh lingkungannya.
Cara menolak antara lain dengan berkata ”tidak”, tetap berkata ’tidak” walau didesak, memberi alasan, mengalihkan pembicaraan dan pergi meninggalkan tempat itu.
4. Membantu meningkatkan percaya diri
Untuk dapat mengatakan ”tidak” siswa/anak harus belajar cara meningkatkan percaya diri. Guru atau orang tua membantu mengembangkan percaya diri siswa/anak sehingga mereka lebih mudah menolak tekanan kelompok sebaya dengan cara :
a. Memberi pujian atau ucapan selamat atas prestasi kecil yang dilakukannya. Perlu dijelaskan kepadanya bahwa melakukan pekerjaan sebaik mungkin adalah lebih baik daripada menang dalam perlombaan.
b. Bantu siswa/anak menetapkan tujuan hidupnya secara realistis, jika harapan anak terlalu tinggi lalu gagal, hal itu dapat mengganggu harga diri anak.
c. Kritik perbuatannya atau tindakannya,bukan harga diri siswa/anak. Jika melakukan perbuatan berbahaya, tidak baik atau melanggar peraturan, siswa/anak harus ditegur. Jangan berkata : ”Tidak seharusnya kamu lompati dinding itu, apa kamu tidak punya pikiran”, namun katakan ”melompat dari atas tembok yang tinggi sangat berbahaya, kamu dapat terluka jangan lagi lakukan hal itu!”.
d. Beri siswa/anak tanggung jawab dengan tugas tertentu. Ia akan melihat, bahwa ia adalah bagian dari sebuah tim.
e. Perlihatkan kepada siswa bahwa anda peduli kepadanya, menepuk bahu siswa/anak akan membuat siswa merasa aman.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Narkoba atau nafza adalah bahan/obat/zat yang bukan tergolong makanan yaang berpengaruh terutama pada kerja otak (susunan saraf pusat), dan sering menyebabkan ketergantungan.
2. Ada tiga faktor penyebab penyalahgunaan narkoba yaitu narkoba, individu dan lingkungan.
3. Penggolongan jenis-jenis narkoba didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan dibagi menurut potensi yang menyebabkan ketergantungannya.
4. Narkoba berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan perasaan yang disebut sistem limbus.
5. Pengaruh berbagai jenis narkoba pada tubuh meliputi pengaruh jangka pendek dan pengaruh jangka panjang.
6. Ada beberapa pola pemakaian narkoba antara lain : pola coba-coba, pola pemakaian sosial, pola pemakaian situasional, pola habituasi (kebiasaan) dan pola ketergantungan.
7. Akibat penyalahgunaan narkoba diantaranya pada diri sendiri, keluarga, sekolah dan bagi masyarakat, bangsa dan negara.
8. Ada empat model pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba, dimana setiap model mempunyai srategi atau cara pendekatan, sesuai disiplin ilmu dari setiap model.
9. Orang tua dapat berperan dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba dengan mengajarkan standar perilaku, membantu anak menolak tekanan kelompok sebaya untuk memakai narkoba, memiliki pengetahuan tentang narkoba dan tanda-tanda penyalahgunaannya, mendukung kebijakan sekolah bebas narkoba
10. Guru dapat berperan dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba dengan menetapkan peraturan dan tata tertib di sekolah dan dalam kegiatan sekolah, agar lingkungan sekolah aman dan terhindar dari pengaruh negatif terhadap kegiatan belajar mengajar, membuat program sekolah bebas narkoba
11. Keterampilan dasar yang perlu dimiliki orang tua dan guru dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba antara lain cara berkomunikasi efektif, mendengarkan aktif, keterampilan menolak tawaran narkoba, membantu meningkatkan percaya diri
B. Saran
1. Penyalahgunaan narkoba merupakan masalah universal sehingga perlu usaha bersama baik dari orang tua, guru, tenaga kesehatan dan instansi terkait agar tidak bertambah banyak lagi generasi muda yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba.
2. Keluarga merupakan benteng utama untuk mengecah anak dari penyalahgunaan narkoba sehingga para orang tua lebih meningkatkan peran sertanya dalam mencegah dan menganggulangi penyalahgunaan narkoba karena narkoba dapat mengintai anak setiap saat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Narkotika Nasional (2004). Terapi KomunitasDalam Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta : Departemen Sosial RI
http:// www.Kompas.co.id/ Merokok dan Narkoba Sama Bahayanya.12 Nopember 2007, jam 10.00 wita
http:// www.infonarkoba.com/ Gerbang Informasi Dan Solusi Masalah Narkoba. 12 Nopember 2007, jam 10.10 wita
Joewana, Satya (2005) Pencegahan Dan Penanggulanagan Penyalahgunaan Narkoba Berbasis Sekolah. Jakarta : PT Balai Pustaka
Martono, L. Harlina (1998) Pendidikan Sebagai Sarana Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta : Badan Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat (BPKJM)
25 Desember 2009
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN RANGE OF MOTION (ROM) AKTIF DAN PASIF)
Nama pasien :
Diagnosa medis : stroke non hemoragik
1. Kondisi klien
a. Alasan MRS
Mengeluh badan terasa lemah, tiba-tiba tidak sadarkan diri setelah sadar, klien merasakan tubuh bagian kiri (tangan dan kaki) tidak bisa digerakkan
b. TTV
RR : 28 x/mnt S : 36,5 ᵒC
Nadi : 84 x/mnt TD : 150/90 mmHg
c. Data fokus
1) Data Subyektif : pasien mengeluh kaki sebelah kiri masih lemah dan tidak bisa digerakkan
2) Data Obyektif : klien tampak terbaring di tempak tidur, semua kebutuhan di Bantu oleh keluarga
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan, hemiparese
3. Tujuan khusus
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 30 menit Pasien mendemonstrasikan mobilisasi aktif
Kriteria hasil :
- Tidak ada kontraktur atau foot drop
- Kontraksi otot membaik
- Mobilisasi bertahap tindakan keperawatan
4. SOP tindakan range of motion aktif dan pasif
LOGO
Tindakan keperawatan Range Of Motion (ROM) aktif dan pasif
No. Dokumen No.Revisi Halaman
STANDAR PELAYANAN KEPERAWATAN Tanggal Berlaku Ditetapkan di :........
Direktur
Pengertian latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif
Tujuan 1. Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot.
2. Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan
3. Mencegah kontraktur dan kekakuan pada sendi
Kebijakan 1. Ada program terapi dokter secara tertulis/ lesan
2. Kebijakan Direktur tentang pelaksanaan latihan ROM
3. Dilaksanakan oleh perawat
4. ada pedoman pelaksanaan latihan ROM
Prosedur 1. Cek program dokter
2. Beri salam, panggil klien dengan namanya, perkenalkan diri
3. Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan
4. Beri kesempatan klien untuk bertanya
5. Menjaga privasi pasien
6. Mengatur hal-hal yang bisa menghalangi tindakan
7. Menganjurkan pasien untuk berbaring dalam posisi yang nyaman (bila mungkin sambil duduk dan berdiri)
8. Melakukan latihan dengan cara-cara sebagai berikut
a. LEHER
- Fleksi (45 0)
- Ekstensi (450)
- Hiperekstensi (100)
- Lateral fleksi (40-450)
- Rotasi (1800)
b. BAHU
- Fleksi (450)
- Ekstensi (450)
- Hiperekstensi (100)
- Abduksi (1800)
- Adduksi (1800)
- Internal rotasi (900)
- Eksternal rotasi (900)
- Circumduksi (3600)
c. SIKU
- Fleksi (450)
- Ekstensi (450)
d. TELAPAK TANGAN
- Supinasi (70-900)
- pronasi (70-900)
e. PERGELANGAN
- Fleksi (900)
- Ekstensi (900)
- Hiperekstensi (80-900)
- Abdduksi (300)
- Adduksi (30-500)
f. JARI-JEMARI
- Fleksi (900)
- Ekstensi (900)
- Hiperekstensi (30-600)
- Abdduksi (300)
- Adduksi (30-400)
g. IBUJARI
- Fleksi (900)
- Ekstensi (900)
- Abdduksi (300)
- Adduksi (300)
- Oposisi
h. PINGGUL
- Fleksi (90-1200)
- Ekstensi (90-1200)
- Hiperekstensi (30-500)
- Abdduksi (30-500)
- Adduksi (30-500)
- Internal rotasi (900)
- Eksternal rotasi (900)
- Sirkumduksi
i. LUTUT
- Fleksi (90-1300)
- Ekstensi (90-1300)
j. PERGELANGAN KAKI
- Dorsal Fleksi (200)
- Platar fleksi (45-500)
- Eversi (50)
- Inversi (50)
k. KAKI DAN JARI KAKI
- Fleksi (35-600)
- Ekstensi (35-600)
- Abdduksi (0-150)
- Adduksi (0-150
l. PINGGANG
- Fleksi (70-900)
- Ekstensi (70-900)
- Hiperekstensi (20-300)
- Fleksi lateral (350)
- Rotasi (30-450)
9. Mengkaji pengaruh latihan pada pasien
10. Mengatur posisi pasien dengan nyaman
11. Membenahi pakaian dan selimut
12. Lakukan kontrak selanjutnua
13. Cuci tangan
14. Dokumentasikan tindakan
Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
A. Orientasi
1. Salam terapeutik
Selamat sore bu . Perkenalkan, saya I wayan Darsana, tiang Mahasiswa Stikes Wira Medika PPNI Bali, tiang yang akan merawat bapak, hingga pukul 19.00, Nama Ibu siapa…?senang di panggil siapa?
2. Evaluasi / Validasi
Bagaimana perasaan bapak pagi ini?
3. Kontrak :
Topik : Saya akan mengajarkan metode latihan pergerakan sendi karena selama ibu dirawat sendi-sendi anggota gerak ibu tidak pernah digerakkan sehingga perlu dilakukan latihan secara bertahap agar tidak terjadi kekakuan
Waktu : Sekitar 30 menit.
Tempat : Ditempat ini.
B. Kerja (Langkah–langkah tindakan keperawatan)
- Sebelum saya memulainya apakah ada yang ingin ibu tanyakan ?
- Maaf bu untuk memudahkan latihan ini saya akan bantu ibu untuk mengatur posisi agar ibu merasa nyaman..apa ibu mau duduk atau berdiri? Duduk saja ya bu!
- Ibu relaks saja ya jangan tegang?
- Sebelum saya akan memulai latihan ini perlu saya jelaskan dahulu metode yang akan saya lakukan
- Ada 2 metode latihan yang akan saya ajarkan kepada ibu antara laian medote pasif dan aktif, dalam metode pasif nanti saya bantu ibu sepenuhnya, sedangkan metode aktif nanti ibu yang melakukan sendiri sedangkan saya hanya membimbing ibu
- Baiklah kita mulai dari kepala dulu..pertama tundukkan kepala dulu, kemudian kembali ke posisi semula, terus ibu menengadah, kemudian miringkan kepala ke kanan dan kekiri terakhir menghadap kekanan dan kekiri
- Selanjutnya gerakan bahu ya..bu, pertama naikkan bahu ke atas, kemudian kembali keposisi semula, terus tarik bahu ke belakang, kemudia tarik bahu menjauh dari tubuh dan terakhir tarik ke dalam.
- Sebelum dilanjutkan apakah ibu perlu istirahat dulu? Kalau tidak kita lanjutkan ya bu. Selanjutnya gerakan siku, pertama tarik siku mendekat ke tubuh selanjutnya tarik agak menjauh..ya begitu bagus bu..
- Kita lanjutkan latihan pada telapak tangan.. gerakkan telapak tangan mengadap keatas kemudian menghadap ke bawah lakukan masing-masing 3 kali bu..
- Selanjutnya gerakan pada pergelangan..gerakan pertama gerakan telapak tangan ke bawah dan keatas, selanjutnya gerakan setengah memututar bu, kemudian goyangkan telapak tangan ke dalam dan keluar
- Sebelum dilanjutnya apa ibu perlu istirahat?, kalau tidak kita lanjutkan latihan pada jari-jari..gerakannya sama seperti urutan gerakan pada telapak tangan bu..ibu masih ingat gerakannya??
- Nah selanjutnya kita lanjutkan gerakan untuk pinggul ya bu..pertama-tama kaki diangkat kemudian kemabali ke posisi semula, kemudian turun kebelakang, selanjtnya kaki ke samping, kemudiar gerakan memutar ke dalam dan keluar
- Selanjutnya latihan pada lutut..gerakannya lututnya ditekuk kemudian luruskan kembali..nah begitu saja latihan pada lutut
- Selanjutnya latihan pada pergelangan kaki..pertama-tama gerakannya adalah luruskan kaki ke depan kemudian kembali keposisi semula selanjutnya gerakan kekanan dan kekiri..nah bagus seperti itu bu
- Nah selanjutnya latihan kaki dan jari-jari kaki..bisa dimulai bu? Pertama gerakan ibu jari kaki ke bawah kemudian kembali keposisi semula selanjutnya gerakkan kekanan dan kekiri
- Nah yang terakhir gerakan pada pinggul.. pertama badan membungkuk, kemudian badan kembali ke posisi semula, kemudian ke belakang, miring dan terakhir menghadap ke samping.
Terminasi
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
Evaluasi subyektif : setelah mengikuti latihan tadi bagaimana perasaaan bapak saat ini
Evaluasi obyektif : coba ibu ulangi salah satu gerakan pada kepala..ibu masih ingat
2. Tindakan lanjut : nanti ibu bisa lakukan sendiri gerakan tadi, bisa ibu lakukan
3. Kontrak
Bu...,karena tindakannya sudah selesai sekarang saya mau permisi dulu,saya ada dikamar sebelah dan ibu boleh memanggil saya kalau ada yang dibutuhkan.
Diagnosa medis : stroke non hemoragik
1. Kondisi klien
a. Alasan MRS
Mengeluh badan terasa lemah, tiba-tiba tidak sadarkan diri setelah sadar, klien merasakan tubuh bagian kiri (tangan dan kaki) tidak bisa digerakkan
b. TTV
RR : 28 x/mnt S : 36,5 ᵒC
Nadi : 84 x/mnt TD : 150/90 mmHg
c. Data fokus
1) Data Subyektif : pasien mengeluh kaki sebelah kiri masih lemah dan tidak bisa digerakkan
2) Data Obyektif : klien tampak terbaring di tempak tidur, semua kebutuhan di Bantu oleh keluarga
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan, hemiparese
3. Tujuan khusus
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 30 menit Pasien mendemonstrasikan mobilisasi aktif
Kriteria hasil :
- Tidak ada kontraktur atau foot drop
- Kontraksi otot membaik
- Mobilisasi bertahap tindakan keperawatan
4. SOP tindakan range of motion aktif dan pasif
LOGO
Tindakan keperawatan Range Of Motion (ROM) aktif dan pasif
No. Dokumen No.Revisi Halaman
STANDAR PELAYANAN KEPERAWATAN Tanggal Berlaku Ditetapkan di :........
Direktur
Pengertian latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif
Tujuan 1. Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot.
2. Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan
3. Mencegah kontraktur dan kekakuan pada sendi
Kebijakan 1. Ada program terapi dokter secara tertulis/ lesan
2. Kebijakan Direktur tentang pelaksanaan latihan ROM
3. Dilaksanakan oleh perawat
4. ada pedoman pelaksanaan latihan ROM
Prosedur 1. Cek program dokter
2. Beri salam, panggil klien dengan namanya, perkenalkan diri
3. Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan
4. Beri kesempatan klien untuk bertanya
5. Menjaga privasi pasien
6. Mengatur hal-hal yang bisa menghalangi tindakan
7. Menganjurkan pasien untuk berbaring dalam posisi yang nyaman (bila mungkin sambil duduk dan berdiri)
8. Melakukan latihan dengan cara-cara sebagai berikut
a. LEHER
- Fleksi (45 0)
- Ekstensi (450)
- Hiperekstensi (100)
- Lateral fleksi (40-450)
- Rotasi (1800)
b. BAHU
- Fleksi (450)
- Ekstensi (450)
- Hiperekstensi (100)
- Abduksi (1800)
- Adduksi (1800)
- Internal rotasi (900)
- Eksternal rotasi (900)
- Circumduksi (3600)
c. SIKU
- Fleksi (450)
- Ekstensi (450)
d. TELAPAK TANGAN
- Supinasi (70-900)
- pronasi (70-900)
e. PERGELANGAN
- Fleksi (900)
- Ekstensi (900)
- Hiperekstensi (80-900)
- Abdduksi (300)
- Adduksi (30-500)
f. JARI-JEMARI
- Fleksi (900)
- Ekstensi (900)
- Hiperekstensi (30-600)
- Abdduksi (300)
- Adduksi (30-400)
g. IBUJARI
- Fleksi (900)
- Ekstensi (900)
- Abdduksi (300)
- Adduksi (300)
- Oposisi
h. PINGGUL
- Fleksi (90-1200)
- Ekstensi (90-1200)
- Hiperekstensi (30-500)
- Abdduksi (30-500)
- Adduksi (30-500)
- Internal rotasi (900)
- Eksternal rotasi (900)
- Sirkumduksi
i. LUTUT
- Fleksi (90-1300)
- Ekstensi (90-1300)
j. PERGELANGAN KAKI
- Dorsal Fleksi (200)
- Platar fleksi (45-500)
- Eversi (50)
- Inversi (50)
k. KAKI DAN JARI KAKI
- Fleksi (35-600)
- Ekstensi (35-600)
- Abdduksi (0-150)
- Adduksi (0-150
l. PINGGANG
- Fleksi (70-900)
- Ekstensi (70-900)
- Hiperekstensi (20-300)
- Fleksi lateral (350)
- Rotasi (30-450)
9. Mengkaji pengaruh latihan pada pasien
10. Mengatur posisi pasien dengan nyaman
11. Membenahi pakaian dan selimut
12. Lakukan kontrak selanjutnua
13. Cuci tangan
14. Dokumentasikan tindakan
Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
A. Orientasi
1. Salam terapeutik
Selamat sore bu . Perkenalkan, saya I wayan Darsana, tiang Mahasiswa Stikes Wira Medika PPNI Bali, tiang yang akan merawat bapak, hingga pukul 19.00, Nama Ibu siapa…?senang di panggil siapa?
2. Evaluasi / Validasi
Bagaimana perasaan bapak pagi ini?
3. Kontrak :
Topik : Saya akan mengajarkan metode latihan pergerakan sendi karena selama ibu dirawat sendi-sendi anggota gerak ibu tidak pernah digerakkan sehingga perlu dilakukan latihan secara bertahap agar tidak terjadi kekakuan
Waktu : Sekitar 30 menit.
Tempat : Ditempat ini.
B. Kerja (Langkah–langkah tindakan keperawatan)
- Sebelum saya memulainya apakah ada yang ingin ibu tanyakan ?
- Maaf bu untuk memudahkan latihan ini saya akan bantu ibu untuk mengatur posisi agar ibu merasa nyaman..apa ibu mau duduk atau berdiri? Duduk saja ya bu!
- Ibu relaks saja ya jangan tegang?
- Sebelum saya akan memulai latihan ini perlu saya jelaskan dahulu metode yang akan saya lakukan
- Ada 2 metode latihan yang akan saya ajarkan kepada ibu antara laian medote pasif dan aktif, dalam metode pasif nanti saya bantu ibu sepenuhnya, sedangkan metode aktif nanti ibu yang melakukan sendiri sedangkan saya hanya membimbing ibu
- Baiklah kita mulai dari kepala dulu..pertama tundukkan kepala dulu, kemudian kembali ke posisi semula, terus ibu menengadah, kemudian miringkan kepala ke kanan dan kekiri terakhir menghadap kekanan dan kekiri
- Selanjutnya gerakan bahu ya..bu, pertama naikkan bahu ke atas, kemudian kembali keposisi semula, terus tarik bahu ke belakang, kemudia tarik bahu menjauh dari tubuh dan terakhir tarik ke dalam.
- Sebelum dilanjutkan apakah ibu perlu istirahat dulu? Kalau tidak kita lanjutkan ya bu. Selanjutnya gerakan siku, pertama tarik siku mendekat ke tubuh selanjutnya tarik agak menjauh..ya begitu bagus bu..
- Kita lanjutkan latihan pada telapak tangan.. gerakkan telapak tangan mengadap keatas kemudian menghadap ke bawah lakukan masing-masing 3 kali bu..
- Selanjutnya gerakan pada pergelangan..gerakan pertama gerakan telapak tangan ke bawah dan keatas, selanjutnya gerakan setengah memututar bu, kemudian goyangkan telapak tangan ke dalam dan keluar
- Sebelum dilanjutnya apa ibu perlu istirahat?, kalau tidak kita lanjutkan latihan pada jari-jari..gerakannya sama seperti urutan gerakan pada telapak tangan bu..ibu masih ingat gerakannya??
- Nah selanjutnya kita lanjutkan gerakan untuk pinggul ya bu..pertama-tama kaki diangkat kemudian kemabali ke posisi semula, kemudian turun kebelakang, selanjtnya kaki ke samping, kemudiar gerakan memutar ke dalam dan keluar
- Selanjutnya latihan pada lutut..gerakannya lututnya ditekuk kemudian luruskan kembali..nah begitu saja latihan pada lutut
- Selanjutnya latihan pada pergelangan kaki..pertama-tama gerakannya adalah luruskan kaki ke depan kemudian kembali keposisi semula selanjutnya gerakan kekanan dan kekiri..nah bagus seperti itu bu
- Nah selanjutnya latihan kaki dan jari-jari kaki..bisa dimulai bu? Pertama gerakan ibu jari kaki ke bawah kemudian kembali keposisi semula selanjutnya gerakkan kekanan dan kekiri
- Nah yang terakhir gerakan pada pinggul.. pertama badan membungkuk, kemudian badan kembali ke posisi semula, kemudian ke belakang, miring dan terakhir menghadap ke samping.
Terminasi
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
Evaluasi subyektif : setelah mengikuti latihan tadi bagaimana perasaaan bapak saat ini
Evaluasi obyektif : coba ibu ulangi salah satu gerakan pada kepala..ibu masih ingat
2. Tindakan lanjut : nanti ibu bisa lakukan sendiri gerakan tadi, bisa ibu lakukan
3. Kontrak
Bu...,karena tindakannya sudah selesai sekarang saya mau permisi dulu,saya ada dikamar sebelah dan ibu boleh memanggil saya kalau ada yang dibutuhkan.
Pengaruh Deep Breathing exsercise Praoperatif Terhadap waktu pemulihan SpO2 pada pasien pasca anestesia inhalasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Paru–paru mempunyai fungsi utama untuk melakukan pertukaran gas, yaitu mengambil O2 dari udara luar dan mengeluarkan CO2 dari tubuh ke udara luar. Bilamana paru–paru berfungsi secara normal, tekanan parsial O2 dan CO2 didalam darah akan dipertahankan secara seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh (Amirullah, 1985). Proses pernapasan ini dapat dibagi dalam tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru. Proses ventilasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara atmosfer dan alveolus paru. Rangka thorak berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi volume thoraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Stadium kedua adalah transportasi yang meliputi: (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan (3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah. Stadium ketiga yaitu respirasi sel atau respirasi interna yang merupakan akhir dari respirasi yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru. Selama pernafasan normal dan tenang, hampir semua kontraksi otot pernapasan hanya terjadi selama inspirasi, sedangkan ekspirasi adalah proses yang hampir seluruhnya pasif akibat elastisitas paru (elastic recoil) dan struktur rangka dada. Jadi, secara normal otot-otot pernapasan hanya bekerja untuk menimbulkan inspirasi dan bukan untuk ekspirasi. Pernapasan normal dapat dinilai dari beberapa parameter antara lain: frekwensi: 15-25 kali/menit pada orang dewasa, parameter ventilasi : PaCO2: 35-45 mmHg, parameter oksigenasi : PaO2 : 80-100 mmHg dan SpO2: 95-100% (committee on trauma, Advanced trauma life support student manual).
Anastesi inhalasi adalah anestesi yang diberikan melalui inhalasi jalan napas yang diberikan pada pasien-pasien yang menjalani operasi. Anestesi inhalasi dapat menyebabkan depresi pernapasan, melumpuhkan otot-otot pernapasan sehingga mengubah pola napas normal dan menghambat mekanisme pertukaran gas. Selama anastesia dapat terjadi takipnea atau apnoe, bronkospasme dan laringospasme. Depresi napas dapat terjadi karena, terjadinya peningkatan kejenuhan obat yang cepat pada pusat napas di medula oblongata. Disamping itu pada anestesia inhalasi dapat terjadi hipersekresi bronkus dan hipersalivasi yang menyebabkan jaringan mukosa dipenuhi oleh sekret berlebihan. Bila terjadi takipnea isi alun napas sangat menurun, ventilasi alveolar juga menurun sehingga menyebabkan asidosisi respiratorik (R. Sjamsu Hidayat, 2005). Hal ini juga bisa menyebabkan penurunan kadar SpO2 dan bahkan dapat terjadi gagal napas pasca operasi.
Latihan pernapasan merupakan tindakan keperawatan dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan pernapasan maupun mempersiapkan pasien yang akan menjalani operasi untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat pemakaian obat-obat anestesi, termasuk didalamnya adalah latihan pernapasan Deep Breathing Exercise. Metode ini diharapkan terjadi peningkatan aliran ekspirasi maksimum (Peterson, 1998 dalam Judyanto, 2004) pada pasien pasca anastesia inhalasi, mempercepat hilangnya efek anestesi dan fungsi pernapasan pasien kembali normal yang salah satu parameternya dapat diukur dengan pengukuran saturasi oksigen (SpO2) dengan memakai alat pulse oksimetry.
Tujuan dari Deep Breathing exsercise ini adalah: (1) memperkuat otot-otot pernapasan, sehingga meningkatkan ventilasi paru dengan mengempis dan mengembangkan paru secara berganti-ganti yang kemudian meningkatkan dan penurunan tekanan dalam alveolus, (2) mengatur frekwensi dan pola napas, (3) memperbaiki fungsi diafragma, (4) memperbaiki mobilitas sangkar toraks, dan (5) mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Paru–paru mempunyai fungsi utama untuk melakukan pertukaran gas, yaitu mengambil O2 dari udara luar dan mengeluarkan CO2 dari tubuh ke udara luar. Bilamana paru–paru berfungsi secara normal, tekanan parsial O2 dan CO2 didalam darah akan dipertahankan secara seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh (Amirullah, 1985). Proses pernapasan ini dapat dibagi dalam tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru. Proses ventilasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara atmosfer dan alveolus paru. Rangka thorak berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi volume thoraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Stadium kedua adalah transportasi yang meliputi: (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan (3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah. Stadium ketiga yaitu respirasi sel atau respirasi interna yang merupakan akhir dari respirasi yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru. Selama pernafasan normal dan tenang, hampir semua kontraksi otot pernapasan hanya terjadi selama inspirasi, sedangkan ekspirasi adalah proses yang hampir seluruhnya pasif akibat elastisitas paru (elastic recoil) dan struktur rangka dada. Jadi, secara normal otot-otot pernapasan hanya bekerja untuk menimbulkan inspirasi dan bukan untuk ekspirasi. Pernapasan normal dapat dinilai dari beberapa parameter antara lain: frekwensi: 15-25 kali/menit pada orang dewasa, parameter ventilasi : PaCO2: 35-45 mmHg, parameter oksigenasi : PaO2 : 80-100 mmHg dan SpO2: 95-100% (committee on trauma, Advanced trauma life support student manual).
Anastesi inhalasi adalah anestesi yang diberikan melalui inhalasi jalan napas yang diberikan pada pasien-pasien yang menjalani operasi. Anestesi inhalasi dapat menyebabkan depresi pernapasan, melumpuhkan otot-otot pernapasan sehingga mengubah pola napas normal dan menghambat mekanisme pertukaran gas. Selama anastesia dapat terjadi takipnea atau apnoe, bronkospasme dan laringospasme. Depresi napas dapat terjadi karena, terjadinya peningkatan kejenuhan obat yang cepat pada pusat napas di medula oblongata. Disamping itu pada anestesia inhalasi dapat terjadi hipersekresi bronkus dan hipersalivasi yang menyebabkan jaringan mukosa dipenuhi oleh sekret berlebihan. Bila terjadi takipnea isi alun napas sangat menurun, ventilasi alveolar juga menurun sehingga menyebabkan asidosisi respiratorik (R. Sjamsu Hidayat, 2005). Hal ini juga bisa menyebabkan penurunan kadar SpO2 dan bahkan dapat terjadi gagal napas pasca operasi.
Latihan pernapasan merupakan tindakan keperawatan dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan pernapasan maupun mempersiapkan pasien yang akan menjalani operasi untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat pemakaian obat-obat anestesi, termasuk didalamnya adalah latihan pernapasan Deep Breathing Exercise. Metode ini diharapkan terjadi peningkatan aliran ekspirasi maksimum (Peterson, 1998 dalam Judyanto, 2004) pada pasien pasca anastesia inhalasi, mempercepat hilangnya efek anestesi dan fungsi pernapasan pasien kembali normal yang salah satu parameternya dapat diukur dengan pengukuran saturasi oksigen (SpO2) dengan memakai alat pulse oksimetry.
Tujuan dari Deep Breathing exsercise ini adalah: (1) memperkuat otot-otot pernapasan, sehingga meningkatkan ventilasi paru dengan mengempis dan mengembangkan paru secara berganti-ganti yang kemudian meningkatkan dan penurunan tekanan dalam alveolus, (2) mengatur frekwensi dan pola napas, (3) memperbaiki fungsi diafragma, (4) memperbaiki mobilitas sangkar toraks, dan (5) mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan.
hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler saat ini menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga yang dilakukan secara berkala oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh sebab kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998 (Kalim,2004) Sejalan dengan Kalim, 2004 federasi jantung sedunia (World Heart Federation / WHF ) memperkirakan penyakit kardiovaskuler akan menjadi penyebab utama kematian di Asia pada tahun 2010.
Sesuai dengan pendapat WHF, Rilantono ( 1999 ) menyatakan diantara penyakit kardiovaskuler angina pektoris adalah salah satu penyakit jantung yang sering menimbulkan kematian mendadak. Penderita Angina pektoris sering disertai kecemasan dan serangan angina merupakan stresor yang menyebabkan klien merasa takut mati. Serangan angina merupakan stresor atau suatu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis dan menurunnya kapasitas untuk melakukan kehidupan sehari-hari (Stuart & Sundeen,1998).
Kecemasan pada penderita angina pektoris perlu mendapat perhatian serius karena kecemasan berdampak pada proses penyembuhan pasien. Kecemasan akan meningkatkan pelepasan efinefrin yang berakibat pada kontriksi vaskuler pada arteri koronaria sehingga akan menambah beban jantung untuk mensuplai darah ke miokard. Kecemasan merangsang pelepasan Renin angiotensin, aldosteron dan cortisol yang mengakibatkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah sehingga mengurangi suplai darah ke miokard. Kecemasan dapat merangsang melalui serangkaian aksi yang diperantarai oleh HPA-axis (Hipotalamus, Pituitari dan Adrenal). Stress akan merangsang hipotalamus untuk meningkatkan produksi CRF (Corticotropin Releasing Factor). CRF ini selanjutnya akan merangsang kelenjar pituitari anterior untuk meningkatkan produksi ACTH (Adreno Cortico Tropin Hormon. Hormon ini yang akan merangsang kortek adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol inilah yang selanjutnya akan menekan sistem imun tubuh sehingga memperberat kondisi klien (Guyton & Hall. 1999 )
Dari pengamatan dan wawancara dengan pasien di Ruang ICCU RSUP Sanglah banyak ditemui fenomena pasien angina pektoris yang mengalami kecemasan. Kecemasan tersebut bervariasi dari kecemasan ringan sampai kecemasan berat. Kecemasan yang dialami pasien mempunyai beberapa alasan diantaranya : cemas akibat nyeri, cemas akibat kondisi penyakitnya, cemas jika penyakitnya tidak bisa sembuh, cemas dan takut akan kematian, cemas dengan ruang perawatan yang terdapat bermacam-macam alat yang mengelilinginya dan cemas di ruangan tanpa didampingi keluarga. Terkadang kecemasan dapat terlihat dalam bentuk lain, seperti sering bertanya tentang penyakitnya berulang-ulang meskipun sudah dijawab, sulit tidur dan tidak bergaerah saat makan.
Insiden penyakit jantung khususnya angina pektoris di Ruang ICCU RSUP Sanglah dari tahun ketahun sangat bervariasi seperti ditampilkan pada tabel :
Tabel 1 Jumlah pasien Angina Pektoris di Ruang ICCU RSUP Sanglah tahun 2006 s/d tahun 2008
No Tahun Jumlah pasien
1 2006 185 orang
2 2007 217 orang
3 2008 225 orang
Sumber : Catatan medis ruang ICCU RSUP Sanglah
Meningkatnya jumlah pasien angina pektoris dari tahun ke tahun memungkinkan meningkatnya jumlah pasien yang mengalami kecemasan.
Peran perawat sangat penting dalam upaya penanggulangan kecemasan dan berupaya agar pasien tidak merasa cemas melalui asuhan keperawatan komprehensif secara biopsikososialspiritual. Penanganan kecemasan selain dilakukan oleh perawat juga dilakukan oleh dokter dengan farmakoterapi seperti pemberian obat Diazepam 5 mg dapat diberikan sampai tiga kali sehari. Pemberian asuhan keperawatan dan terapi saja ternyata tidak cukup, tetapi peran keluarga untuk memberikan dukungan sosial merupakan kunci utama. Kuntjoro (2002) memberi contoh nyata yang paling sering kita lihat dan alami adalah bila ada seseorang yang sakit dan terpaksa dirawat dirumah sakit, maka sanak saudara ataupun teman-teman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut maka orang yang sakit tentu merasa mendapat dukungan sosial.
Dukungan sosial ( Social support ) didefinisikan oleh Gottlieb (dalam Kuntjoro 2002) sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason (dalam Kuntjoro 2002) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan menghargai dan menyayangi kita. Dalam hal ini pasien dengan angina pektoris yang memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapatkan saran atau kesan yang menyenangkan Kurangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial dapat menimbulkan konflik atau keguncangan atau kecemasan sehingga mempengaruhi proses penyembuhan pasien dan juga mempengaruhi lamanya pengobatan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dukungan sosial terhadap pasien angina pektoris sangat diperlukan dalam menjalani perawatan di ruang intensif. Dukungan sosial sangat diperlukan dalam mengatasi berbagai masalah psikologis yang terjadi. Jika dukungan sosial terhadap pasien angina pektoris sesuai dengan harapan maka permasalahan psikologis seperti halnya kecemasan akan dapat dikurangi atau dicegah. Untuk meyakinkan hal tersebut dibutuhkan penelitian untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris yang dirawat di ruang ICCU RSUP Sanglah
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut :
“ Apakah ada Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien Angina Pektoris di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi dukungan sosial keluarga terhadap pasien angina pektoris di ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar.
b. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris di ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar.
c. Menganalisis hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris diruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis.
Manfaat secara teoritis dari penelitian ini yaitu dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dibidang keperawatan kardiovaskuler khususnya pada masalah hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris dan dapat digunakan sebagai referensi untuk melaksanakan penelitian selanjutnya dengan lebih sempurna.
2. Manfaat Secara Praktis
Dengan mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris maka dapat dilaksanakan suatu penanganan terhadap respon pasien tersebut dalam memberikan KIE ( komonikasi, informasi, edukasi ) sehingga proses penyembuhan pasien berjalan dengan optimal. Dalam hal ini dukungan sosial juga dapat diberikan oleh keluarga pasien untuk mendampinginya pada saat-saat tertentu dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler saat ini menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga yang dilakukan secara berkala oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh sebab kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998 (Kalim,2004) Sejalan dengan Kalim, 2004 federasi jantung sedunia (World Heart Federation / WHF ) memperkirakan penyakit kardiovaskuler akan menjadi penyebab utama kematian di Asia pada tahun 2010.
Sesuai dengan pendapat WHF, Rilantono ( 1999 ) menyatakan diantara penyakit kardiovaskuler angina pektoris adalah salah satu penyakit jantung yang sering menimbulkan kematian mendadak. Penderita Angina pektoris sering disertai kecemasan dan serangan angina merupakan stresor yang menyebabkan klien merasa takut mati. Serangan angina merupakan stresor atau suatu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis dan menurunnya kapasitas untuk melakukan kehidupan sehari-hari (Stuart & Sundeen,1998).
Kecemasan pada penderita angina pektoris perlu mendapat perhatian serius karena kecemasan berdampak pada proses penyembuhan pasien. Kecemasan akan meningkatkan pelepasan efinefrin yang berakibat pada kontriksi vaskuler pada arteri koronaria sehingga akan menambah beban jantung untuk mensuplai darah ke miokard. Kecemasan merangsang pelepasan Renin angiotensin, aldosteron dan cortisol yang mengakibatkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah sehingga mengurangi suplai darah ke miokard. Kecemasan dapat merangsang melalui serangkaian aksi yang diperantarai oleh HPA-axis (Hipotalamus, Pituitari dan Adrenal). Stress akan merangsang hipotalamus untuk meningkatkan produksi CRF (Corticotropin Releasing Factor). CRF ini selanjutnya akan merangsang kelenjar pituitari anterior untuk meningkatkan produksi ACTH (Adreno Cortico Tropin Hormon. Hormon ini yang akan merangsang kortek adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol inilah yang selanjutnya akan menekan sistem imun tubuh sehingga memperberat kondisi klien (Guyton & Hall. 1999 )
Dari pengamatan dan wawancara dengan pasien di Ruang ICCU RSUP Sanglah banyak ditemui fenomena pasien angina pektoris yang mengalami kecemasan. Kecemasan tersebut bervariasi dari kecemasan ringan sampai kecemasan berat. Kecemasan yang dialami pasien mempunyai beberapa alasan diantaranya : cemas akibat nyeri, cemas akibat kondisi penyakitnya, cemas jika penyakitnya tidak bisa sembuh, cemas dan takut akan kematian, cemas dengan ruang perawatan yang terdapat bermacam-macam alat yang mengelilinginya dan cemas di ruangan tanpa didampingi keluarga. Terkadang kecemasan dapat terlihat dalam bentuk lain, seperti sering bertanya tentang penyakitnya berulang-ulang meskipun sudah dijawab, sulit tidur dan tidak bergaerah saat makan.
Insiden penyakit jantung khususnya angina pektoris di Ruang ICCU RSUP Sanglah dari tahun ketahun sangat bervariasi seperti ditampilkan pada tabel :
Tabel 1 Jumlah pasien Angina Pektoris di Ruang ICCU RSUP Sanglah tahun 2006 s/d tahun 2008
No Tahun Jumlah pasien
1 2006 185 orang
2 2007 217 orang
3 2008 225 orang
Sumber : Catatan medis ruang ICCU RSUP Sanglah
Meningkatnya jumlah pasien angina pektoris dari tahun ke tahun memungkinkan meningkatnya jumlah pasien yang mengalami kecemasan.
Peran perawat sangat penting dalam upaya penanggulangan kecemasan dan berupaya agar pasien tidak merasa cemas melalui asuhan keperawatan komprehensif secara biopsikososialspiritual. Penanganan kecemasan selain dilakukan oleh perawat juga dilakukan oleh dokter dengan farmakoterapi seperti pemberian obat Diazepam 5 mg dapat diberikan sampai tiga kali sehari. Pemberian asuhan keperawatan dan terapi saja ternyata tidak cukup, tetapi peran keluarga untuk memberikan dukungan sosial merupakan kunci utama. Kuntjoro (2002) memberi contoh nyata yang paling sering kita lihat dan alami adalah bila ada seseorang yang sakit dan terpaksa dirawat dirumah sakit, maka sanak saudara ataupun teman-teman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut maka orang yang sakit tentu merasa mendapat dukungan sosial.
Dukungan sosial ( Social support ) didefinisikan oleh Gottlieb (dalam Kuntjoro 2002) sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason (dalam Kuntjoro 2002) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan menghargai dan menyayangi kita. Dalam hal ini pasien dengan angina pektoris yang memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapatkan saran atau kesan yang menyenangkan Kurangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial dapat menimbulkan konflik atau keguncangan atau kecemasan sehingga mempengaruhi proses penyembuhan pasien dan juga mempengaruhi lamanya pengobatan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dukungan sosial terhadap pasien angina pektoris sangat diperlukan dalam menjalani perawatan di ruang intensif. Dukungan sosial sangat diperlukan dalam mengatasi berbagai masalah psikologis yang terjadi. Jika dukungan sosial terhadap pasien angina pektoris sesuai dengan harapan maka permasalahan psikologis seperti halnya kecemasan akan dapat dikurangi atau dicegah. Untuk meyakinkan hal tersebut dibutuhkan penelitian untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris yang dirawat di ruang ICCU RSUP Sanglah
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut :
“ Apakah ada Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien Angina Pektoris di Ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi dukungan sosial keluarga terhadap pasien angina pektoris di ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar.
b. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris di ruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar.
c. Menganalisis hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris diruang ICCU RSUP Sanglah Denpasar.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis.
Manfaat secara teoritis dari penelitian ini yaitu dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dibidang keperawatan kardiovaskuler khususnya pada masalah hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris dan dapat digunakan sebagai referensi untuk melaksanakan penelitian selanjutnya dengan lebih sempurna.
2. Manfaat Secara Praktis
Dengan mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien angina pektoris maka dapat dilaksanakan suatu penanganan terhadap respon pasien tersebut dalam memberikan KIE ( komonikasi, informasi, edukasi ) sehingga proses penyembuhan pasien berjalan dengan optimal. Dalam hal ini dukungan sosial juga dapat diberikan oleh keluarga pasien untuk mendampinginya pada saat-saat tertentu dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit.
08 Oktober 2009
LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERAAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN
1. Konsep Dasar Teori
a. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007; hal, 146). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI, 2000 ; hal. 147 )
b. Rentang Respon Marah
Adaptasi Maladaftif
Asertif Prestasi Pasif Agresif Amuk/perilaku kekerasan
Menurut ( Yosep, 2007 rentang respon marah yaitu :
Asertif adalah : kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak menimbulkan masalah.
Frustasi adalah: respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena tidak reakstis atau hambatan dalam proses percakapan tujuan.
Pasif adalah : individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak pemalu, pendiam sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.
Agresif adalah: perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa : muka kusam , bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.
Ngamuk adalah: perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol diri , individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
c. Psikopatologi
Adapun beberapa hal yang menyebabkan munculnya gangguan jiwa pada perilaku kekerasan yang dipengaruhi oleh faktor predesposi dan faktor presipitasi. (Yosep (2007))
1) Faktor Predisposisi
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan yaitu :
a) Faktor Psikologis
PSICHOANALYTICAL THEORY : teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari INSTRUCTUAL DRIVES. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting, pertama insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas ; dan kedua : insting kematian yang diekspresikan dengan agresifitas.
b) Faktor Sosial Budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Kultur dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan, adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang diterima atau tidak dapat diterima sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
c) Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis, penelitian neurobiologis mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada ditengah sistem limbik)
2) Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang, ketika sesorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasikannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal, contoh stressor eksternal : serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain, sedangkan contoh dari stressor internal : merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan seseoranga yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut pandang perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua yaitu :
a) Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, kurang percaya diri.
b) Lingkungan : ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi social.
3) Tanda dan gejala
Menurut (Radjiman, 2003), tanda dan gejala yang mucul pada perilaku kekerasan atau agresifitas dilihat dari tingkah laku klien yaitu :
a) Menyatakan perilaku kekerasan
b) Mengatakan perasaan jengkel atau kesal
c) Sering memaksakan kehendak
d) Merampas atau memukul
e) Tekanan darah meningkat
f) Wajah merah. Pupil melebar
g) Mual
h) Kewaspadaan meningkat disertai ketegangan otot.
4) Penatalak sanaan medis
a) Terapi Somatik
Menurut (Depkes RI, 2000, hal 230) menerangkan bahwa terapi Somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptife menjadi perilaku adaktif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien .
b) Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya untuk menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah tiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).
2. Konsep dasar asuhan keperawatan prilaku kekerasan
a. Pengkajian
1) Pengumpulan data
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses dan merupakan proses yang sistematis untuk mengumpulkan data, menganalisis data dan menentukan diagnosa keperawatan ( Keliat, 1998). Adapun data yang diperoleh pada klien dengan prilaku kekerasan adalah sebagai berikut : menyatakan melakukan prilaku kekerasan, mengatakan perasaan jengkel / kesal, sering memaksakan kehendak, merampas atau memukul. Tekanan darah meningkat. Wajah memerah, pupil melebar, mual, kewasapadaan meningkat disertai ketegangan otot, pandangan mata tajam, sering menyendiri, harga diri rendah merasa keinginan tercapai. Dari data tersebut didapatkan beberapa rumusan masalah :
a) Resiko mencederai diri sendiri dan orang lain
b) Resiko prilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain
c) Kerusakan interaksi sosial: menarik diri
d) Gangguan hubungan sosial: harga diri rendah
e) Ideal diri tidak tercapai.
2) Pohon masalah :
Resiko prilaku kekerasan terhadap diri sendiri, orang lain
perilaku kekerasan
Harga diri rendah
3) Adapun diagnosa keperawatan diantaranya :
a) Resiko prilaku kekerasan terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan
b) Perilaku kekerasan
c) Harga diri rendah
b. Perencanaan
1) Tupan : Klien tidak melakukan perilaku kekerasan
2) Tupen :
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi : Bina hubungan saling percaya dengan klien, dengan menggunakan komunikasi terapeutik yaitu beri salam atau panggil nama, perkenalkan nama perawat, jelaskan maksud pertemuan, jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat, beri rasa aman dan sikap empati, lakukan kontrak singkat tapi sering.
Rasional : hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
b) Klien dapat mengidenifikasikan penyebab prilaku kekerasan
Intervensi :
(1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
Rasional : Dengan memberi kesempatan mengungkapkan perasaannya dapat mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
(2) Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel atau kesal.
Rasional : Dengan mengungkapkan penyebab perasaan jengkel maka akan meringankan beban pikiran.
c) Klien dapat mengidentifikasikan tanda dan gejala prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan di rasakan saat ini.
Rasional : Agar dapat meringankan beban pikiran yang dialami oleh klien.
(2) Observasi tanda dan prilaku kekerasan pada klien.
Rasional : Agar dapat dipantau tindakan yang dilakukan oleh klien.
(3) Simpulkan bersama klien tanda dan gejala jengkel atau kesal.
Rasional : Agar dapat diketahui tanda dan gejala jengkel yang dialami oleh klien.
d) Klien dapat mengidentifikasikan prilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Intervensi :
(1) Anjurkan klien untuk mengungkapkan prilaku kekerasan yang biasa dilakukan (verbal, pada orang lain, pada lingkungan dan pada diri sendiri).
Rasional : Dengan memberikan kesempatan untuk mengungkapkannya dapat meringankan beban yang dialami oleh klien.
(2) Bantu klien bermain peran sesuai dengan prilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : Agar dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakukan salah.
(3) Bicarakan dengan klien,apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional : Agar dapat dipertimbangkan perbuatan yang dilakukannya adalah sikap yang menyimpang atau salah.
e) Klien dapat mengidentifikasikan akibat prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien.
Rasonal: Agar dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakukan telah merugikan dirinya sendiri
(2) Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan klien.
Rasional : Agar klien termotivasi untuk mempelajari cara yang dapatmencegah prilaku kekerasan.
(3) Tanyakan kepada klien ”apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional : Agar klien termotivasi untuk mempelajari cara yang dapatmencegah prilaku kekerasan.
f) Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.
Rasional : Dengan mendiskusikan kegiatan yang biasa dilakukan dapat memotivasi kegiatan yang baik dilakuakn.
(2) Beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan oleh klien.
Rasional : Agar dapat meningkatkan harga diri klien.
g) Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien dan beri contoh cara bicara yang baik dan mita klien mengikuti contoh cara bicara yang baik.
Rasional : Dengan mendiskusikan kegiatan yang biasa dilakukan dapat memotivasi kegiatan yang baik dilakuakn.
(2) Minta klien mengulang sendiri.
Rasional : Agar dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakkan benar atau salah.
(3) Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : Agar dapat meningkatkan harga diri klien
h) Klien dapat mendemonstrasikan cara spritual untuk mencegah prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah dilakukan.
Rasional : Dengan mediskusikan kegiatan ibadah, klien dapat mengingat agar lien mau menerapkan kegiatan ibadah yang dilakukan.
(2) Minta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang akan dilakukan.
Rasional : Dengan memberikan kesempatan untuk mendemontrasikannya dapat diingat kegiatan ibadahyang dilaksanakan.
(3) Beri pujian atas keberhasilan Klien.
Rasional : Dapat meningkatkan harga diri klien.
i) Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien tentang jenis obat yang diminumnya (5 benar).
Rasional : Agar klien mau mematuhi peraturan minum obat.
(2) Diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat.
Rasional : Dengan mendiskusikan manfaat minum obat dapat merangsang keinginan klien untuk patuh minum obat.
j) Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Anjurkan klien untuk ikut TAK.
Rasional : Dengan menganjurkan klien TAK dapat membantu klien berinteraksi dengan teman-temannya.
(2) Diskusikan dengan klien tentang kegiaatan selama TAK.
Rasional : Agar dapat mengevaluasi perasaan klien selama TAK.
k) Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan prilaku kekersan.
Intervensi :
1) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien sesuai dengan yang telah dilakukan ke keluarga dalam merawat klien.
Rasional : Agar dapat diketehui seberapa jauh tentang perawatan keluarga terhadap klien.
2) Jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : Agar dapat menumbuhkan peran serta keluarga.
c. Pelaksanaan
Menurut keliat (2005), implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama yang aktual dan mengancam integritas klien beserta lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah di rencanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih di butuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini (here and now). Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
d. Evaluasi
Evaluasi menurut Keliat (2005) adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu evaluasi proses atau formatif dan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien dengan tujuan yang telah ditentukan. Hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan klien dengan prilaku kekerasan adalah :
1) Klien membina hubungan saling percaya.
2) Klien dapat mengidentifikasi penyebab prilaku kekerasan.
3) Klien dapat mengidentifikasikan tanda dan gejala prilaku kekerasan.
4) Klien dapat mengidentifikasi prilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
5) Klien dapat mengidentifikasi akibat prilaku kekerasan.
6) Klien dapan mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah prilaku kekerasan.
7) Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah prilaku kekerasan
8) Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah prilaku kekerasan.
9) Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah prilaku kekerasan.
10) Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan prilaku kekerasan.
11) Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan prilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (2000), Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinik, Keliat, B.A. (2005). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2 Jakarta: EGC
Maramis, W.K. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Rajiman, W. (2003). Pedoman Penulisan Laporan dan Strategi Pelaksanaan, Malang: Dep Kes RI.
Suliswati, (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Townsend, M.C. (1999), Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta: EGC
Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa Bandung: Rafika Aditama
KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN
1. Konsep Dasar Teori
a. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007; hal, 146). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI, 2000 ; hal. 147 )
b. Rentang Respon Marah
Adaptasi Maladaftif
Asertif Prestasi Pasif Agresif Amuk/perilaku kekerasan
Menurut ( Yosep, 2007 rentang respon marah yaitu :
Asertif adalah : kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak menimbulkan masalah.
Frustasi adalah: respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena tidak reakstis atau hambatan dalam proses percakapan tujuan.
Pasif adalah : individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak pemalu, pendiam sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.
Agresif adalah: perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa : muka kusam , bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.
Ngamuk adalah: perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol diri , individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
c. Psikopatologi
Adapun beberapa hal yang menyebabkan munculnya gangguan jiwa pada perilaku kekerasan yang dipengaruhi oleh faktor predesposi dan faktor presipitasi. (Yosep (2007))
1) Faktor Predisposisi
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan yaitu :
a) Faktor Psikologis
PSICHOANALYTICAL THEORY : teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari INSTRUCTUAL DRIVES. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting, pertama insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas ; dan kedua : insting kematian yang diekspresikan dengan agresifitas.
b) Faktor Sosial Budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Kultur dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan, adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang diterima atau tidak dapat diterima sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
c) Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis, penelitian neurobiologis mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada ditengah sistem limbik)
2) Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang, ketika sesorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasikannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal, contoh stressor eksternal : serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain, sedangkan contoh dari stressor internal : merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan seseoranga yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut pandang perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua yaitu :
a) Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, kurang percaya diri.
b) Lingkungan : ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi social.
3) Tanda dan gejala
Menurut (Radjiman, 2003), tanda dan gejala yang mucul pada perilaku kekerasan atau agresifitas dilihat dari tingkah laku klien yaitu :
a) Menyatakan perilaku kekerasan
b) Mengatakan perasaan jengkel atau kesal
c) Sering memaksakan kehendak
d) Merampas atau memukul
e) Tekanan darah meningkat
f) Wajah merah. Pupil melebar
g) Mual
h) Kewaspadaan meningkat disertai ketegangan otot.
4) Penatalak sanaan medis
a) Terapi Somatik
Menurut (Depkes RI, 2000, hal 230) menerangkan bahwa terapi Somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptife menjadi perilaku adaktif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien .
b) Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya untuk menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah tiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).
2. Konsep dasar asuhan keperawatan prilaku kekerasan
a. Pengkajian
1) Pengumpulan data
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses dan merupakan proses yang sistematis untuk mengumpulkan data, menganalisis data dan menentukan diagnosa keperawatan ( Keliat, 1998). Adapun data yang diperoleh pada klien dengan prilaku kekerasan adalah sebagai berikut : menyatakan melakukan prilaku kekerasan, mengatakan perasaan jengkel / kesal, sering memaksakan kehendak, merampas atau memukul. Tekanan darah meningkat. Wajah memerah, pupil melebar, mual, kewasapadaan meningkat disertai ketegangan otot, pandangan mata tajam, sering menyendiri, harga diri rendah merasa keinginan tercapai. Dari data tersebut didapatkan beberapa rumusan masalah :
a) Resiko mencederai diri sendiri dan orang lain
b) Resiko prilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain
c) Kerusakan interaksi sosial: menarik diri
d) Gangguan hubungan sosial: harga diri rendah
e) Ideal diri tidak tercapai.
2) Pohon masalah :
Resiko prilaku kekerasan terhadap diri sendiri, orang lain
perilaku kekerasan
Harga diri rendah
3) Adapun diagnosa keperawatan diantaranya :
a) Resiko prilaku kekerasan terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan
b) Perilaku kekerasan
c) Harga diri rendah
b. Perencanaan
1) Tupan : Klien tidak melakukan perilaku kekerasan
2) Tupen :
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi : Bina hubungan saling percaya dengan klien, dengan menggunakan komunikasi terapeutik yaitu beri salam atau panggil nama, perkenalkan nama perawat, jelaskan maksud pertemuan, jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat, beri rasa aman dan sikap empati, lakukan kontrak singkat tapi sering.
Rasional : hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
b) Klien dapat mengidenifikasikan penyebab prilaku kekerasan
Intervensi :
(1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
Rasional : Dengan memberi kesempatan mengungkapkan perasaannya dapat mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
(2) Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel atau kesal.
Rasional : Dengan mengungkapkan penyebab perasaan jengkel maka akan meringankan beban pikiran.
c) Klien dapat mengidentifikasikan tanda dan gejala prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan di rasakan saat ini.
Rasional : Agar dapat meringankan beban pikiran yang dialami oleh klien.
(2) Observasi tanda dan prilaku kekerasan pada klien.
Rasional : Agar dapat dipantau tindakan yang dilakukan oleh klien.
(3) Simpulkan bersama klien tanda dan gejala jengkel atau kesal.
Rasional : Agar dapat diketahui tanda dan gejala jengkel yang dialami oleh klien.
d) Klien dapat mengidentifikasikan prilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Intervensi :
(1) Anjurkan klien untuk mengungkapkan prilaku kekerasan yang biasa dilakukan (verbal, pada orang lain, pada lingkungan dan pada diri sendiri).
Rasional : Dengan memberikan kesempatan untuk mengungkapkannya dapat meringankan beban yang dialami oleh klien.
(2) Bantu klien bermain peran sesuai dengan prilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : Agar dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakukan salah.
(3) Bicarakan dengan klien,apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional : Agar dapat dipertimbangkan perbuatan yang dilakukannya adalah sikap yang menyimpang atau salah.
e) Klien dapat mengidentifikasikan akibat prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien.
Rasonal: Agar dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakukan telah merugikan dirinya sendiri
(2) Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan klien.
Rasional : Agar klien termotivasi untuk mempelajari cara yang dapatmencegah prilaku kekerasan.
(3) Tanyakan kepada klien ”apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional : Agar klien termotivasi untuk mempelajari cara yang dapatmencegah prilaku kekerasan.
f) Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.
Rasional : Dengan mendiskusikan kegiatan yang biasa dilakukan dapat memotivasi kegiatan yang baik dilakuakn.
(2) Beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan oleh klien.
Rasional : Agar dapat meningkatkan harga diri klien.
g) Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien dan beri contoh cara bicara yang baik dan mita klien mengikuti contoh cara bicara yang baik.
Rasional : Dengan mendiskusikan kegiatan yang biasa dilakukan dapat memotivasi kegiatan yang baik dilakuakn.
(2) Minta klien mengulang sendiri.
Rasional : Agar dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakkan benar atau salah.
(3) Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : Agar dapat meningkatkan harga diri klien
h) Klien dapat mendemonstrasikan cara spritual untuk mencegah prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah dilakukan.
Rasional : Dengan mediskusikan kegiatan ibadah, klien dapat mengingat agar lien mau menerapkan kegiatan ibadah yang dilakukan.
(2) Minta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang akan dilakukan.
Rasional : Dengan memberikan kesempatan untuk mendemontrasikannya dapat diingat kegiatan ibadahyang dilaksanakan.
(3) Beri pujian atas keberhasilan Klien.
Rasional : Dapat meningkatkan harga diri klien.
i) Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien tentang jenis obat yang diminumnya (5 benar).
Rasional : Agar klien mau mematuhi peraturan minum obat.
(2) Diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat.
Rasional : Dengan mendiskusikan manfaat minum obat dapat merangsang keinginan klien untuk patuh minum obat.
j) Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan prilaku kekerasan.
Intervensi :
(1) Anjurkan klien untuk ikut TAK.
Rasional : Dengan menganjurkan klien TAK dapat membantu klien berinteraksi dengan teman-temannya.
(2) Diskusikan dengan klien tentang kegiaatan selama TAK.
Rasional : Agar dapat mengevaluasi perasaan klien selama TAK.
k) Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan prilaku kekersan.
Intervensi :
1) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien sesuai dengan yang telah dilakukan ke keluarga dalam merawat klien.
Rasional : Agar dapat diketehui seberapa jauh tentang perawatan keluarga terhadap klien.
2) Jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : Agar dapat menumbuhkan peran serta keluarga.
c. Pelaksanaan
Menurut keliat (2005), implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama yang aktual dan mengancam integritas klien beserta lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah di rencanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih di butuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini (here and now). Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
d. Evaluasi
Evaluasi menurut Keliat (2005) adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu evaluasi proses atau formatif dan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien dengan tujuan yang telah ditentukan. Hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan klien dengan prilaku kekerasan adalah :
1) Klien membina hubungan saling percaya.
2) Klien dapat mengidentifikasi penyebab prilaku kekerasan.
3) Klien dapat mengidentifikasikan tanda dan gejala prilaku kekerasan.
4) Klien dapat mengidentifikasi prilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
5) Klien dapat mengidentifikasi akibat prilaku kekerasan.
6) Klien dapan mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah prilaku kekerasan.
7) Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah prilaku kekerasan
8) Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah prilaku kekerasan.
9) Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah prilaku kekerasan.
10) Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan prilaku kekerasan.
11) Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan prilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (2000), Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinik, Keliat, B.A. (2005). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2 Jakarta: EGC
Maramis, W.K. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Rajiman, W. (2003). Pedoman Penulisan Laporan dan Strategi Pelaksanaan, Malang: Dep Kes RI.
Suliswati, (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Townsend, M.C. (1999), Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta: EGC
Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa Bandung: Rafika Aditama
02 September 2009
PEDOMAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI PERSEPSI
PEDOMAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI PERSEPSI
AKTIVITAS MEMPERSEPSIKAN STIMULUS TIDAK NYATA DAN RESPON YANG DIALAMI DALAM KEHIDUPAN SESI 1-5
1. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah (Kelliat, 2005).
2. Tujuan Umum
Tujuan umum terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya.
3. Tujuan Khusus
Klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat, klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami.
4. Indikasi
Klien yang mengalami perubahan persepsi sensori : halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi verbal dengan baik.
5. Tempat
Badan Pelayanan Khusus Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli, di ruang Darmawangsa dan di ruang Abimanyu
6. Waktu pelaksanaan
a. Dilaksanakan selama 3 minggu
b. Pelaksanaan 1 hari 1 kali pertemuan
c. Setiap pertemuan waktunya 45 menit
d. Dibagi dalam 5 sesi
e. Setiap sesi dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan
7. Metode
a. Dinamika kelompok
b. Diskusi dan tanya jawab
c. Bermain peran
8. Evaluasi
a. Setiap selesai pertemuan dalam pelaksanaan masing-masing sesi
b. Setelah selesai pelaksanaan seluruh sesi
c. Menggunakan lembar observasi terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dan observasi tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran fase II : condemning.
Sesi 1 mengenal halusinasi
1. Pengertian
Suatu bentuk aktivitas kelompok dimana seorang terapis mengajak klien sebagai anggota kelompok terapi untuk mengingat kembali halusinasi yang dialami dan memfasilitasi klien agar menyadari bahwa pengalaman aneh halusinasinya sebagai sesuatu yang harus diatasi.
2. Tujuan umum
Klien mampu mengidentifikasi penyebab terjadinya halusinasi
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat mengenal halusinasi
b. Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi
c. Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi
d. Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
5. Persiapan
a. Klien
1) Memilih klien yang mengalami halusinasi pendengaran fase II : condemning yang sudah kooperatif
2) Membuat kontrak dengan klien sehari sebelumnya.
3) Mengingatkan kembali akan pertemuan TAK yang akan dilaksanakan sehari sebelumnya dan menjelang TAK 1 jam sebelumnya.
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK yaitu : leader, co leader, fasilitator dan observer sesuai dengan kemampuan masing-masing.
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, ang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengadakan kontrak dengan kelompok TAK
1) Perawat memperkenalkan diri dan masing-masing klien memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama panggilan saja.
2) Pemimpin dan anggota kelompok menetapkan peraturan yaitu : klein hadir tepat pada waktu, tidak diperkenankan meninggalkan TAK sebelum kegiatan selesai dengan kontrak waktu yang telah ditetapkan.
3) Pemimpin menetapkan tata cara dan tujuan kelompok yaitu kelompok dapat mengikuti TAK sesuai dengan tujuan pertemuan yang telah ditetapkan.
b. Pemimpin memotivasi anggota kelompok untuk menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan saat terjadi halusinasi.
c. Memberi pujian pada klien yang dapat melakukan dengan baik
d. Pemimpin memfasilitasi anggota kelompok dalam berdiskusi dan mencapai tujuan kelompok.
e. Menyimpulkan isi ,waktu terjadi, situasi terjadi dan perasaan klien dari suara yang biasa didengar.
f. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
g. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
Sesi 2 : Mengontrol halusinasi dengan menghardik
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK yang memfokuskan pada aktivitas menghardik halusinasi untuk mengontrol halusinasi.
2. Tujuan umum
Klien mampu mengidentifikasi dan memperagakan alternative baru yang dapat dilakukan untuk mengontrol halusinasi .
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi halusinasi.
b. Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi
c. Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1
5. Persiapan
a. Klien
1) Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi sebelumnya kembali dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, ang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengulang kontrak pada pertemuan selanjutnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan pertama atau tindak lanjut hasil pertemuan pertama.
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin memotivasi anggota kelompok menyebutkan cara yang selama ini digunakan untuk mengatasi halusinasi
c. Pemimpin menjelaskan cara mengatasi hasulinasi dengan menghardik dan memperagakan menghardik halusinasi saat halusinasi muncul
d. Pemimpin memperagakan cara menghardik halusinasi
e. Pemimpin mengajurkan anggota kelompok memperagakan secara bergantian sampai semua anggota kelompok dapat memperagakan.
f. Memberi pujian saat setiap klien selesai memperagakan menghardik halusinasi.
g. Pemimpin memfasilitasi anggota kelompok untuk mengungkapkan pendapat tentang peragaan yang dilakukan.
h. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
i. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan termina
Sesi 3 : Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK yang memfokuskan pada aktivitas mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
2. Tujuan umum
Klien mampu mengidentifikasi dan memperagakan alternative baru yang dapat dilakukan untuk mengontrol halusinasi .
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan untuk mencegah munculnya halusinasi.
b. Klien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1 dan 2
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1 dan 2
5. Persiapan
a. Klien
Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1 dan 2 dan tidak droup out sehari sebelumnya dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, yang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
b. Mengulang kontrak pada pertemuan sebelumnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan sesi 2 atau tindak lanjut hasil pertemuan sesi 2
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin memotivasi anggota kelompok melakukan kegiatan sehari-hari untuk mencegah halusinasi
c. Pemimpin menyampaikan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari dan bersama klien menyusun jadwal kegiatan sehari-hari
d. Pemimpin melatih anggota kelompok memperagakan kegiatan yang telah disusun
e. Memberi pujian kepada klien yang sudah selesai membuat jadwal dan memperagakan kegiatan.
f. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
g. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
Sesi 4 : Mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK yang memfokuskan pada aktivitas mengontrol halusinasi dengan belajar mengungkapkan perasaan kepada orang lain mengenai halusinasi yang dialami dengan cara bercakap-cakap.
2. Tujuan umum
Klien mampu mengungkapkan perasaan kepada orang lain mengenai halusinasi yang dialami
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah munculnya halusinasi.
b. Klien dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah terjadinya halusinasi.
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1, 2 dan 3
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1, 2 dan 3
5. Persiapan
a. Klien
Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1,2 dan 3 dan tidak droup out sehari sebelumnya dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, yang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengulang kontrak pada pertemuan sebelumnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan sesi 3 atau tindak lanjut hasil pertemuan sesi 3
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin meminta kepada anggota kelompok untuk menyebutkan orang yang biasa diajak bercakap-cakap dan topic apa yang dibicarakan
c. Pemimpin memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul
d. Pemimpin melatih anggota kelompok menyusun jadwal percakapan.
e. Pemimpin melatih anggota kelompok memperagakan percakapan dengan orang disebelahnya kepada semua anggota secara bergiliran.
f. Memberi pujian atas keberhasilan klien
g. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
h. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
Sesi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK untuk mencegah munculnya halusinasi melalui minum obat.
2. Tujuan umum
Klien dapat mencegah halusinasi melalui minum pobat
3. Tujuan khusus
a. Klien memahami pentingnya patuh minum obat
b. Klien memahami akibat tidak patuh minum obat
c. Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1, 2, 3 dan 4
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1,2,3 dan 4
5. Persiapan
a. Klien
Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1,2, 3 dan 4 dan tidak droup out sehari sebelumnya dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, yang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengulang kontrak pada pertemuan sebelumnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan sesi 4 atau tindak lanjut hasil pertemuan sesi 4
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin menjelaskan keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat
c. Pemimpin menjelaskan macam obat yang diminum klien : nama, warna, serta waktu minumnya.
d. Pemimpin menjelaskan 5 benar cara minum obat, benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum obat dan benar dosis obat.
e. Pemimpin meminta menyebutkan 5 benar cara minum obat kepada semua anggota secara bergiliran.
f. Memberi pujian atas keberhasilan klien
g. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
h. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
AKTIVITAS MEMPERSEPSIKAN STIMULUS TIDAK NYATA DAN RESPON YANG DIALAMI DALAM KEHIDUPAN SESI 1-5
1. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah (Kelliat, 2005).
2. Tujuan Umum
Tujuan umum terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya.
3. Tujuan Khusus
Klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat, klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami.
4. Indikasi
Klien yang mengalami perubahan persepsi sensori : halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi verbal dengan baik.
5. Tempat
Badan Pelayanan Khusus Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli, di ruang Darmawangsa dan di ruang Abimanyu
6. Waktu pelaksanaan
a. Dilaksanakan selama 3 minggu
b. Pelaksanaan 1 hari 1 kali pertemuan
c. Setiap pertemuan waktunya 45 menit
d. Dibagi dalam 5 sesi
e. Setiap sesi dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan
7. Metode
a. Dinamika kelompok
b. Diskusi dan tanya jawab
c. Bermain peran
8. Evaluasi
a. Setiap selesai pertemuan dalam pelaksanaan masing-masing sesi
b. Setelah selesai pelaksanaan seluruh sesi
c. Menggunakan lembar observasi terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dan observasi tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran fase II : condemning.
Sesi 1 mengenal halusinasi
1. Pengertian
Suatu bentuk aktivitas kelompok dimana seorang terapis mengajak klien sebagai anggota kelompok terapi untuk mengingat kembali halusinasi yang dialami dan memfasilitasi klien agar menyadari bahwa pengalaman aneh halusinasinya sebagai sesuatu yang harus diatasi.
2. Tujuan umum
Klien mampu mengidentifikasi penyebab terjadinya halusinasi
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat mengenal halusinasi
b. Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi
c. Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi
d. Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
5. Persiapan
a. Klien
1) Memilih klien yang mengalami halusinasi pendengaran fase II : condemning yang sudah kooperatif
2) Membuat kontrak dengan klien sehari sebelumnya.
3) Mengingatkan kembali akan pertemuan TAK yang akan dilaksanakan sehari sebelumnya dan menjelang TAK 1 jam sebelumnya.
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK yaitu : leader, co leader, fasilitator dan observer sesuai dengan kemampuan masing-masing.
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, ang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengadakan kontrak dengan kelompok TAK
1) Perawat memperkenalkan diri dan masing-masing klien memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama panggilan saja.
2) Pemimpin dan anggota kelompok menetapkan peraturan yaitu : klein hadir tepat pada waktu, tidak diperkenankan meninggalkan TAK sebelum kegiatan selesai dengan kontrak waktu yang telah ditetapkan.
3) Pemimpin menetapkan tata cara dan tujuan kelompok yaitu kelompok dapat mengikuti TAK sesuai dengan tujuan pertemuan yang telah ditetapkan.
b. Pemimpin memotivasi anggota kelompok untuk menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan saat terjadi halusinasi.
c. Memberi pujian pada klien yang dapat melakukan dengan baik
d. Pemimpin memfasilitasi anggota kelompok dalam berdiskusi dan mencapai tujuan kelompok.
e. Menyimpulkan isi ,waktu terjadi, situasi terjadi dan perasaan klien dari suara yang biasa didengar.
f. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
g. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
Sesi 2 : Mengontrol halusinasi dengan menghardik
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK yang memfokuskan pada aktivitas menghardik halusinasi untuk mengontrol halusinasi.
2. Tujuan umum
Klien mampu mengidentifikasi dan memperagakan alternative baru yang dapat dilakukan untuk mengontrol halusinasi .
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi halusinasi.
b. Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi
c. Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1
5. Persiapan
a. Klien
1) Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi sebelumnya kembali dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, ang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengulang kontrak pada pertemuan selanjutnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan pertama atau tindak lanjut hasil pertemuan pertama.
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin memotivasi anggota kelompok menyebutkan cara yang selama ini digunakan untuk mengatasi halusinasi
c. Pemimpin menjelaskan cara mengatasi hasulinasi dengan menghardik dan memperagakan menghardik halusinasi saat halusinasi muncul
d. Pemimpin memperagakan cara menghardik halusinasi
e. Pemimpin mengajurkan anggota kelompok memperagakan secara bergantian sampai semua anggota kelompok dapat memperagakan.
f. Memberi pujian saat setiap klien selesai memperagakan menghardik halusinasi.
g. Pemimpin memfasilitasi anggota kelompok untuk mengungkapkan pendapat tentang peragaan yang dilakukan.
h. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
i. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan termina
Sesi 3 : Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK yang memfokuskan pada aktivitas mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
2. Tujuan umum
Klien mampu mengidentifikasi dan memperagakan alternative baru yang dapat dilakukan untuk mengontrol halusinasi .
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan untuk mencegah munculnya halusinasi.
b. Klien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1 dan 2
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1 dan 2
5. Persiapan
a. Klien
Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1 dan 2 dan tidak droup out sehari sebelumnya dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, yang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
b. Mengulang kontrak pada pertemuan sebelumnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan sesi 2 atau tindak lanjut hasil pertemuan sesi 2
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin memotivasi anggota kelompok melakukan kegiatan sehari-hari untuk mencegah halusinasi
c. Pemimpin menyampaikan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari dan bersama klien menyusun jadwal kegiatan sehari-hari
d. Pemimpin melatih anggota kelompok memperagakan kegiatan yang telah disusun
e. Memberi pujian kepada klien yang sudah selesai membuat jadwal dan memperagakan kegiatan.
f. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
g. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
Sesi 4 : Mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK yang memfokuskan pada aktivitas mengontrol halusinasi dengan belajar mengungkapkan perasaan kepada orang lain mengenai halusinasi yang dialami dengan cara bercakap-cakap.
2. Tujuan umum
Klien mampu mengungkapkan perasaan kepada orang lain mengenai halusinasi yang dialami
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah munculnya halusinasi.
b. Klien dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah terjadinya halusinasi.
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1, 2 dan 3
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1, 2 dan 3
5. Persiapan
a. Klien
Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1,2 dan 3 dan tidak droup out sehari sebelumnya dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, yang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengulang kontrak pada pertemuan sebelumnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan sesi 3 atau tindak lanjut hasil pertemuan sesi 3
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin meminta kepada anggota kelompok untuk menyebutkan orang yang biasa diajak bercakap-cakap dan topic apa yang dibicarakan
c. Pemimpin memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul
d. Pemimpin melatih anggota kelompok menyusun jadwal percakapan.
e. Pemimpin melatih anggota kelompok memperagakan percakapan dengan orang disebelahnya kepada semua anggota secara bergiliran.
f. Memberi pujian atas keberhasilan klien
g. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
h. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
Sesi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK untuk mencegah munculnya halusinasi melalui minum obat.
2. Tujuan umum
Klien dapat mencegah halusinasi melalui minum pobat
3. Tujuan khusus
a. Klien memahami pentingnya patuh minum obat
b. Klien memahami akibat tidak patuh minum obat
c. Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1, 2, 3 dan 4
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1,2,3 dan 4
5. Persiapan
a. Klien
Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1,2, 3 dan 4 dan tidak droup out sehari sebelumnya dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, yang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengulang kontrak pada pertemuan sebelumnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan sesi 4 atau tindak lanjut hasil pertemuan sesi 4
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin menjelaskan keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat
c. Pemimpin menjelaskan macam obat yang diminum klien : nama, warna, serta waktu minumnya.
d. Pemimpin menjelaskan 5 benar cara minum obat, benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum obat dan benar dosis obat.
e. Pemimpin meminta menyebutkan 5 benar cara minum obat kepada semua anggota secara bergiliran.
f. Memberi pujian atas keberhasilan klien
g. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
h. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
PEDOMAN PELAKSANAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK : STIMULASI SENSORI SESI 1-3
TAKS Sesi 1 (mendengar musik)
a. Tujuan
Klien mampu mengenal musik yang didengar, klien mampu memberi respon terhadap musik, klien mampu menceritakan perasaannya setelah mendengar musik, sedangkan setting sesi 1 adalah sebagai berikut :
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran
2) Ruangan nyaman dan tenang
c. Alat
1) Tape recorder
2) Kaset lagu melayu (dipilih lagu yang memiliki cerita yang bermakna atau lagu-lagu yang bermakna religius
d. Metode
1) Diskusi
2) Sharing persepsi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Memilih klien dengan indikasi, yaitu kerusakan interaksi sosial : menarik diri
b) Membuat kontrak dengan klien
c) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan:
a) Memberi salam terapiutik : salam terapis
b) Evaluasi/ validasi: menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mendengarkan musik
(2) Menjelaskan aturan main sebagai berikut :
(a) Jika ada klien yang meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3) Tahap kerja
a) Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri (nama dan nama panggilan) di mulai dari terapis secara berurutan searah jarum jam.
b) Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis mengajak semua klien untuk bertepuk tangan.
c) Terapis dan klien memakai papan nama.
d) Terapis menjelaskan bahwa akan diputar lagu, klien boleh tepuk tangan atau berjoget sesuai dengan irama lagu. Setelah lagu selesai klien akan diminta menceritakan isi dari lagu tersebut dan perasaan klien setelah mendengar lagu
e) Terapis memutar lagu, klien mendengar, boleh berjoget atau tepuk tangan (kira-kira 15 menit). Musik yang diputar boleh diulang beberapa kali. Terapis mengobservasi respons klien terhadap musik.
f) Secara bergiliran, klien diminta menceritakan isi lagu dan perasaannya. Sampai semua klien mendapat giliran.
g) Terapis memberikan pujian, setiap klien selesai menceritakan perasaannya dan mengajak klien lain bertepuk tangan
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan perasaan klien setelah menbgikuti TAK
(2) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien untuk mendengarkan musik yang disukai dan bermakna dalam kehidupannya
c) Kontrak yang akan datan
(1) Menyepakati TAK yang akan dating, yaitu menggambar
(2) Menyepakati waktu dan tempat
Sesi 2 TAKS (menggambar)
a. Tujuan
Sesi 2 bertujuan agar klien dapat mengekspresikan perasaan melalui gambar, klien dapat memberi makna gambar.
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran
2) Ruang nyaman dan tenang
c. Alat
1) Kertas HVS
2) Pensil 2B (bila tersedia krayon juga dapat digunakan)
d. Metode
1) Dinamika kelompok
2) Diskusi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok pada sesi 1.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
a) Memberi salam terapiutik : salam dari terapis, peserta dan terapis memakai papan nama
b) Evaluasi/ validasi : menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menggambar dan menceritakan kepada orang lain
(2) Menjelaskan aturan main berikut:
(a) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta ijin kepada terapis.
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3) Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menggambar dan menceritakan hasil gambar kepada klien lain.
b) Terapis membagikan kertas dan pensil untuk tiap klien
c) Terapis meminta klien menggambar apa saja sesuai dengan yang diinginkan saat ini.
d) Sementara klien mulai menggambar, terapis berkeliling dan memberikan penguatan kepada klien untuk terus menggambar, jangan mencela klien.
e) Setelah semua klien selesai menggambar terapis meminta masing-masing klien untuk memperlihatkan dan menceritakan gambar yang telah dibuatnya kepada klien lain. Yang harus diceritakan adalah gambar apa dan apa makna gambar tersebut menurut klien.
f) Kegiatan poin e dilakukan sampai semua klien mendapat giliran
g) Setiap kali klien selesai menceritakan gambarnya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangan.
3) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
(2) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan melalui gambar
c) Kontrak yang akan datang
(1) Menyepakati kegiatan yang akan datang, yaitu menonton TV
(2) Menyepakati waktu dan tempat
Sesi 3 TAKS (Menonton TV/Videa)
a. Tujuan
Agar klien klien dapat memberi respon terhadap tontonan TV/video, klien menceritakan makna acara yang ditonton.
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran.
2) Ruangan nyaman dan tenang.
c. Alat
1) Video/CD player dan video tape/CD
2) Televisi
d. Metode
Diskusi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang tela mengikuti TAK sesi 2
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
a) Memberi salam terapiutik
(1) Salam terapis
(2) Peserta dan terapis memakai papan nama.
b) Evaluasi/ validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menonton TV/Video dan menceritakannya.
(2) Menjelaskan aturan main berikut :
(a) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta Ijin kepada terapis
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3) Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menonton TV/Video dan menceritakan makna yang telah ditonton
b) Terapis memutar TV/Video yang telah disiapkan
c) Terapis mengobservasi klien selama menonton TV/Video
d) Setelah selesai menonton, masing-masing klien diberi kesempatan menceritakan isi tontonan dan maknanya untuk kehidupan klien. Berurutan searah jarum jam, dimulai dari klien yang ada di sebelah kiri terapis sampai semua klien mendapat giliran
e) Setelah selesai klien menceritakan persepsinya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangandan memberi pujian
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan persaan klien setelah mengikuti TAK
(2) Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk menonton TV yang baik
b) Kontrak yang akan datang
(1) Menyepakati TAK yang akan datang sesuai dengan indikasi klien.
(2) Menyepakati waktu dan tempat.
a. Tujuan
Klien mampu mengenal musik yang didengar, klien mampu memberi respon terhadap musik, klien mampu menceritakan perasaannya setelah mendengar musik, sedangkan setting sesi 1 adalah sebagai berikut :
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran
2) Ruangan nyaman dan tenang
c. Alat
1) Tape recorder
2) Kaset lagu melayu (dipilih lagu yang memiliki cerita yang bermakna atau lagu-lagu yang bermakna religius
d. Metode
1) Diskusi
2) Sharing persepsi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Memilih klien dengan indikasi, yaitu kerusakan interaksi sosial : menarik diri
b) Membuat kontrak dengan klien
c) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan:
a) Memberi salam terapiutik : salam terapis
b) Evaluasi/ validasi: menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mendengarkan musik
(2) Menjelaskan aturan main sebagai berikut :
(a) Jika ada klien yang meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3) Tahap kerja
a) Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri (nama dan nama panggilan) di mulai dari terapis secara berurutan searah jarum jam.
b) Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis mengajak semua klien untuk bertepuk tangan.
c) Terapis dan klien memakai papan nama.
d) Terapis menjelaskan bahwa akan diputar lagu, klien boleh tepuk tangan atau berjoget sesuai dengan irama lagu. Setelah lagu selesai klien akan diminta menceritakan isi dari lagu tersebut dan perasaan klien setelah mendengar lagu
e) Terapis memutar lagu, klien mendengar, boleh berjoget atau tepuk tangan (kira-kira 15 menit). Musik yang diputar boleh diulang beberapa kali. Terapis mengobservasi respons klien terhadap musik.
f) Secara bergiliran, klien diminta menceritakan isi lagu dan perasaannya. Sampai semua klien mendapat giliran.
g) Terapis memberikan pujian, setiap klien selesai menceritakan perasaannya dan mengajak klien lain bertepuk tangan
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan perasaan klien setelah menbgikuti TAK
(2) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien untuk mendengarkan musik yang disukai dan bermakna dalam kehidupannya
c) Kontrak yang akan datan
(1) Menyepakati TAK yang akan dating, yaitu menggambar
(2) Menyepakati waktu dan tempat
Sesi 2 TAKS (menggambar)
a. Tujuan
Sesi 2 bertujuan agar klien dapat mengekspresikan perasaan melalui gambar, klien dapat memberi makna gambar.
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran
2) Ruang nyaman dan tenang
c. Alat
1) Kertas HVS
2) Pensil 2B (bila tersedia krayon juga dapat digunakan)
d. Metode
1) Dinamika kelompok
2) Diskusi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok pada sesi 1.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
a) Memberi salam terapiutik : salam dari terapis, peserta dan terapis memakai papan nama
b) Evaluasi/ validasi : menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menggambar dan menceritakan kepada orang lain
(2) Menjelaskan aturan main berikut:
(a) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta ijin kepada terapis.
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3) Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menggambar dan menceritakan hasil gambar kepada klien lain.
b) Terapis membagikan kertas dan pensil untuk tiap klien
c) Terapis meminta klien menggambar apa saja sesuai dengan yang diinginkan saat ini.
d) Sementara klien mulai menggambar, terapis berkeliling dan memberikan penguatan kepada klien untuk terus menggambar, jangan mencela klien.
e) Setelah semua klien selesai menggambar terapis meminta masing-masing klien untuk memperlihatkan dan menceritakan gambar yang telah dibuatnya kepada klien lain. Yang harus diceritakan adalah gambar apa dan apa makna gambar tersebut menurut klien.
f) Kegiatan poin e dilakukan sampai semua klien mendapat giliran
g) Setiap kali klien selesai menceritakan gambarnya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangan.
3) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
(2) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan melalui gambar
c) Kontrak yang akan datang
(1) Menyepakati kegiatan yang akan datang, yaitu menonton TV
(2) Menyepakati waktu dan tempat
Sesi 3 TAKS (Menonton TV/Videa)
a. Tujuan
Agar klien klien dapat memberi respon terhadap tontonan TV/video, klien menceritakan makna acara yang ditonton.
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran.
2) Ruangan nyaman dan tenang.
c. Alat
1) Video/CD player dan video tape/CD
2) Televisi
d. Metode
Diskusi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang tela mengikuti TAK sesi 2
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
a) Memberi salam terapiutik
(1) Salam terapis
(2) Peserta dan terapis memakai papan nama.
b) Evaluasi/ validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menonton TV/Video dan menceritakannya.
(2) Menjelaskan aturan main berikut :
(a) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta Ijin kepada terapis
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3) Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menonton TV/Video dan menceritakan makna yang telah ditonton
b) Terapis memutar TV/Video yang telah disiapkan
c) Terapis mengobservasi klien selama menonton TV/Video
d) Setelah selesai menonton, masing-masing klien diberi kesempatan menceritakan isi tontonan dan maknanya untuk kehidupan klien. Berurutan searah jarum jam, dimulai dari klien yang ada di sebelah kiri terapis sampai semua klien mendapat giliran
e) Setelah selesai klien menceritakan persepsinya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangandan memberi pujian
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan persaan klien setelah mengikuti TAK
(2) Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk menonton TV yang baik
b) Kontrak yang akan datang
(1) Menyepakati TAK yang akan datang sesuai dengan indikasi klien.
(2) Menyepakati waktu dan tempat.
hubangan kecemasan dengan derajat asma saat serangan
Latar Belakang
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makropag, neutrofil dan sel epitel, serta meningkatnya respon saluran napas (hipereaktivitas bronkus) terhadap berbagai stimulant.(Dahlan, 2009). Salah satu faktor pencetus serangan asma adalah kondisi psikologis klien yang tidak stabil termasuk di dalamnya cemas. (Sinclair, 1999). Kecemasan dapat mengakibatkan perubahan pada paru yang memungkinkan terjadinya asma. Respon yang ditimbulkan oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh syaraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan dilepasnya mediator-mediator kimia (Histamin, Eosinofil dll) sehingga menyebabkan timbulnya reaksi utama : kontriksi otot-otot polos saluran nafas yang besar atau kecil yang menimbulkan bronchospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah sempitnya saluran nafas lebih lanjut, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukosa. Bila terjadi bronchospasme maka lumen bronchus menjadi menyempit, O2 berkurang masuk dan CO2 tertahan sehingga tubuh kekurangan O2.(Taylor,1999).
Reaksi tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 adalah dengan menambah frekuensi pernafasan sehingga menimbulkan gejala sesak nafas, expirasi memanjang, batuk wheezing dan produksi sputum banyak. Bila keadaan spasme tidak di tanggulangi dan berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi yang akan dijumpai : retraksi otot sternal, penggunaan otot-otot abdomen, pernafasan cuping hidung, hypoksia berat dan jika hal ini berlanjut dapat mengakibatkan asidosis yang akan mengancam kematian.(anonym,2009). Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibanding dewasa. Cemas yang berhubungan dengan asma dilaporkan sebagai diagnosa yang sering di tangani (50% - 74%) (Carpenito, 2000). Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 300 juta orang di dunia mengidap asma, dan pada tahun 2005 sebanyak 225 ribu orang meninggal karena gagal nafas yang diakibatkan hipoksemia berat karena asma. Hasil penelitian pada tahun sama menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari 4,2% menjadi 5,4 % (Aditama, 2009). Sedangkan berdasarkan survei di berbagai rumah sakit, jumlah penderita asma di sejumlah propinsi seperti Bali (2,4%), Jawa Timur (7%), Jakarta untuk anak-anak (16,5%), Malang untuk anak-anak (22%), Jakarta Timur untuk dewasa (18,3%) dan Jakarta Pusat (7%) (Yunus, 2009). Kunjungan kasus asma di Unit gawat darurat BP SUD Wangaya Denpasar, berdasarkan data-data yang didapat dari catatan medis bulan Januari sampai dengan Maret 2009 dari 488 jumlah kunjungan pasien asma sebanyak 64 orang (13,11%). Dari hasil survey pendahuluan yang peneliti lakukan di ruang UGD BP RSU Wangaya dari 10 orang pasien yang mengalami serangan asma 5 orang sebelumnya mengalami kecemasan.
Asma dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas selama serangan akut. Gangguan ini dapat menimbulkan hipoksemia dari yang ringan sampai berat. Derajat arterial hypoxemia (hipoksemia arteri) berhubungan dengan beratnya obstruksi jalan napas (National Institute of Health, 2004). Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal PaO285-100 mmHg), SaO2 95%. Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan Vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasiti transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002). Dampak lain yang lain tak kalah pentingnya adalah penurunan sistem imun dan respon inflamasi. Di mana kecemasan akan menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah putih yang lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan proses inflamasi di bronkus sehingga keadaan asma akan berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi lebih sering karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap proses inflamasi.
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi pada tiap penderita. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras serta kecemasan juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari. Pada serangan yang sangat berat, penderita hanya sanggup mengucapkan sedikit kata-kata tanpa berhenti untuk bernapas. Terkadang, bunyi saat bernapas berkurang karena banyaknya udara yang keluar-masuk paru-paru secara berat. Kekacauan, kelesuan, dan kulit yang membiru (cyanosis), merupakan tanda bahwa orang tersebut kekurangan oksigen, dan dibutuhkan pengobatan yang cepat. Biasanya, orang yang mendapat pengobatan lengkap, akan terbebas dari serangan asma yang berat. Beberapa kantung udara pada paru-paru (alveoli) bisa pecah, tetapi hal ini jarang terjadi, udara akan berkumpul dalam pleural space (ruangan di antara lapisan membran yang melindungi paru-paru) atau udara berkumpul di sekitar organ-organ yang terdapat dalam dada. Komplikasi ini akan memperpendek napas yang telah pendek. (Anonim, 2009).
Menurut Sundaru (2001) sebagaimana penyakit lain, penatalaksanaan asma didasarkan pada pemahaman mengenai pathogenesis penyakit. Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: penatalaksanaan asma saat serangan (reliever) dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller). Berdasarkan panduan asma internasional (GINA: Global Intiative for Asthma), tujuan penatalaksanaan asma yang berhasil adalah bagaimana penyakit asma tersebut bisa dikontrol. Menurut GINA yang telah diakui oleh WHO dan National Healt, Lung and Blood Institute-USA (NHBCLI), ada beberapa kriteria yang dimaksudkan dengan asma terkontrol. Idealnya tidak ada gejala-gejala kronis, jarang terjadi kekambuhan, tidak ada kunjungan ke gawat darurat, tidak ada keterbatasan aktivitas fisik, seperti latihan fisik dan olahraga, fungsi paru normal atau mendekati normal, minimal efek samping dari penggunaan obat dan idealnya tidak ada kebutuhan akan obat-obat yang digunakan kalau perlu. Dalam penatalaksanaan asma, yang penting adalah menghindari pencetus (trigger) dan memilih pengobatan yang tepat untuk mencegah munculnya gejala asma. Selain itu, menghilangkan gejala dengan cepat dan menghentikan serangan asma yang sedang terjadi. Faktor psikologis salah satunya cemas sering diabaikan oleh klien sehingga frekwensi kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada keadaan yang lebih buruk. Kondisi ini merupakan suatu rantai yang sulit ditentukan mana yang menjadi penyebab dan mana yang merupakan akibat. Keadaan cemas menyebabkan atau memperburuk serangan, serangan asthma dapat menyebabkan kecemasan besar pada klien asthma padahal kecemasan justru memperburuk keadaan menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma baik pada saat serangan ataupun saat tidak terjadi serangan sangat penting, sebab seperti yang telah dijelaskan di atas maka lingkaran mengenai penyebab dan akibat cemas harus diputus. Dengan demikian berarti memutus salah satu faktor pencetus asthma dan memutus keadaan cemas yang disebabkan oleh asthma. Sehingga dapat memperpendek masa serangan dan memperkecil frekwensi kekambuhan (Sinclair, 1999).
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Adakah hubangan kecemasan dengan derajat asma saat serangan
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makropag, neutrofil dan sel epitel, serta meningkatnya respon saluran napas (hipereaktivitas bronkus) terhadap berbagai stimulant.(Dahlan, 2009). Salah satu faktor pencetus serangan asma adalah kondisi psikologis klien yang tidak stabil termasuk di dalamnya cemas. (Sinclair, 1999). Kecemasan dapat mengakibatkan perubahan pada paru yang memungkinkan terjadinya asma. Respon yang ditimbulkan oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh syaraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan dilepasnya mediator-mediator kimia (Histamin, Eosinofil dll) sehingga menyebabkan timbulnya reaksi utama : kontriksi otot-otot polos saluran nafas yang besar atau kecil yang menimbulkan bronchospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah sempitnya saluran nafas lebih lanjut, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukosa. Bila terjadi bronchospasme maka lumen bronchus menjadi menyempit, O2 berkurang masuk dan CO2 tertahan sehingga tubuh kekurangan O2.(Taylor,1999).
Reaksi tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 adalah dengan menambah frekuensi pernafasan sehingga menimbulkan gejala sesak nafas, expirasi memanjang, batuk wheezing dan produksi sputum banyak. Bila keadaan spasme tidak di tanggulangi dan berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi yang akan dijumpai : retraksi otot sternal, penggunaan otot-otot abdomen, pernafasan cuping hidung, hypoksia berat dan jika hal ini berlanjut dapat mengakibatkan asidosis yang akan mengancam kematian.(anonym,2009). Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibanding dewasa. Cemas yang berhubungan dengan asma dilaporkan sebagai diagnosa yang sering di tangani (50% - 74%) (Carpenito, 2000). Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 300 juta orang di dunia mengidap asma, dan pada tahun 2005 sebanyak 225 ribu orang meninggal karena gagal nafas yang diakibatkan hipoksemia berat karena asma. Hasil penelitian pada tahun sama menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari 4,2% menjadi 5,4 % (Aditama, 2009). Sedangkan berdasarkan survei di berbagai rumah sakit, jumlah penderita asma di sejumlah propinsi seperti Bali (2,4%), Jawa Timur (7%), Jakarta untuk anak-anak (16,5%), Malang untuk anak-anak (22%), Jakarta Timur untuk dewasa (18,3%) dan Jakarta Pusat (7%) (Yunus, 2009). Kunjungan kasus asma di Unit gawat darurat BP SUD Wangaya Denpasar, berdasarkan data-data yang didapat dari catatan medis bulan Januari sampai dengan Maret 2009 dari 488 jumlah kunjungan pasien asma sebanyak 64 orang (13,11%). Dari hasil survey pendahuluan yang peneliti lakukan di ruang UGD BP RSU Wangaya dari 10 orang pasien yang mengalami serangan asma 5 orang sebelumnya mengalami kecemasan.
Asma dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas selama serangan akut. Gangguan ini dapat menimbulkan hipoksemia dari yang ringan sampai berat. Derajat arterial hypoxemia (hipoksemia arteri) berhubungan dengan beratnya obstruksi jalan napas (National Institute of Health, 2004). Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal PaO285-100 mmHg), SaO2 95%. Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan Vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasiti transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002). Dampak lain yang lain tak kalah pentingnya adalah penurunan sistem imun dan respon inflamasi. Di mana kecemasan akan menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah putih yang lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan proses inflamasi di bronkus sehingga keadaan asma akan berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi lebih sering karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap proses inflamasi.
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi pada tiap penderita. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras serta kecemasan juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari. Pada serangan yang sangat berat, penderita hanya sanggup mengucapkan sedikit kata-kata tanpa berhenti untuk bernapas. Terkadang, bunyi saat bernapas berkurang karena banyaknya udara yang keluar-masuk paru-paru secara berat. Kekacauan, kelesuan, dan kulit yang membiru (cyanosis), merupakan tanda bahwa orang tersebut kekurangan oksigen, dan dibutuhkan pengobatan yang cepat. Biasanya, orang yang mendapat pengobatan lengkap, akan terbebas dari serangan asma yang berat. Beberapa kantung udara pada paru-paru (alveoli) bisa pecah, tetapi hal ini jarang terjadi, udara akan berkumpul dalam pleural space (ruangan di antara lapisan membran yang melindungi paru-paru) atau udara berkumpul di sekitar organ-organ yang terdapat dalam dada. Komplikasi ini akan memperpendek napas yang telah pendek. (Anonim, 2009).
Menurut Sundaru (2001) sebagaimana penyakit lain, penatalaksanaan asma didasarkan pada pemahaman mengenai pathogenesis penyakit. Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: penatalaksanaan asma saat serangan (reliever) dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller). Berdasarkan panduan asma internasional (GINA: Global Intiative for Asthma), tujuan penatalaksanaan asma yang berhasil adalah bagaimana penyakit asma tersebut bisa dikontrol. Menurut GINA yang telah diakui oleh WHO dan National Healt, Lung and Blood Institute-USA (NHBCLI), ada beberapa kriteria yang dimaksudkan dengan asma terkontrol. Idealnya tidak ada gejala-gejala kronis, jarang terjadi kekambuhan, tidak ada kunjungan ke gawat darurat, tidak ada keterbatasan aktivitas fisik, seperti latihan fisik dan olahraga, fungsi paru normal atau mendekati normal, minimal efek samping dari penggunaan obat dan idealnya tidak ada kebutuhan akan obat-obat yang digunakan kalau perlu. Dalam penatalaksanaan asma, yang penting adalah menghindari pencetus (trigger) dan memilih pengobatan yang tepat untuk mencegah munculnya gejala asma. Selain itu, menghilangkan gejala dengan cepat dan menghentikan serangan asma yang sedang terjadi. Faktor psikologis salah satunya cemas sering diabaikan oleh klien sehingga frekwensi kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada keadaan yang lebih buruk. Kondisi ini merupakan suatu rantai yang sulit ditentukan mana yang menjadi penyebab dan mana yang merupakan akibat. Keadaan cemas menyebabkan atau memperburuk serangan, serangan asthma dapat menyebabkan kecemasan besar pada klien asthma padahal kecemasan justru memperburuk keadaan menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma baik pada saat serangan ataupun saat tidak terjadi serangan sangat penting, sebab seperti yang telah dijelaskan di atas maka lingkaran mengenai penyebab dan akibat cemas harus diputus. Dengan demikian berarti memutus salah satu faktor pencetus asthma dan memutus keadaan cemas yang disebabkan oleh asthma. Sehingga dapat memperpendek masa serangan dan memperkecil frekwensi kekambuhan (Sinclair, 1999).
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Adakah hubangan kecemasan dengan derajat asma saat serangan
Langganan:
Postingan (Atom)