09 Februari 2010

EFEKTIFITAS PEMBERIAN CAIRAN INFUS HANGAT TERHADAP KEJADIAN HIPOTERMIA PADA PENDERITA SC

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah
Pembedahan merupakan trauma buatan yang akan menimbulkan perubahan faal sebagai respon dari trauma itu sendiri. Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien pasca bedah dini adalah kejadian hipotermi dan reaksi menggigil sebagai mekanisme kompensasi tubuh terhadap hipotermi tersebut. Hipotermi adalah keadaan dimana suhu inti tubuh dibawah batas normal fisiologis (normotermi adalah 36.6˚C sampai 37,5˚C) yang selalu terjadi diruang pulih sadar sebagai akibat sekunder dari suhu yang rendah diruang operasi, infus dengan cairan yang dingin, inhalasi dengan gas yang dingin, cavitas atau luka yang terbuka, aktivitas otot yang menurun, usia yang lanjut atau agent obat-obatan yang digunakan (Brunner & Suddarth 2002). Penurunan suhu tubuh di bawah normal ini akan membawa dampak yang sangat kompleks pada suatu operasi salah satu diantaranya akan menyebabkan perubahan haemostasis di dalam tubuh sehingga mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas yang meningkat (Lumintang, 2000).
Di Indonesia, selama ini belum didapatkan data yang konkrit tentang angka kejadian hipotermi pasca bedah pada pasien yang dilakukan tindakan Sesio Sesarea namun dari hasil data statistic dan penelitian di dapatkan bahwa 60-75% penyebab morbiditas dari tindakan operasi adalah akibat dari komplikasi pasca bedah. Salah satu komplikasi pasca bedah adalah terjadinya hipotermi ( Murray A Kalish ,1992). Ditahun 2000 dilaporkan didunia ini wanita melahirkan dengan seksio sesarea meningkat 4 kali dibanding 10 tahun sebelumnya, Dilihat dari angka kejadian seksio sesarea dilaporkan di USA persalinan dengan seksio sesarea sebanyak 35% dari seluruh persalinan, Australia 35%, Skotlandia 43% dan Perancis 28%. Di Indonesia jumlah persalinan dengan seksio sesarea juga mengalami peningkatan tahun 2005 jumlah persalinan seksio sesarea sebanyak 8% dari seluruh persalinan, tahun 2006 15% dan tahun 2007 sebanyak 21% (Wirakusumah,2009). Data dari 10 Rumah Sakit type C di Bali (1999-2000) dari 35636 persalinan terdapat 5368 (15%) persalinan dengan seksio sesarea. Di 5 Rumah Sakit Swasta di Denpasar (1999-2000) dari 8988 persalinan terdapat 3900 (51,42%) persalinan dengan seksio sesarea. Di Ruang operasi IRD Sanglah Denpasar pada tahun 2006 rata – rata dari seluruh kegiatan pembedahan Laparatomy (seksio sesarea) berjumlah 0,39%,. tahun 2007 berjumlah 0,31%, tahun 2008 berjumlah 0,27% kasus. Dari setiap pembedahan Laparatomy (seksio sesarea) sebanyak 60-75% terjadi komplikasi yang berupa penurunan suhu tubuh dibawah normal (hipotermi).
Menurut Hudak & Gallo (1997) menyatakan bahwa perubahan Termoregulasi juga dapat berhubungan dengan penggunaan obat – obat, termasuk balbiturat, narkotik, relaksan dan sedatif. Sebagai akibatnya dapat menurunkan aktifitas seluler dan juga kebutuhan jaringan. Bagaimanapun selama masa pembedahan tubuh cenderung mengalami hipotermi, seperti diakibatkan oleh efek samping obat – obat anestesi, luka yang terbuka, sirkulasi udara yang dingin, tempat tidur ruang operasi yang dingin. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan petugas dalam pengelolaan perioperasif untuk mempertahankan keadaan normathermi. Kehilangan panas tubuh selama anestesi dan pembedahan terjadi melalui empat mekanisme : Radiasi, konveksi, konduksi dan kehilangan panas akibat evaporasi. Jadi, prinsip kerjanya bahwa panas akan berpindah dari media yang lebih hangat ke media yang lebih dingin ( http://southflorida,sun.sentine.com)
Adapun penanganan hipotermi menurut Mancini, Marry (1994) membagi berdasarkan derajat hipotermi, yaitu : (1) pada suhu antara 32˚C sampai 35˚C, dilakukan pemberian metoda pemasangan eksternal pasif yaitu pemberian selimut hangat. (2) pada suhu kurang dari 32˚C, dapat diberikan 2 metode yaitu pemanasan eksternal aktif. Dengan cara botol yang berisi air hangat diletakkan pada permukaan tubuh pasien, melakukan perendaman pada bak air yang berisi air hangat dengan suhu 40˚C dan pemberian matras hangat serta metoda pemanasan internal aktif, dengan cara : pemberian cairan intra vena yang telah dihangatkan, lavage lambung hangat, lavage peritoneum hangat, lavage colon hangat, lavage mediastinium hangat dan pemberian oksigen hangat.
Hasil penelelitian Oka Wiryanatha (2004) yang meneliti tentang pengaruh cairan infus hangat terhadap penurunan core temperatur pada penderita trauma yang dilakukan operasi emergensy di RSUP Sanglah, dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa pemberian infus hangat berpengaruh signifikan terhadap penurunan core temperatur. Melihat uraian dan hasil penelitian diatas serta jumlah kejadian hipotermi setelah dilakukan operasi seksio sesarea maka penulis tertarik untuk meneliti seberapa efektif pengaruh tindakan pemanasan internal aktif berupa pemberian cairan intra vena yang telah dihangatkan yang diberikan selama pembedahan terhadap kejadian hipotermi di OK IRD Sanglah Denpasar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Efektifkah pemberian cairan infus hangat terhadap kejadian hipotermi selama pembedahan pada penderita Seksio Sesarea?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar