PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembedahan merupakan trauma buatan yang akan menimbulkan perubahan faal sebagai respon dari trauma itu sendiri. Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien pasca bedah dini adalah kejadian hipotermi dan reaksi menggigil sebagai mekanisme kompensasi tubuh terhadap hipotermi tersebut. Hipotermi adalah keadaan dimana suhu inti tubuh dibawah batas normal fisiologis (normotermi adalah 36.6˚C sampai 37,5˚C) yang selalu terjadi diruang pulih sadar sebagai akibat sekunder dari suhu yang rendah diruang operasi, infus dengan cairan yang dingin, inhalasi dengan gas yang dingin, cavitas atau luka yang terbuka, aktivitas otot yang menurun, usia yang lanjut atau agent obat-obatan yang digunakan (Brunner & Suddarth 2002). Penurunan suhu tubuh di bawah normal ini akan membawa dampak yang sangat kompleks pada suatu operasi salah satu diantaranya akan menyebabkan perubahan haemostasis di dalam tubuh sehingga mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas yang meningkat (Lumintang, 2000).
Di Indonesia, selama ini belum didapatkan data yang konkrit tentang angka kejadian hipotermi pasca bedah pada pasien yang dilakukan tindakan Sesio Sesarea namun dari hasil data statistic dan penelitian di dapatkan bahwa 60-75% penyebab morbiditas dari tindakan operasi adalah akibat dari komplikasi pasca bedah. Salah satu komplikasi pasca bedah adalah terjadinya hipotermi ( Murray A Kalish ,1992). Ditahun 2000 dilaporkan didunia ini wanita melahirkan dengan seksio sesarea meningkat 4 kali dibanding 10 tahun sebelumnya, Dilihat dari angka kejadian seksio sesarea dilaporkan di USA persalinan dengan seksio sesarea sebanyak 35% dari seluruh persalinan, Australia 35%, Skotlandia 43% dan Perancis 28%. Di Indonesia jumlah persalinan dengan seksio sesarea juga mengalami peningkatan tahun 2005 jumlah persalinan seksio sesarea sebanyak 8% dari seluruh persalinan, tahun 2006 15% dan tahun 2007 sebanyak 21% (Wirakusumah,2009). Data dari 10 Rumah Sakit type C di Bali (1999-2000) dari 35636 persalinan terdapat 5368 (15%) persalinan dengan seksio sesarea. Di 5 Rumah Sakit Swasta di Denpasar (1999-2000) dari 8988 persalinan terdapat 3900 (51,42%) persalinan dengan seksio sesarea. Di Ruang operasi IRD Sanglah Denpasar pada tahun 2006 rata – rata dari seluruh kegiatan pembedahan Laparatomy (seksio sesarea) berjumlah 0,39%,. tahun 2007 berjumlah 0,31%, tahun 2008 berjumlah 0,27% kasus. Dari setiap pembedahan Laparatomy (seksio sesarea) sebanyak 60-75% terjadi komplikasi yang berupa penurunan suhu tubuh dibawah normal (hipotermi).
Menurut Hudak & Gallo (1997) menyatakan bahwa perubahan Termoregulasi juga dapat berhubungan dengan penggunaan obat – obat, termasuk balbiturat, narkotik, relaksan dan sedatif. Sebagai akibatnya dapat menurunkan aktifitas seluler dan juga kebutuhan jaringan. Bagaimanapun selama masa pembedahan tubuh cenderung mengalami hipotermi, seperti diakibatkan oleh efek samping obat – obat anestesi, luka yang terbuka, sirkulasi udara yang dingin, tempat tidur ruang operasi yang dingin. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan petugas dalam pengelolaan perioperasif untuk mempertahankan keadaan normathermi. Kehilangan panas tubuh selama anestesi dan pembedahan terjadi melalui empat mekanisme : Radiasi, konveksi, konduksi dan kehilangan panas akibat evaporasi. Jadi, prinsip kerjanya bahwa panas akan berpindah dari media yang lebih hangat ke media yang lebih dingin ( http://southflorida,sun.sentine.com)
Adapun penanganan hipotermi menurut Mancini, Marry (1994) membagi berdasarkan derajat hipotermi, yaitu : (1) pada suhu antara 32˚C sampai 35˚C, dilakukan pemberian metoda pemasangan eksternal pasif yaitu pemberian selimut hangat. (2) pada suhu kurang dari 32˚C, dapat diberikan 2 metode yaitu pemanasan eksternal aktif. Dengan cara botol yang berisi air hangat diletakkan pada permukaan tubuh pasien, melakukan perendaman pada bak air yang berisi air hangat dengan suhu 40˚C dan pemberian matras hangat serta metoda pemanasan internal aktif, dengan cara : pemberian cairan intra vena yang telah dihangatkan, lavage lambung hangat, lavage peritoneum hangat, lavage colon hangat, lavage mediastinium hangat dan pemberian oksigen hangat.
Hasil penelelitian Oka Wiryanatha (2004) yang meneliti tentang pengaruh cairan infus hangat terhadap penurunan core temperatur pada penderita trauma yang dilakukan operasi emergensy di RSUP Sanglah, dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa pemberian infus hangat berpengaruh signifikan terhadap penurunan core temperatur. Melihat uraian dan hasil penelitian diatas serta jumlah kejadian hipotermi setelah dilakukan operasi seksio sesarea maka penulis tertarik untuk meneliti seberapa efektif pengaruh tindakan pemanasan internal aktif berupa pemberian cairan intra vena yang telah dihangatkan yang diberikan selama pembedahan terhadap kejadian hipotermi di OK IRD Sanglah Denpasar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Efektifkah pemberian cairan infus hangat terhadap kejadian hipotermi selama pembedahan pada penderita Seksio Sesarea?
09 Februari 2010
hubungan komunikasi verbal dan non verbal perawat dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin meningkatnya jumlah pasien gangguan fungsi ginjal yang memerlukan tindakan hemodialisa sehingga membutuhkan peran optimal dari tenaga kesehatan khususnya perawat. Disamping peran perawat juga dibutuhkan kerja sama antara pasien dan keluarga agar tindakan hemodialisa dapat dilaksanakan dengan baik sehingga komplikasi yang dapat di timbulkan dari tindakan hemodialisa dapat dicegah. Tindakan hemodialisa harus dilakukan secara rutin oleh pasien dengan gangguan fungsi sehingga hal ini akan dapat menimbulkan permasalah bagi pasien karena tindakan ini memerlukan biaya sangat mahal, disamping itu. Terkait dengan tindakan hemodilisa pasien sering mengeluhkan perasaan cemas, takut dan sejenisnya yang disebabkan oleh pemasangan alat-alat invasive, berbagai hal dari tindakan hemodialisa itu sendiri, kurangnya informasi tentang efek samping hemodialisa, kurang pemahaman mengenai penyakit gagal ginjal kronik, Pengetahuan, Jenis Kelamin, Umur, Status Sosial ekonomi serta keluarga yang belum mampu memberikan dukungan secara psikososial (Brunner dan Suddarth, 2000).
Pengalaman emperis pasien saat menjalani hemodia1isa sering menunjukkan kegelisahan, ekspresi wajah tegang, tekanan darah meningkat dan nadi meningkat, dilaporkan sebanyak 50 %-74 % kasus. (Carpenito, 2000). Berdasarkan studi pendahuluan peneliti di ruang hemodialisa BRSU Tabanan dari 15 responden yang menjalani hemodialisa 12 responden diantaranya mengalami kecemasan. Mencermati dari data tersebut di atas disimpulkan bahwa angka kecemasan pada pasien yang akan menjalani hemodialisa tinggi, akan berdampak pada psikologis pasien seperti rasa khawatir berlebihan, gelisah serta dampak depresi. Semua hal itu dapat menghambat jalannya hemodialisa.
Kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien merupakan salah satu alasan keluhan umum pasien di rumah sakit yang dapat menjadi sumber stressor. Pasien sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang diterima dari tenaga kesehatan. Tiga puluh lima sampai dengan empat puluh persen pasien tidak puas berkomunikasi dengan dokter dan perawat, aspek yang paling membuat ketidakpuasan adalah jumlah dan jenis informasi yang diterima (Bart Smet, 2004). Dalam penelitian Achiryani (2006) mendapatkan bahwa jumlah informasi yang diberikan oleh dokter kepada pasien rata-rata 18 jenis informasi untuk diingat, ternyata hanya mampu mengingat 31%. Andrew (2006) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter dan perawat salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis (sulit untuk dimengerti) dan banyaknya instruksi yang harus diingat oleh pasien. Hasil penelitian Ellis (2000), menyatakan bahwa dalam hal komunikasi dengan pasien, dari semua perawat yang diteliti sebanyak 38 orang mendapatkan nilai kurang. Hal ini disebabkan kurang disadari pentingnya komunikasi oleh perawat dan rendahnya pengalaman perawat akan teori, konsep dan arti penting komunikasi terapeutik dalam pemberian asuhan keperawatan. Dari hasil penelitian Saelan tersebut, tidak menutup kemungkinan kondisi yang sama terjadi pula dirumah sakit lain.
Kecemasan yang sering muncul pada pasien merupakan salah satu respon individu terhadap situasi yang mengancam atau mengganggu integritas diri. Berbagai dampak psikologis yang dapat muncul adalah adanya ketidaktahuan akan dapat mengakibatkan kecemasan yang terekspresi dalam berbagai bentuk seperti marah, menolak atau apatis terhadap kegiatan keperawatan. Klien yang cemas sering menggalami ketakutan atau perasaan tidak tenang. Berbagai bentuk ketakutan muncul seperti ketakutan akan hal yang tidak diketahui seperti terhadap prosedur tindakan salah satunya tindakan hemodialisa, anastesi, masa depan, keuangan dan tanggungjawab keluarga; ketakutan akan nyeri atau kematian atau ketakutan akan perubahan citra diri dan konsep diri. (Rotrock, 1999). Kecemasan dapat menimbulkan adanya perubahan secara fisik maupun psikologis yang akhirnya sering mengaktifkan syaraf otonom dimana detak jantung menjadi bertambah, tekanan darah naik, frekuensi nafas bertambah dan secara umum mengurangi tingkat energi pada klien, sehingga dapat merugikan individu itu sendiri (Rothrock, 1999). Berdasarkan konsep psikoneuroimunologi; kecemasan merupakan stressor yang dapat menurunkan sistem imunitas tubuh. Hal ini terjadi melalui serangkaian aksi yang diperantarai oleh HPA-axis (Hipotalamus, Pituitari dan Adrenal). Stress akan merangsang hipotalamus untuk meningkatkan produksi CRF (Corticotropin Releasing Factor). CRF ini selanjutnya akan merangsang kelenjar pituitari anterior untuk meningkatkan produksi ACTH (Adreno Cortico Tropin Hormon.(Guiton & Hall, 1996). Hormon ini yang akan merangsang kortek adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol inilah yang selanjutnya akan menekan sistem imun tubuh (Ader, 1996)
Dalam kaitan antara komunikasi terapeutik perawat terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien maka sangat diperlukan solusi–solusi yang dapat meningkatkan ketrampilan berkomunikasi perawat dan juga yang dapat menhilangkan berbagai hambatan–hambatan terhadap komunikasi yang dilaksanakan perawat. Ketrampilan berkomunikasi bukan merupakan kemampuan yang kita bawa sejak lahir dan juga tidak akan muncul secara tiba – tiba saat kita memerlukannya. Ketrampilan tersebut harus dipelajari dan dilatih secara terus menerus melalui kemampuan belajar mandiri, penyegaran dan pelatihan terutama berhubungan dengan upaya untuk mendapatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan (Ellis, 1999). Selain itu, faktor-faktor penghambat komunikasi merupakan faktor yang dapat mengganggu atau sama sekali bisa membuat perawat tidak mampu berkomunikasi secara terapeutik. Solusi–solusi ini dapat dijadikan pilihan karena bertujuan membantu tenaga kesehatan profesional (termasuk perawat) memperbaiki penampilan kerja guna memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut : adakah hubungan komunikasi verbal dan non verbal perawat dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa
Gambaran Saturasi Oksigen Arteri pada Pasien Asma
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gangguan pada sistem pernafasan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernafasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ lain dan berkisar dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai pneumonia berat (Price, 1995). Perilaku masyarakat dengan pola hidup yang kurang baik serta dampak dari perkembangan tehnologi dapat menimbulkan berbagai macam penyakit salah satu diantaranya adalah penyakit pada saluran pernafasan. Pada beberapa jenis penyakit paru apabila tidak mendapat penanganan yang adequat dapat menimbulkan penyakit pada tingkat yang lebih berat dan menjadi kronis, penyakit tersebut salah satunya adalah penyakit asma bronchiale yang dapat berkembang menjadi status asmatikus. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya asma adalah. Faktor infeksi misalnya virus, jamur, parasit, dan bakteri, sedangkan faktor non infeksi seperti alergi, iritan, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis. Adapun keluhan-keluhan yang sering muncul pada kasus ini adalah mengi/wheezing, sesak nafas, dada terasa tertekan atau sesak, batuk, retraksi otot dada, nafas cuping hidung, takipnea, kelelahan, lemah, anoreksia, sianosis dan gelisah.
Klien dengan asma akut mempunyai potensi untuk terjadinya gangguan bersihan mukus dari jalan napas yang besar maupun kecil. Inflamasi bronkus dapat mengganggu transport mukosiliari dan kemungkinan menyebabkan retensi mukus (Samransamruajkit, 2003). Asma dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas selama serangan akut. Gangguan ini dapat menimbulkan hipoksemia dari yang ringan sampai berat. Derajat arterial hypoxemia (hipoksemia arteri) berhubungan dengan beratnya obstruksi jalan napas (National Institute of Health, 2004). Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002). Pemantauan konsentrasi oksigen darah yang kontinu bermanfaat, bagi penderita yang mengalami kelainan perfusi/ventilasi, dan penurunan sementara konsentrasi oksigen darah dengan menggunakan oksimetri. Pemeriksaan ini sangat penting baik dalam diagnostic dan penilaian beratnya asma maupun dalam pengololaan dan penilaian keberhasilan pengobatan, sama dengan tensimeter dalam diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau glukometer pada diabetes mellitus.
Tingginya angka kejadian penyakit pada sistem pernafasan khususnya Asma Bronchiale memerlukan peranan perawat dalam memberikan pelayanan (preventif dan promotif) dengan menggunakan metode proses keperawatan, dengan memandang manusia sebagai manusia sebagai mahluk bio-psiko-sosial-spiritual. Peran perawat sangat dibutuhkan dalam memberikan perawatan khususnya memperhatikan dan menjaga kepatenan jalan nafas agar suplay oksigen ke paru-paru berlangsung secara maksimal dan oksigenasi dapat dipertahankan, sehingga dampak yang dapat ditimbulkan dari serangan asma yang terjadi mulai dari sakit, terbatasnya aktifitas, hingga menurunkan produktifitas sampai risiko kematian dapat dicegah.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gangguan pada sistem pernafasan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernafasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ lain dan berkisar dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai pneumonia berat (Price, 1995). Perilaku masyarakat dengan pola hidup yang kurang baik serta dampak dari perkembangan tehnologi dapat menimbulkan berbagai macam penyakit salah satu diantaranya adalah penyakit pada saluran pernafasan. Pada beberapa jenis penyakit paru apabila tidak mendapat penanganan yang adequat dapat menimbulkan penyakit pada tingkat yang lebih berat dan menjadi kronis, penyakit tersebut salah satunya adalah penyakit asma bronchiale yang dapat berkembang menjadi status asmatikus. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya asma adalah. Faktor infeksi misalnya virus, jamur, parasit, dan bakteri, sedangkan faktor non infeksi seperti alergi, iritan, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis. Adapun keluhan-keluhan yang sering muncul pada kasus ini adalah mengi/wheezing, sesak nafas, dada terasa tertekan atau sesak, batuk, retraksi otot dada, nafas cuping hidung, takipnea, kelelahan, lemah, anoreksia, sianosis dan gelisah.
Klien dengan asma akut mempunyai potensi untuk terjadinya gangguan bersihan mukus dari jalan napas yang besar maupun kecil. Inflamasi bronkus dapat mengganggu transport mukosiliari dan kemungkinan menyebabkan retensi mukus (Samransamruajkit, 2003). Asma dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas selama serangan akut. Gangguan ini dapat menimbulkan hipoksemia dari yang ringan sampai berat. Derajat arterial hypoxemia (hipoksemia arteri) berhubungan dengan beratnya obstruksi jalan napas (National Institute of Health, 2004). Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002). Pemantauan konsentrasi oksigen darah yang kontinu bermanfaat, bagi penderita yang mengalami kelainan perfusi/ventilasi, dan penurunan sementara konsentrasi oksigen darah dengan menggunakan oksimetri. Pemeriksaan ini sangat penting baik dalam diagnostic dan penilaian beratnya asma maupun dalam pengololaan dan penilaian keberhasilan pengobatan, sama dengan tensimeter dalam diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau glukometer pada diabetes mellitus.
Tingginya angka kejadian penyakit pada sistem pernafasan khususnya Asma Bronchiale memerlukan peranan perawat dalam memberikan pelayanan (preventif dan promotif) dengan menggunakan metode proses keperawatan, dengan memandang manusia sebagai manusia sebagai mahluk bio-psiko-sosial-spiritual. Peran perawat sangat dibutuhkan dalam memberikan perawatan khususnya memperhatikan dan menjaga kepatenan jalan nafas agar suplay oksigen ke paru-paru berlangsung secara maksimal dan oksigenasi dapat dipertahankan, sehingga dampak yang dapat ditimbulkan dari serangan asma yang terjadi mulai dari sakit, terbatasnya aktifitas, hingga menurunkan produktifitas sampai risiko kematian dapat dicegah.
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN HARGA DIRI
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
Masalah : Harga diri rendah
Pertemuan : I (satu)
PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Klien
2. Diagnosa Keperawatan
3. Tujuan khusus
Tuk 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya
4. Tindakan Keperawatan
Tuk 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya
a. Sapa klien dengan ramah, baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
B. STRATEGI PELAKSANAAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
FASE ORIENTASI
a. Salam Terapeutik
Selamat pagi pak. Nama saya Wayan Darsana biasa dipanggil wayan Saya Mahasiswa STIKES Wira Medika PPNI Bali. Saya Sekarang saya di sini dari jam 08.00-14.00 Wita utuk membantu dan merawat Bapak. Nama Bapak siapa ? Senang dipanggil apa?
b. Validasi
Bagaimana persaan Bapak hari ini ?Bagaimana tidurnya semalam ? Nyenyak ? Apakah Bapak masih ingat mengapa Bapak dibawa kesini ?
c. Kontrak
Topic : Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang hobi atau kegiatan yang Bapak sukai ?
Tempat : Mau dimana kita berbincang-bincang ?, Bagaimana kalau di ruangan ini.
Waktu : Mau berapa lama ? Bagaimana kalau 10 menit.
FASE KERJA
1. Sekarang Bapak Saya ajak Ngobrol-ngobrol ya! Bapak tidak usah malu saya ngajak ngobrol, Bapak ungkapkan saja apa yang Bapak Rasakan?
2. Bapak berasal dari mana ?
3. Bapak sudah berapa lama di sini?
4. Bapak ingat tidak, siapa yang mengajak Bapak kesini?
5. Menurut Bapak, dibawa kesini karna apa?
6. Selama disini setiap hari apa saja yang Bapak lakukan?
7. Bagaimana perasaan Bapak saat melakukan kegiatan tersebut?
8. Kalau boleh tahu, hobi Bapak apa ?
9. Kegiatan apa yang sering Bapak lakukan dirumah ?
10. Apakah Bapak sering melakukan kegiatan tersebut ?
11. Bagaimana perasaan bapak saat ini?
FASE TERMINASI
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan.
a. Evaluasi Subyektif
Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap ?
b. Evaluasi Obyektif
- Klien mampu mengungkapkan atau mengulang kembali pembicaran
- Klien mampu mempertahankan kontrak
- Klien mau melakukan aktivitas yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
2. Rencana Tindak Lanjut.
Pak kalau nanti ada yang mau Bapak ceritakan atau ditanyakan kepada saya, Bapak bisa sampaikan saat kita bertemu lagi
3. Kontrak
Saya kira, sekian dulu perbincangan kita hari ini. Nanti kita lanjutkan dengan membahas tentang kemampuan yang Bapak miliki baik itu dirumah, di sini ataupun ditempat lain. Menurut Bapak kita berbincang-bincang jam berapa ? bagaimana kalau jam 10 besok setelah kegiatan rehabilitasi.
Dimana tempatnya ? Bagaimana kalau di kursi belakang.
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
Masalah : Harga diri rendah
Pertemuan : II (dua)
A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Klien
Klien tampak senang bertemu dengan perawat
2. Diagnosa Keperawatan
harga diri rendah kronis
3. Tujuan khusus
Tuk 2 : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
4. Tindakan Keperawatan
Tuk 2 : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
b. Setiap bertemu klien hindarkan memberi penilaian negatif.
c. Berikan pujian yang realistic
B. STRATEGI PELAKSANAAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
FASE ORIENTASI
a. Salam Terapeutik
Selamat pagi bapak? Bagaimana apakah bapak masih ingat dengan saya yang kemarin dapat berbincang-bincang
b. Validasi
Bagus sekali, ternyata bapak masih ingat dengan saya, Bagaimana persaan bapak hari ini ? apa bapak masih ingat topik yang akan kita bicarakan hari ini ?
d. Kontrak
Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang kemampuan dan aspek positif yang bapak miliki.
Mau dimana kita berbincang-bincang ?Bagaimana kalau di kursi belakang. Mau berapa lama ? Bagaimana kalau 15 menit.
FASE KERJA
- Apa yang biasa BAPAK lakukan atau kerjakan dirumah ?
- Sekarang kegiatan apa saja yang BAPAK lakukan disini ?
- Apa yang menarik dari kegiatan tersebut ?
- Apa ada kemampuan lain yang BAPAK.miliki ?
FASE TERMINASI
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan.
a. Evaluasi Subyektif
Bagaimana perasaan BAPAK setelah kita bercakap-cakap ?
b. Evaluasi Obyektif
- Klien mampu mengungkapkan atau mengulang kembali pembicaran
- Klien mampu mempertahankan kontrak
- Klien mau melakukan aktivitas yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
- Klien mau tersenyum dan menganggukkan kepala
2. Rencana Tindak Lanjut
Baiklah, sekarang coba BAPAK ingat - ingat lagi kemampuan lain yang BAPAK miliki yang belum kita bicarakan?
3. Kontrak
Saya kira, sekian dulu perbincangan kita hari ini. Nanti kita akan membahas tentang kemampuan mana yang BAPAK miliki yang masih dapat dilakukan di RS dan kemampuan yang dapat dilakukan dirumah.
Kapan kita bisa berbincang- bincang lagi ? Bagaimana kalau jam 10 besok? Kita mau berbincang- bincang dimana ? Bagaimana kalau di ruangan ini. Mau berapa lama? bagaimana kalau 15 menit, Apa Bapak setuju?
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
Masalah : Harga diri rendah
Pertemuan : III (Tiga)
A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Klien
Klien dapat mengetahui berapa kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2. Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah kronis
3. Tujuan khusus
Tuk 3 : Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
4. Tindakan Keperawatan
Tuk 3 : Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
a. Diskusikan dengan klien kemampuan yang dimiliki
b. Diskusikan dengan klien kemampuan yang digunakan selama sakit
c. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih belum disebutkan, tapi ada.
B. STRATEGI PELAKSANAAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
FASE ORIENTASI
a. Salam Terapeutik
Selamat pagi BAPAK!
b. Validasi
Bagaimana perasaan BAPAK hari ini ? Apakah BAPAK sudah mulai bergaul dengan teman-teman dan berbincang- bincang dengan mereka ? Apakah masih ada sesuatu yang BAPAK miliki tapi belum diceritakan pada saya.
c. Kontrak
Masih ingatkah, apa yang telah kita bicarakan kemarin ? Betul, membicarakan tentang kemampuan BAPAK selama ini untuk menilai mana kegiatan yang dapat dikerjakan dirumah sakit dan mana kegiatan yang dapat dilakukan dirumah.
Menurut BAPAK dimana kita mau berbincang-bincang ? Bagaimana kalau di ruangan ini? Mau berapa lama? bagaimana kalau 10 menit.
FASE KERJA
Ini daftar kemampua yang BAPAK .miliki yang telah kita bicarakan. Baiklah apa menurut BAPAK masih ada yang belum ditulis ? Coba BAPAK sebutkan (beberapa ) kemampuan yang dapat dilakukan dirumah sakit ? Nah, sekarang coba BAPAK pilih mana yang bisa kita latih sekarang ? Mungkin kita bisa mencoba kemampuan BAPAK.Bagaimana kalau yang ini, bagus sekali !
FASE TERMINASI
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan.
a. Evaluasi Subyektif
Bagaimana perasaan BAPAK setelah kita bercakap-cakap ?
Sekarang BAPAK sudah tahu kan, kemampuan yang BAPAK miliki dan dapat dilakukan disini, coba BAPAK sebutkan kembali ? bagaimana perasaan BAPAK setelah melakukan kegiatan tersebut.
b. Evaluasi Obyektif
- Klien mau menjawab pertanyaan
- Klien mampu mengulang dan mampu berkomunikasi dengan lancar
- Klien mau menjalin kontak mata
2. Rencana Tindak Lanjut
Baiklah, bagaimana kalau kegiatan tadi dilakukan terus di RS, supaya lancar dan terbiasa. Nah, mau jam berapa melakukannya ? Bagaimana kalau kita buat jaBapakal, biar tidak lupa.
3. Kontrak
Saya kira, sekian dulu perbincangan kita hari ini. Nanti kita akan membahas tentang aktivitas yang dapat BAPAK lakukan setiap hari sesuai dengan kemampuan yang BAPAK miliki. Kita bincang-bincang jam berapa ? Mau dimana ? Bagaimana kalau di ruang makan ? Berapa lama ? Bagaimana kalau 15 menit ? Baiklah sampai besok BAPAK.
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
Masalah : Harga diri rendah
Pertemuan : IV (Empat)
A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Klien
Klien telah dapat menilai aspek positif yang dimiliki
2. Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah kronis
3. Tujuan khusus
Tuk 4 : Klien dapat merencanakan kegiatan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
4. Tindakan Keperawatan.
Tuk 4 : Klien dapat merencanakan kegiatan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan. buat jaBapakal :
- Kegiatan mandiri
- Kegiatan dengan bantuan sebagian
- Kegiatan yang membutuhkan bantuan total
b. Beri contoh pelaksanaan kegiatan yang dapat dilakukan
c. Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan dirumah sakit
d. Bantu klien melakukannya, kalau perlu beri contoh
e. Beri pujian atas kegiatan dan keberhasilan klien
f. Diskusikan jaBapakal kegiatan harian atau kegiatan yang telah dilatih
B. STRATEGI PELAKSANAAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
FASE ORIENTASI
a. Salam Terapeutik
Selamat pagi BAPAK?
b. Validasi
Bagaimana persaaan BAPAK hari ini ? Apakah BAPAK masih ingat dengan kemampuan yang BAPAK miliki.
c. Kontrak
Masih ingatkah , apa yang akan kita bicarakan sekarang ? Betul, kita akan bercakap mengenai cara BAPAK menilai kemampuan yang digunakan dirumah maupun di RS serta dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang BAPAK miliki. Sekarang, kita akan buat jadwal kegiatan….
Menurut BAPAK dimana kita mau berbincang-bincang ? Bagaimana kalau di ruang makan ? Mau berapa lama? bagaimana kalau 15 menit.
FASE KERJA
- Mengingatkan kemampuan klien yang masih bisa dilakukan di Rumah Sakit sesuai kemampuan klien
- Menanyakan kegiatan lain yang mungkin dilakukan. Mandi, makan, tidur dll.
- Menyusun jadwal kegiatan bersama klien
- Memberikan pujian pada klien dalam penyusunan jadwal kegiatan.
FASE TERMINASI
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan.
a. Evaluasi Subyektif
Bagaimana perasaan BAPAK setelah menyusun jaBapakal dengan saya ? Sekarang coba BAPAK ceritakan kembali, kegiatan apa saja yang dapat BAPAK lakukan disini.
b. Evaluasi Obyektif
- Klien mampu mengungkapkan atau mengulang kembali pembicaran
- Klien mampu mempertahankan kontrak
- Klien mau menjawab pertanyaan
- Klien mampu mengulang dan mampu berkomunikasi dengan lancar
- Klien mau menjalin kontak mata.
2. Rencana Tindak Lanjut
Baiklah, bagaimana kalau BAPAK .melakukan kegiatan yang sudah dibuat tadi? Jika ada hambatan dan perlu bantuan, saya siap membantu.
3. Kontrak
Saya kira, sekian dulu perbincangan kita hari ini. BAPAK coba laksanakan jaBapakal yang telah dibuat tadi. Besok kita akan berbincang lagi mengenai kegiatan apa saja yang telah BAPAK lakukan hari ini. Menurut BAPAK kita bincang-bincang jam berapa ? Mau dimana ? Bagaimana kalau di tempat ini lagi ? Berapa lama ? Bagaimana kalau 15 menit ? Baiklah sampai nanti BAPAK.
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
Masalah : Harga diri rendah
Pertemuan : V (lima)
A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Klien
Klien mampu merencanakan kegiatan yang ingin dilakukan dirumah
sakit
2. Diagnosa Keperawatan.
harga diri rendah kronis
3. Tujuan khusus
Tuk 5 : Klien mampu melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
4. Tindakan Keperawatan.
Tuk 5 : Klien mampu melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
a. Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
b. Beri pujian atas keberhasilannya.
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.
B. STRATEGI PELAKSANAAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
FASE ORIENTASI
a. Salam Teraupetik
Selamat pagi BAPAK… Masih ingat dengan saya ?
b. Validasi
Bagaimana perasaan BAPAK hari ini ? Apakah BAPAK masih ingat apa yang kita bicarakan kemarin. Bagaimana kegiatan hari ini ? Tetap terlaksana ? Bagus,BAPAK tadi pagi sudah melakukan apa saja ? Sesuai tidak dengan jaBapakal yang telah kita buat kemarin ?
c. Kontrak
Baiklah, sesuai dengan kesepakatan kita kemarin, kita akan bicarakan tentang kegiatan apa saja yang akan kita coba hari ini?
Menurut BAPAK dimana kita mau berbincang-bincang ? Bagaimana kalau di ruang makan? Mau berapa lama? bagaimana kalau 15 menit.
FASE KERJA
- Menanyakan pada klien tentang kegiatan yang mampu dilakukan ?
- Menawarkan pada klien kegiatan lain yang mungkin dilakukan.
- Diskusikan dengan klien tentang kegiatan yang mampu dilakukan.
- Beri reinforcement atas pelaksanaan tindakan.
FASE TERMINASI
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan.
a. Evaluasi Subyektif
Bagaimana perasaan BAPAK setelah dapat melakukan kegiatan tersebut?
b. Evaluasi Obyektif
- Klien mampu melakukan jaBapakal kegiatan harian yang telah dibuat.
2. Rencana Tindak Lanjut
Baiklah, untuk selanjutnya BAPAK tetap melaksanakan kegiatan yang telah dibuat tadi. Bagaimana kalau setelah pulang nanti, apa saja yang telah kita jaBapakalkan tersebut, tetap BAPAK laksanakan. Kalau ada kesulitan selama di sini, saya siap membantu.
3. Kontrak
Bagaimana kalau besok kita bertemu lagi ? Bagaimana kalau kita berbincang-bincang lagi untuk mendiskusikan kegiatan lain yang bisa BAPAK lakukan. Nanti kita berbincang-bincang di teras depan saja. Bagaimana BAPAK setuju?
ASKEP HARGA DIRI RENDAH KRONIS
LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH KRONIS
A. Konsep Dasar Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
1. Pengertian
Konsep diri adalah semua ide, kepercayaan dan pandangan yang diketahui tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sundeen, 2006; hal. 227).
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu dalam berhubungan dengan orang lain. (Suliswati, 2005; hal. 89).
Gangguan konsep diri adalah suatu keadaan negatif dari perubahan mengenai perasaan, pikiran atau pandangan tentang dirinya sendiri yang negatif. (Carpenito,2004,hal. 883). Konsep diri terdiri atas lima komponen yaitu gambaran diri, ideal diri, peran diri, identitas diri, dan harga diri(Sunaryo, 2004,hal. 33).
Harga diri rendah dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional ( trauma ) atau kronis ( negatif self evaluasi yang telahberlangsung lama ). Dan dapat di ekspresikan secara langsung atau tidak langsung (nyata atau tidak nyata). Stuart dan Sundeen, 2006; hal. 228).
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Pencapaian ideal diri atau cita – cita atau harapan langsung menghasilkan perasaan bahagia. (Keliat, 2005).
2. Rentang Respon
Rentang Respon Konsep Diri
Respon adaptif Respon maladaptif
Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi
diri positif rendah identitas
3. Psikopatologi
Menurut Stuart (2005, hal. 186), berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang yaitu Faktor predisposisi yang merupakan faktor pendukung harga diri rendah meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah peran gender, tuuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya. Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial. Sedangkan faktor presipitasi munculnya harga diri rendah meliputi trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksika kejadian yang megancam kehidupan dan ketegangan peran beruhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana individu mengalami frustrasi. Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman. Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi yang baru. Ia berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman itu tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan diri dengan kenyataan. Semakin klien menjauhi kenyataan semakin kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain.
Tanda dan gejala yang muncul pada gangguan konsep diri harga diri rendah yaitu mengkritik diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan,gangguan dalam berhubungan, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, rasa bersalah, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis, adanya keluhan fisik, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung, menarik diri secara realitas,penyalahgunaan zat dan menarik diri secara sosial.(Stuart & Sundeen, 1998, hal. 230).melihat tanda dan gejala diatas apabila tidak ditanggulangi secara intensif akan menimbulkan distress spiritual, perubahan proses pikir (curiga), perubahan interaksi sosial (menarik diri) dan resiko terjadi amuk.
4. Penatalaksanaan Medis
Menurut hawari (2001), terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :
a. Psikofarmaka
Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1) Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu yang cukup singkat.
2) Tidak ada efek samping kalaupun ada relative kecil.
3) Dapat menghilangkan dalam waktu yang relative singkat, baik untuk gejala positif maupun gejala negative skizofrenia.
4) Lebih cepat memulihkan fungsi kogbiti.
5) Tidak menyebabkan kantuk
6) Memperbaiki pola tidur
7) Tidak menyebabkan habituasi, adikasidandependensi.
8) Tidak menyebabkan lemas otot.
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi dalan 2 golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan generasi pertama misalnya chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan Haloperidol. Obat yang termasuk generasi kedua misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine, Glanzapine, Zotatine, dan aripiprazole.
b. Psikoterapi
Therapy kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. (Maramis,2005,hal.231)
c. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik. (Maramis, 2005)
d. Therapy Modalitas
Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana pengobatan untuk skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan klien. Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal. Therapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata. (Kaplan dan Sadock,1998,hal.728).
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok stimulasi sensori, therapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan therapy aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat dan Akemat,2005,hal.13). Dari empat jenis therapy aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah therapyaktivitas kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah therapy yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.(Keliat dan Akemat,2005,hal.49)
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Adapun data yang diperoleh dari klien dengan gangguan konsep diri : harga diri rendah yaitu:
a. Data Subjektif
Mengkritik diri sendiri/orang lain, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai diri sendiri, klien mengatakan bersedih dan kecewa, klien mengatakan pesimis dalam menghadpi kehidupan, mengatakan hal-hal yang negatif tentang keadaan tubuhnya.
b. Data Objektif
Gangguan dalam berhubungan, pandangan bertentangan terhadap penolakan kemampuan personal, menarik diri secara personal, menarik dir secara sosial, menarik diri secara realitas, merusak diri sendiri dan orang lain, produktivitas menurun,bengong dan putus asa. Harga diri rendah merupakan karakteristik skizofrenia dimana pada lien skizofrenia harus dikaji riwayat keluarga karena salah satu faktor yang berperan serta bagi munculnya gejala tersebut adalah faktor genetik atau keturunan (Hawari,2001).Dari data yang muncul diatas dianalisa dan pada umumnya dapat dirumuskan masalah keperawatan diantaranya yaitu:
1) Kerusakan interasi sosial
2) harga diri rendah
3) Koping individu tak efektif
c. Pohon Masalah
Kerusakan interaksi sosial akibat
Harga diri rendah kronis core problem
Tidak efektifnya kopingindividu penyebab
d. Diagnosa keperawatan
1) Kerusakan interaksi sosial.
2) Harga diri rendah kronis
3) Koping individu tidak efektif
2. Perencanaan
Perencanaan merupakan langkah kedua dari proses keparawatan setelah pengkajian. Rencana tindakan keperawatan terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan umum, tujuan khusus dan rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian permasalahan (P) dari diagnosa tertentu. Tujuan umum dapat tercapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai. Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi (E) dari diagnosa tertentu. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan klien yang perlu dicapai atau dimiliki klien, kemampuan ini dapat bervariasi sesuai kemampuan dan kebutuhan klien. Umumnya kemampuan pada tujuan khusus dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor (Stuart dan Sundeen, 1998, hal 98).
a. Prioritas
Prioritas diagnosa keperawatan berdasarkan masalah utama yang diperoleh saat pengkajian:
1) Harga diri rendah kronis
2) Kerusakan interaksi sosial
3) Koping individu tidak efektif
b. Rencana perawatan
Adapun tindakan keperawatan yang lazim dilakukan pada klien dengan waham kebesaran menurut Kelliat (1998) antara :
1) Harga diri rendah kronis
Tujuan Umum:
Klien mengalami peningkatan harga diri rendah
Tujuan Khusus:
a) Klien dapat membina berhubungan saling percaya
Kriteria evaluasi :
Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan dan menyebut nama, mau menjawab salam, klien mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi
Intervensi :
- Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik: Sapa klien dengan ramah baik dengan verbal maupun non verbal, perkenalkan diri dengan sopan, tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, tunjukkan sikap menerima klien apa adanya, beri perhatian kepada kllien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
Rasionalisasi :
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk hubungan interaksi selanjutnya.
b) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
Kriteria Evaluasi :
Daftar kemampuan yang dimiliki klien di RS, rumah, sekolah dan tempat kerja., daftar positif keluarga klien, daftar positif lingkungan klien
Intervensi :
(1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien,
Keluarga dan lingkungan dan buat daftarnya.
Rasional : Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai
realitas, kontrol diri atau integritas ego diperlukan sebagai
dasar asuhan keperawatannya.
(2) Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif
Rasional : Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien
(3) Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien.
Rasional : Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena ingin mendapatkan pujian.
c) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
Kriteria evaluasi :
Klien menilai kemampuan yang dapat digunakan di rumah sakit, klien menilai kemampuan yang dapat digunakan dirumah
Intervensi Keperawatan :
(1) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih digunakan selama sakit
Rasional : Diskusikan pada klien tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat untuk berubah
(2) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan kemampuannya di rumah sakit
Rasional : Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap mempertahankan kemampuannya.
(3) Berikan pujian
Rasional : Pujian dapat meningkatkan harga diri klien
d) Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Kriteria Evaluasi :
Klien memiliki kemampuan yang akan dilatih, klien mencoba, susun jadwal harian
Intervensi Keperawatan :
(1) Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional : Klien adalah individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri
(2) Beri pujian atas keberhasilan klien
Rasional : Sebagai motivasi tindakan yang akan dilakukan oleh klien
(3) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.Catatan : ulangi untuk kemampuan lain sampai semuanya selesai
Rasional : Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya.
(4) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan,
Rasional : Contoh peran yang dilihat klien akan memotovasi klien untuk melaksanakan kegiatan.
e) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai rencana, kondisi sakit dan kemampuanya.
Kriteria Evaluasi :
Klien melakukan kegiatan yang telah dilatih (mandiri, dengan bantuan atau tergantung), klien mampu melakukan beberapa kegiatan mandiri
Intervensi Keperawatan :
(1) Beri kesempatan pada untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional : Memberikan kesempatan kepada klien untuk tetap melakukan kegiatan yang biasa dilakukan
(2) Beri pujian atas keberhasilan klien
Rasional : Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien
(3) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
Rasional : Dapat mengetahui perkembangan dan keaktifan klien dengan keluarga
f) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Kriteria Evaluasi :
Keluarga dapat memberi dukungan dan pujian, klien termotivasi untuk melakukan therapi, keluarga memahami jadwal kegiatan harian klien.
Intervensi Keperawatan :
(1) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien denga harga diri rendah.
Rasional : Mendorong keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat proses penyembuhan klien
(2) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
Rasional : Mempercepat proses penyembuhan
(3) Jelaskan cara pelaksanaan jadwal kegiatan klien di rumah
Rasional : Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien dirumah.
(4) Anjurkan memberi pujian pada klien setiap berhasil
Rasional : memberikan pujian dapat meningkata harga diri klien
2) Kerusakan interaksi sosial
a) TUM : Klien dapat berhubungan dengan orang lain
b) TUK :
(1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
Tindakan keperawatan :
(a) Bina hubungan saling percaya:
i. Sikap terbuka dan empati
ii. Terima klien apa adanya
iii. Sapa klien dengan ramah
iv. Tepati janji Jelaskan tujuan pertemuan
v. Pertahankan kontak mata selama interaksi
vi. Penuhi kebutuhan dasar klien saat itu.
Rasional : meningkatkan kepercayaan klien kepada perawat atau orang lain.
(2) Klien dapat mengenal perasaan yang menyebabkan prilaku menarik diri.
Tindakan keperawatan
(a) Kaji pengetahuan klien tentang prilaku menarik diri
Rasional : untuk mengetahui pengetahuan klien dan alasan menarik diri.
(b) Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri
Rasional : mengetahui bagaimana perasaan klien dan penyebab menarik diri.
(c) Diskusikan bersama klien tentang prilaku menarik dirinya
Rasional : mengetahui alasan klien enarik diri.
(d) Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaanya.
Rasional : pujian akan mendorong klien mengungkapkan perasaannya.
(3) Klien dapat mengetahui keuntungan berhubungan dengan orang lain.
Tindakan keperawatan :
(a) Diskusikan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
Rasional : meningkatkan pemahaman klien tentang berhubungandengan orang lain.
(b) Dorong klien untuk menyebutkan kembali manfaat berhubungan dengan orang lain.
Rasional : mengkaji pengetahuan kliententang manfaat berhubungan dengan orang lain.
(c) Beri pujian terhadap kemampuan klien dalam menyebutkan manfaat berhubungan dengan orang lain.
Rasional : pujian akan mendorong klien mengungkapkan perasaannya.
(4) Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap
Tindakan keperawatan :
(a) Dorong klien untuk menyebutkan cara berhubungan dengan orang lain.
Rasional : meningkatkan interaksi klien dengan lingkungan.
(b) Dorong dan bantu klien berhubungan dengan orang lain secara bertahap antara lain:
i. Klien – perawat
ii. Klien – perawat – perawat lain
iii. Klien – perawat – perawat lain – klien lain
iv. Klien – kelompok kecil Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
v. Klien – keluarga
Rasional : meningkatkan interaksi klien dengan lingkunan.
(c) Reinforcement positif atas keberhasilan yang telah dicapai klien.
Rasional : pujian akan mendorong klien untuk melakukan kegiatannya.
(5) Klien mendapat dukungan keluarga dalam berhubungan dengan orang lain.
(a) Diskusikan tentang manfaat berhubungan dengan anggota keluarga.
Rasional : mengeahui kondisi umum klien dalam berhubungan dengan keluarga atau orang lain.
(b) Dorong Klien untuk mengemukakan perasaan tentang keluarga
Rasional : mengetahui perasaan klien tentang hubungan dengan keluarga.
(c) Dorong klien untuk mengikuti kegiatan bersama keluarga seperti : makan, ibadah dan rekreasi.
Rasional : untuk menumbuhkan rasa kebersamaan klien dengan keluarga
3) Koping individu tak efektif
Tujuan Umum :
Klien dapat menyelesaikan masalah dengan koping yang efektif
Tujuan Khusus :
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria evaluasi :
Mau berjabat tangan dan menyebut nama, mau menjawab salam, klien mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi
Intervensi :
(1) Bina hubungan saling percaya
Rasional : bina hubungan saling percaya sebagai dasar keterbukaan klien dengan perawat
(2) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional : ungkapan perasaaan sebagai cermin perasaan hati yang dimiliki oleh klien
(3) Katakan pada klien bahwa ia orang yang berharga dan mampu
menolong dirinya sendiri
Rasional : meningkatkan semangat klien untuk menoong
dirinya dan mencoba bangkit dari masalahnya.
b) Klien dapat menilai koping yang konsruktif
Kriteria evaluasi :
Mengidentifikasi dan mengembangkan koping yag konstruktif dalam pemecahan permasalahannya
Intervensi :
(1) Diskusikan dengan klien tentang koping yang konstruktif
Rasional : Mempermudah klien dalam menganalisa
masalahnya
(2) Beri reinforcement dalam setiap aspek positif klien
Rasional : Memberi dorongan dan motivasi kepada klien
c) Klien mau mengungakapkan permasalahannya
Kriteria evaluasi :
Klien mampu mengungkapkan secara verbal tentang permasalahannya
Intervensi :
(1) Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi therapeutik
Rasional : merupakan dasar keterbukaan antara perawat dengan klien
(2) Berikan empati pada klien saat mengungkapkan permasalahannya
Rasional : menambah kepercayaan klien pada perawat
(3) Hindari memberikan penilaian yang negatif pada klien
Rasional : mencegah penilaian negatif dari klien sehingga respon klien tidak berkurang
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan atau implementasi perawatan merupakan tindakan dari rencana keperawatan yang disusun sebelumnya berdasarkan prioritas yang telah dibuat dimana tindakan yang diberikan mencakup tindakan mandiri dan kolaboratif. Pada situasi nyata sering impelmentasi jauh berbeda dengan rencana, hal ini terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan tindakan keperawatan yang biasa adalah rencana tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal ini sangat membahayakan klien dan perawat jika berakibat fatal dan juga tidak memenuhi aspek legal. Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana perawatan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai kondisi saat ini. Setelah semua tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan dilaksanakan tindakan keperawatan maka kontrak dengan klien dilaksanakan. Dokumentasikan semua tidakan yang telah dilaksanakan beserta respon klien ( Keliat, 2002, hal 15).
4. Evaluasi
Menurut Keliat (2005), evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan untuk secara terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi dua yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau evaluasi sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan. Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan harga direndah kronis antara lain :
1). Klien tidak menarik diri dan mau berhubungan dengan orang lain
2). Klien dapat menunjukkan peningkatkan rasa harga diri
3). Klien dapat menggunakan mekanisme koping yang konstruktif
( Keliat, 2002, hal. 15).
DAFTAR PUSTAKA
Maramis, W.F. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press
Townsend, Mary C. (1998). Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri (Edisi 3). Jakarta : EGC
Isaacs, Ann. (2009). Keperawatan Kesehatan Jiwa Dan Psikiatrik ( Edisi 3). Jakarta : EGC
Hawari, D. (2001). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta : EGC
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. ( 2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperewatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Keliat, B.A. dan Akemat. (2005). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta : EGC
Carpenito, L.J. (2004). Diagnosa Keperawatan (Edisi 6). Jakarta : EGC
Keliat, B.A. (2002). Gangguan Konsep Diri Pada Klien Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC
Kaplan, M.D. dan Sadock,M.D. (1998). Sinopsis Psikiatri (Edisi 7). Jakarta : Bina Rupa Aksara
PERBEDAAN EFEKTIFITAS ANTARA PEMBERIAN SONDE TEHNIK DRIP DAN TEHNIK BOLUS PADA BAYI PREMATUR TERHADAP TINGKAT RESIDU
1. Latar Belakang Masalah
Kehadiran anak dalam setiap perkawinan merupakan sesuatu yang diharapkan, karena anak disamping sebagai penerus keturunan juga sebagai penerus bangsa (Soetjiningsih, 1996 : 161). Terkait dengan itu, anak yang dilahirkan diupayakan untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal. Upaya-upaya tersebut sudah harus dilakukan sejak terjadi konsepsi sampai lahir cukup bulan.
Selama dalam perkembangannya, dapat terjadi hal-hal yang tidak diharapkan seperti ketika hamil muda terjadi kelahiran prematur. Dalam ilmu kedokteran, bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan minggu ke 37 dhitung dari hari pertama haid terakhir (WHO). Bayi prematur adalah bayi yang lahir usia kehamilan kurang dari 37 minggu (P. Beasy dan T. Deagon, 1993 : 664).
Dengan terjadinya kelahiran bayi yang kurang bulan dan BBLR akan dapat terjadi beberapa masalah seperti kelainan gastrointestinal dan Nutrisi seperti : Reflek hisap dan menelan yang buruk, terutama umur kehamilan sebelum 34 minggu, motilitas usus yang menurun, pengosongan lambung tertunda, pencernaan dan absoropsi vitamin yang larut dalam lemak kurang, meningkatnya resiko EKN (Enterakolitis Nekrotikans) (Ali Usman, 2008 : 13). Terkait dengan masalah tersebut di atas maka tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi masalah reflek hisap dan menelan yang buruk dalam pemenuhan nutrisi pada bayi prematur adalah dengan memberikan nutrisi lewat sonde, pemberian sonde lewat NGTefektivitasnya dapat dilihat dari tingkat residu. Adapun teknik pemberian sonde yang dilakukan di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar dengan 2 cara yaitu : dengan teknik sonde gravitasi yaitu pemberian minum personde dengan cara mengalir, tidak memberikan tekanan, karena bisa menyebabkan trauma dan rangsangan pada nervus vagus sehingga bisa terjadi apnoe atau bradicardia. Dan teknik yang kedua adalah dengan memberikan minum lewat sonde dengan cara di drip dengan menggunakan sringe pump, yaitu dengan memberikan tetesan yang kecil sesuai dengan jadwal pemberian minum. Evaluasi residu dilakukan pada setiap pemberian sonde yang berikutnya dengan kriteria : tingkat residu baik bila jumlah residu < 30% dari jumlah minum, buruk bila residu > 30% dari jumlah minum (Tricia Lacy Gomella, 2004 : 237-238).
Berdasarkan data yang diperoleh di sub bagian pencatatan medik RSUP Sanglah tiga tahun terakhir yaitu periode Januari sampai dengan Desember 2006 jumlah bayi yang dirawat sebanyak 890 orang, yang prematur 280 orang. Periode Januari sampai dengan Desember 2007 jumlah bayi yang dirawat sebanyak 987 orang. Periode Januari sampai dengan Desember 2008 jumlah bayi yang dirawat sebanyak 1.080 orang, yang prematur 346 orang. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan bulan Oktober tahun 2009 selama 1 bulan didapatkan jumlah bayi prematur yang dipasang sonde 21 orang.
Dari data 21 orang yang terpasang sonde sebagian besar mempunyai residu > 30%.
Tabel 1
No Tahun Jumlah Penderita Dirawat Jumlah Bayi Prematur
1 2006 890 orang 280 orang
2 2007 987 orang 320 orang
3 2008 1080 orang 346 orang
Dari beberapa masalah dan data di atas nyatalah bahwa bayi prematur banyak yang mengalami masalah reflek hisap dan menelan, sehingga tindakan yang diberikan adalah dipasang sonde. Dan kejadian ini merupakan masalah yang serius. Sehingga dengan latar belakang inilah penulis memilih kasus untuk judul penelitian adalah “Perbedaan efektifitas antara pemberian sonde tehnik drip dan tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.”.
2. Rumusan Masalah Penelitian
Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, dapatlah diuraikan masalah penelitiannya sebagai berikut Apakah ada perbedaan efektifitas antara pemberian sonde tehnik drip dan tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar?.
3. Tujuan Penelitian
a Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan efektifitas antara pemberian sonde tehnik drip dan tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
b Tujuan Khusus
1) Mengetahui tingkat residu setelah pemberian sonde tehnik drip pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
2) Mengetahui tingkat residu setelah pemberian sonde tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
3) Menganalisa perbedaan efektifitas antara pemberian sonde tehnik drip dan tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
4. Manfaat Penelitian
a Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan dan bisa dimanfaatkan untuk pedoman penelitian selanjutnya.
b Manfaat Praktis
Setelah membandingkan dua teknik pemberian sonde pada bayi prematur diharapkan yang residunya sedikit dan bahkan tidak ada, teknik itu yang dipakai dan dijadikan acuan untuk meningkatkan pelayanan di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
Kehadiran anak dalam setiap perkawinan merupakan sesuatu yang diharapkan, karena anak disamping sebagai penerus keturunan juga sebagai penerus bangsa (Soetjiningsih, 1996 : 161). Terkait dengan itu, anak yang dilahirkan diupayakan untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan optimal. Upaya-upaya tersebut sudah harus dilakukan sejak terjadi konsepsi sampai lahir cukup bulan.
Selama dalam perkembangannya, dapat terjadi hal-hal yang tidak diharapkan seperti ketika hamil muda terjadi kelahiran prematur. Dalam ilmu kedokteran, bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan minggu ke 37 dhitung dari hari pertama haid terakhir (WHO). Bayi prematur adalah bayi yang lahir usia kehamilan kurang dari 37 minggu (P. Beasy dan T. Deagon, 1993 : 664).
Dengan terjadinya kelahiran bayi yang kurang bulan dan BBLR akan dapat terjadi beberapa masalah seperti kelainan gastrointestinal dan Nutrisi seperti : Reflek hisap dan menelan yang buruk, terutama umur kehamilan sebelum 34 minggu, motilitas usus yang menurun, pengosongan lambung tertunda, pencernaan dan absoropsi vitamin yang larut dalam lemak kurang, meningkatnya resiko EKN (Enterakolitis Nekrotikans) (Ali Usman, 2008 : 13). Terkait dengan masalah tersebut di atas maka tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi masalah reflek hisap dan menelan yang buruk dalam pemenuhan nutrisi pada bayi prematur adalah dengan memberikan nutrisi lewat sonde, pemberian sonde lewat NGTefektivitasnya dapat dilihat dari tingkat residu. Adapun teknik pemberian sonde yang dilakukan di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar dengan 2 cara yaitu : dengan teknik sonde gravitasi yaitu pemberian minum personde dengan cara mengalir, tidak memberikan tekanan, karena bisa menyebabkan trauma dan rangsangan pada nervus vagus sehingga bisa terjadi apnoe atau bradicardia. Dan teknik yang kedua adalah dengan memberikan minum lewat sonde dengan cara di drip dengan menggunakan sringe pump, yaitu dengan memberikan tetesan yang kecil sesuai dengan jadwal pemberian minum. Evaluasi residu dilakukan pada setiap pemberian sonde yang berikutnya dengan kriteria : tingkat residu baik bila jumlah residu < 30% dari jumlah minum, buruk bila residu > 30% dari jumlah minum (Tricia Lacy Gomella, 2004 : 237-238).
Berdasarkan data yang diperoleh di sub bagian pencatatan medik RSUP Sanglah tiga tahun terakhir yaitu periode Januari sampai dengan Desember 2006 jumlah bayi yang dirawat sebanyak 890 orang, yang prematur 280 orang. Periode Januari sampai dengan Desember 2007 jumlah bayi yang dirawat sebanyak 987 orang. Periode Januari sampai dengan Desember 2008 jumlah bayi yang dirawat sebanyak 1.080 orang, yang prematur 346 orang. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan bulan Oktober tahun 2009 selama 1 bulan didapatkan jumlah bayi prematur yang dipasang sonde 21 orang.
Dari data 21 orang yang terpasang sonde sebagian besar mempunyai residu > 30%.
Tabel 1
No Tahun Jumlah Penderita Dirawat Jumlah Bayi Prematur
1 2006 890 orang 280 orang
2 2007 987 orang 320 orang
3 2008 1080 orang 346 orang
Dari beberapa masalah dan data di atas nyatalah bahwa bayi prematur banyak yang mengalami masalah reflek hisap dan menelan, sehingga tindakan yang diberikan adalah dipasang sonde. Dan kejadian ini merupakan masalah yang serius. Sehingga dengan latar belakang inilah penulis memilih kasus untuk judul penelitian adalah “Perbedaan efektifitas antara pemberian sonde tehnik drip dan tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.”.
2. Rumusan Masalah Penelitian
Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, dapatlah diuraikan masalah penelitiannya sebagai berikut Apakah ada perbedaan efektifitas antara pemberian sonde tehnik drip dan tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar?.
3. Tujuan Penelitian
a Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan efektifitas antara pemberian sonde tehnik drip dan tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
b Tujuan Khusus
1) Mengetahui tingkat residu setelah pemberian sonde tehnik drip pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
2) Mengetahui tingkat residu setelah pemberian sonde tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
3) Menganalisa perbedaan efektifitas antara pemberian sonde tehnik drip dan tehnik bolus pada bayi prematur terhadap tingkat residu di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
4. Manfaat Penelitian
a Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan dan bisa dimanfaatkan untuk pedoman penelitian selanjutnya.
b Manfaat Praktis
Setelah membandingkan dua teknik pemberian sonde pada bayi prematur diharapkan yang residunya sedikit dan bahkan tidak ada, teknik itu yang dipakai dan dijadikan acuan untuk meningkatkan pelayanan di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
SKRIPSI JENIS KEKERASAN YANG DIALAMI OLEH IBU RUMAH TANGGA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996). Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,. Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 2005) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 2005). Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik. Sementara data kekerasan terhadap perempuan di Bali juga tidak dikumpulkan secara sistematis, menurut Ida Bagus Alit dari Bagian Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, selama 2008 terjadi 164 kasus kekerasan pada perempuan. sedangkan pada enam bulan pertama 2009, kasusnya sudah mencapai 78 kasus (majalah Tempo, 2009). Berdasarkan pra survey yang dilakukan di Desa Buahan berdasarkan hasil wawancara 6 dari 10 ibu rumah pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial. Menurut Berger (1990) dalam Sunaryo (2006), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri. Mave Cormack dan Stathern (2000) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik. Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang ”Gambaran jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh ibu rumah tangga
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996). Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,. Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 2005) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 2005). Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik. Sementara data kekerasan terhadap perempuan di Bali juga tidak dikumpulkan secara sistematis, menurut Ida Bagus Alit dari Bagian Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, selama 2008 terjadi 164 kasus kekerasan pada perempuan. sedangkan pada enam bulan pertama 2009, kasusnya sudah mencapai 78 kasus (majalah Tempo, 2009). Berdasarkan pra survey yang dilakukan di Desa Buahan berdasarkan hasil wawancara 6 dari 10 ibu rumah pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial. Menurut Berger (1990) dalam Sunaryo (2006), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri. Mave Cormack dan Stathern (2000) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik. Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang ”Gambaran jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh ibu rumah tangga
ASKEP KEHAMILAN DENGAN DIABETES MELLITUS
LAPORAN PENDAHULUAN
KEHAMILAN DENGAN DIABETES MELLITUS
A.Pengertian
Diabetes melitus merupakan kelainan metabolisme yang kronis terjadi defisiensi insulin atau retensi insulin, di tandai dengan tingginya keadaan glukosa darah (hiperglikemia) dan glukosa dalam urine (glukosuria) atau merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehubungan dengan kurangnya sekresi insulin secara absolut / relatif dan atau adanya gangguan fungsi insulin.
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Mansjoer, 2000).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemasukan makanan bagi janin serta persiapan menyusui. Glukosa dapat difusi secara tetap melalui plasenta pada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar dalam darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar dalam janin. Pengendalian yang utama dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain yaitu estrogen, steroid, plasenta laktogen. Akibat lambatnya resorpsi makanan maka terjadi hiperglikemia yang relatif lama dan menuntut kebutuhan insulin. Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat mencapai 3 kali dari keadaan normal yang disebut: tekanan diabetogenik dalam kehamilan. Secara fisiologis telah terjadi retensi insulin yaitu bila ditambah dengan estrogen eksogen ia tidak mudah menjadi hipoglikemia. Yang menjadi masalah bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin yang mengakibatkan hiperglikemia / diabetes kehamilan. Retensi insulin juga disebabkan oleh adanya hormon estrogen, progesteron, kortisol, prolaktin dan plasenta laktogen yang mempengaruhi reseptor insulin pada sel sehingga mengurangi afinitas insulin.
B. Klasifikasi
Diabetes mellitus dapat dibedakan menjadi:
1. DM Tipe 1 (IDDM) Insulin dependent diabetes mellitus atau tergantung insulin (T1) yaitu kasus yang memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
2. DM Tipe 11 (NIDDM) Non insulin dependent diabetes mellitus atau tidak tergantung insulin (TT1) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
3. Diabetes tipe lain.
4. Diabetes mellitus gestasional (DMG) yaitu diabetes yang hanya timbul dalam kehamilan.
C. Etiologi
Diabetes mellitus dapat merupakan kelainan herediter dengan cara insufisiensi atau absennya insulin dalam sirkulasi darah, konsentrasi gula darah tinggi. Berkurangnya glikogenesis. Diabetes dalam kehamilan menimbulkan banyak kesulitan, penyakit ini akan menyebabkan perubahan-perubahan metabolik dan hormonal pada penderita yang juga dipengaruhi oleh kehamilan. Sebaliknya diabetes akan mempengaruhi kehamilan dan persalinan. Factor Predisposisi diabetes mellitus pada kehamilan :
1. Umur sudah mulai tua
2. Multiparitas
3. Penderita gemuk
4. riwayat melahirkan anak lebih besar dari 4000 g
5. Bersifat keturunan
6. Riwayat kehamilan : Sering meninggal dalam rahim, Sering mengalami lahir mati, Sering mengalami keguguran
7. Faktor autoimun setelah infeksi mumps, rubella dan coxsakie B4.
8. Meningkatnya hormon antiinsulin seperti GH, glukogen, ACTH, kortisol, dan epineprin.
9. Obat-obatan.
D. Patogenesis
Patogenesis Diabetes Melitus menurut Mansjoer (2000), Yaitu :
1. Pada penyakit DM 1 didapat kerusakan (dekstruksi) sel beta pankreas dengan akibat menurunnya produksi insulin penggunaan glukosa sebagai energi terganggu tubuh menggunakan lemak dan protein sebagai sumber energi. Metabolisme tidak sempurna ketosis dan ketoasidosis.
2. Pada penyakit DM 11 didapat retensi insulin fungsi insulin menurun. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi ini sepenuhnya sehingga terjadi defisiensi relatif insulin.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrindan karbohidrat sehingga terjadi inadekuatnya pembentukan dan penggunaan insulin yang berfungsi memudahkan glukosa berpindah ke dalam sel-sel jaringan. Tanpa insulin yang adekuat, glukosa tidak dapat memasuki sel-sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan tetap berada dalam daerah sehingga kadar glukosa darah meningkat di atas batas normal yang menyebabkan air tertarik dari sel-sel ke dalam jaringan/darah sehingga terjadi dehidrasi seluler. Tingginya kadar glukosa darah menyebabkan ginjal harus mengsekresikannya melalui urine dan bekerja keras sehingga ginjal tidak dapat menanggulanginya sebab peningkatan laju filter glonurulus dan penurunan kemampuan tubulus renalif profesional/renalis untuk mereabsorbsi glukosa. Hal ini meningkatkan tekanan osmotik dan mencegah reabsorbsi air oleh tubulus ginjal yang menyebabkan dehidrasi ekstreaoseluler. Karena glukosa dan energi dikeluarkan dari tubuh bersama urine, tubuh mulai menggunakan lemak dan protein untuk sumber energi yang dalam prosesnya menghasilkan keton dalam darah. Pemecahan lemak dan protein juga menyebabkan lelah, lemah, gelisah yang dilanjutkan dengan penurunan berat badan mendadak ditambah terbentuknya keton akan cepat berkembang keadaan koma dan kematian.
E. Tanda dan gejala klinis
Tanda dan gejala klinis patogenesis Diabetes Melitus menurut Mansjoer, (2000), yaitu sebagai berikut :
1. Polifagia. 8. Mata kabur .
2. Poliuria. 9. Pruritus vulva.
3. Polidipsi. 10. Ketonemia.
4. Lemas. 11. Glikosuria.
5. BB menurun. 12. Gula darah 2 jam pp > 200 mg/dl.
6. Kesemutan. 13. Gula darah sewaktu > 200 mg/dl.
7. Gatal. 14. Gula darah puasa > 126 mg/dl.
F. Pengaruh diabetes gestasional
Pengaruh diabetes gestasional Diabetes Melitus menurut, Prawirohardjo, (2002). Meskipun tanpa gejala, bila tidak diadakan pengendalian kadar gula maka diabetes mellitus gestasional akan menimbulkan dampak bagi ibu maupun pada janin.
1. Pengaruh DM terhadap kehamilan.
a. Abortus dan partus prematurus.
b. Pre eklamsia.
c. Hidroamnion.
d. Insufisiensi plasenta.
2. Pengaruh DM terhadap janin/bayi.
a. Kematian hasil konsepsi dalam kehamilan muda mengakibatkan abortus.
b. Cacat bawaan.
c. Dismaturitas.
d. Janin besar (makrosomia)
e. Kematian dalam kandungan.
f. Kematian neonatal.
g. Kelainan neurologik dan psikologik.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu :
1. Mengatur diet.
Diet yang dianjurkan pada bumil DMG adalah 30-35 kal/kg BB, 150-200 gr karbohidrat, 125 gr protein, 60-80 gr lemak dan pembatasan konsumsi natrium. Penambahan berat badan bumil DMG tidak lebih 1,3-1,6 kg/bln. Dan konsumsi kalsium dan vitamin D secara adekuat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam diit diabetes mellitus sebagai berikut ;
a. Diit DM harus mengarahkan BB ke berat normal, mempertahankan glukosa darah sekitar normal, dapat memberikan modifikasi diit sesuai keadaan penderita misalnya penderita DMG, makanan disajikan menarik dan mudah diterima.
b. Diit diberikan dengan cara tiga kali makan utama dan tiga kali makanan antara (snack) dengan interval tiga jam.
c. Buah yang dianjurkan adalah buah yang kurang manis, misalnya pepaya, pisang, apel, tomat, semangka, dan kedondong.
d. Dalam melaksanakan diit sehari-hari hendaknya mengikuti pedoman 3J yaitu ;
J1 ; Jumlah kalori yang diberikan harus habis.
J2 ; Jadwal diit harus diikuti sesuai dengan interval.
J3 ; Jenis makanan yang manis harus dihindari.
e. Penentuan jumlah kalori
Untuk menentukan jumlah kalori penderita DM yang hamil/menyusui secara empirik dapat digunakan umus sebagai berikut ;
( TB – 100 ) x 30 T1 + 100 T3 + 300
T2 + 200 L + 400
Ket : TB : Tinggi badan. T3 : Trimester III
T1 : Trimester I L : Laktasi/menyusui
T2 : Trimester II
2. Penatalaksanan Diabetes Melitus terhadap ibu hamil menurut Prawirohardjo, (2002).. yaitu sebagai berikut :
Daya tahan terhadap insulin meningkat dengan makin tuanya kehamilan, yang dibebaskan oleh kegiatan antiinsulin plasenta. Penderita yang sebelum kehamilan sudah memerlukan insulin diberi insulin dosis yang sama dengan dosis diluar kehamilan sampai ada tanda-tanda bahwa dosis perlu ditambah atau dikurangi. Perubahan-perubahan dalam kehamilan memudahkan terjadinya hiperglikemia dan asidosis tapi juga manimbulkan reaksi hipoglikemik. Maka dosis insulin perlu ditambah/dirubah menurut keperluan secara hati-hati dengan pedoman pada 140 mg/dl. Pemeriksaan darah yaitu kadar post pandrial < 140 mg/dl.
Terutama pada trimester I mudah terjadi hipoglikemia apabila dosis insulin tidak dikurangi karena wanita kurang makan akibat emisis dan hiperemisis gravidarum. Sebaliknya dosis insulin perlu ditambah dalam trimester II apabila sudah mulai suka makan , lebih-lebih dalam trimester III.
Selama berlangsungnya persalinan dan dalam hari-hari berikutnya cadangan hidrat arang berkurang dan kebutuhan terhadap insulin barkurang yang mengakibatkan mudah mengalami hipoglikemia bila diet tidak disesuaikan atau dosis insulin tidak dikurangi. Pemberian insulin yang kurang hati-hati dapat menjadi bahaya besar karena reaksi hipoglikemik dapat disalah tafsirkan sebagai koma diabetikum. Dosis insulin perlu dikurangi selama wanita dalam persalinan dan nifas dini. Dianjurkan pula supaya dalam masa persalinan diberi infus glukosa dan insulin pada hiperglikemia berat dan keto asidosis diberi insulin secara infus intravena dengan kecepatan 2-4 satuan/jam untuk mengatasi komplikasi yang berbahaya.
3. Penanggulangan Obstetri
Pada penderita yang penyakitnya tidak berat dan cukup dikuasi dengan diit saja dan tidak mempunyai riwayat obstetri yang buruk, dapat diharapkan partus spontan sampai kehamilan 40 minggu. lebih dari itu sebaiknya dilakukan induksi persalinan karena prognosis menjadi lebih buruk. Apabia diabetesnya lebih berat dan memerlukan pengobatan insulin, sebaiknya kehamilan diakhiri lebih dini sebaiknya kehamilan 36-37 minggu. Lebih-lebih bila kehamilan disertai komplikasi, maka dipertimbangkan untuk menghindari kehamilan lebih dini lagi baik dengan induksi atau seksio sesarea dengan terlebih dahulu melakukan amniosentesis. Dalam pelaksanaan partus pervaginam, baik yang tanpa dengan induksi, keadaan janin harus lebih diawasi jika mungkin dengan pencatatan denyut jantung janin terus – menerus.
G. Pencegahan
1. Primer : untuk mengurangi obesitas dan BB.
2. Sekunder : deteksi dini, kontrol penyakit hipertensi, anto rokok, perawatan.
3. Tersier : Pendidikan tentang perawatan kaki, cegah ulserasi, gangren dan amputasi, pemeriksaan optalmologist, albuminuria monitor penyakit ginjal, kontrol hipertensi, status metabolic dan diet rendah protein, pendidikan pasien tentang penggunaan medikasi untuk mengontrol medikasi
Pathways
Diabetes Gestasional
Sel beta pangkreas terganggu Perubahan status kesehatan
IBU HAMIL DENGAN DIABETES MELLITUS
A. Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama.
Mual, muntah, penambahan berat badan berlebihan atau tidak adekuat, polipdipsi, poliphagi, poluri, nyeri tekan abdomen dan retinopati.
b. Riwayat kesehatan keluarga.
- Riwayat diabetes mellitus dalam keluarga.
c. Riwayat kehamilan
- Diabetes mellitus gestasional.
- Hipertensi karena kehamilan.
- Infertilitas.
- Bayi low gestasional age.
- Riwayat kematian janin.
- Lahir mati tanpa sebab jelas.
- Anomali congenital.
- Aborsi spontan.
- Polihidramnion.
- Makrosomia.
- Pernah keracunan selama kehamilan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sirkulasi
- Nadi pedalis dan pengisian kapiler ekstrimitas menurun atau lambat pada diabetes yang lama.
- Edema pada pergelangan kaki atau tungkai.
- Peningkatan tekanan darah.
- Nadi cepat, pucat, diaforesis atau hipoglikemi.
b. Eliminasi
Riwayat pielonefritis, infeksi saluran kencing berulang, nefropati dan poli uri.
c. Nutrisi dan Cairan
- Polidipsi.
- Poliuri.
- Mual dan muntah.
- Obesitas.
- Nyeri tekan abdomen.
- Hipoglikemi.
- Glukosuria.
- Ketonuria.
- Kulit : Sensasi kulit lengan, paha, pantat dan perut dapat berubah karena ada bekas injeksi insulin yang sering.
- Mata : Kerusakan penglihatan atau retinopati.
- Uterus : tinggi fundus uteri mungkin lebih tinggi atau lebih rendah dari normal terhadap usia gestasi.
3. Psikososial
- Resiko meningkatnya komplikasi karena faktor sosioekonomi rendah.
- Sistem pendukung kurang dapat mempengaruhi kontrol emosi.
- Cemas, peka rangsang dan peningkatan ketegangan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna dan menggunakan nutrisi kurang tepat.
2. Resiko tinggi terhadap cedera janin berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa maternal, perubahan pada sirkulasi.
3. Resiko tinggi terhadap cedera maternal berhubungan dengan ketidakadekuatan kontrol diabetik, profil darah abnormal atau anemia, hipoksia jaringan dan perubahan respon umum.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi diabetik, prognosa dan kebutuhan tindakan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi, kesalahan informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
5. Resiko tinggi terhadap trauma, pertukaran gas pada janin berhubungan dengan ketidakadekuatan kontrol diabetik maternal, makrosomnia atau retardasi pertumbuhan intra uterin.
6. Gangguan psikologis, ansietas berhubungan dengan situasi kritis atau mengancam pada status kesehatan maternal atau janin.
D. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna dan menggunakan nutrisi kurang tepat.
Kriteria evaluasi : kebutuhan nutrisi terpenuhi, Mempertahankan kadar gula darah puasa antara 60-100 mg/dl dan 2 jam sesudah makan tidak lebih dari 140 mg/dl.
Intervensi
Mandiri
a. Timbang berat badan setiap kunjungan prenatal.
Rasional: Penambahan berat badan adalah kunci petunjuk untuk memutuskan penyesuaian kebutuhan kalori.
b. Kaji masukan kalori dan pola makan dalam 24 jam.
Rasional : Membantu dalam mengevaluasi pemahaman pasien tentang aturan diet.
c. Tinjau ulang dan berikan informasi mengenai perubahan yang diperlukan pada penatalaksanaan diabetic.
Rasional : Kebutuhan metabolisme dari janin dan ibu membutuhkan perubahan besar selama gestasi memerlukan pemantauan ketat dan adaptasi.
d. Tinjau ulang tentang pentingnya makanan yang teratur bila memakai insulin.
Rasional : Makan sedikit dan sering menghindari hiperglikemia , sesudah makan dan kelaparan.
e. Perhatikan adanya mual dan muntah khususnya pada trimester pertama.
Rasional : Mual dan muntah dapat mengakibatkan defisiensi karbohidrat yang dapat mengakibatkan metabolisme lemak dan terjadinya ketosis.
f. Kaji pemahaman stress pada diabetic.
Rasional : Stress dapat mengakibatkan peningkatan kadar glukosa, menciptakan fluktuasi kebutuhan insulin.
g. Ajarkan pasien tentang metode finger stick untuk memantau glukosa sendiri.
Rasional : Kebutuhan insulin dapat dinilai berdasarkan temuan glukosa darah serum secara periodik.
h. Tinjau ulang dan diskusikan tanda gejala serta kepentingan hipo atau hiperglikemia.
Rasional : Hipoglikemia dapat terjadi secara cepat dan berat pada trimester pertama karena peningkatan penggunaan glukosa dan glikogen oleh ibu dan perkembangan janin. Hiperglikemia berefek terjadinya hidramnion.
i. Instruksikan untuk mengatasi hipoglikemia asimtomatik.
Rasional : Pengguanaan jumlah besar karbohidrat sederhana untuk mengatasi hipoglikemi menyebabkan nilai glukosa darah meningkat.
j. Anjurkan pemantauan keton urine.
Rasional : Ketidakcukupan masukan kalori ditunjukkan dengan ketonuria, menandakan kebutuhan terhadap peningkatan karbohidrat.
Kolaborasi :
a. Diskusikan tentang dosis , jadwal dan tipe insulin.
Rasional : Pembagian dosis insulin mempertimbangkan kebutuhan basal maternal dan rasio waktu makan.
b. Sesuaikan diet dan regimen insulin untuk memenuhi kebutuhan individu.
Rasional : Kebutuhan metabolisme prenatal berubah selama trimester pertama.
c. Rujuk pada ahli gizi.
Rasional : Diet secara spesifik pada individu perlu untuk mempertahankan normoglikemi.
d. Observasi kadar Glukosa darah.
Rasional : Insiden abnormalitas janin dan bayi baru lahir menurun bila kadar glukosa darah antara 60 – 100 mg/dl, sebelum makan antara 60 -105 mg/dl, 1 jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl dan 2 jam sesudah makan kurang dari 200 mg/dl.
e. Tentukan hasil HbA1c setiap 2 – 4 minggu.
Rasional : Memberikan keakuratan gambaran rata rata control glukosa serum selama 60 hari . Kontrol glukosa serum memerlukan waktu 6 minggu untuk stabil.
2. Resiko Tinggi cidera janin berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa maternal, perubahan pada sirkulasi.
Kriteria evaluasi :
• cidera janin tidak terjadi, menunjukan reaksi Non stress test dan Oxytocin Challenge Test negative atau Construction Stress Test secara normal.
Intervensi :
Mandiri :
a. Kaji control diabetik sebelum konsepsi.
Rasional : Pengontrolan secara ketat sebelum konsepsi membantu menurunkan resiko mortalitas janin dan abnormal konginental.
b. Tentukan klasifikasi white terhadap diabetes.
Rasional : Janin kurang beresiko bila klasifikasi white adalah A, B, C dan apabila D adalah beresiko tinggi.
c. Kaji gerakan janin dan denyut janin setiap kunjungan.
Rasional : Terjadi insufisiensi plasenta dan ketosis maternal mungkin secara negatif mempengaruhi gerakan janin dan denyut jantung janin.
d. Observasi tinggi fundus uteri setiap kunjungan.
Rasional : Untuk mengidentifikasi pola pertumbuhan abnormal
e. Observasi urine terhadap keton.
Rasional : Benda keton dapat mengakibatkan kerusakan susunan syaraf pusat yang tidak dapat diperbaiki.
f. Berikan informasi dan buatkan prosedur untuk pemantauan glukosa dan penatalaksanaan diabetes di rumah.
Rasional : Penurunan mortalitas dan komplikasi morbiditas janin bayi baru lahir dan anomali congenitial dihubungkan dengan kenaikan kadar glukusa darah.
g. Pantauan adanya tanda tanda edema, proteinuria, peningkatan tekanan darah.
Rasional : sekitar 12% – 13% dari diabetes akan berkembang menjadi gangguan hipertensi karena perubahan kardiovaskuler berkenaan dengan diabetes.
h. Tinjau ulang prosedur dan rasional untuk Non stress Test setiap minggu.
Rasional : Aktifitas dan pergerakan janin merupakan petanda baik dari kesehatan janin.
i. Diskusikan rasional atau prosedur untuk melaksanakan Oxytocin Challenge Test atau Contraction Stress Test setiap minggu mulai minggu ke – 30 sampai dengan minggu ke- 32.
Rasional : Contraction Stress Test dapat memberikan informasi tentang perfusi oksigen dan nutrisi pada janin. Hasil positif menandakan insufisiensi plasenta.
j. Tinjau ulang prosedur dan rasional untuk tindakan amniosentesis
Rasional : Maturasi paru janin adalah kriteria yang digunakan untuk menentukan kelangsungan hidup.
Kolaborasi :
a. Kaji HbA1c setiap 2 – 4 minggu sesuai indikasi.
Rasional : Insiden bayi malformasi secara kongenital meingkat pada wanita dengan kadar HbA1c tinggi pada awal kehamilan atau sebelum konsepsi.
b. Kaji kadar albumin glikosilat pada getasi minggu ke 24 sampai ke 28 khususnya pada ibu dengan resiko tinggi.
Rasional : Tes serum albumin glikosilat menunjukkan glikemia lebih dari beberapa hari.
c. Dapatkan kadar serum alfa fetoprotein pada gestasi minggu ke 14 sampai minggu ke 16.
Rasional : Insiden kerusakan tuba neural lebih besar pada ibu diabetik dari pada non diabetik bila kontrol sebelum kehamilan sudah buruk.
d. Siapkan untuk ultrsonografi pada gestasi minggu ke 8, 12, 18, 28, 36 sampai minggu ke 38.
Rasional : Ultrasonografi bermanfaat dalam memastikan tanggal gestasi dan membantu dalam evaluasi retardasi pertumbuhan intra uterin.
e. Lakukan non stress test dan Oxytocin Challenge Test atau Construction Stress test dengan tepat.
Rasional : Mengetahui kesehatan janin dan kedekatan perfusi plasenta.
f. Dapatkan sekuensial serum atau specimen urine 24 jam terhadap kadar estriol setelah gestasi minggu ke 30.
Rasional : Penurunan kadar estriol dapat menunjukkan penurunan fungsi plasenta, menimbulkan retardasi pertumbuhan intra uterin dan lahir mati.
g. Bantu untuk persalinan per vaginam atau seksio.
Rasional: Membantu menjamin hasil positif untuk neonatus. Insiden lahir mati meningkat secara bermakna pada gestasi lebih dari minggu ke-36. Makrosomia sering menyebabkan distosia dengan sefalopelvis disproporsi.
3. Resiko tinggi terhadap cedera maternal berhubungan dengan perubahan kontrol diabetik, profil darah abnormal atau anemia, hipoksia jaringan dan perubahan respon imun.
Kriteria evaluasi :
• Tetap normotensif.
• Mempertahankan normoglikemia.
• Bebas dari komplikasi seperti infeksi, pemisahan plasenta.
Intervensi :
Mandiri :
a. Perhatikan klasifikasi white untuk diabetes. Kaji derajad kontrol diabetik.
Rasional : Klien dengan klasifikasi D, E atau F adalah berisiko tinggi terhadap komplikasi kehamilan.
b. Kaji perdarahan pervaginam dan nyeri tekan abdomen.
Rasional: Perubahan vaskuler yang dihubungkan dengan diabetes menandakan resiko abrupsi plasenta.
c. Pantau terhadap tanda dan gejala persalinan preterm.
Rasional: Distensi uterus berlebihan karena makrosomia atau hidramnion dapat mempredisposisikan pada persalinan awal.
d. Bantu untuk belajar memantau glukosa darah di rumah yang dilakukan 6 kali sehari.
Rasional: Memungkinkan keakuratan tes urin yang lebih besar karena ambang ginjal terhadap glukosa menurun selama kehamilan.
e. Periksa keton dalam urin setiap hari.
Rasional: Ketonuria menandakan adanya kondisi kelaparan yang secara negatif dapat mempengaruhi perkembangan janin
f. Identifikasi kejadian hipoglikemia dan hiperglikemia.
Rasional: Insiden hipoglikemia sering terjadi pada trimester ketiga karena aliran glukosa darah dan asam amino yang kontinue pada janin dan untuk menurunkan kadar insulin antagonis laktogen plasenta. Insiden hiperglikemia memerlukan regulasi diet atau insulin untuk normoglikemia khususnya pada trimester kedua dan ketiga karena kebutuhan insulin sering meningkat dua kali.
g. Pantau adanya edema dan tentukan tinggi fundus uteri.
Rasional: Diabetes cenderung kelebihan cairan karena perubahan vaskuler. Insiden hidramnion sebanyak 6% – 25% pada kasus diabetes yang hamil kemungkinan berhubungan dengan peningkatan kontribusi janin pada cairan amnion dan hiperglikemia meningkatkan haluaran urin janin.
h. Kaji adanya infeksi saluran kencing.
Rasional: Deteksi awal adanya infeksi saluran kencing dapat mencegah pielonefritis.
i. Pantau dengan ketat bila obat tokolitik digunakan untuk menghentikan persalinan.
Rasional: Obat tokolitik dapat meningkatkan glukosa darah dan insulin plasma.
Kolaborasi :
a. Pantau kadar glukosa serum setiap kunjungan.
Rasional: Mendeteksi ancaman ketoasidosis, menentukan adanya ancaman hipoglikemia.
b. Dapatkan HbA1c setiap 2-4 minggu sesuai indikasi.
Rasional: Mengontrol secara akurat glukosa selama 60 hari terakhir.
c. Kaji Hb dan Ht pada kunjungan awal lalu selama trimester kedua dan preterm.
Rasional: Anemia mungkin ada dengan masalah vaskuler.
d. Instruksikan pemberian insulin sesuai indikasi.
Rasional: Kebutuhan insulin menurun pada trimester pertama kemudian meningkat dua kali dan empat kali lipat pada trimester kedua dan ketiga.
e. Dapatkan urinalisa dan kultur urin, kultur rabas vagina, berikan antibiotika sesuai indikasi.
Rasional: Membantu mencegah atau mengatasi pielonefritis. Monilial vulvovaginitis dapat menyebabkan sariawan oral pada bayi baru lahir.
f. Kumpulkan spesimen untuk ekskresi protein total, klirens kreatinin nitrogen urea darah dan kadar asam urat.
Rasional: Kemajuan perubahan vaskuler dapat merusak fungsi ginjal dengan diabetes jangka panjang atau berat.
g. Jadwalkan pemeriksaan oftalmologi selama trimester pertama, trimester kedua dan ketiga bila berada dalam diabetes klasifikasi kelas D atau diatasnya.
Rasional: Latar belakang retinopati dapat berlanjut selama kehamilan karena keterlibatan vaskuler berat. Terapi koagulasi laser dapat memperbaiki dan menurunkan fibrosis optik.
h. Siapkan untuk ultrasonografi pada gestesi ke-8, 12, 26, 36 dan 38 untuk menentukan ukuran janin dengan menggunakan diameter biparietal, panjang femur dan perkiraan berat badan janin.
Rasional: Mengetahui adanya tanda makrosomia dan diproporsi cephalopelvis.
i. Mulai terapi intra vena dengan dekstrose 5%, berikan glukogon sub cutan bila dirawat di rumah sakit dengan shock insulin dan tidak sadar. Ikuti dengan pemberian susu skim 8 oz bila mampu menelan
Rasional: Glukagon adalah substansi alamiah yang bekerja pada glikogen hepar dan mengubahnya menjadi glukosa yang memperbaiki status hipoglikemik.
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi diabetes, prognosis dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria evaluasi :
• Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diabetes selama kehamilan.
• Mengungkapkan pemahaman tentang prosedur, tes laboratorium dan aktivitas yang melibatkan pengontrolan diabetes.
• Mendemonstrasikan kemahiran memantau sendiri dan pemberian insulin.
Intervensi :
Mandiri :
a. Kaji pengetahuan tentang proses dan tindakan terhadap penyakit termasuk hubungan dengan diet, latihan, stres dan kebutuhan insulin.
Rasional: Diabetes mellitus gestasional besisiko terhadap ambilan glukosa yang tidak efektif dalam sel, penggunaan lemak dan protein untuk energi secara berlebihan dan dehidrasi seluler saat air dialirkan dari sel oleh konsentrasi hipertonik glukosa dalam serum.
b. Tinjau ulang pentingnya pemantauan serum glukosa sedikitnya 6 kali sehari.
Rasional: Pengukuran glukosa darah penting untuk mengenali dampak diet dan latihan.
c. Berikan informasi tentang cara kerja dan efek merugikan insulin dan tinjau ulang alasan menghindari obat hipoglikemi oral.
Rasional: Perubahan metabolik prenatal menyebabkan kebutuhan insulin berubah. Trimester pertama kebutuhan insulin rendah tetapi menjadi dua kali dan empat kali selama trimester kedua dan ketiga. Meskipun insulin tidak melewati plasenta, agen hipoglikemi oral dapat dan potensial membahayakan janin.
d. Jelaskan penambahan berat badan normal.
Rasional: Pembatasan kalori dengan akibat ketonemia dapat menyebabkan kerusakan janin dan menghambat penggunaan protein optimal.
e. Berikan informasi tentang kebutuhan program latihan ringan.
Rasional: Latihan setelah makan dapat membantu mencegah hipoglikemia dan menstabilkan penyimpangan glukosa, kecuali terjadi peningklatan glukosa berlebihan, dimana latihan dapat meningkatkan ketoasidosis.
f. Berikan informasi mengenai dampak kehamilan pada kondisi diabetes dan harapan masa depan.
Rasional: Peningkatan pengetahuan dapat menurunkan rasa takut, meningkatkan kerja sama dan membantu menurunkan komplikasi janin.
g. Diskusikan mengenali tanda infeksi.
Rasional: Penting untuk mencari pertolongan medis awal untuk menghindari komplikasi.
h. Anjurkan mempertahankan pengkajian di rumah terhadap kadar glukosa serum, dosis insulin, diet dan latihan.
Rasional: Bila ditinjau ulang oleh praktisi pemberi perawatan, catatan harian dapat membantu bagi evaluasi dan perubahan terapi.
i. Berikan nomor telepon anggota tim kesehatan untuk dihubungi.
Rasional: Membantu mengatasi masalah dengan segera selama 24 jam.
j. Tinjau kadar Hb dan Ht, berikan informasi diet tentang sumber zat besi dan suplemen zat besi.
Rasional: Anemia harus lebih diperhatikan dengan diabetes karena peningkatan kadar glukosa dapat menggantikan oksidasi pada molekul Hb, mengakibatkan penurunan kapasitas pembawa oksigen.
k. Bantu untuk mempelajari pemberian glukosa, instruksikan untuk menyertainya dengan susu 8 oz dan periksa ulang kadar glukosa dalam 15 menit.
Rasional: Adanya gejala hipoglikemia seperti diaforesis, sensasi kesemutan dan palpitasi dengan kadar glukosa dibawah 70 mg/di memerlukan tindakan dengan segera. Penggunaan glukagon sebagai kombinasi susu dapat meningkatkan kadar glukosa serum tanpa resiko berbalik menjadi hiperglikemia.
5. Resiko tinggi terhadap trauma, gangguan pertukaran gas pada janin berhubungan dengan ketidakadekuatan kontrol diabetik maternal, makrosomnia atau retardasi pertumbuhan intra uterin.
Kriteria evaluasi :
• Kehamilan cukup bulan.
• Meningkatkan keberhasilan kelahiran dari bayi usia gestasi yang tepat.
• Bebas cedera.
• Menunjukkan kadar glukosa normal, bebas tanda hipoglikemia
Intervensi :
Mandiri :
a. Tinjau ulang riwayat pranatal dan kontrol maternal.
Rasional: Hiperglikemia maternal pada periode pranatal meningkatkan makrosomia, membuat janin berisiko terhadap cedera kelahiran karena distosia atau disporsia sefalopelvis. Kadar glukosa maternal yang tinggi pada kelahiran meransang pankreas janin, mengakibatkan hiperinsulinemia.
b. Periksa adanya glukosa atau keton dan albumin dalam urin ibu dan pantau tekanan darah.
Rasional: Peningkatan glukosa dan kadar keton menandakan ketoasidosis yang dapat mengakibatkan asidosis janin dan potensial cedera susunan syaeaf pusat.
c. Observasi tanda vital.
Rasional: Peningkatan infeksi asenden, dapat mengakibatkan sepsis neonatal.
d. Anjurkan posisi rekumben lateral selama persalinan.
Rasional: Meningkatkan perfusi plasenta dan meningkatkan kesediaan oksigen untuk janin.
e. Lakukan dan bantu dengan pemeriksaan vagina untuk menentukan kemajuan persalinan.
Rasional: Persalinan yang lama dapat meningkatkan resiko distres janin.
Kolaborasi :
a. Tinjau hasil tes pranatal seperti profil biofisikal, tes nonstres dan tes stres kontraksi.
Rasional: Memberikan informasi tentang cadangan pada plasenta untuk oksigenasi janin selama periode intrapartal.
b. Dapatkan atau tinjau ulang hasil dari amniosentesis dan ultrasonografi.
Rasional: Memberikan informasi tentang maturasi paru janin.
c. Pantai kadar glukosa serum maternal dengan finger stick setiap jam, kemudian setiap 2-4 jam sesuai indikasi.
Rasional: Peningkatan kebutuhan energi, penurunan kadar glikogen.
d. Observasi frekuensi denyut jantung janin.
Rasional: Tacikardi, bradikardi atau deselerasi lambat pada penurunan variabilitas menandakan kemungkinan hipoksia janin.
e. Lakukan pemberian cairan dekstrose 5% per parenteral.
Rasional: Mempertahankan normoglikemia tanpa pemberian glukosa sampai persalinan aktif mulai.
f. Siapkan untuk induksi persalinan dengan oksitosin atau seksio saesar.
Rasional: Mendapatkan kelahiran dari bayi sesuai usia gestasi yang tepat.
g. Kolaborasi dengan tim medis lain sesuai indikasi.
Rasional: Profesionalisasi dapat memberikan bantuan atau tindakan yang tepat.
6. Gangguan psikologis: ansietas berhubungan dengan situasi krisis atau mengancam pada status kesehatan (maternal atau janin).
Kriteria evaluasi :
• Mengungkapkan kesadaran tentang perasaan mengenai diabetes dan persalinan.
• Menggunakan strategi koping yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
a. Atur keberadaan perawat secara kontinu selama persalinan.
Rasional: Meningkatkan kontinuitas asuhan. Pasien dan keluarga perlu mengetahui bahwa mereka tidak sendiri dan tersedianya tenaga bantuan dengan segera.
b. Pastikan respon yang ada pada pesalinan dan penatalaksanaan medis. Kaji keefektifan sistem pendukung.
Rasional: Memberikan pengkajian dasar untuk perbandingan selanjutnya, mengidentifikasi kekuatan dan masalah yang potensial.
c. Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi.
Rasional: Memberikan perasaan kontrol terhadap situasi.
d. Jelaskan semua prosedur tindakan perawatan.
Rasional: Pengetahuan tentang apa yang terjadi membantu menurunkan rasa takut.
e. Fasilitasi semua keluhan atas ungkapan perasaan.
Rasional: Suasana terbuka dan mendukung menurunkan intimidasi karena prosedur atau peralatan.
f. Informasikan kepada keluarga tentang kemajuan persalinan dan keadaan janin.
Rasional: Membantu untuk menghilangkan atau meminimalkan rasa khawatir dan mengembangkan rasa percaya.
D. EVALUASI
1. kebutuhan nutrisi terpenuhi, Mempertahankan kadar gula darah puasa antara 60-100 mg/dl dan 2 jam sesudah makan tidak lebih dari 140 mg/dl.
2. cidera janin tidak terjadi, menunjukan reaksi Non stress test dan Oxytocin Challenge Test negative atau Construction Stress Test secara normal.
3. Tetap normotensif, Mempertahankan normoglikemia., Bebas dari komplikasi seperti infeksi, pemisahan plasenta.
4. Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diabetes selama kehamilan, Mengungkapkan pemahaman tentang prosedur
5. Bebas cedera, Menunjukkan kadar glukosa normal, bebas tanda hipoglikemia
6. Mengungkapkan kesadaran tentang perasaan mengenai diabetes dan persalinan, Menggunakan strategi koping yang tepat
DAFTAR PUSTAKA
Fakultas Kedokteran Universitas Pedjajaran Bandung. (1984). Obstetri Patologi.
Bandung : Elstar Offset.
Doenges E, Marilynn. (2002) Rencana Asuhan Keperawatan. Kajarta : EGC
Mochtar, Rustam. Prof. DR. (1998). Sypnosis Obstetrik : Obstetrik Patologi. Edisi I.
Jakarta : EGC
Prawiroharjo, Sarwono. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : yayasan Bina Pustaka
Ikram, Ainal (2000) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Ibu Hamil jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Arjatmo Tjokronegoro.(2002) Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, A, (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1, Jakarta , Media Aesculapius.
KEHAMILAN DENGAN DIABETES MELLITUS
A.Pengertian
Diabetes melitus merupakan kelainan metabolisme yang kronis terjadi defisiensi insulin atau retensi insulin, di tandai dengan tingginya keadaan glukosa darah (hiperglikemia) dan glukosa dalam urine (glukosuria) atau merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehubungan dengan kurangnya sekresi insulin secara absolut / relatif dan atau adanya gangguan fungsi insulin.
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Mansjoer, 2000).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemasukan makanan bagi janin serta persiapan menyusui. Glukosa dapat difusi secara tetap melalui plasenta pada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar dalam darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar dalam janin. Pengendalian yang utama dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain yaitu estrogen, steroid, plasenta laktogen. Akibat lambatnya resorpsi makanan maka terjadi hiperglikemia yang relatif lama dan menuntut kebutuhan insulin. Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat mencapai 3 kali dari keadaan normal yang disebut: tekanan diabetogenik dalam kehamilan. Secara fisiologis telah terjadi retensi insulin yaitu bila ditambah dengan estrogen eksogen ia tidak mudah menjadi hipoglikemia. Yang menjadi masalah bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin yang mengakibatkan hiperglikemia / diabetes kehamilan. Retensi insulin juga disebabkan oleh adanya hormon estrogen, progesteron, kortisol, prolaktin dan plasenta laktogen yang mempengaruhi reseptor insulin pada sel sehingga mengurangi afinitas insulin.
B. Klasifikasi
Diabetes mellitus dapat dibedakan menjadi:
1. DM Tipe 1 (IDDM) Insulin dependent diabetes mellitus atau tergantung insulin (T1) yaitu kasus yang memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
2. DM Tipe 11 (NIDDM) Non insulin dependent diabetes mellitus atau tidak tergantung insulin (TT1) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
3. Diabetes tipe lain.
4. Diabetes mellitus gestasional (DMG) yaitu diabetes yang hanya timbul dalam kehamilan.
C. Etiologi
Diabetes mellitus dapat merupakan kelainan herediter dengan cara insufisiensi atau absennya insulin dalam sirkulasi darah, konsentrasi gula darah tinggi. Berkurangnya glikogenesis. Diabetes dalam kehamilan menimbulkan banyak kesulitan, penyakit ini akan menyebabkan perubahan-perubahan metabolik dan hormonal pada penderita yang juga dipengaruhi oleh kehamilan. Sebaliknya diabetes akan mempengaruhi kehamilan dan persalinan. Factor Predisposisi diabetes mellitus pada kehamilan :
1. Umur sudah mulai tua
2. Multiparitas
3. Penderita gemuk
4. riwayat melahirkan anak lebih besar dari 4000 g
5. Bersifat keturunan
6. Riwayat kehamilan : Sering meninggal dalam rahim, Sering mengalami lahir mati, Sering mengalami keguguran
7. Faktor autoimun setelah infeksi mumps, rubella dan coxsakie B4.
8. Meningkatnya hormon antiinsulin seperti GH, glukogen, ACTH, kortisol, dan epineprin.
9. Obat-obatan.
D. Patogenesis
Patogenesis Diabetes Melitus menurut Mansjoer (2000), Yaitu :
1. Pada penyakit DM 1 didapat kerusakan (dekstruksi) sel beta pankreas dengan akibat menurunnya produksi insulin penggunaan glukosa sebagai energi terganggu tubuh menggunakan lemak dan protein sebagai sumber energi. Metabolisme tidak sempurna ketosis dan ketoasidosis.
2. Pada penyakit DM 11 didapat retensi insulin fungsi insulin menurun. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi ini sepenuhnya sehingga terjadi defisiensi relatif insulin.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrindan karbohidrat sehingga terjadi inadekuatnya pembentukan dan penggunaan insulin yang berfungsi memudahkan glukosa berpindah ke dalam sel-sel jaringan. Tanpa insulin yang adekuat, glukosa tidak dapat memasuki sel-sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan tetap berada dalam daerah sehingga kadar glukosa darah meningkat di atas batas normal yang menyebabkan air tertarik dari sel-sel ke dalam jaringan/darah sehingga terjadi dehidrasi seluler. Tingginya kadar glukosa darah menyebabkan ginjal harus mengsekresikannya melalui urine dan bekerja keras sehingga ginjal tidak dapat menanggulanginya sebab peningkatan laju filter glonurulus dan penurunan kemampuan tubulus renalif profesional/renalis untuk mereabsorbsi glukosa. Hal ini meningkatkan tekanan osmotik dan mencegah reabsorbsi air oleh tubulus ginjal yang menyebabkan dehidrasi ekstreaoseluler. Karena glukosa dan energi dikeluarkan dari tubuh bersama urine, tubuh mulai menggunakan lemak dan protein untuk sumber energi yang dalam prosesnya menghasilkan keton dalam darah. Pemecahan lemak dan protein juga menyebabkan lelah, lemah, gelisah yang dilanjutkan dengan penurunan berat badan mendadak ditambah terbentuknya keton akan cepat berkembang keadaan koma dan kematian.
E. Tanda dan gejala klinis
Tanda dan gejala klinis patogenesis Diabetes Melitus menurut Mansjoer, (2000), yaitu sebagai berikut :
1. Polifagia. 8. Mata kabur .
2. Poliuria. 9. Pruritus vulva.
3. Polidipsi. 10. Ketonemia.
4. Lemas. 11. Glikosuria.
5. BB menurun. 12. Gula darah 2 jam pp > 200 mg/dl.
6. Kesemutan. 13. Gula darah sewaktu > 200 mg/dl.
7. Gatal. 14. Gula darah puasa > 126 mg/dl.
F. Pengaruh diabetes gestasional
Pengaruh diabetes gestasional Diabetes Melitus menurut, Prawirohardjo, (2002). Meskipun tanpa gejala, bila tidak diadakan pengendalian kadar gula maka diabetes mellitus gestasional akan menimbulkan dampak bagi ibu maupun pada janin.
1. Pengaruh DM terhadap kehamilan.
a. Abortus dan partus prematurus.
b. Pre eklamsia.
c. Hidroamnion.
d. Insufisiensi plasenta.
2. Pengaruh DM terhadap janin/bayi.
a. Kematian hasil konsepsi dalam kehamilan muda mengakibatkan abortus.
b. Cacat bawaan.
c. Dismaturitas.
d. Janin besar (makrosomia)
e. Kematian dalam kandungan.
f. Kematian neonatal.
g. Kelainan neurologik dan psikologik.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu :
1. Mengatur diet.
Diet yang dianjurkan pada bumil DMG adalah 30-35 kal/kg BB, 150-200 gr karbohidrat, 125 gr protein, 60-80 gr lemak dan pembatasan konsumsi natrium. Penambahan berat badan bumil DMG tidak lebih 1,3-1,6 kg/bln. Dan konsumsi kalsium dan vitamin D secara adekuat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam diit diabetes mellitus sebagai berikut ;
a. Diit DM harus mengarahkan BB ke berat normal, mempertahankan glukosa darah sekitar normal, dapat memberikan modifikasi diit sesuai keadaan penderita misalnya penderita DMG, makanan disajikan menarik dan mudah diterima.
b. Diit diberikan dengan cara tiga kali makan utama dan tiga kali makanan antara (snack) dengan interval tiga jam.
c. Buah yang dianjurkan adalah buah yang kurang manis, misalnya pepaya, pisang, apel, tomat, semangka, dan kedondong.
d. Dalam melaksanakan diit sehari-hari hendaknya mengikuti pedoman 3J yaitu ;
J1 ; Jumlah kalori yang diberikan harus habis.
J2 ; Jadwal diit harus diikuti sesuai dengan interval.
J3 ; Jenis makanan yang manis harus dihindari.
e. Penentuan jumlah kalori
Untuk menentukan jumlah kalori penderita DM yang hamil/menyusui secara empirik dapat digunakan umus sebagai berikut ;
( TB – 100 ) x 30 T1 + 100 T3 + 300
T2 + 200 L + 400
Ket : TB : Tinggi badan. T3 : Trimester III
T1 : Trimester I L : Laktasi/menyusui
T2 : Trimester II
2. Penatalaksanan Diabetes Melitus terhadap ibu hamil menurut Prawirohardjo, (2002).. yaitu sebagai berikut :
Daya tahan terhadap insulin meningkat dengan makin tuanya kehamilan, yang dibebaskan oleh kegiatan antiinsulin plasenta. Penderita yang sebelum kehamilan sudah memerlukan insulin diberi insulin dosis yang sama dengan dosis diluar kehamilan sampai ada tanda-tanda bahwa dosis perlu ditambah atau dikurangi. Perubahan-perubahan dalam kehamilan memudahkan terjadinya hiperglikemia dan asidosis tapi juga manimbulkan reaksi hipoglikemik. Maka dosis insulin perlu ditambah/dirubah menurut keperluan secara hati-hati dengan pedoman pada 140 mg/dl. Pemeriksaan darah yaitu kadar post pandrial < 140 mg/dl.
Terutama pada trimester I mudah terjadi hipoglikemia apabila dosis insulin tidak dikurangi karena wanita kurang makan akibat emisis dan hiperemisis gravidarum. Sebaliknya dosis insulin perlu ditambah dalam trimester II apabila sudah mulai suka makan , lebih-lebih dalam trimester III.
Selama berlangsungnya persalinan dan dalam hari-hari berikutnya cadangan hidrat arang berkurang dan kebutuhan terhadap insulin barkurang yang mengakibatkan mudah mengalami hipoglikemia bila diet tidak disesuaikan atau dosis insulin tidak dikurangi. Pemberian insulin yang kurang hati-hati dapat menjadi bahaya besar karena reaksi hipoglikemik dapat disalah tafsirkan sebagai koma diabetikum. Dosis insulin perlu dikurangi selama wanita dalam persalinan dan nifas dini. Dianjurkan pula supaya dalam masa persalinan diberi infus glukosa dan insulin pada hiperglikemia berat dan keto asidosis diberi insulin secara infus intravena dengan kecepatan 2-4 satuan/jam untuk mengatasi komplikasi yang berbahaya.
3. Penanggulangan Obstetri
Pada penderita yang penyakitnya tidak berat dan cukup dikuasi dengan diit saja dan tidak mempunyai riwayat obstetri yang buruk, dapat diharapkan partus spontan sampai kehamilan 40 minggu. lebih dari itu sebaiknya dilakukan induksi persalinan karena prognosis menjadi lebih buruk. Apabia diabetesnya lebih berat dan memerlukan pengobatan insulin, sebaiknya kehamilan diakhiri lebih dini sebaiknya kehamilan 36-37 minggu. Lebih-lebih bila kehamilan disertai komplikasi, maka dipertimbangkan untuk menghindari kehamilan lebih dini lagi baik dengan induksi atau seksio sesarea dengan terlebih dahulu melakukan amniosentesis. Dalam pelaksanaan partus pervaginam, baik yang tanpa dengan induksi, keadaan janin harus lebih diawasi jika mungkin dengan pencatatan denyut jantung janin terus – menerus.
G. Pencegahan
1. Primer : untuk mengurangi obesitas dan BB.
2. Sekunder : deteksi dini, kontrol penyakit hipertensi, anto rokok, perawatan.
3. Tersier : Pendidikan tentang perawatan kaki, cegah ulserasi, gangren dan amputasi, pemeriksaan optalmologist, albuminuria monitor penyakit ginjal, kontrol hipertensi, status metabolic dan diet rendah protein, pendidikan pasien tentang penggunaan medikasi untuk mengontrol medikasi
Pathways
Diabetes Gestasional
Sel beta pangkreas terganggu Perubahan status kesehatan
IBU HAMIL DENGAN DIABETES MELLITUS
A. Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama.
Mual, muntah, penambahan berat badan berlebihan atau tidak adekuat, polipdipsi, poliphagi, poluri, nyeri tekan abdomen dan retinopati.
b. Riwayat kesehatan keluarga.
- Riwayat diabetes mellitus dalam keluarga.
c. Riwayat kehamilan
- Diabetes mellitus gestasional.
- Hipertensi karena kehamilan.
- Infertilitas.
- Bayi low gestasional age.
- Riwayat kematian janin.
- Lahir mati tanpa sebab jelas.
- Anomali congenital.
- Aborsi spontan.
- Polihidramnion.
- Makrosomia.
- Pernah keracunan selama kehamilan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sirkulasi
- Nadi pedalis dan pengisian kapiler ekstrimitas menurun atau lambat pada diabetes yang lama.
- Edema pada pergelangan kaki atau tungkai.
- Peningkatan tekanan darah.
- Nadi cepat, pucat, diaforesis atau hipoglikemi.
b. Eliminasi
Riwayat pielonefritis, infeksi saluran kencing berulang, nefropati dan poli uri.
c. Nutrisi dan Cairan
- Polidipsi.
- Poliuri.
- Mual dan muntah.
- Obesitas.
- Nyeri tekan abdomen.
- Hipoglikemi.
- Glukosuria.
- Ketonuria.
- Kulit : Sensasi kulit lengan, paha, pantat dan perut dapat berubah karena ada bekas injeksi insulin yang sering.
- Mata : Kerusakan penglihatan atau retinopati.
- Uterus : tinggi fundus uteri mungkin lebih tinggi atau lebih rendah dari normal terhadap usia gestasi.
3. Psikososial
- Resiko meningkatnya komplikasi karena faktor sosioekonomi rendah.
- Sistem pendukung kurang dapat mempengaruhi kontrol emosi.
- Cemas, peka rangsang dan peningkatan ketegangan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna dan menggunakan nutrisi kurang tepat.
2. Resiko tinggi terhadap cedera janin berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa maternal, perubahan pada sirkulasi.
3. Resiko tinggi terhadap cedera maternal berhubungan dengan ketidakadekuatan kontrol diabetik, profil darah abnormal atau anemia, hipoksia jaringan dan perubahan respon umum.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi diabetik, prognosa dan kebutuhan tindakan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi, kesalahan informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
5. Resiko tinggi terhadap trauma, pertukaran gas pada janin berhubungan dengan ketidakadekuatan kontrol diabetik maternal, makrosomnia atau retardasi pertumbuhan intra uterin.
6. Gangguan psikologis, ansietas berhubungan dengan situasi kritis atau mengancam pada status kesehatan maternal atau janin.
D. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna dan menggunakan nutrisi kurang tepat.
Kriteria evaluasi : kebutuhan nutrisi terpenuhi, Mempertahankan kadar gula darah puasa antara 60-100 mg/dl dan 2 jam sesudah makan tidak lebih dari 140 mg/dl.
Intervensi
Mandiri
a. Timbang berat badan setiap kunjungan prenatal.
Rasional: Penambahan berat badan adalah kunci petunjuk untuk memutuskan penyesuaian kebutuhan kalori.
b. Kaji masukan kalori dan pola makan dalam 24 jam.
Rasional : Membantu dalam mengevaluasi pemahaman pasien tentang aturan diet.
c. Tinjau ulang dan berikan informasi mengenai perubahan yang diperlukan pada penatalaksanaan diabetic.
Rasional : Kebutuhan metabolisme dari janin dan ibu membutuhkan perubahan besar selama gestasi memerlukan pemantauan ketat dan adaptasi.
d. Tinjau ulang tentang pentingnya makanan yang teratur bila memakai insulin.
Rasional : Makan sedikit dan sering menghindari hiperglikemia , sesudah makan dan kelaparan.
e. Perhatikan adanya mual dan muntah khususnya pada trimester pertama.
Rasional : Mual dan muntah dapat mengakibatkan defisiensi karbohidrat yang dapat mengakibatkan metabolisme lemak dan terjadinya ketosis.
f. Kaji pemahaman stress pada diabetic.
Rasional : Stress dapat mengakibatkan peningkatan kadar glukosa, menciptakan fluktuasi kebutuhan insulin.
g. Ajarkan pasien tentang metode finger stick untuk memantau glukosa sendiri.
Rasional : Kebutuhan insulin dapat dinilai berdasarkan temuan glukosa darah serum secara periodik.
h. Tinjau ulang dan diskusikan tanda gejala serta kepentingan hipo atau hiperglikemia.
Rasional : Hipoglikemia dapat terjadi secara cepat dan berat pada trimester pertama karena peningkatan penggunaan glukosa dan glikogen oleh ibu dan perkembangan janin. Hiperglikemia berefek terjadinya hidramnion.
i. Instruksikan untuk mengatasi hipoglikemia asimtomatik.
Rasional : Pengguanaan jumlah besar karbohidrat sederhana untuk mengatasi hipoglikemi menyebabkan nilai glukosa darah meningkat.
j. Anjurkan pemantauan keton urine.
Rasional : Ketidakcukupan masukan kalori ditunjukkan dengan ketonuria, menandakan kebutuhan terhadap peningkatan karbohidrat.
Kolaborasi :
a. Diskusikan tentang dosis , jadwal dan tipe insulin.
Rasional : Pembagian dosis insulin mempertimbangkan kebutuhan basal maternal dan rasio waktu makan.
b. Sesuaikan diet dan regimen insulin untuk memenuhi kebutuhan individu.
Rasional : Kebutuhan metabolisme prenatal berubah selama trimester pertama.
c. Rujuk pada ahli gizi.
Rasional : Diet secara spesifik pada individu perlu untuk mempertahankan normoglikemi.
d. Observasi kadar Glukosa darah.
Rasional : Insiden abnormalitas janin dan bayi baru lahir menurun bila kadar glukosa darah antara 60 – 100 mg/dl, sebelum makan antara 60 -105 mg/dl, 1 jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl dan 2 jam sesudah makan kurang dari 200 mg/dl.
e. Tentukan hasil HbA1c setiap 2 – 4 minggu.
Rasional : Memberikan keakuratan gambaran rata rata control glukosa serum selama 60 hari . Kontrol glukosa serum memerlukan waktu 6 minggu untuk stabil.
2. Resiko Tinggi cidera janin berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa maternal, perubahan pada sirkulasi.
Kriteria evaluasi :
• cidera janin tidak terjadi, menunjukan reaksi Non stress test dan Oxytocin Challenge Test negative atau Construction Stress Test secara normal.
Intervensi :
Mandiri :
a. Kaji control diabetik sebelum konsepsi.
Rasional : Pengontrolan secara ketat sebelum konsepsi membantu menurunkan resiko mortalitas janin dan abnormal konginental.
b. Tentukan klasifikasi white terhadap diabetes.
Rasional : Janin kurang beresiko bila klasifikasi white adalah A, B, C dan apabila D adalah beresiko tinggi.
c. Kaji gerakan janin dan denyut janin setiap kunjungan.
Rasional : Terjadi insufisiensi plasenta dan ketosis maternal mungkin secara negatif mempengaruhi gerakan janin dan denyut jantung janin.
d. Observasi tinggi fundus uteri setiap kunjungan.
Rasional : Untuk mengidentifikasi pola pertumbuhan abnormal
e. Observasi urine terhadap keton.
Rasional : Benda keton dapat mengakibatkan kerusakan susunan syaraf pusat yang tidak dapat diperbaiki.
f. Berikan informasi dan buatkan prosedur untuk pemantauan glukosa dan penatalaksanaan diabetes di rumah.
Rasional : Penurunan mortalitas dan komplikasi morbiditas janin bayi baru lahir dan anomali congenitial dihubungkan dengan kenaikan kadar glukusa darah.
g. Pantauan adanya tanda tanda edema, proteinuria, peningkatan tekanan darah.
Rasional : sekitar 12% – 13% dari diabetes akan berkembang menjadi gangguan hipertensi karena perubahan kardiovaskuler berkenaan dengan diabetes.
h. Tinjau ulang prosedur dan rasional untuk Non stress Test setiap minggu.
Rasional : Aktifitas dan pergerakan janin merupakan petanda baik dari kesehatan janin.
i. Diskusikan rasional atau prosedur untuk melaksanakan Oxytocin Challenge Test atau Contraction Stress Test setiap minggu mulai minggu ke – 30 sampai dengan minggu ke- 32.
Rasional : Contraction Stress Test dapat memberikan informasi tentang perfusi oksigen dan nutrisi pada janin. Hasil positif menandakan insufisiensi plasenta.
j. Tinjau ulang prosedur dan rasional untuk tindakan amniosentesis
Rasional : Maturasi paru janin adalah kriteria yang digunakan untuk menentukan kelangsungan hidup.
Kolaborasi :
a. Kaji HbA1c setiap 2 – 4 minggu sesuai indikasi.
Rasional : Insiden bayi malformasi secara kongenital meingkat pada wanita dengan kadar HbA1c tinggi pada awal kehamilan atau sebelum konsepsi.
b. Kaji kadar albumin glikosilat pada getasi minggu ke 24 sampai ke 28 khususnya pada ibu dengan resiko tinggi.
Rasional : Tes serum albumin glikosilat menunjukkan glikemia lebih dari beberapa hari.
c. Dapatkan kadar serum alfa fetoprotein pada gestasi minggu ke 14 sampai minggu ke 16.
Rasional : Insiden kerusakan tuba neural lebih besar pada ibu diabetik dari pada non diabetik bila kontrol sebelum kehamilan sudah buruk.
d. Siapkan untuk ultrsonografi pada gestasi minggu ke 8, 12, 18, 28, 36 sampai minggu ke 38.
Rasional : Ultrasonografi bermanfaat dalam memastikan tanggal gestasi dan membantu dalam evaluasi retardasi pertumbuhan intra uterin.
e. Lakukan non stress test dan Oxytocin Challenge Test atau Construction Stress test dengan tepat.
Rasional : Mengetahui kesehatan janin dan kedekatan perfusi plasenta.
f. Dapatkan sekuensial serum atau specimen urine 24 jam terhadap kadar estriol setelah gestasi minggu ke 30.
Rasional : Penurunan kadar estriol dapat menunjukkan penurunan fungsi plasenta, menimbulkan retardasi pertumbuhan intra uterin dan lahir mati.
g. Bantu untuk persalinan per vaginam atau seksio.
Rasional: Membantu menjamin hasil positif untuk neonatus. Insiden lahir mati meningkat secara bermakna pada gestasi lebih dari minggu ke-36. Makrosomia sering menyebabkan distosia dengan sefalopelvis disproporsi.
3. Resiko tinggi terhadap cedera maternal berhubungan dengan perubahan kontrol diabetik, profil darah abnormal atau anemia, hipoksia jaringan dan perubahan respon imun.
Kriteria evaluasi :
• Tetap normotensif.
• Mempertahankan normoglikemia.
• Bebas dari komplikasi seperti infeksi, pemisahan plasenta.
Intervensi :
Mandiri :
a. Perhatikan klasifikasi white untuk diabetes. Kaji derajad kontrol diabetik.
Rasional : Klien dengan klasifikasi D, E atau F adalah berisiko tinggi terhadap komplikasi kehamilan.
b. Kaji perdarahan pervaginam dan nyeri tekan abdomen.
Rasional: Perubahan vaskuler yang dihubungkan dengan diabetes menandakan resiko abrupsi plasenta.
c. Pantau terhadap tanda dan gejala persalinan preterm.
Rasional: Distensi uterus berlebihan karena makrosomia atau hidramnion dapat mempredisposisikan pada persalinan awal.
d. Bantu untuk belajar memantau glukosa darah di rumah yang dilakukan 6 kali sehari.
Rasional: Memungkinkan keakuratan tes urin yang lebih besar karena ambang ginjal terhadap glukosa menurun selama kehamilan.
e. Periksa keton dalam urin setiap hari.
Rasional: Ketonuria menandakan adanya kondisi kelaparan yang secara negatif dapat mempengaruhi perkembangan janin
f. Identifikasi kejadian hipoglikemia dan hiperglikemia.
Rasional: Insiden hipoglikemia sering terjadi pada trimester ketiga karena aliran glukosa darah dan asam amino yang kontinue pada janin dan untuk menurunkan kadar insulin antagonis laktogen plasenta. Insiden hiperglikemia memerlukan regulasi diet atau insulin untuk normoglikemia khususnya pada trimester kedua dan ketiga karena kebutuhan insulin sering meningkat dua kali.
g. Pantau adanya edema dan tentukan tinggi fundus uteri.
Rasional: Diabetes cenderung kelebihan cairan karena perubahan vaskuler. Insiden hidramnion sebanyak 6% – 25% pada kasus diabetes yang hamil kemungkinan berhubungan dengan peningkatan kontribusi janin pada cairan amnion dan hiperglikemia meningkatkan haluaran urin janin.
h. Kaji adanya infeksi saluran kencing.
Rasional: Deteksi awal adanya infeksi saluran kencing dapat mencegah pielonefritis.
i. Pantau dengan ketat bila obat tokolitik digunakan untuk menghentikan persalinan.
Rasional: Obat tokolitik dapat meningkatkan glukosa darah dan insulin plasma.
Kolaborasi :
a. Pantau kadar glukosa serum setiap kunjungan.
Rasional: Mendeteksi ancaman ketoasidosis, menentukan adanya ancaman hipoglikemia.
b. Dapatkan HbA1c setiap 2-4 minggu sesuai indikasi.
Rasional: Mengontrol secara akurat glukosa selama 60 hari terakhir.
c. Kaji Hb dan Ht pada kunjungan awal lalu selama trimester kedua dan preterm.
Rasional: Anemia mungkin ada dengan masalah vaskuler.
d. Instruksikan pemberian insulin sesuai indikasi.
Rasional: Kebutuhan insulin menurun pada trimester pertama kemudian meningkat dua kali dan empat kali lipat pada trimester kedua dan ketiga.
e. Dapatkan urinalisa dan kultur urin, kultur rabas vagina, berikan antibiotika sesuai indikasi.
Rasional: Membantu mencegah atau mengatasi pielonefritis. Monilial vulvovaginitis dapat menyebabkan sariawan oral pada bayi baru lahir.
f. Kumpulkan spesimen untuk ekskresi protein total, klirens kreatinin nitrogen urea darah dan kadar asam urat.
Rasional: Kemajuan perubahan vaskuler dapat merusak fungsi ginjal dengan diabetes jangka panjang atau berat.
g. Jadwalkan pemeriksaan oftalmologi selama trimester pertama, trimester kedua dan ketiga bila berada dalam diabetes klasifikasi kelas D atau diatasnya.
Rasional: Latar belakang retinopati dapat berlanjut selama kehamilan karena keterlibatan vaskuler berat. Terapi koagulasi laser dapat memperbaiki dan menurunkan fibrosis optik.
h. Siapkan untuk ultrasonografi pada gestesi ke-8, 12, 26, 36 dan 38 untuk menentukan ukuran janin dengan menggunakan diameter biparietal, panjang femur dan perkiraan berat badan janin.
Rasional: Mengetahui adanya tanda makrosomia dan diproporsi cephalopelvis.
i. Mulai terapi intra vena dengan dekstrose 5%, berikan glukogon sub cutan bila dirawat di rumah sakit dengan shock insulin dan tidak sadar. Ikuti dengan pemberian susu skim 8 oz bila mampu menelan
Rasional: Glukagon adalah substansi alamiah yang bekerja pada glikogen hepar dan mengubahnya menjadi glukosa yang memperbaiki status hipoglikemik.
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi diabetes, prognosis dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria evaluasi :
• Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diabetes selama kehamilan.
• Mengungkapkan pemahaman tentang prosedur, tes laboratorium dan aktivitas yang melibatkan pengontrolan diabetes.
• Mendemonstrasikan kemahiran memantau sendiri dan pemberian insulin.
Intervensi :
Mandiri :
a. Kaji pengetahuan tentang proses dan tindakan terhadap penyakit termasuk hubungan dengan diet, latihan, stres dan kebutuhan insulin.
Rasional: Diabetes mellitus gestasional besisiko terhadap ambilan glukosa yang tidak efektif dalam sel, penggunaan lemak dan protein untuk energi secara berlebihan dan dehidrasi seluler saat air dialirkan dari sel oleh konsentrasi hipertonik glukosa dalam serum.
b. Tinjau ulang pentingnya pemantauan serum glukosa sedikitnya 6 kali sehari.
Rasional: Pengukuran glukosa darah penting untuk mengenali dampak diet dan latihan.
c. Berikan informasi tentang cara kerja dan efek merugikan insulin dan tinjau ulang alasan menghindari obat hipoglikemi oral.
Rasional: Perubahan metabolik prenatal menyebabkan kebutuhan insulin berubah. Trimester pertama kebutuhan insulin rendah tetapi menjadi dua kali dan empat kali selama trimester kedua dan ketiga. Meskipun insulin tidak melewati plasenta, agen hipoglikemi oral dapat dan potensial membahayakan janin.
d. Jelaskan penambahan berat badan normal.
Rasional: Pembatasan kalori dengan akibat ketonemia dapat menyebabkan kerusakan janin dan menghambat penggunaan protein optimal.
e. Berikan informasi tentang kebutuhan program latihan ringan.
Rasional: Latihan setelah makan dapat membantu mencegah hipoglikemia dan menstabilkan penyimpangan glukosa, kecuali terjadi peningklatan glukosa berlebihan, dimana latihan dapat meningkatkan ketoasidosis.
f. Berikan informasi mengenai dampak kehamilan pada kondisi diabetes dan harapan masa depan.
Rasional: Peningkatan pengetahuan dapat menurunkan rasa takut, meningkatkan kerja sama dan membantu menurunkan komplikasi janin.
g. Diskusikan mengenali tanda infeksi.
Rasional: Penting untuk mencari pertolongan medis awal untuk menghindari komplikasi.
h. Anjurkan mempertahankan pengkajian di rumah terhadap kadar glukosa serum, dosis insulin, diet dan latihan.
Rasional: Bila ditinjau ulang oleh praktisi pemberi perawatan, catatan harian dapat membantu bagi evaluasi dan perubahan terapi.
i. Berikan nomor telepon anggota tim kesehatan untuk dihubungi.
Rasional: Membantu mengatasi masalah dengan segera selama 24 jam.
j. Tinjau kadar Hb dan Ht, berikan informasi diet tentang sumber zat besi dan suplemen zat besi.
Rasional: Anemia harus lebih diperhatikan dengan diabetes karena peningkatan kadar glukosa dapat menggantikan oksidasi pada molekul Hb, mengakibatkan penurunan kapasitas pembawa oksigen.
k. Bantu untuk mempelajari pemberian glukosa, instruksikan untuk menyertainya dengan susu 8 oz dan periksa ulang kadar glukosa dalam 15 menit.
Rasional: Adanya gejala hipoglikemia seperti diaforesis, sensasi kesemutan dan palpitasi dengan kadar glukosa dibawah 70 mg/di memerlukan tindakan dengan segera. Penggunaan glukagon sebagai kombinasi susu dapat meningkatkan kadar glukosa serum tanpa resiko berbalik menjadi hiperglikemia.
5. Resiko tinggi terhadap trauma, gangguan pertukaran gas pada janin berhubungan dengan ketidakadekuatan kontrol diabetik maternal, makrosomnia atau retardasi pertumbuhan intra uterin.
Kriteria evaluasi :
• Kehamilan cukup bulan.
• Meningkatkan keberhasilan kelahiran dari bayi usia gestasi yang tepat.
• Bebas cedera.
• Menunjukkan kadar glukosa normal, bebas tanda hipoglikemia
Intervensi :
Mandiri :
a. Tinjau ulang riwayat pranatal dan kontrol maternal.
Rasional: Hiperglikemia maternal pada periode pranatal meningkatkan makrosomia, membuat janin berisiko terhadap cedera kelahiran karena distosia atau disporsia sefalopelvis. Kadar glukosa maternal yang tinggi pada kelahiran meransang pankreas janin, mengakibatkan hiperinsulinemia.
b. Periksa adanya glukosa atau keton dan albumin dalam urin ibu dan pantau tekanan darah.
Rasional: Peningkatan glukosa dan kadar keton menandakan ketoasidosis yang dapat mengakibatkan asidosis janin dan potensial cedera susunan syaeaf pusat.
c. Observasi tanda vital.
Rasional: Peningkatan infeksi asenden, dapat mengakibatkan sepsis neonatal.
d. Anjurkan posisi rekumben lateral selama persalinan.
Rasional: Meningkatkan perfusi plasenta dan meningkatkan kesediaan oksigen untuk janin.
e. Lakukan dan bantu dengan pemeriksaan vagina untuk menentukan kemajuan persalinan.
Rasional: Persalinan yang lama dapat meningkatkan resiko distres janin.
Kolaborasi :
a. Tinjau hasil tes pranatal seperti profil biofisikal, tes nonstres dan tes stres kontraksi.
Rasional: Memberikan informasi tentang cadangan pada plasenta untuk oksigenasi janin selama periode intrapartal.
b. Dapatkan atau tinjau ulang hasil dari amniosentesis dan ultrasonografi.
Rasional: Memberikan informasi tentang maturasi paru janin.
c. Pantai kadar glukosa serum maternal dengan finger stick setiap jam, kemudian setiap 2-4 jam sesuai indikasi.
Rasional: Peningkatan kebutuhan energi, penurunan kadar glikogen.
d. Observasi frekuensi denyut jantung janin.
Rasional: Tacikardi, bradikardi atau deselerasi lambat pada penurunan variabilitas menandakan kemungkinan hipoksia janin.
e. Lakukan pemberian cairan dekstrose 5% per parenteral.
Rasional: Mempertahankan normoglikemia tanpa pemberian glukosa sampai persalinan aktif mulai.
f. Siapkan untuk induksi persalinan dengan oksitosin atau seksio saesar.
Rasional: Mendapatkan kelahiran dari bayi sesuai usia gestasi yang tepat.
g. Kolaborasi dengan tim medis lain sesuai indikasi.
Rasional: Profesionalisasi dapat memberikan bantuan atau tindakan yang tepat.
6. Gangguan psikologis: ansietas berhubungan dengan situasi krisis atau mengancam pada status kesehatan (maternal atau janin).
Kriteria evaluasi :
• Mengungkapkan kesadaran tentang perasaan mengenai diabetes dan persalinan.
• Menggunakan strategi koping yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
a. Atur keberadaan perawat secara kontinu selama persalinan.
Rasional: Meningkatkan kontinuitas asuhan. Pasien dan keluarga perlu mengetahui bahwa mereka tidak sendiri dan tersedianya tenaga bantuan dengan segera.
b. Pastikan respon yang ada pada pesalinan dan penatalaksanaan medis. Kaji keefektifan sistem pendukung.
Rasional: Memberikan pengkajian dasar untuk perbandingan selanjutnya, mengidentifikasi kekuatan dan masalah yang potensial.
c. Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi.
Rasional: Memberikan perasaan kontrol terhadap situasi.
d. Jelaskan semua prosedur tindakan perawatan.
Rasional: Pengetahuan tentang apa yang terjadi membantu menurunkan rasa takut.
e. Fasilitasi semua keluhan atas ungkapan perasaan.
Rasional: Suasana terbuka dan mendukung menurunkan intimidasi karena prosedur atau peralatan.
f. Informasikan kepada keluarga tentang kemajuan persalinan dan keadaan janin.
Rasional: Membantu untuk menghilangkan atau meminimalkan rasa khawatir dan mengembangkan rasa percaya.
D. EVALUASI
1. kebutuhan nutrisi terpenuhi, Mempertahankan kadar gula darah puasa antara 60-100 mg/dl dan 2 jam sesudah makan tidak lebih dari 140 mg/dl.
2. cidera janin tidak terjadi, menunjukan reaksi Non stress test dan Oxytocin Challenge Test negative atau Construction Stress Test secara normal.
3. Tetap normotensif, Mempertahankan normoglikemia., Bebas dari komplikasi seperti infeksi, pemisahan plasenta.
4. Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diabetes selama kehamilan, Mengungkapkan pemahaman tentang prosedur
5. Bebas cedera, Menunjukkan kadar glukosa normal, bebas tanda hipoglikemia
6. Mengungkapkan kesadaran tentang perasaan mengenai diabetes dan persalinan, Menggunakan strategi koping yang tepat
DAFTAR PUSTAKA
Fakultas Kedokteran Universitas Pedjajaran Bandung. (1984). Obstetri Patologi.
Bandung : Elstar Offset.
Doenges E, Marilynn. (2002) Rencana Asuhan Keperawatan. Kajarta : EGC
Mochtar, Rustam. Prof. DR. (1998). Sypnosis Obstetrik : Obstetrik Patologi. Edisi I.
Jakarta : EGC
Prawiroharjo, Sarwono. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : yayasan Bina Pustaka
Ikram, Ainal (2000) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Ibu Hamil jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Arjatmo Tjokronegoro.(2002) Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, A, (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1, Jakarta , Media Aesculapius.