BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya pembangunan fisik dan pertambahan penduduk di suatu kota dan perubahan sosial
budaya yang tidak sesuai dan selaras, menimbulkan berbagai masalah antara lain
masalah kesehatan. Salah satunya adalah masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS). Masalah HIV/AIDS yang semakin merebak akhir-akhir ini sudah tidak dapat
dianggap enteng lagi. HIV/AIDS
ternyata mengancam seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali generasi muda. HIV/AIDS
merupakan persoalan kesehatan masyarakat yang sangat penting di beberapa negara
dan bahkan mempunyai implikasi yang bersifat internasional (Suryadinata, 2010).
Dewasa ini Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS) sudah menjadi penyakit yang pendemik, menyerang jutaan penduduk dunia. Hampir
di setiap negara HIV/AIDS menjadi masalah nasional, yang perlu mendapatkan perhatian
serius dari semua pihak, bukan saja pemerintah tetapi seluruh lapisan masyarakat.
Perkembangan Kasus HIV/AIDS bagaikan gunung es, yang nampak hanyalah permukaan
belaka namun kasus yang sesungguhnya jauh lebih besar daripada kasus yang
nampak. Penyakit ini merupakan penyakit yang mematikan karena sampai saat ini
belum ditemukan obat penyembuhannya (Suryadinata, 2010).
Perkembangan permasalahan HIV/AIDS semakin lama semakin mengkhawatirkan
baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif. Walaupun secara geografi, yang
semula diharapkan dapat menghambat perkembangan jumlah orang dengan HIV dan
AIDS di dunia namun pada kenyataannya dalam kurun waktu 20 tahun terakhir
jumlahnya telah mencapai lebih dari 60 juta orang dan 20 juta diantaranya telah
meninggal. Tidak mengherankan bila
permasalahan HIV dan AIDS telah menjadi epidemi di hampir 190 negara (Indriani,
2010).
Infeksi HIV di Indonesia
cenderung tetap meningkat pada masa lima tahun mendatang berkaitan dengan
bertambah banyaknya hubungan seksual yang tidak terlindungi dan penularan HIV
melalui jarum suntik penyalahguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif
(napza). Dikhawatirkan terjadi
penyebaran epidemic baru dan kasus AIDS yang dirawat akan bertambah banyak. Berdasarkan
data dari UNAIDS dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2009, jumlah penderita HIV/AIDS di
seluruh dunia meningkat jumlahnya hingga mencapai 5,2 juta jiwa. Menurut data
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Jumlah
kasus terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia hingga 2010 mencapai antara 93 ribu
hingga 130 ribu kasus, di Indonesia tahun 2014 akan terdapat 501.400 kasus
HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS sudah terdapat di 32 provinsi dan 300
kabupaten/kota. Penderita ditemukan terbanyak pada usia produktif, yaitu 15-29
tahun. Persebaran kasus AIDS lima (5) provinsi tertinggi adalah Jawa Barat,
Jawa Timur, DKI jakarta, Papua dan Bali. Penderita HIV/AIDS di Bali pada 2006
diperkirakan mencapai 4.000 orang. Namun, data terbaru dari Dinas Kesehatan
Bali hingga Agustus 2010, total penderita HIV/AIDS tercatat 3.659 orang. Untuk
tahun 2010 saja, jumlah penderita baru yang ditemukan 421 orang dan kasus
meninggal 54 orang. Jika penemuan kasus HIV lajunya sama seperti empat tahun
terakhir, diperkirakan empat tahun dari sekarang jumlahnya akan bertambah
hingga 6.000 orang lebih (Suryadinata, 2010).
Berdasarkan data jumlah
kunjungan ke Klinik VCT yang ada di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, jumlah
kunjungan pasien ke VCT tahun 2008 sebanyak 1157 orang dengan jumlah hasil test
reaktif sebanyak 286 orang dengan faktor
resiko injectie drug user ( IDU) sebanyak 30 orang, hetero sebanyak 202 orang, anal seks sebanyak 4 orang, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebanyak 37 orang dan ibu ke anak sebanyak 13 orang. Tahun 2009 sebanyak 1279 orang dengan jumlah hasil test
reaktif sebanyak 354 dengan faktor
resiko Injeksi Dius User (IDU) sebanyak 47 orang, hetero sebanyak 231 orang, anal seks sebanyak 6 orang, pasien ODHA sebanyak
52 orang dan ibu ke anak sebanyak 18 orang. Tahun 2010 sebanyak 1373 orang dengan jumlah hasil test
reaktif sebanyak 361 dengan faktor
resiko IDU sebanyak 19 orang, hetero sebanyak 153
orang, anal seks sebanyak 2 orang, bisek 3 orang, pasien ODHA sebanyak 59
orang, pelanggan pekerja seks
komersial (PSK) 90 orang dan ibu ke anak sebanyak 17 orang.
HIV dapat menyerang siapa
saja, orang yang terinfeksi virus HIV akan menjadi pembawa dan penular virus
HIV selama hidupnya, selain hal yang diuraikan tersebut, orang dengan HIV/AIDS
masih mendapat stigma dan perlakuan diskriminasi oleh masyarakat. Mengidap
HIV/AIDS di Indonesia dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis
terutama pada penderitanya maupun pada keluarga dan lingkungan disekeliling
penderita. Pengalaman mengalami suatu penyakit akan membangkitkan berbagai
perasaan dan reaksi stres, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa
malu, berduka, dan ketidakpastian dengan adaptasi terhadap penyakit (Kurniawati,
2007).
Perilaku resiko tinggi
tertular AIDS adalah perilaku seseorang yang berbahaya meliputi perpindahan air mani yang dilakukan
melalui aktivas seksual vagina dan anal persetubuhan. Ataupun aktivitas yang
yang melibatkan perpindahan transfusi darah, berbagi jarum suntik dengan orang lain. Hal
tersebut dapat mengakibatkan kecemasan pada seseorang yang memiliki perilaku
seperti tersebut diatas oleh karena adanya ancaman terhadap suatu
penyakit (Kurniawati, 2007).
Kecemasan merupakan respons
individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami oleh semua
makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari (Suliswati, 2005). Kecemasan terjadi
sebagai akibat dari ancaman terhadap harga diri atau indentitas diri yang
sangat mendasar bagi keberadaan individu. Kecemasan dikomunikasikan secara
interpersonal dan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, menghasilkan
peringatan yang berharga dan penting untuk upaya memelihara keseimbangan diri
dan melindungi diri.
Manusia dalam hidupnya, tidak
seorangpun dapat terbebas dari perasaan cemas. Pada suatu saat perasaan cemas
justru dibutuhkan untuk memacu dan mendorong manusia lebih meningkatkan
kualitas hidupnya. Kecemasan yang demikian umumnya adalah kecemasan dalam batas
normal. Bila kecemasan sangat meningkat, maka akan berubah menjadi patologis,
seperti keadaan kecemasan neurosis, histeria, fobia, hipochondria, dan
psikosomatis. Kecemasan selalu melibatkan komponen psikis dan biologis.
Komponen psikis pada kecemasan berbentuk perasaan khawatir, cemas, was-was,
gugup, rasa tidak aman, takut, mudah terkejut, serta ketegangan terus-menerus.
Kadangkala disertai dengan pembicaraan yang cepat atau bahkan terputus-putus.
Gejala biologis antara lain keluhan sesak nafas, dada tertekan, kepala ringan
seperti mengambang, keringat dingin, detak jantung berdebar-debar, nyeri pada
daerah ulu hati serta lekas lelah (Ibrahim, 2006).
Mencermati adanya keterkaitan
antara kecemasan dan pemahaman tentang HIV maka perlunya memberikan dukungan
dan informasi kepada orang yang mempunyai resiko tertular HIV dengan cara
memberikan konseling yang
disebut dengan Voluntary Conseling and
Testing (VCT). VCT merupakan proses membantu seseorang untuk belajar menyelesaikan masalah
interpersonal, emosional dan pengambilan keputusan. Konseling HIV/AIDS
merupakan komunikasi bersifat rahasia antara klien dan konselor bertujuan
meningkatkan kemampuan menghadapi stres dan mengambil keputusan berkaitan
dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk mengevaluasi risiko personal
penularan HIV, memfasilitasi pencegahan perilaku yang tidak sehat dan mengevaluasi
penyesuaian diri ketika klien menghadapi hasil tes positif (Kurniawati, 2007).
Berdasarkan pengalaman
peneliti selama bekerja Klinik VCT RSUP Sanglah, sebagian besar pasien yang
datang untuk melakukan konseling VCT mengeluh perasaan khawatir, cemas,
was-was, gugup, rasa tidak aman, takut, tidak bisa tidur, nafsu makan berkurang,
serta ketegangan terus-menerus. Pendataan tentang kecemasan pasien yang melakukan konseling di Klinik
VCT RSUP Sanglah selama ini belum pernah dilakukan sehingga data tentang
kecemasan pasien tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan study
pendahuluan yang penulis lakukan selama bulan Agustus 2011 terhadap 15 orang berkunjung ke
Klinik VCT, didapatkan semuanya mengalami kecemasan dengan katagori kecemasan
yang berbeda-beda, dimana sebanyak 7 orang
mengalami kecemasan katagori ringan
dan 8 orang mengalami kecemasan sedang. Hasil tersebut menunjukkan adanya
kecemasan yang signifikan pada orang yang akan melakukan konseling. Berdasarkan uraian di atas mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tentang
“efektivitas voluntary
counseling and testing (VCT) terhadap tingkat kecemasan pasien beresiko tinggi terinfeksi HIV” yang akan dilaksanakan di Poliklinik VCT RSUP
Sanglah Tahun 2011.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang peneliti uraikan di atas, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah efektivitas voluntary
counseling and testing (VCT) terhadap tingkat kecemasan pasien beresiko tinggi terinfeksi
HIV di Poliklinik VCT RSUP Sanglah Tahun 2011?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui efektivitas voluntary counseling and
testing (VCT) terhadap tingkat kecemasan pasien beresiko
tinggi terinfeksi HIV di Poliklinik VCT RSUP Sanglah Tahun 2011.
2. Tujuan Khusus
a.
Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien beresiko tinggi terinfeksi HIV sebelum diberikan VCT
di Poliklinik VCT RSUP Sanglah.
b.
Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien beresiko tinggi terinfeksi HIV setelah diberikan
VCT di Poliklinik VCT RSUP Sanglah.
c.
Menganalisis efektivitas VCT terhadap tingkat kecemasan pasien beresiko
tinggi terinfeksi HIV di Poliklinik VCT RSUP Sanglah Tahun 2011.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoristis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dibidang keperawatan khususnya perawatan pasien HIV, terutama dalam
penerapan VCT terhadap pasien HIV.
2. Secara Praktis
a.
Memberikan informasi kepada KPAD agar ditindaklanjuti guna
meningkatkan mutu pelayanan VCT di Poliklinik
VCT RSUP sanglah.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi masukan kepada sejawat perawat tentang pentingnya menangani kondisi kecemasan
pada pasien yang beresiko terinfeksi HIV-AIDS sehingga sejawat perawat dapat
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif.
c. Meningkatkan jumlah kunjungan klien yang
divct.
d. Diharapkan hasil penelitian ini mampu
memberikan kontribusi yang positif bagi pasien yang beresiko terinfeksi HIV-AIDS.
e. Hasil penelitian yang didapatkan dalam
penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar oleh peneliti lain dalam
melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan pengaruh VCT terhadap tingkat kecemasan pada pasien yang beresiko terinfeksi HIV-AIDS
E. Keaslian
Penelitian
Sepengetahuan penulis
belum ada penelitian tentang efektivitas
VCT
terhadap tingkat kecemasan Pasien Beresiko HIV
di Poliklinik VCT RSUP Sanglah, namun penelitian tentang pengaruh VCT
terhadap tingkat kecemasan yang pernah di teliti adalah penelitian yang dilakukan
oleh
Penelitian oleh Dhani
tahun 2010 yang meneliti tentang pengaruh konseling VCT terhadap tingkat
kecemasan ODHA terhadap kematian di Klinik VCT Kantor Kesehatan Pelabuhan Belawan Kota Medan.
Jenis penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan rancangan pre
test dan post test with control group design. Pemilihan sampel penelitian
menggunakan purposive sampling. Analisis untuk menguji kecemasan pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menggunakan paired t-test dan Independent
t-test. Dari hasil perhitungan statistic didapatkan hasil yang
signifikan dengan p<0,5 (p =0,004) menunjukkan ada pengaruh yang signifikan
konseling VCT terhadap tingkat kecemasan ODHA terhadap kematian. Perbedaan
dengan penelitian ini adalah pada, subyek penelitian dimana pada penelitian
yang dilakukan oleh Dhani adalah pasien ODHA sedangkan pada penelitian ini
adalah pasien yang beresiko HIV. Perbedaan yang lain adalah tempat dan waktu
penelitian. Sedangkan persamaannya adalah pada variabel bebas dan terikat serta
jenis penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar