STRATEGI PELAKSANAAN
Masalah : Waham Kebesaran
Pertemuan : Ke 1 (satu)
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Klien tenang, kooperatif, duduk sendiri, nonton televisi sambil duduk di kursi
2. Diagnosa Keperawatan
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perubahan isi pikir : waham kebesaran
3. Tujuan khusus
Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
B. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP)
I. Fase Orientasi
“Hallo, selamat siang pak’
“ Bagaimana kabar bapak hari ini? Aduh bapak hari ini tampak segar sekali? Sudah makan pagi apa belum? Menunya masih ingat apa tadi ?”
“ Kenalkan, nama saya wayan Darsana, biasa dipanggil wayan”. Nama bapak siapa?, suka dipanggil siapa? O…nama bapak suparmin, suka dipanggil pak parmin ya, baiklah.”
“Saya mahasiswa Keperawatan wira medika pak, Saya bertugas di sini selama 14 hari, saya akan merawat ibu selama saya bertugas di sini, tiap hari kita akan ketemu dan bincang-bincang”
“ Hari ini kita akan bincang-bincang untuk lebih saling mengenal, waktunya ± 15 menit cukup tidak pak?”. Dimana kita bicara? Bagaimana kalau sambil duduk di teras?”
“Di depan sana pak, ok baiklah kalau begitu.”
II. Fase Kerja
“Bagaimana perasaan dan keadaan pak hari ini?”
“Apakah ada yang dikeluhkan atau ditanyakan sebelum kita berbincang-bincang?”
“ Pak nggak usah kawatir karena kita berada di tempat yang aman. Saya dan perawat-perawat di sini akan selalu menjadi teman dan membantu Pak parmin”
“Pak parmin, bisa saya tahu sekarang identitas Bapak, baik alamat, keluarga, hobi atau mungkin keinginan sekarang?”
“Wah terima kasih Pak parmin karena sudah mau berkenalan dengan saya dan sekarang saya akan memberitahu identitas saya, Pak parmin mau kan mendengarkan?”
“Nah karena kita sudah saling mengenal maka sekarang kita berteman, jadi Pak Parmin tidak perlu sungkan lagi bila ada masalah bisa diceritakan pada saya, Pak parmin mau kan berteman dengan saya?”
III. Fase terminasi
“Sementara itu dulu yang kita bicarakan ya Pak?”
“Coba bisa diulang tadi, nama saya siapa?”
“ Wah, bagus sekali Pak bisa ingat nama saya.”
“Saya sangat senang bisa berkenalan dengan Pak parmin dan Pak Parmin sudah bisa mengungkapkan perasaan dengan baik dan mau berkenalan dan berteman dengan saya.”
“Besok kita ketemu lagi ya? Dan bincang-bincang lagi tentang cara mempraktekkan membina hubungan dengan orang lain dan membicarakan kemampuan yang bapak miliki , jam 10.30 WIB, tempatnya disini lagi, bagaimana bapa parmin setuju?”
“Baiklah, saya minta pamit dulu, terimakasih, sampai bertemu besok ya?”
STRATEGI PELAKSANAAN
Masalah : Waham Kebesaran
Pertemuan : Ke 2 (Dua)
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Klien tenang, kooperatif, duduk sendiri, sambil duduk di meja makan, tatapan mata kosong,
2. Diagnosa Keperawatan
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perubahan isi pikir : waham kebesaran
3. Tujuan khusus
Klien dapat membina hubungan saling percaya dan
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
B. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP)
I. Fase Orientasi
“Selamat pagi pak parmin?”
“Apa kabar? Bagaimana keadaan hari ini? Semalam bisa tidur tidak? Tadi makan pagi dengan lauk dan sayur apa?”
“Kemarin kita sudah berkenalan, masih ingat kan nama saya? Belum lupa kan?”
“ Bagus sekali pak parmin mampu mengingat nama saya.”
“ Melanjutkan pertemuan kita kemarin dan sesuai dengan kesepatan kita, hari ini kita akan mencoba mempraktekkan kembali dalam membina hubungan dengan orang lain dengan cara berkenalan baik dengan sesama klien maupun dengan perawat, dan kita juga akan membicarakan tentang kemampuan yang dimiliki pak parmin. Waktunya 30 menit saja, kita ngobrol di kursi ruang depan bagaimana pak?”
II. Fase Kerja
“Penampilan pak parmin hari ini bagus, rapi dan bersih, bagus sekali pak dipertahankan ya….?”
“ Sudah mandi ya pak tadi, bapak kelihatan segar sekali.”
“ pak parmin seperti yang sudah saya sampaikan tadi, saya ingin melihat pak berkenalan dengan teman (klien) dan perawat, coba sekarang bapak praktikkan”
“Bagus sekali, ternyata bapak mampu berkenalan. Bagaimana senang kan punya banyak teman.”
” pak parmin sudah tahu nama teman-temannya yang berada di sini ya, coba disebutkan kembali.” bagus pak, dipertahankan ya!”
“Sekarang pak parmin berkenalan dengan perawat juga ya…ayo ini ada pak perawat, silahkan berkenalan juga.” “Wah hebat pak parmin berani berkenalan dengan pak perawat yang baru di lihat. Bagaimana senang kan mempunyai kenalan banyak. Nah, coba sebutkan dengan siapa saja tadi yang sudah diajak berkenalan. Hebat sekali pak, daya ingatannya bagus sekali.”
“pak parmin sekarang kita akan membicarakan kemampuan yang dimiliki oleh bapak. Kalau saya lihat selama di ruangan ini pak parmin jarang beraktivitas, Jadi saya ingin tahu kemampuan atau ketrampilan yang dimiliki oleh bapak apa saja? Misalnya menyapu, mengepel, merapikan tempat tidur sendiri dll. Wah hebat sekali. Selain itu apa lagi pak. Bagus sekali ternyata bapak pandai mengukir ya. bapak kalau di rumah pekerjaannya mengukir ya? Tapi apakah ibu bisa mengerjakan apa yang disebutkan tadi?”
“Kalau dirumah aktivitas sehari-hari apa yang pak kerjakan? Oh ya, di sini pak parmin bisa juga melakukan, bisa dianggap rumah sendiri jadi harus dipertahankan kemampuan yang dimiliki. Terus pak parmin bisa juga menonton TV, melakukan aktifitas seperti di rumah ataupun merawat diri seperti mandi, gosok gigi, keramas dll.”
III. Fase Terminasi
“Sementara cukup di sini dulu ya, pembicaraan kita”
“Saya senang bapak parmin mau mengobrol dengan saya. Tadi pak parmin sudah bagus bisa berkenalan dan mengungkapkan kemampuan apa yang dimiliki dengan baik, pertahankan ya….”
“Besok kita akan bertemu lagi, berbincang lagi tentang kebutuhan-kebutuhan pak parmin yang belum terpenuhi, bapak setuju?” Bagaimana kalau jam 10.00 lagi. Disini lagi ya bu?”
“Baik, saya permisi dulu, bapak bisa melanjutkan kegiatan yang lainnya terimakasih ya atas waktunya?”
02 Agustus 2009
KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Teori komunikasi sangat sesuai dalam praktek keperawatan (Stuart dan Sundeen, 1987; 111), karena:
1. Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan terapeutik. Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran.
2. Maksud komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti keberhasilan intervensi keperawatan tergantung pada komunikasi karena proses keperawatan ditujukan untuk merubah perilaku dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
3. Komunikasi adalah hubungan. Hubungan perawat-klien yang terapeutik tidak mungkin dicapai tanpa komunikasi.
Dalam membina hubungan terapeutik dengan klien, perawat perlu mengetahui proses komunikasi dan keterampilan berkomunikasi dalam membantu klien memecahkan masalahnya.
Elemen yang harus ada pada proses komunikasi adalah pengirim pesan, penerima pesan, pesan, media dan umpan balik. Semua perilaku individu (pengirim dan penerima) adalah komunikasi yang akan memberikan efek pada perilaku. Pesan yang disampaikan dapat verbal maupun non verbal. Bermain merupakan cara berkomunikasi dan berhubungan yang baik dengan klien anak.
Perawat dapat menyampaikan atau mengkaji pesan secara non verbal antara lain:
1. Vokal: nada, kualitas, keras atau lembut, kecepatan yang semuanya menggambarkan suasana emosi.
2. Gerakan: refleks, postur, ekspresi muka, gerakan yang berulang atau gerakan-gerakan yang lain. Khusus gerakan dan ekspresi muka dapat diartikan sebagai suasana hati.
3. Jarak (space): jarak dalam berkomunikasi dengan orang lain menggambarkan tingkat keintiman hubungan.
4. Sentuhan: dikatakan sangat penting tetapi perlu mempertimbangkan aspek budaya dan kebiasaan setempat.
SIKAP PERAWAT DALAM BERKOMUNIKASI
Perawat hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu berkomunikasi dengan klien. Perawat tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap atau penampilan dalam berkomunikasi.
KEHADIRAN DIRI SECARA FISIK
Egan (1975, dikutip oleh Kozier dan Erb, 1983; 372) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik, yaitu:
1. Berhadapan. Arti dari posisi ini adalah ”saya siap untuk anda”.
2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar sesuatu.
4. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
5. Tetap relaks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon terhadap klien.
Sikap fisik dapat pula disebut sebagai perilaku non verbal yang perlu dipelajari pada setiap tindakan keperawatan. Beberapa perilaku non verbal yang dikemukakan oleh Clunn (1991; 168-173) yang perlu diketahui dalam merawat anak adalah:
1. Gerakan mata.
Gerakan mata dapat dipakai untuk memberikan perhatian. Kontak mata berkembang pada anak sejak lahir. Kontak mata antara ibu dan bayi merupakan cara interaksi dan kontak sosial. Perawat perlu mengetahui perkembangan kontak mata, misalnya usia 2 bulan bayi tersenyum jika kontak mata dengan ibu. Bayi dan anak memperlihatkan reaksi yang tinggi terhadap rangsangan visual (Mahler, dikutip oleh Clunn, 1991; 171).
Kontak mata dan ekspresi muka adalah alat pertama yang dipakai untuk pendidikan dan sosialisasi. Anak sangat mengerti akan ekspresi ibu yang marah, sedih atau tidak setuju.
2. Ekspresi muka
Ekspresi muka umumnya dipakai sebagai bahasa non verbal namun banyak dipengaruhi oleh budaya. Orang yang tidak percaya pasti akan tampak dari ekspresi muka tanpa ia sadari.
3. Sentuhan
Sentuhan merupakan cara interaksi yang mendasar. Konsep diri didasari oleh asuhan ibu yang memperlihatkan perasaan menerima dan mengakui. Ikatan kasih sayang dibentuk oleh pandangan, suara dan sentuhan yang menjadi elemen penting dalam pembentukan ego, perpisahan dan kemandirian (Rubin, dikutip oleh Clunn, 1991, 173).
Sentuhan sangat penting bagi anak sebagai alat komunikasi dan memperlihatkan kehangatan, kasih sayang yang pada kemudian hari (dewasa) mengembangkan hal yang sama baginya.
KEHADIRAN DIRI SECARA PSIKOLOGIS
Kehadiran diri secara psikologis dapat dibagi dalam 2 dimensi yanitu dimensi respon dan dimensi tindakan (Truax, Carkhoff dan Benerson, dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 126).
Dimensi Respon
Dimensi respon terdiri dari respon perawat yang ikhlas, menghargai, empati dan konkrit. Dimensi respon sangat penting pada awal berhubungan dengan klien untuk membina hubungan saling percaya dan komunikasi yang terbuka. Respon ini harus terus dipertahankan sampai pada akhir hubungan.
1. Keikhlasan
Perawat menyatakan melalui keterbukaan, kejujuran, ketulusan dan berperan aktif dalam berhubungan demgan klien. Perawat berespon dengan tulus, tidak berpura-pura, mengekspresikan perasaan yang sebenarnya dan spontan.
2. Menghargai
Perawat menerima klien apa adanya. Sikap perawat harus tidak menghakimi, tidak mengkritik, tidak mengejek dan tidak menghina. Rasa menghargai dapat dikomunikasikan melalui: duduk diam bersama klien yang menangis, minta maaf atas hal yang tidak disukai klien dan menerima permintaan klien untuk tidak menanyakan pengalaman tertentu.
3. Empati
Empati merupakan kemampuan masuk dalam kehidupan klien agar dapat merasakan pikiran dan perasaannya. Perawat memandang melalui pandangan klien, merasakan melalui perasaan klien dan kemudian mengidentifikasi masalah klien serta membantu klien mengatasi masalah tersebut. Melalui penelitian, Mansfield (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 129) mengidentifikasi perilaku verbal dan non verbal yang menunjukkan tingkat empati yang tinggi sebagai berikut:
• Memperkenalkan diri kepada klien.
• Kepala dan badan membungkuk ke arah klien.
• Respon verbal terhadap pendapat klien, khususnya pada kekuatan dan sumber daya klien.
• Kontak mata dan berespon pada tanda non verbal klien misalnya nada suara, gelisah, ekspresi wajah.
• Tunjukkan perhatian, minat, kehangatan, melalui ekspresi wajah.
• Nada suara konsisten dengan ekspresi wajah dan respon verbal.
4. Konkrit
Perawat menggunakan terminologi yang spesifik, bukan yang abstrak. Hal ini perlu untuk menghindarkan keraguan dan ketidakjelasan. Ada 3 kegunaannya, yaitu:
• Mempertahankan respon perawat terhadap perasaan klien
• Memberi penjelasan yang akurat oleh perawat
• Mendorong klien memikirkan masalah yang spesifik.
Dimensi Tindakan
Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon. Tindakan yang dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan pengertian. Perawat senior sering segera masuk dimensi tindakan tanpa membina hubungan yang adekuat sesuai dengan dimensi respon. Dimensi respon membawa klien pada tingkat penilikan diri yang tinggi dan kemudian dilanjutkan dengan dimensi tindakan.
Dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, emotional chatarsis dan bermain peran (Stuart dan Sundeen, 1987; 131)
1. Konfrontasi.
Konfrontasi merupakan ekspresi perasaan perawat tentang perilaku klien ynag tidak sesuai. Carkhoff (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 131), mengidentifikasi 3 katagori konfrontasi, yaitu:
a. Ketidaksesuaian antara konsep diri klien (ekspresi klien tentang dirinya) dan ideal diri klien (keinginan klien)
b. Ketidaksesuaian antara ekspresi non verbal dan perilaku klien.
c. Ketidaksesuaian antara pengalaman klien dan pengalaman perawat.
Konfrontasi berguna untuk meningkatkan kesadaran klien terhadap kesesuaian perasaan, sikap, kepercayaan dan perilaku. Konfrontasi dilakukan secara asertif, bukan marah atau agresif.
Sebelum melakukan konfrontasi perawat perlu mengkaji antara lain: tingkat hubungan saling percaya, waktu yang tepat, tingkat kecemasan klien dan kekuatan koping klien. Konfrontasi sangat diperlukan pada klien yang telah mempunyai kesadaran diri tetapi perilakunya belum berubah.
2. Kesegeraan
Kesegeraan berfokus pada interaksi dan hubungan perawat-klien saat ini. Perawat sensitif terhadap perasaan klien dan berkeinginan membantu dengan segera.
3. Keterbukaan
Perawat harus terbuka memberikan informasi tentang dirinya, ideal diri, perasaan, sikap dan nilai yang dianutnya. Perawat membuka diri tentang pengalaman yang berguna untuk terapi klien. Tukar pengalaman ini memberi keuntungan pada klien untuk mendukung kerjasama dan memberi sokongan.
Melalui penelitian ditemukan bahwa peningkatan keterbukaan antara perawat-klien dapat menurunkan tingkat kecemasan perawat-klien (Johnson, dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 134).
4. Emotional Chatarsis
Emotional chatarsis terjadi jika klien diminta bicara tentang hal yang sangat mengganggu dirinya. Ketakutan, perasaan dan pengalaman dibuka dan menjadi topik diskusi antara perawat-klien.
Perawat harus dapat mengkaji kesiapan klien mendiskusikan masalahnya. Jika klien mengalami kesukaran mengekspresikan perasaannya, perawat dapat membantu dengan mengekspresikan perasaannya jika berada pada situasi klien.
5. Bermain Peran
Bermain peran adalah melakukan peran pada situasi tertentu. Hal ini berguna untuk meningkatkan kesadaran dalam berhubungan dan kemampuan melihat situasi dari pandangan orang lain. Bermain peran menjembatani anatara pikiran serta perilaku dan klien akan merasa bebas mempraktekkan perilaku baru pada lingkungan yang aman.
Ringkasan dimensi respon dan tindakan dapat dilihat pada Tabel 4. Perawat senantiasa harus mencoba berbagai teknik, cara dan sikap yang dapat meningkatkan efektivitas komunikasi dan hubungan perawat-klien.
Tabel 4. Respon dan Tindakan Terapeutik dalam Hubungan Perawat-Klien
Dimensi Karakteristik
Respon:
1. Ikhlas
2. Respek (Menghargai)
3. Empati
4. Konkrit
- Perawat terbuka, jujur, realistis, dapat dipercaya
- Menerima klien, mempercayai klien mempunyai kemampuan memecahkan masalah dengan bantuan
- Menghargai klien tanpa syarat
- Memandang klien melalui pandangan klien sendiri (internal)
- Peka terhadap perasaan klien saat ini
- Dapat mengidentifikasi masalah klien dan memberi alternatif pemecahan pada klien sesuai dengan ilmu dan pengalaman perawat tanpa menggangu integritas diri perawat
- Menggunakan terminologi yang spesifik bukan yang abstrak dalam mendiskusikan perasaan, pengalaman dan perilaku
Tindakan:
1. Konfrontasi
2. Segera
3. Keterbukaan
4. Emotional chatarsis
5. Bermain peran
- Perawat mengekspresikan kesenjangan perilaku klien untuk meningkatkan kesadaran dirinya.
- Memberi respon segera pada hal yang terjadi sekarang di tempat ini.
- Terjadi pada waktu interaksi dan dipakai untuk mempelajari fungsi klien dalam hubungan interpersonal
- Perawat mengemukakan informasi tentang dirinya, ide, perasaan, nilai dan sikapnya untuk mendukung kerjasama dengan klien
- Mendorong klien bicara hal yang mencemaskan, perasaan takut, pengalaman dan kecemasan didiskusikan secara terbuka
- Bermain peran tentang situasi tertentu untuk meningkatkan kesadaran dalam hubungan interaksi dan kemampuan melihat situasi dari pandangan yang berbeda
- Klien belajar perilaku baru pada situasi yang aman.
Sumber: Stuart dan Sundeen, 1987; 13.
KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN KLIEN ANAK
Cara yang terapeutik dalam berkomunikasi dengan anak adalah sebagai berikut:
1. Nada suara
Bicara lambat dan jika tidak dijawab harus diulang lebih jelas dengan pengarahan yang sederhana. Hindari sikap mendesak untuk dijawab dengan mengatakan “jawab dong”.
2. Mengalihkan aktivitas
Kegiatan anak yang berpindah-pindah dapat meningkatkan rasa cemas terapis dan mengartikannya sebagai tanda hiperaktif. Anak lebih tertarik pada aktivitas yang disukai sehingga perlu dibuat jadual yang bergantian antara aktivitas yang disukai dan aktivitas terapi yang diprogramkan.
3. Jarak interaksi
Perawat yang mengobservasi tindakan non verbal dan sikap tubuh anak harus mempertahankan jarak yang aman dalam berinteraksi.
4. Marah
Perawat perlu mempelajari tanda kontrol perilaku yang rendah pada anak untuk mencegah temper tantrum. Perawat menghindari bicara yang keras dan otoriter serta mengurangi kontak mata jika respon anak meningkat. Jika anak mulai dapat mengontrol perilaku maka kontak mata dimulai kembali namun sentuhan ditunda dahulu.
5. Kesadaran diri
Perawat harus menghindari konfrontasi secara langsung, duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Meja tidak diletakkan antara perawat dan anak. Perawat secara non verbal selalu memberi dorongan, penerimaan dan persetujuan jika diperlukan.
6. Sentuhan
Jangan sentuh anak tanpa izin dari anak. Salaman dengan anak merupakan cara untuk menghilangkan stres dan cemas khususnya pada anak laki-laki.
TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Dalam menanggapi pesan yang disampaikan klien, perawat dapat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1987; 124):
1. Mendengar (Listening)
Merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk bicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif.
2. Pertanyaan Terbuka (Broad Opening)
Memberi kesempatan untuk memilih, contoh: apakah yang sedang saudara pikirkan?, apa yang akan kita bicarakan hari ini?. Beri dorongan dengan cara mendengar atau mengatakan, saya mengerti atau oohh .…
3. Mengulang (Restarting)
Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien.
4. Klarifikasi
Dilakukan bila perawat ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau klien berhenti karena malu mengemukakan informasi, informasi yang diperoleh tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah. Contoh: dapatkah anda menjelaskan kembali tentang …? Gunanya untuk kejelasan dan kesamaan ide, perasaan dan persepsi perawat-klien.
5. Refleksi
a. Refleksi isi, memvalidasi apa yang didengar. Klarifikasi ide yang diekspresikan klien dengan pengertian perawat.
b. Refleksi perasaan, memberi respon pada perasaan klien terhadap isi pembicaraan agar klien mengetahui dan menerima perasaannya.
Gunanya untuk:
a. mengetahui dan menerima ide dan perasaan
b. mengoreksi
c. memberi keterangan lebih jelas.
Kerugiannya adalah:
a. mengulang terlalu sering tema yang sama
b. dapat menimbulkan marah, iritasi dan frustasi.
6. Memfokuskan
Membantu klien bicara pada topik yang telah dipilih dan yang penting serta menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yaitu lebih spesifik, lebih jelas dan berfokus pada realitas.
Contoh:
Klien : Wanita sering jadi bulan-bulanan.
Perawat : Coba ceritakan bagaimana perasaan anda sebagai wanita.
7. Membagi Persepsi
Meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan dan pikirkan. Dengan cara ini perawat dapat meminta umpan balik dan memberi informasi.
Contoh: Anda tertawa, tetapi saya rasa anda marah kepada saya.
8. Identifikasi Tema
Mengidentifikasi latar belakang masalah yang dialami klien yang muncul selama percakapan. Gunanya untuk meningkatkan pengertian dan mengeksplorasi masalah yang penting.
Misalnya: Saya lihat dari semua keterangan yang anda jelaskan, anda telah disakiti. Apakah ini latar belakang masalahnya?
9. Diam (Silence)
Cara yang sukar, biasanya dilakukan setelah mengajukan pertanyaan. Tujuannya untuk memberi kesempatan berpikir dan memotivasi klien untuk bicara. Pada klien yang menarik diri, teknik diam berarti perawat menerima klien.
10. Informing
Memberi informasi dan fakta untuk pendidikan kesehatan.
11. Saran
Memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan.
Perawat perlu menganalisa teknik komunikasi yang tepat setiapkali ia berhubungan dengan klien. Melalui komunikasi verbal dapat disampaikan informasi yang akurat tetapi aspek emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan seluruhnya secara verbal.
Dengan mengerti proses komunikasi dan menguasai berbagai keterampilan berkomunikasi, diharapkan perawat dapat memakai dirinya secara utuh (verbal dan non verbal) untuk memberi efek terapeutik kepada klien.
KESIMPULAN
Hubungan perawat-klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman perbaikan emosi klien. Dalam hal ini perawat memakai dirinya secara terpeutik dengan menggunakan berbagai teknik komunikasi agar perilaku klien berubah ke arah yang positif seoptimal mungkin.
Agar perawat dapat berperan efektif dan terapeutik, ia harus menganalisa dirinya: kesadaran diri, klarifikasi nilai, persaan dan mampu menjadi model yang bertanggung jawab. Seluruh perilaku dan pesan yang disampaikan perawat (verbal atau non verbal) hendaknya bertujuan terapeutik untuk klien.
Analisa hubungan intim yang terapeutik perlu dilakukan untuk evaluasi perkembangan hubungan dan menentukan teknik dan keterampilan yang tepat dalam setiap tahap untuk mengatasi masalah klien dengan prinsip di sini dan saat ini (here and now).
Rasa aman merupakan hal utama yang harus diberikan pada anak agar anak bebas mengemukakan perasaannya tanpa kritik dan hukuman.
pengaruh relaksasi pernafasan terhadap penurunan tingkat kecemasan pada klien asma
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu faktor pencetus serangan asma adalah kondisi psikologis klien yang tidak stabil termasuk di dalamnya faktor emosi. Hal ini sering diabaikan oleh klien sehingga frekwensi kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada keadaan yang lebih buruk.
Bagian otak yang bertanggung jawab terhadap emosi adalah bagian yang disebut sistem limbik. Adapun struktur otak yang berperan adalah hippocampus, cingulate gyrus, rhinal cortex, amygdala, dan orbitofrontal cortex. Disanalah emosi diatur. Mulai dari menerima informasi tentang situasi, memunculkan adanya perasaan tertentu, sampai membangkitkan reaksi fisiologis. Jaak Pankseep, seorang peneliti emosi terkemuka, mengemukakan adanya aliran perintah emosi di dalam otak. Aliran perintah emosi itu memiliki 2 macam cara yang simultan., yakni komunikasi pada beberapa struktur otak dan melakukan fungsi merespon situasi yang menimbulkan tantangan (terdiri dari 7 hal, yakni yang bisa membangkitkan harapan, kemarahan, ketakutan, dorongan seksual, perlindungan, kepanikan atau keterpisahan, dan permainan atau dominasi). Keduanya menyampaikan informasi dari organ pengindra (penglihat, pendengar, pencium, perasa, peraba), association cortex, dan dari memori ke sistem limbik dan bagian lain dari sistem syaraf. Sebagai hasilnya, individu akan berperilaku secara integral dan adaptif. Jika marah maka akan menunjukkan ekspresi marah. Tidak akan terjadi saat marah malah menunjukkan ekspresi bahagia.
Emosi dapat sebagai faktor pencetus perubahan pada paru yang memungkinkan terjadinya asma. Kecemasan yang berlanghsung terus menerus tanpa adanya suatu tindakan akan mengakibatkan peningkatan kecemasan ke level yang lebih parah dan meningkatkan resiko cedera, fungsi fisiologi abnormal (Carol Taylor, 1997 : 783). Respon yang ditimbulkan oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh syaraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan pelepasan epineprin, adanya peningkatan epineprin mengakibatkan denyut jantung cepat, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan pada arteri meningkat. Kecemasan juga berdampak negatif pada fisiologi tubuh manusia antara lain dampak pada kardiovaskuler, sistem respirasi, gastro intestinal, neuromuscular, traktus urinarius, kulit, dampak pada perilaku, kognitif dan afektif. Dampak yang paling memperberat asma adalah dampak terhadap sistem respirasi dan kardiovaskuler yang dapat menyebabkan kesulitan bernafas, nafas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada dan peningkatan tekanan darah (Stuart dan Sundeen, 1995 : 331).
Dampak lain yang lain tak kalah pentingnya adalah penurunan sistem imun dan respon inflamasi. Di mana kecemasan akan menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah putih yang lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan proses inflamasi di bronkus sehingga keadaan asma akan berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi lebih sering karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap proses inflamasi.
Mengingat untuk mencapai sehat secara dinamis bagi penderita asma bronkiale perlu peningkatan respon imun maka upaya peningkatan respon ketahanan tubuh pada penderita tersebut sangat diperlukan. Oleh karena itu selain indikator peningkatan ventilasi paru-paru guna menjaga homeostasis perlu adanya indikator tambahan yaitu sistem ilmunologik. Telah diketahui bahwa proses pembentukan pola respon ketahanan tubuh pada penderita asma bronkiale, tidak terjadi sebagai akibat imunogen tetapi juga dapat terjadi melalui mediator kimia terkait. Mediator tersebut berupa sitokin (Baratawidjaja, 1996). Atas dasar peran mediator sitokin dalam respon ketahanan tubuh tersebut, maka pendekatan penelitian ini menggunakan konsep psikoneuroimunologik (Ader, 1991 : Setyawan, 1996). Indikator ketahanan tubuh yang berkonsep Psikoneuroimunologi akan digunakan untuk pedoman penelitian dengan relaksasi latihan pernafasan
Salah satu upaya menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma adalah dengan latihan relaksasi pernafasan. Teknik relaksasi ini telah diketahui efektif menurunkan kecemasan untuk perawatan dan pencegahan gangguan pernafasan, hiperventilasi, nafas pendek (Martha Davis, 1995 : 28). Karena menurunkan ketegangan dan perubahan kesadaran (Stuart dan Sundeen : 347). Latihan relaksasi yang terprogram setiap hari memberi efek pada respon psikologis terhadap stress dan juga akan tertolong jika kecemasan muncul kembali (Barbara C. Long, 1996 : 144).
Dari uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian guna mengetahui seberapa jauh mana efektifitas relaksasi pernafasan terhadap penurunan tingkat kecemasan pada klien asma sehingga hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada sejawat perawat khususnya dalam memberi asuhan keperawatan pada klien asma yang rentan sekali terhadap stress.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
(1) Apakah relaksasi pernafasan dapat menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma ?
(2) Apakah relaksasi pernafasan dapat memperpendek masa serangan asma?
(3) Apakah relaksasi pernafasan dapat memperkecil frekwensi kekambuhan asma ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi :
1 Tujuan Umum
Mempelajari pengaruh relaksasi pernafasan terhadap penurunan tingkatkecemasan pada klien asma.
2 Tujuan Khusus
(1) Mempelajari efektifitas relaksasi pernafasan terhadap lamanya masa serangan.
(2) Mempelajari efektifitas relaksasi pernafasan terhadap penurunan frekwensi kekambuhan.
D. Manfaat
(1) Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang efektifitas relaksasi pernafasan terhadap penurunan kecemasan pada klien asma.
(2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengurangi kecemasan pada klien asma.
(3) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut.
(4) Memberi masukan kepada sejawat perawat tentang pentingnya menangani cemas pada klien asma sehingga klien bisa mendapatkan perawatan yang komprehensip.
E. Relevansi
Perawatan psikologis klien asma merupakan hal yang sangat penting, baik pada saat serangan ataupun tidak dalam serangan. Perawat dan klien harus berusaha bersama-sama mempertahankan kondisi psikologis klien dalam keadaan stabil sehingga klien tidak jatuh dalam keadaan distress (cemas), karena hal ini akan memperburuk kondisi klien. Pada saat serangan asma terjadi dan masa-masa kritis setelah serangan klien akan berada dalam kondisi kecemasan yang berat. Kondisi demikian harus segera mendapatkan perawatan yang baik untuk meminimalkan kecemasan. Salah satu upaya untuk menurunkan tingkat kecemasan pada klien asthma adalah dengan relaksasi pernafasan. Manfaat relaksasi pernafasan diantaranya adalah menurunkan ketegangan, mencegah gangguan pernafasan, klien akan merasa lebih nyaman sehingga akan mempercepat kesembuhan klien. Pentingnya pengelolaan cemas dengan relaksasi pernafasan ini akan menggugah dunia keperawatan untuk lebih memperhatikan betapa pentingnya kondisi psikologis klien yang sangnat besar pengaruhnya terhadap proses kesembuhan dan frekwensi kekambuhan. Dengan demikian dapat lebih meningkatkan pelayanan keperawatan secara komprehensif khususnya pada klien asma.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu faktor pencetus serangan asma adalah kondisi psikologis klien yang tidak stabil termasuk di dalamnya faktor emosi. Hal ini sering diabaikan oleh klien sehingga frekwensi kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada keadaan yang lebih buruk.
Bagian otak yang bertanggung jawab terhadap emosi adalah bagian yang disebut sistem limbik. Adapun struktur otak yang berperan adalah hippocampus, cingulate gyrus, rhinal cortex, amygdala, dan orbitofrontal cortex. Disanalah emosi diatur. Mulai dari menerima informasi tentang situasi, memunculkan adanya perasaan tertentu, sampai membangkitkan reaksi fisiologis. Jaak Pankseep, seorang peneliti emosi terkemuka, mengemukakan adanya aliran perintah emosi di dalam otak. Aliran perintah emosi itu memiliki 2 macam cara yang simultan., yakni komunikasi pada beberapa struktur otak dan melakukan fungsi merespon situasi yang menimbulkan tantangan (terdiri dari 7 hal, yakni yang bisa membangkitkan harapan, kemarahan, ketakutan, dorongan seksual, perlindungan, kepanikan atau keterpisahan, dan permainan atau dominasi). Keduanya menyampaikan informasi dari organ pengindra (penglihat, pendengar, pencium, perasa, peraba), association cortex, dan dari memori ke sistem limbik dan bagian lain dari sistem syaraf. Sebagai hasilnya, individu akan berperilaku secara integral dan adaptif. Jika marah maka akan menunjukkan ekspresi marah. Tidak akan terjadi saat marah malah menunjukkan ekspresi bahagia.
Emosi dapat sebagai faktor pencetus perubahan pada paru yang memungkinkan terjadinya asma. Kecemasan yang berlanghsung terus menerus tanpa adanya suatu tindakan akan mengakibatkan peningkatan kecemasan ke level yang lebih parah dan meningkatkan resiko cedera, fungsi fisiologi abnormal (Carol Taylor, 1997 : 783). Respon yang ditimbulkan oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh syaraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan pelepasan epineprin, adanya peningkatan epineprin mengakibatkan denyut jantung cepat, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan pada arteri meningkat. Kecemasan juga berdampak negatif pada fisiologi tubuh manusia antara lain dampak pada kardiovaskuler, sistem respirasi, gastro intestinal, neuromuscular, traktus urinarius, kulit, dampak pada perilaku, kognitif dan afektif. Dampak yang paling memperberat asma adalah dampak terhadap sistem respirasi dan kardiovaskuler yang dapat menyebabkan kesulitan bernafas, nafas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada dan peningkatan tekanan darah (Stuart dan Sundeen, 1995 : 331).
Dampak lain yang lain tak kalah pentingnya adalah penurunan sistem imun dan respon inflamasi. Di mana kecemasan akan menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah putih yang lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan proses inflamasi di bronkus sehingga keadaan asma akan berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi lebih sering karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap proses inflamasi.
Mengingat untuk mencapai sehat secara dinamis bagi penderita asma bronkiale perlu peningkatan respon imun maka upaya peningkatan respon ketahanan tubuh pada penderita tersebut sangat diperlukan. Oleh karena itu selain indikator peningkatan ventilasi paru-paru guna menjaga homeostasis perlu adanya indikator tambahan yaitu sistem ilmunologik. Telah diketahui bahwa proses pembentukan pola respon ketahanan tubuh pada penderita asma bronkiale, tidak terjadi sebagai akibat imunogen tetapi juga dapat terjadi melalui mediator kimia terkait. Mediator tersebut berupa sitokin (Baratawidjaja, 1996). Atas dasar peran mediator sitokin dalam respon ketahanan tubuh tersebut, maka pendekatan penelitian ini menggunakan konsep psikoneuroimunologik (Ader, 1991 : Setyawan, 1996). Indikator ketahanan tubuh yang berkonsep Psikoneuroimunologi akan digunakan untuk pedoman penelitian dengan relaksasi latihan pernafasan
Salah satu upaya menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma adalah dengan latihan relaksasi pernafasan. Teknik relaksasi ini telah diketahui efektif menurunkan kecemasan untuk perawatan dan pencegahan gangguan pernafasan, hiperventilasi, nafas pendek (Martha Davis, 1995 : 28). Karena menurunkan ketegangan dan perubahan kesadaran (Stuart dan Sundeen : 347). Latihan relaksasi yang terprogram setiap hari memberi efek pada respon psikologis terhadap stress dan juga akan tertolong jika kecemasan muncul kembali (Barbara C. Long, 1996 : 144).
Dari uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian guna mengetahui seberapa jauh mana efektifitas relaksasi pernafasan terhadap penurunan tingkat kecemasan pada klien asma sehingga hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada sejawat perawat khususnya dalam memberi asuhan keperawatan pada klien asma yang rentan sekali terhadap stress.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
(1) Apakah relaksasi pernafasan dapat menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma ?
(2) Apakah relaksasi pernafasan dapat memperpendek masa serangan asma?
(3) Apakah relaksasi pernafasan dapat memperkecil frekwensi kekambuhan asma ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi :
1 Tujuan Umum
Mempelajari pengaruh relaksasi pernafasan terhadap penurunan tingkatkecemasan pada klien asma.
2 Tujuan Khusus
(1) Mempelajari efektifitas relaksasi pernafasan terhadap lamanya masa serangan.
(2) Mempelajari efektifitas relaksasi pernafasan terhadap penurunan frekwensi kekambuhan.
D. Manfaat
(1) Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang efektifitas relaksasi pernafasan terhadap penurunan kecemasan pada klien asma.
(2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengurangi kecemasan pada klien asma.
(3) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut.
(4) Memberi masukan kepada sejawat perawat tentang pentingnya menangani cemas pada klien asma sehingga klien bisa mendapatkan perawatan yang komprehensip.
E. Relevansi
Perawatan psikologis klien asma merupakan hal yang sangat penting, baik pada saat serangan ataupun tidak dalam serangan. Perawat dan klien harus berusaha bersama-sama mempertahankan kondisi psikologis klien dalam keadaan stabil sehingga klien tidak jatuh dalam keadaan distress (cemas), karena hal ini akan memperburuk kondisi klien. Pada saat serangan asma terjadi dan masa-masa kritis setelah serangan klien akan berada dalam kondisi kecemasan yang berat. Kondisi demikian harus segera mendapatkan perawatan yang baik untuk meminimalkan kecemasan. Salah satu upaya untuk menurunkan tingkat kecemasan pada klien asthma adalah dengan relaksasi pernafasan. Manfaat relaksasi pernafasan diantaranya adalah menurunkan ketegangan, mencegah gangguan pernafasan, klien akan merasa lebih nyaman sehingga akan mempercepat kesembuhan klien. Pentingnya pengelolaan cemas dengan relaksasi pernafasan ini akan menggugah dunia keperawatan untuk lebih memperhatikan betapa pentingnya kondisi psikologis klien yang sangnat besar pengaruhnya terhadap proses kesembuhan dan frekwensi kekambuhan. Dengan demikian dapat lebih meningkatkan pelayanan keperawatan secara komprehensif khususnya pada klien asma.
SAP KATARAK
I. Latar Belakang
Mata merupakan panca Indera yang penting, tanpa mata hidup kita akan gelap gulita. Meskipun sangat penting, seringkali kita lupa untuk merawatnya secara baik. Hal ini justru akan merugikan kehidupan kita, karena dapat mengganggu tingkat produktivitas dan sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi suatu negara. Indonesia sebagai negara yang cukup memperhatikan segi kesehatan ternyata mengalami persoalan yang tidak ringan, terutama yang berhubungan dengan mata dimana jumlah penderita kebutaan di Indonesia sekitar tiga juta orang atau 1,5 persen dari penduduk. Bahkan di Asia menduduki urutan pertama atau urutan ke tiga sedunia, dalam setahun, ada sekitar 200.000 penderita kebutaan baru akibat katarak, Tiap menit ada 12 orang buta di dunia. Di Indonesia tiap menit ada satu orang menjadi buta. Sebagian besar berada di daerah miskin dengan kondisi sosial ekonomi lemah.
Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78 persen), glaucoma (0,20 persen), dan kelainan refraksi (0,14 persen) serta penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut. Besarnya jumlah penderita katarak di Indonesia saat ini berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut yang pada tahun 2000 diperkirakan berjumlah 15,3 juta (7,4 persen total penduduk). Jumlah itu akan bertambah besar di masa depan seiring peningkatan usia harapan hidup.
II. Manfaat
A. Meningkatkan pengetahuan sasaran mengenai penyakit katarak.
B. Sasaran mampu melaksanakan tindakan penanggulangan pada pasien dengan katarak.
III. Tujuan
A. Tujuan umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang katarak, diharapkan sasaran mampu memahami dan melaksanakan penanganan dari katarak
B. Tujuan khusus
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan selama 1 x 30 menit sasaran diharapkan mampu :
1. Sasaran mengetahui pengertian katarak.
2. Sasaran mengetahui penyebab katarak.
3. Sasaran mengetahui jenis katarak
4. sasaran mengetahui gejala katarak
5. sasaran mengetahui tentang pencegahan katarak
6. Sasaran mengetahui penanganan katarak
IV. Kegiatan belajar Mengajar
No Tahap Waktu Kegiatan penyuluh Kegiatan peserta
1 Pembukaan 5 menit a. Salam
b. Perkenalan
c. Menjelaskan tujuan dari pertemuan
d. Kontrak waktu
e. Apersepsi Menjawab salam
Mendengarkan
Menjawab
2 Isi materi 15 menit a. Menjelaskan pengertian katarak
b. Menyebutkan penyebab katarak
c. Menjelaskan jenis katarak
d. Menyebutkan tanda/gejala katarak
e. Menjelaskan pencegahan katarak
f. Menjelaskan penanganan katarak
g. Memberi kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk menanyakan hal hal yang belum dimengerti
h. Menjelaskan kembali tentang hal yang ditanyakan pasien dan keluarga Memperhatikan
penjelasan perawat
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Bertanya
Memperhatikan
3 penutup 10 menit a. Memberikan pernyataan lisan kepada pasien dan keluarga
b. Menyimpulkan kegiatan yang telah disampaikan.
c. Memberikan salam penutup Menjawab pertanyaan
Memperhatikan
Menjawab salam
V. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
VI. Media
Leaflet
VII. Evaluasi
1. Jenis evaluasi : pernyataan lisan
2. Waktu : akhir kegiatan
Soal Evaluasi
1. Jelaskan apa pengertian katarak?
2. Sebutkan apa salah satu penyebab katarak?
3. menyebutkan salah satu jenis katarak
4. sebutkan salah satu tanda/gejala katarak?
5. sebutkan salah satu pencegahan katarak
6. Bagaimana cara penanganan katarak?
VIII. Daftar Pustaka
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1, Jakarta , Media Aesculapius.
Sidarta Ilyas. 2001. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. FKUI
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa : Agung Waluyo. Jakarta. EGC
.
--------------(2009) Angka Kebutaan Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara. www.klinikmatanusantara.com.16/07/2009
------------(2009) Katarak www.geocities.com.16/07/2009
Lampiran Materi
1. Pengertian
Katarak merupakan penyakit mata yang dicirikan dengan adanya kabut pada lensa mata. Lensa mata normal transparan dan mengandung banyak air, sehingga cahaya dapat menembusnya dengan mudah. Lensa yang tidak bening tersebut tidak akan bisa meneruskan cahaya ke retina untuk diproses dan dikirim melalui saraf optik ke otak.
2. Penyebab
Penyebab penyakit katarak antara lain ;
a. Kekurangan gizi yang dapat mempercepat proses berkembangnya penyakit katarak.
b. Katarak umumnya merupakan proses penuaan.
c. Paparan sinar ultraviolet jangka panjang
d. Penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid
e. Penyakit tertentu seperti diabetes juga dapat mempercepat timbulnya katarak.
f. Katarak juga dapat terjadi pada saat lahir atau trauma pada mata
3. Jenis penyakit katarak
Secara umum terdapat 4 jenis katarak seperti berikut.
a. Katarak Congenital,
Merupakan katarak yang terjadi sejak bayi lahir dan berkembang pada tahun pertama dalam hidupnya. Jenis katarak ini sangat jarang terjadi.
b. Katarak traumatic
Merupakan katarak yang terjadi karena kecelakaan pada mata.
c. Katarak komplikata/sekunder
Katarak yang disebabkan oleh konsumsi obat seperti prednisone dan kortikosteroid, serta penderita diabetes. Katarak diderita 10 kali lebih umum oleh penderita diabetes daripada oleh populasi secara umum.
d. Katarak Senilis Katarak yang berkaitan dengan usia, merupakan jenis katarak yang paling umum. Berdasarkan lokasinya, terdapat 3 jenis katarak ini, yakni nuclear sclerosis, cortical, dan posterior subcapsular. Nuclear sclerosis merupakan perubahan lensa secara perlahan sehingga menjadi keras dan berwarna kekuningan. Pandangan jauh lebih dipengaruhi daripada pandangan dekat (pandangan baca), bahkan pandangan baca dapat menjadi lebih baik. Penderita juga mengalami kesulitan membedakan warna, terutama warna birru. Katarak jenis cortical terjadi bila serat-serat lensa menjadi keruh, dapat menyebabkan silau terutama bila menyetir pada malam hari. Posterior subcapsular merupakan terjadinya kekeruhan di sisi belakang lensa. Katarak ini menyebabkan silau, pandangan kabur pada kondisi cahaya terang, serta pandangan baca menurun.
4. Gejala dan gejala
Gejala umum gangguan katarak meliputi :
a. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
b. Peka terhadap sinar atau cahaya.
c. Dapat melihat dobel pada satu mata.
d. Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
e. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
5. Pencegahan
a. Pencegahan utama adalah mengontrol penyakit yang berhubungan dengan katarak dan menghindari faktor-faktor yang mempercepat terbentuknya katarak.
b. Menggunakan kaca mata hitam ketika berada di luar ruangan pada siang hari bisa mengurangi jumlah sinar ultraviolet yang masuk ke dalam mata.
c. Berhenti merokok bisa mengurangi resiko terjadinya katarak.
6. Penanganan
Satu-satunya pengobatan untuk katarak adalah pembedahan/operasi. Pembedahan dilakukan jika penderita tidak dapat melihat dengan baik dengan bantuan kaca mata untuk melakukan kegitannya sehari-hari. Beberapa penderita mungkin merasa penglihatannya lebih baik hanya dengan mengganti kaca matanya, menggunakan kaca mata bifokus yang lebih kuat atau menggunakan lensa pembesar. Jika katarak tidak mengganggu biasanya tidak perlu dilakukan pembedahan. Pembedahan katarak terdiri dari pengangkatan lensa dan menggantinya dengan lensa buatan.
Penderita yang telah menjalani pembedahan katarak biasanya akan mendapatkan lensa buatan sebagai pengganti lensa yang telah diangkat.
Lensa buatan ini merupakan lempengan plastik yang disebut lensa intraokuler, biasanya lensa intraokuler dimasukkan ke dalam kapsul lensa di dalam mata. Operasi katarak sering dilakukan dan biasanya aman. Setelah pembedahan jarang sekali terjadi infeksi atau perdarahan pada mata yang bisa menyebabkan gangguan penglihatan yang serius. Untuk mencegah infeksi, mengurangi peradangan dan mempercepat penyembuhan, selama beberapa minggu setelah pembedahan diberikan tetes mata atau salep. Untuk melindungi mata dari cedera, penderita sebaiknya menggunakan kaca mata atau pelindung mata yang terbuat dari logam sampai luka pembedahan benar-benar sembuh.
Mata merupakan panca Indera yang penting, tanpa mata hidup kita akan gelap gulita. Meskipun sangat penting, seringkali kita lupa untuk merawatnya secara baik. Hal ini justru akan merugikan kehidupan kita, karena dapat mengganggu tingkat produktivitas dan sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi suatu negara. Indonesia sebagai negara yang cukup memperhatikan segi kesehatan ternyata mengalami persoalan yang tidak ringan, terutama yang berhubungan dengan mata dimana jumlah penderita kebutaan di Indonesia sekitar tiga juta orang atau 1,5 persen dari penduduk. Bahkan di Asia menduduki urutan pertama atau urutan ke tiga sedunia, dalam setahun, ada sekitar 200.000 penderita kebutaan baru akibat katarak, Tiap menit ada 12 orang buta di dunia. Di Indonesia tiap menit ada satu orang menjadi buta. Sebagian besar berada di daerah miskin dengan kondisi sosial ekonomi lemah.
Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78 persen), glaucoma (0,20 persen), dan kelainan refraksi (0,14 persen) serta penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut. Besarnya jumlah penderita katarak di Indonesia saat ini berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut yang pada tahun 2000 diperkirakan berjumlah 15,3 juta (7,4 persen total penduduk). Jumlah itu akan bertambah besar di masa depan seiring peningkatan usia harapan hidup.
II. Manfaat
A. Meningkatkan pengetahuan sasaran mengenai penyakit katarak.
B. Sasaran mampu melaksanakan tindakan penanggulangan pada pasien dengan katarak.
III. Tujuan
A. Tujuan umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang katarak, diharapkan sasaran mampu memahami dan melaksanakan penanganan dari katarak
B. Tujuan khusus
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan selama 1 x 30 menit sasaran diharapkan mampu :
1. Sasaran mengetahui pengertian katarak.
2. Sasaran mengetahui penyebab katarak.
3. Sasaran mengetahui jenis katarak
4. sasaran mengetahui gejala katarak
5. sasaran mengetahui tentang pencegahan katarak
6. Sasaran mengetahui penanganan katarak
IV. Kegiatan belajar Mengajar
No Tahap Waktu Kegiatan penyuluh Kegiatan peserta
1 Pembukaan 5 menit a. Salam
b. Perkenalan
c. Menjelaskan tujuan dari pertemuan
d. Kontrak waktu
e. Apersepsi Menjawab salam
Mendengarkan
Menjawab
2 Isi materi 15 menit a. Menjelaskan pengertian katarak
b. Menyebutkan penyebab katarak
c. Menjelaskan jenis katarak
d. Menyebutkan tanda/gejala katarak
e. Menjelaskan pencegahan katarak
f. Menjelaskan penanganan katarak
g. Memberi kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk menanyakan hal hal yang belum dimengerti
h. Menjelaskan kembali tentang hal yang ditanyakan pasien dan keluarga Memperhatikan
penjelasan perawat
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Bertanya
Memperhatikan
3 penutup 10 menit a. Memberikan pernyataan lisan kepada pasien dan keluarga
b. Menyimpulkan kegiatan yang telah disampaikan.
c. Memberikan salam penutup Menjawab pertanyaan
Memperhatikan
Menjawab salam
V. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
VI. Media
Leaflet
VII. Evaluasi
1. Jenis evaluasi : pernyataan lisan
2. Waktu : akhir kegiatan
Soal Evaluasi
1. Jelaskan apa pengertian katarak?
2. Sebutkan apa salah satu penyebab katarak?
3. menyebutkan salah satu jenis katarak
4. sebutkan salah satu tanda/gejala katarak?
5. sebutkan salah satu pencegahan katarak
6. Bagaimana cara penanganan katarak?
VIII. Daftar Pustaka
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1, Jakarta , Media Aesculapius.
Sidarta Ilyas. 2001. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. FKUI
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa : Agung Waluyo. Jakarta. EGC
.
--------------(2009) Angka Kebutaan Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara. www.klinikmatanusantara.com.16/07/2009
------------(2009) Katarak www.geocities.com.16/07/2009
Lampiran Materi
1. Pengertian
Katarak merupakan penyakit mata yang dicirikan dengan adanya kabut pada lensa mata. Lensa mata normal transparan dan mengandung banyak air, sehingga cahaya dapat menembusnya dengan mudah. Lensa yang tidak bening tersebut tidak akan bisa meneruskan cahaya ke retina untuk diproses dan dikirim melalui saraf optik ke otak.
2. Penyebab
Penyebab penyakit katarak antara lain ;
a. Kekurangan gizi yang dapat mempercepat proses berkembangnya penyakit katarak.
b. Katarak umumnya merupakan proses penuaan.
c. Paparan sinar ultraviolet jangka panjang
d. Penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid
e. Penyakit tertentu seperti diabetes juga dapat mempercepat timbulnya katarak.
f. Katarak juga dapat terjadi pada saat lahir atau trauma pada mata
3. Jenis penyakit katarak
Secara umum terdapat 4 jenis katarak seperti berikut.
a. Katarak Congenital,
Merupakan katarak yang terjadi sejak bayi lahir dan berkembang pada tahun pertama dalam hidupnya. Jenis katarak ini sangat jarang terjadi.
b. Katarak traumatic
Merupakan katarak yang terjadi karena kecelakaan pada mata.
c. Katarak komplikata/sekunder
Katarak yang disebabkan oleh konsumsi obat seperti prednisone dan kortikosteroid, serta penderita diabetes. Katarak diderita 10 kali lebih umum oleh penderita diabetes daripada oleh populasi secara umum.
d. Katarak Senilis Katarak yang berkaitan dengan usia, merupakan jenis katarak yang paling umum. Berdasarkan lokasinya, terdapat 3 jenis katarak ini, yakni nuclear sclerosis, cortical, dan posterior subcapsular. Nuclear sclerosis merupakan perubahan lensa secara perlahan sehingga menjadi keras dan berwarna kekuningan. Pandangan jauh lebih dipengaruhi daripada pandangan dekat (pandangan baca), bahkan pandangan baca dapat menjadi lebih baik. Penderita juga mengalami kesulitan membedakan warna, terutama warna birru. Katarak jenis cortical terjadi bila serat-serat lensa menjadi keruh, dapat menyebabkan silau terutama bila menyetir pada malam hari. Posterior subcapsular merupakan terjadinya kekeruhan di sisi belakang lensa. Katarak ini menyebabkan silau, pandangan kabur pada kondisi cahaya terang, serta pandangan baca menurun.
4. Gejala dan gejala
Gejala umum gangguan katarak meliputi :
a. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
b. Peka terhadap sinar atau cahaya.
c. Dapat melihat dobel pada satu mata.
d. Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
e. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
5. Pencegahan
a. Pencegahan utama adalah mengontrol penyakit yang berhubungan dengan katarak dan menghindari faktor-faktor yang mempercepat terbentuknya katarak.
b. Menggunakan kaca mata hitam ketika berada di luar ruangan pada siang hari bisa mengurangi jumlah sinar ultraviolet yang masuk ke dalam mata.
c. Berhenti merokok bisa mengurangi resiko terjadinya katarak.
6. Penanganan
Satu-satunya pengobatan untuk katarak adalah pembedahan/operasi. Pembedahan dilakukan jika penderita tidak dapat melihat dengan baik dengan bantuan kaca mata untuk melakukan kegitannya sehari-hari. Beberapa penderita mungkin merasa penglihatannya lebih baik hanya dengan mengganti kaca matanya, menggunakan kaca mata bifokus yang lebih kuat atau menggunakan lensa pembesar. Jika katarak tidak mengganggu biasanya tidak perlu dilakukan pembedahan. Pembedahan katarak terdiri dari pengangkatan lensa dan menggantinya dengan lensa buatan.
Penderita yang telah menjalani pembedahan katarak biasanya akan mendapatkan lensa buatan sebagai pengganti lensa yang telah diangkat.
Lensa buatan ini merupakan lempengan plastik yang disebut lensa intraokuler, biasanya lensa intraokuler dimasukkan ke dalam kapsul lensa di dalam mata. Operasi katarak sering dilakukan dan biasanya aman. Setelah pembedahan jarang sekali terjadi infeksi atau perdarahan pada mata yang bisa menyebabkan gangguan penglihatan yang serius. Untuk mencegah infeksi, mengurangi peradangan dan mempercepat penyembuhan, selama beberapa minggu setelah pembedahan diberikan tetes mata atau salep. Untuk melindungi mata dari cedera, penderita sebaiknya menggunakan kaca mata atau pelindung mata yang terbuat dari logam sampai luka pembedahan benar-benar sembuh.
hubangan kecemasan dengan klasifikasi serangan asma
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makropag, neutrofil dan sel epitel, serta meningkatnya respon saluran napas (hipereaktivitas bronkus) terhadap berbagai stimulant.(Dahlan, 2009). Salah satu faktor pencetus serangan asma adalah kondisi psikologis klien yang tidak stabil termasuk di dalamnya cemas. (Sinclair, 1999). Kecemasan dapat mengakibatkan perubahan pada paru yang memungkinkan terjadinya asma. Respon yang ditimbulkan oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh syaraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan dilepasnya mediator-mediator kimia (Histamin, Eosinofil dll) sehingga menyebabkan timbulnya reaksi utama : kontriksi otot-otot polos saluran nafas yang besar atau kecil yang menimbulkan bronchospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah sempitnya saluran nafas lebih lanjut, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukosa. Bila terjadi bronchospasme maka lumen bronchus menjadi menyempit, O2 berkurang masuk dan CO2 tertahan sehingga tubuh kekurangan O2.(Taylor,1999).
Reaksi tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 adalah dengan menambah frekuensi pernafasan sehingga menimbulkan gejala sesak nafas, expirasi memanjang, batuk wheezing dan produksi sputum banyak. Bila keadaan spasme tidak di tanggulangi dan berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi yang akan dijumpai : retraksi otot sternal, penggunaan otot-otot abdomen, pernafasan cuping hidung, hypoksia berat dan jika hal ini berlanjut dapat mengakibatkan asidosis yang akan mengancam kematian.(anonym,2009). Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibanding dewasa. Cemas yang berhubungan dengan asma dilaporkan sebagai diagnosa yang sering di tangani (50% - 74%) (Carpenito, 2000). Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 300 juta orang di dunia mengidap asma, dan pada tahun 2005 sebanyak 225 ribu orang meninggal karena gagal nafas yang diakibatkan hipoksemia berat karena asma. Hasil penelitian pada tahun sama menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari 4,2% menjadi 5,4 % (Aditama, 2009). Sedangkan berdasarkan survei di berbagai rumah sakit, jumlah penderita asma di sejumlah propinsi seperti Bali (2,4%), Jawa Timur (7%), Jakarta untuk anak-anak (16,5%), Malang untuk anak-anak (22%), Jakarta Timur untuk dewasa (18,3%) dan Jakarta Pusat (7%) (Yunus, 2009).
Asma dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas selama serangan akut. Gangguan ini dapat menimbulkan hipoksemia dari yang ringan sampai berat. Derajat arterial hypoxemia (hipoksemia arteri) berhubungan dengan beratnya obstruksi jalan napas (National Institute of Health, 2004). Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal PaO285-100 mmHg), SaO2 95%. Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan Vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasiti transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002). Dampak lain yang lain tak kalah pentingnya adalah penurunan sistem imun dan respon inflamasi. Di mana kecemasan akan menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah putih yang lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan proses inflamasi di bronkus sehingga keadaan asma akan berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi lebih sering karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap proses inflamasi.
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi pada tiap penderita. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras serta kecemasan juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari. Pada serangan yang sangat berat, penderita hanya sanggup mengucapkan sedikit kata-kata tanpa berhenti untuk bernapas. Terkadang, bunyi saat bernapas berkurang karena banyaknya udara yang keluar-masuk paru-paru secara berat. Kekacauan, kelesuan, dan kulit yang membiru (cyanosis), merupakan tanda bahwa orang tersebut kekurangan oksigen, dan dibutuhkan pengobatan yang cepat. Biasanya, orang yang mendapat pengobatan lengkap, akan terbebas dari serangan asma yang berat. Beberapa kantung udara pada paru-paru (alveoli) bisa pecah, tetapi hal ini jarang terjadi, udara akan berkumpul dalam pleural space (ruangan di antara lapisan membran yang melindungi paru-paru) atau udara berkumpul di sekitar organ-organ yang terdapat dalam dada. Komplikasi ini akan memperpendek napas yang telah pendek. (Anonim, 2009).
Menurut Sundaru (2009) sebagaimana penyakit lain, penatalaksanaan asma didasarkan pada pemahaman mengenai pathogenesis penyakit. Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: penatalaksanaan asma saat serangan (reliever) dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller). Berdasarkan panduan asma internasional (GINA: Global Intiative for Asthma), tujuan penatalaksanaan asma yang berhasil adalah bagaimana penyakit asma tersebut bisa dikontrol. Menurut GINA yang telah diakui oleh WHO dan National Healt, Lung and Blood Institute-USA (NHBCLI), ada beberapa kriteria yang dimaksudkan dengan asma terkontrol. Idealnya tidak ada gejala-gejala kronis, jarang terjadi kekambuhan, tidak ada kunjungan ke gawat darurat, tidak ada keterbatasan aktivitas fisik, seperti latihan fisik dan olahraga, fungsi paru normal atau mendekati normal, minimal efek samping dari penggunaan obat dan idealnya tidak ada kebutuhan akan obat-obat yang digunakan kalau perlu. Dalam penatalaksanaan asma, yang penting adalah menghindari pencetus (trigger) dan memilih pengobatan yang tepat untuk mencegah munculnya gejala asma. Selain itu, menghilangkan gejala dengan cepat dan menghentikan serangan asma yang sedang terjadi. Faktor psikologis salah satunya cemas sering diabaikan oleh klien sehingga frekwensi kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada keadaan yang lebih buruk. Kondisi ini merupakan suatu rantai yang sulit ditentukan mana yang menjadi penyebab dan mana yang merupakan akibat. Keadaan cemas menyebabkan atau memperburuk serangan, serangan asthma dapat menyebabkan kecemasan besar pada klien asthma padahal kecemasan justru memperburuk keadaan menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma baik pada saat serangan ataupun saat tidak terjadi serangan sangat penting, sebab seperti yang telah dijelaskan di atas maka lingkaran mengenai penyebab dan akibat cemas harus diputus. Dengan demikian berarti memutus salah satu faktor pencetus asthma dan memutus keadaan cemas yang disebabkan oleh asthma. Sehingga dapat memperpendek masa serangan dan memperkecil frekwensi kekambuhan (Sinclair, 1999).
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makropag, neutrofil dan sel epitel, serta meningkatnya respon saluran napas (hipereaktivitas bronkus) terhadap berbagai stimulant.(Dahlan, 2009). Salah satu faktor pencetus serangan asma adalah kondisi psikologis klien yang tidak stabil termasuk di dalamnya cemas. (Sinclair, 1999). Kecemasan dapat mengakibatkan perubahan pada paru yang memungkinkan terjadinya asma. Respon yang ditimbulkan oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh syaraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan dilepasnya mediator-mediator kimia (Histamin, Eosinofil dll) sehingga menyebabkan timbulnya reaksi utama : kontriksi otot-otot polos saluran nafas yang besar atau kecil yang menimbulkan bronchospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah sempitnya saluran nafas lebih lanjut, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukosa. Bila terjadi bronchospasme maka lumen bronchus menjadi menyempit, O2 berkurang masuk dan CO2 tertahan sehingga tubuh kekurangan O2.(Taylor,1999).
Reaksi tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 adalah dengan menambah frekuensi pernafasan sehingga menimbulkan gejala sesak nafas, expirasi memanjang, batuk wheezing dan produksi sputum banyak. Bila keadaan spasme tidak di tanggulangi dan berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi yang akan dijumpai : retraksi otot sternal, penggunaan otot-otot abdomen, pernafasan cuping hidung, hypoksia berat dan jika hal ini berlanjut dapat mengakibatkan asidosis yang akan mengancam kematian.(anonym,2009). Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibanding dewasa. Cemas yang berhubungan dengan asma dilaporkan sebagai diagnosa yang sering di tangani (50% - 74%) (Carpenito, 2000). Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 300 juta orang di dunia mengidap asma, dan pada tahun 2005 sebanyak 225 ribu orang meninggal karena gagal nafas yang diakibatkan hipoksemia berat karena asma. Hasil penelitian pada tahun sama menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari 4,2% menjadi 5,4 % (Aditama, 2009). Sedangkan berdasarkan survei di berbagai rumah sakit, jumlah penderita asma di sejumlah propinsi seperti Bali (2,4%), Jawa Timur (7%), Jakarta untuk anak-anak (16,5%), Malang untuk anak-anak (22%), Jakarta Timur untuk dewasa (18,3%) dan Jakarta Pusat (7%) (Yunus, 2009).
Asma dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas selama serangan akut. Gangguan ini dapat menimbulkan hipoksemia dari yang ringan sampai berat. Derajat arterial hypoxemia (hipoksemia arteri) berhubungan dengan beratnya obstruksi jalan napas (National Institute of Health, 2004). Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal PaO285-100 mmHg), SaO2 95%. Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan Vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasiti transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002). Dampak lain yang lain tak kalah pentingnya adalah penurunan sistem imun dan respon inflamasi. Di mana kecemasan akan menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah putih yang lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan proses inflamasi di bronkus sehingga keadaan asma akan berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi lebih sering karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap proses inflamasi.
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi pada tiap penderita. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras serta kecemasan juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari. Pada serangan yang sangat berat, penderita hanya sanggup mengucapkan sedikit kata-kata tanpa berhenti untuk bernapas. Terkadang, bunyi saat bernapas berkurang karena banyaknya udara yang keluar-masuk paru-paru secara berat. Kekacauan, kelesuan, dan kulit yang membiru (cyanosis), merupakan tanda bahwa orang tersebut kekurangan oksigen, dan dibutuhkan pengobatan yang cepat. Biasanya, orang yang mendapat pengobatan lengkap, akan terbebas dari serangan asma yang berat. Beberapa kantung udara pada paru-paru (alveoli) bisa pecah, tetapi hal ini jarang terjadi, udara akan berkumpul dalam pleural space (ruangan di antara lapisan membran yang melindungi paru-paru) atau udara berkumpul di sekitar organ-organ yang terdapat dalam dada. Komplikasi ini akan memperpendek napas yang telah pendek. (Anonim, 2009).
Menurut Sundaru (2009) sebagaimana penyakit lain, penatalaksanaan asma didasarkan pada pemahaman mengenai pathogenesis penyakit. Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: penatalaksanaan asma saat serangan (reliever) dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller). Berdasarkan panduan asma internasional (GINA: Global Intiative for Asthma), tujuan penatalaksanaan asma yang berhasil adalah bagaimana penyakit asma tersebut bisa dikontrol. Menurut GINA yang telah diakui oleh WHO dan National Healt, Lung and Blood Institute-USA (NHBCLI), ada beberapa kriteria yang dimaksudkan dengan asma terkontrol. Idealnya tidak ada gejala-gejala kronis, jarang terjadi kekambuhan, tidak ada kunjungan ke gawat darurat, tidak ada keterbatasan aktivitas fisik, seperti latihan fisik dan olahraga, fungsi paru normal atau mendekati normal, minimal efek samping dari penggunaan obat dan idealnya tidak ada kebutuhan akan obat-obat yang digunakan kalau perlu. Dalam penatalaksanaan asma, yang penting adalah menghindari pencetus (trigger) dan memilih pengobatan yang tepat untuk mencegah munculnya gejala asma. Selain itu, menghilangkan gejala dengan cepat dan menghentikan serangan asma yang sedang terjadi. Faktor psikologis salah satunya cemas sering diabaikan oleh klien sehingga frekwensi kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada keadaan yang lebih buruk. Kondisi ini merupakan suatu rantai yang sulit ditentukan mana yang menjadi penyebab dan mana yang merupakan akibat. Keadaan cemas menyebabkan atau memperburuk serangan, serangan asthma dapat menyebabkan kecemasan besar pada klien asthma padahal kecemasan justru memperburuk keadaan menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma baik pada saat serangan ataupun saat tidak terjadi serangan sangat penting, sebab seperti yang telah dijelaskan di atas maka lingkaran mengenai penyebab dan akibat cemas harus diputus. Dengan demikian berarti memutus salah satu faktor pencetus asthma dan memutus keadaan cemas yang disebabkan oleh asthma. Sehingga dapat memperpendek masa serangan dan memperkecil frekwensi kekambuhan (Sinclair, 1999).
Bagaimanakah gambaran status gizi anak pra sekolah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan penurunan daya beli dan konsumsi pangan sehingga mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Laporan yang diterima dari beberapa daerah tingkat II dan Rumah Sakit menunjukkan telah terjadi perubahan kuantitas maupun kualitas pola konsumsi dan munculnya kasus Kwashiorkor dan Marasmus akibat kurang pangan yang memerlukan perawatan intensif di Puskesmas perawatan maupun Rumah Sakit (Dep Kes RI, 2008 ).
Masalah gizi masyarakat bukan menyangkut aspek kesehatan saja, melainkan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan sebagainya. Kasus gizi buruk pada anak balita yang meningkat akhir-akhir ini di Indonesia telah menyadarkan pemegang kebijakan untuk melihat lebih jelas bahwa anak balita sebagai sumber daya untuk masa depan ternyata mempunyai masalah yang sangat besar. Faktor penyebab kurang gizi, pertama makanan yang kurang dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Kedua, ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, ketiga faktor tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga (Dep Kes RI, 2008 ).
Anak balita sangat memerlukan asupan gizi yang lebih tinggi untuk setiap kilogram berat badannya. Karena kekurangan gizi pada balita akan menghambat pertumbuhan jasmaninya, secara fisik maupun perkembangan otak.
Data UNICEF pada 1999 menunjukkan, 10-12 juta (50%-69,7%) anak balita di Indonesia (4 juta di antaranya di bawah satu tahun) berstatus gizi sangat buruk hingga mengakibatkan kematian, malnutrisi berkelanjutan. Meningkatnya angka kematian anak setiap tahun diperkirakan sebanyak 7% anak balita Indonesia (sekitar 300.000 jiwa) meninggal. Hal ini berarti setiap 2 menit terjadi kematian pada satu anak balita dan 170.000 anak (60%) di antaranya akibat gizi buruk. Dari seluruh anak usia 4-24 bulan yang berjumlah 4,9 juta di Indonesia, sekitar seperempatnya sekarang berada dalam kondisi kurang gizi (Dep Kes RI, 2007 ). Di Propinsi Bali Akibat krisis status gizi balita secara umum meningkat ditunjukkan dari Kekurangan Energi Protein ( KEP ) pada kelompok usia 6 – 23 bulan meningkat dari 5,3 % pada tahun 1999 menjadi 7,1 % tahun 2001 (Bali Post, 2007).
Munculnya status gizi buruk akhir-akhir ini, selain disebabkan oleh berkurangnya konsumsi pangan sebagai dampak melemahnya daya beli masyarakat dan mutu gizi yang dimakan keluarga dan masyarakat, ternyata masih ditemukan penyebab lain yang cukup mengagetkan. Masih banyak warga masyarakat yang kurang memiliki pengetahuan tentang pentingnya pemeliharaan gizi sejak masa balita. Disamping itu, masyarakat belum sepenuhnya diberdayakan secara luas untuk ikut aktif terlibat dalam program pangan dan gizi (Dep Kes RI, 2008 ).
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan penurunan daya beli dan konsumsi pangan sehingga mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Laporan yang diterima dari beberapa daerah tingkat II dan Rumah Sakit menunjukkan telah terjadi perubahan kuantitas maupun kualitas pola konsumsi dan munculnya kasus Kwashiorkor dan Marasmus akibat kurang pangan yang memerlukan perawatan intensif di Puskesmas perawatan maupun Rumah Sakit (Dep Kes RI, 2008 ).
Masalah gizi masyarakat bukan menyangkut aspek kesehatan saja, melainkan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan sebagainya. Kasus gizi buruk pada anak balita yang meningkat akhir-akhir ini di Indonesia telah menyadarkan pemegang kebijakan untuk melihat lebih jelas bahwa anak balita sebagai sumber daya untuk masa depan ternyata mempunyai masalah yang sangat besar. Faktor penyebab kurang gizi, pertama makanan yang kurang dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Kedua, ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, ketiga faktor tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga (Dep Kes RI, 2008 ).
Anak balita sangat memerlukan asupan gizi yang lebih tinggi untuk setiap kilogram berat badannya. Karena kekurangan gizi pada balita akan menghambat pertumbuhan jasmaninya, secara fisik maupun perkembangan otak.
Data UNICEF pada 1999 menunjukkan, 10-12 juta (50%-69,7%) anak balita di Indonesia (4 juta di antaranya di bawah satu tahun) berstatus gizi sangat buruk hingga mengakibatkan kematian, malnutrisi berkelanjutan. Meningkatnya angka kematian anak setiap tahun diperkirakan sebanyak 7% anak balita Indonesia (sekitar 300.000 jiwa) meninggal. Hal ini berarti setiap 2 menit terjadi kematian pada satu anak balita dan 170.000 anak (60%) di antaranya akibat gizi buruk. Dari seluruh anak usia 4-24 bulan yang berjumlah 4,9 juta di Indonesia, sekitar seperempatnya sekarang berada dalam kondisi kurang gizi (Dep Kes RI, 2007 ). Di Propinsi Bali Akibat krisis status gizi balita secara umum meningkat ditunjukkan dari Kekurangan Energi Protein ( KEP ) pada kelompok usia 6 – 23 bulan meningkat dari 5,3 % pada tahun 1999 menjadi 7,1 % tahun 2001 (Bali Post, 2007).
Munculnya status gizi buruk akhir-akhir ini, selain disebabkan oleh berkurangnya konsumsi pangan sebagai dampak melemahnya daya beli masyarakat dan mutu gizi yang dimakan keluarga dan masyarakat, ternyata masih ditemukan penyebab lain yang cukup mengagetkan. Masih banyak warga masyarakat yang kurang memiliki pengetahuan tentang pentingnya pemeliharaan gizi sejak masa balita. Disamping itu, masyarakat belum sepenuhnya diberdayakan secara luas untuk ikut aktif terlibat dalam program pangan dan gizi (Dep Kes RI, 2008 ).