24 Maret 2009
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN WAHAM
1.Konsep Dasar Gangguan Isi Pikir : Waham
a.Pengertian
Sebelum memulai membahas suatu permasalahan terlebih dahulu kita harus mengetahui dan memahami pengertian dari suatu permasalahan atau kasus yang akan dibahas, dalam hal ini penulis membahas kasus gangguan isi pikir : waham curiga hal pertama yang harus dipahami dan dimengerti adalah mengenai apa pengertian dari waham tersebut. dalam hal ini penulis mengutif pengertian waham dari beberapa ahli.
Perubahan merupakan suatu keadaan dimana seseorang seseorang mengalami kelainan dalam mengekpresikan kognitif dan aktivitas (Townsend, 1998, hal 158) pada proses pikir yang normal mengandung ide-ide, simbol dan asosiasi yang terarah pada tujuan yang berorientasi pada kenyataan. Proses reformasi yang tidak berfungsi dengan baik akan mempengaruhi proses berpikir sehingga tampak pada proses komunikasi, dalam berkomunikasi mungkin inkoheren, tidak berhubungan, berkelit dan tidak logis, dikarenakan klien tidak mampu menyusun dan mengorganisasi pembicaraan yang logis.
Proses pikir dibedakan atas tiga jenis yaitu bentuk pikir, arus pikir dan isi pikir. Waham merupakan salah satu bentuk proses pikir terutama isi pikir. Waham merupakan suatu kenyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak dinyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas sosial (Stuart dan sundeen,1998 hal 98), sedangkan ( Townsend, 1998, hal 158) menyebutkan bahwa waham adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan ide-ide yang salah. Dalam (Maramis, 2004, hal 117) waham dikatakan sebagai kenyakinan tentang suatu isi pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensi dan latar belakang budaya, biarpun dibuktikan kemustahilanya.
Dari pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa waham sebagai salah satu perubahan proses khususnya isi pikir yang ditandai dengan kenyakinan terhadap ide-ide, pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan dan sulit diubah dengan logika atau bukti-bukti yang ada.
b.Respon neurobiologis
Adapun rentang respon manusia terhadap stress yang menguraikan tentang rentang respon adaptif sampai maladaptif menurut Stuart dan Sundeen (1998, hal 302) yaitu :
RENTANG RESPON NEUROBIOLOGIS
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Pikiran logis
Persepsi akurat
Emosi konsisten dengan pengalamannya
Prilaku sesuai
Hubungan sosial
Distorsi pikiran
Ilusi
Reaksi emosional berlebihan atau berkurang
Perilaku aneh/tidak biasa
Menarik diri
Gangguan proses pikir/delusi/waham
Halusinasi
Ketidakmampuan untuk mengalami emosi
Prilaku disorganisasi
Isolasi sosial
Dari rentang respon neurobiologik diatas digambarkan bahwa bila klien individu mendapat suatu stresor maka individu akan berespon menuju respon adaptif maupun respon maladaptif. Bila individu berespon adaptif cenderung dapat berpikir logis, persepsi akurat, emosi konsisiten dengan pengalaman, prilaku sesuai dan dapat berhubungan sosial. Bila individu berespon antara respon adaptif dan maladaptif maka akan menimbulkan pemikiran kadang-kadang menyimpang, ilusi, reaksi emosional berlebihan atau berkurang, perilaku ganjil dan menarik diri. Namun bila individu berspon maladaptif maka cenderung mengalami, kelainan pikiran/Delusi/waham, halusinasi, ketidakmampuan untuk mengalami emosi, ketidak teraturan dan isolasi sosial
c.Psikopatologi waham
)1Etiologi
Menurut Townsend (1998, hal 158) disebutkan hal-hal yang menyebabkan gangguan isi pikir : waham adalah ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain, panik, menekan rasa takut, stres yang berat yang mengancam ego yang lemah, kemungkinan faktor herediter.
Secara khusus faktor penyebab timbulnya waham diuraikan dalam beberapa teori yaitu :
)aFaktor predisposisi
Menurut Townsend (1998, hal 146-147) faktor predisposisi dari gangguan isi pikir : waham adalah :
()1Teori Biologi
Faktor-faktor genetik ikut mempengaruhi perkembangan psikologis. Bila suatu individu memiliki anggota keluarga dengan kelainan psikologis maka individu tersebut memiliki resiko tinggi untuk mengalami kelainan psikologis yang sama. Pada penelitian terbaru menyatakan bahwa skizoprenia mungkin pada kenyataanya merupakan suatu kecacatan sejak lahir yang terjadi pada hipokampus otak. Teori biokimia menyatakan bahwa peningkatan dopamin neurotranmiter mengakibatkan peningkatan aktivitas yang berlebihan dan gangguan dalam asosiasi.
()2Teori Psikososial
Individu yang tumbuh dalam keluarga yang penuh konflik dan ansietas yang tinggi akan mengalami hambatan dalam perkembangan psikologisnya sehingga tidak dapat melakukan tugas perkembangan secara optimal. Anak yang tumbuh dalam keluarga psikosis akan menerima pesan-pesan yang membingungkan yang menyebabkan ketidakmampuan anak mempercayai orang lain. Kelainan psikosis dapat pula merupakan hasil ego yang lemah, bila individu mendapat stres yang berat yang mengancam ego yang lemah maka individu cenderung akan berespon maladaptif.
)bFaktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sunden (1998, hal 310), faktor presipitasi dari gangguan isi pikir : waham adalah :
(1)Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses imformasi dan abnormalisasi yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk menanggapi rangsangan.
(2)Stres lingkungan
Secara biologis menetapakan ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi denga stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku.
(3)Pemicu gejala
Terdapat pada respon neurobiologis yang maladaptif yang berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap dan prilaku individu seperti gizi buruk, kurang tidur, infeksi, kelebihan rasa bermusuhan atau lingkungan yang penuh kritik, gangguan dalan berhubungan interpersonal, kesepian, kemiskinan, tekanan pekerjaan dan sebagainya.
)2Jenis-jenis waham
Adapun jenis-jenis waham menurut Stuart dan Sundeen (1998, hal 302)
a)Waham Kebesaran
Penderita merasa dirinya orang besar, mempunyai kekuatan, kepandaian atau kekayaan yang luar biasa , misalnya dia adalah seorang ratu adil, dapat membaca pikiran orang lain, mempunyai puluhan rumah atau mobil. Didapatkan pada sindroma “ Mania “.
b)Waham sisip pikir
Bahwa pikiran ditempatkan ke dalam benak orang seseorang atau pengaruh luar.
c)Waham somatik
Perasaan mengenai berbagai penyakit yang berada dalam tubuhnya, sering didapatkan pada skizoprenia.
d)Waham curiga
Individu merasa dirinya selalu disindir oleh orang-orang disekitarnya sehingga ia selalu curiga terhadap sekitarnya. kecurigaan yang berlebihan atau tidak rasional dan tidak mempercayai orang lain.
e)Waham Agama
Waham Agama dengan tema agama, dalam hal ini klien selalu mengkaitkan tingkah lakunya yang telah ia perbuat dengan keagamaan. Kenyakinan bahwa dirinya terpilih sebagai Yang Maha Kuasa atau alat dari Tuhan.
f)Waham Nihilistik
Yakin bahwa dunia ini sudah hancur atau bahwa ia sendiri atau orang lain sudah mati. Sering ditemukan pada klien dengan Depresi.
g)Waham siar pikir
Waham tentang pikiran yang sedang disiarkan ke dunia lain
)3Tanda dan gejala
Menurut Maramis (2004) manifestasi klinik adalah tanda gejala yang dapat dikaji pada klien dengan prilaku waham. Tanda dan gejala pada klien dengan Perubahan Isi Pikir : Waham antara lain yaitu menyatakan dirinya orang besar, mempunyai kekuatan pendidikan atau kekayaan yang luar biasa, menyatakan perasaan di kejar-kejar oleh prang lain atau sekelompok orang, mengatakan perasaan mengenai penyakit yang ada di dalam tubuhnya, menarik diri dan isolasi, sulit menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, rasa curiga yang berlebihan, kecemasan meningkat, sulit tidur, tampak apatis, suara monoton, eksperi wajah datar, kadang tertawa atau menangis sendiri, rasa tidak percaya pada orang lain.
d.Penatalaksanan Medis
Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran keluarga sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di BPK RSJ Propinsi Bali dan klien dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam hal merawat klien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan sebagai pengawas minum obat (Maramis,2005, hal 213-232)
1)Farmakoterapi
a)Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita skizoprenia yang menahun, hasilnya lebih banyak jika mulai diberi dalam dua tahun penyakit.
b)Neuroleptika dengan dosis efektif tinggi bermanfaat pada penderita dengan psikomotorik yang meningkat.
2)Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizoprenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
3)Psikoterapi dan Rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan klien kembali ke masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong klien bergaul dengan orang lain, klien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti therapy modalitas yang terdiri dari :
a)Therapy aktivitas
()1Therapy musik
Focus : mendengar,memainkan alat musik, bernyanyi.
Yaitu menikmati dengan relaksasi musik yang disukai klien.
()2Therapy seni
Focus : untuk mengekspresikan perasaan melalui berbagai pekerjaan seni.
()3Therapy menari
Focus pada : ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh
()4Therapy relaksasi
Belajar dan praktek relaksasi dalam kelompok
Rasional : untuk koping / prilaku mal adaptif / deskriptif, meningkatkan partisipasi dan kesenanga klien dalam kehidupan.
b)Therapy social
Klien belajar bersosialisasi dengan klien lain
c)Therapy kelompok
Group therapy (therapy kelompok)
()1Therapy group (kelompok terapiutik)
()2Adjunctive group activity therapy (therapy aktivitas kelompok)
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HALUSINASI
BAB II
TINJAUN TEORITIS DAN TINJAUAN KASUS
A.Tinjauan Teoritis
1.Konsep Dasar Halusinasi
a.Pengertian
Persepsi mengacu pada indentifikasi dan interpretasi awal dari suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra. perubahan persepsi sensori merupakan gejala umum dari skizoprenia dan ntermasuk dalam gangguan orientasi realita yaitu ketidakmampuan klien menilai dan berespon pada realita. Klien tidak mampu membedakan rangsang internal dan eksternal, tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan. Klien tidak mampu memberi respon secara tepat sehingga tampak prilaku yang sukar dimengerti dan mungkin menakutkan ( Keliat, 1998 ).
Perubahan persepsi sensori adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan dalan jumlah dan pola dari stimulus yang mendekat yang diprakarsai secara internal atau eksternal disertai dengan pengurangan, melebih-lebihkan, distorsi atau kelainan berespon terhadap stimulus. (Stuart dan Sundeen 1998)
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulasi yang nyata (FKUI, 1998). Sedangkan menurut Wilson ( 1987), halusinasi adalah gangguan penyerapan/persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang terjadi pada sistem pengindraan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh atau tidak. Maksudnya rangsangan terjadi pada klien dalam keadaan dapat menerima rangsangan dari luar tapi tidak dapat membedakan antara rangsangan dari luar dan dari dalam individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan oleh orang lain.
Dapat disimpulkan perubahan persepsi sensori : halusinasi yaitu gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan indra tanpa adanya rangsangan dari luar.
b.Respon neurobiologis
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa, halusinasi sering diidentifikasikan dengan skizoprenia (Akemat, 2002).
Hal yang sama diungkapkan pula oleh Ingran, I.M. Timbury, G.C. dan Mowbray, R.M. (1995) dimana dinyatakan bahwa skizoprenia merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realita, sehingga pemikiran dan prilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kronis, tetapi sekali-sekali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak atau cacat.
Sebelum diuaraikan lebih lanjut tentang halusinasi, ada baiknya terlebih dahulu dipaparkan tentang rentang respon neurobiologist pada klien dengan skizoprenia karena respon-respon tersebut akan berkaitan pada diri klien yang akan memerlukan asuhan keperawatan yang komprehensif.
Menurut Gail Wiscarz Stuart dab Sandra J. Sundeen (1998) dalam buku saku keperawatan jiwa, bahwa gejala-gejala skizoprenia menyebar dalam lima katagori utama fungsi otak yaitu : kognisi, persepsi, emosi, prilaku, dan sosialisasi, yang saling berhubungan, dimana respon neurobiologist skizoprenia dapat dilihat pada prilaku klien yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1)Perilaku yang berhubungan dengan kognisi
Perilaku yang berhubungan dengan masalah-masalah proses imformasi yang berkaitan dengan skizoprenia sering disebut sebagai deficit kognisi. Perilaku ini termasuk masalah-masalah semua aspek ingatan, perhatian, bentuk, dan jumlah ucapan (kelainan pikiran formal), pengambilan keputusan dan delusi (bentuk dan isi pikir)
2)Perilaku yang berhubungan dengan persepsi
Persepsi mengacu pada identifikasi dan interpretasi awal suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (Stuat dan Sundeen, 1998).
Halusinasi adalah berhubungan dengan alat sensorik spesifik yang harus diidentifikasikan dengan jelas. Lama keadaan dan interpretasi kepentingan halusinasi adalah jelas. Pengalaman halusinasi dimasa lampau dari interpretasi waham (kepercayaan palsu yang terpaku) dan halusinasi harus diidentifikasikan. Halusinasi sering kali bersamaan pada beberapa alat sensorik dan biasanya berhubungan dengan waham yaitu kepercayaan atau pertimbangan palsu. Halusinasi adalah gejala psikotik, keberdayaan memerlukan diagnosis sebelum dimulai pengobatan. Halusinasi yang terjadi saat klien dalam proses tidur atau proses terjaga biasanya dianggap non patologis (Maramis, 1980).
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptive individu yang berada dalam rentang neurobiologis. Ini merupakan respon persepsi paling maldaptif, jika klien yang sehat persepsinya akurat mampu mengidentifikasikan dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecap dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Diantara respon tersebut ada respon individu yang karena suatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus yang diterima (Akemat, 2002).
Rentang respon neurobiologis dari keadaan respon persepsi adaptif sehingga keadaan persepsi maladaptive, dapat dilihat pada gambar rentang respon seperti di bawah ini :
RENTANG RESPON NEUROBIOLOGIS
Respon Adaptif
Respon Maladaptif
Pemikiran logis
Distorsi pikiran
Kelainan pikiran/delusi
Persepsi akurat
Emosi konsisten dengan pengalaman
Perilaku sesuai
Hubungan sosial
Ilusi
Reaksi emosional berlebihan atau kurang
Perilaku ganjil / tak lazim
Menarik diri
Halusinasi
Ketidakmampuan mengalami emosi
Ketidakberaturan
Isolasi sosial
3)Perilaku yang berhubungan dengan emosi
Stuat dan Sundeen (1998) mengatakan bahwa emosi dapat diekspresikan secara berlebihan (hiperekskresi) atau kurang (hipoekskresi) dengan sikap yang tidak sesuai. Individu yang mengalami skizoprenia biasanya mempunyai masalah yang berhubungan dengan hipoekskresi.
4)Perilaku yang berhubungan dengan gerakan dan perilaku
Gerakan pada perilaku obnormal pada skizoprenia dapat diuraikan sebagai berikut :
a)Gerakan
Katatonia, kelenturan seperti lilin, efek samping ekstrapiramidal dari pengobatan psikotropika, gerakan mata abnormal, meringgis apraksia (kesulitan melaksanakan tugas yang komplek), ekprasia (sengaja meniru gerakan orang lain), langkah yang tidak normal, manerisme.
b)Perilaku
Agresi/agitasi, perilaku stereotipik atau berlubang, arolisi (kurang energi dan dorongan), kurang tekun dalam belajar atau sekolah.
5)Perilaku yang berhubungan dengan sosialisasi
Sosialisasi adalah kemampuan untuk menjalin hubungan bekerjasama dan saling bergantung dengan orang lain. Respon yang berkaitan dengan hubungan yang disebabkan oleh respon utama biologic yang maldaptif adalah : isolasi dan menarik diri dari hubungan sosial, harga diri rendah, ketidaksesuaian sosial, tidak tertarik dengan aktivitas rekreasi, kerancunan identitas gender, stigma yang berhubungan dengan penarikan diri oleh orang lain.
c.Psikopatologi
1)Etiologi
a)Faktor Predisposisi
(1)Faktor perkembangan terhambat
(a)Usia sekolah (6 – 12 tahun) mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan selama sosialisasi dan kegiatan sekolah.
(b)Usia remaja (12 – 21 tahun) mengalami krisis identitas yang tidak terselesaikan.
(2)Faktor komunikasi dalam keluarga
Komunikasi tertutup, tidak ada komunikasi, tidak ada kehangatan, orang tua yang membandingkan anak-anaknya.
(3)Faktor psikologis
Menutup diri, harga diri rendah, mudah kecewa dan putus asa.
(4)Faktor genetik
Adanya keluarga yang menderita skizofrenia
b)Faktor Presifitasi
(1)Faktor sosial budaya
Kehilangan orang-orang yang dicintai dan lingkungan (permusuhan, perceraian, dirawat di RS dan kematian)
(2)Faktor biokimia
Stress yang mengakibatkan lepasnya dopamin atau zat halusinogenik yang menyebabkan terjadinya halusinasi.
(3)faktor psikologis
Kecemasan tinggi dan memanjang, tidak mampu mengatasi masalah atau kegagalan dalam hidup
2)Proses Terjadinya Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitasnya dan keparahannya. Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi dalam 4 (empat) fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya, semakin berat fase halusinasi klien, semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.
Fase-fase Halusinasi (Stuart dan Laraia. 2001: 421).
a)Fase I : Comforting (ansietas sedang : halusinasi menyenangkan)
(1)Karakteristik
Klien mengalami perasan mendalam seperti ansietas kesepian, rasa bersalah, takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani non psikotik.
(2)Perilaku klien
Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai., menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik sendiri, diam dan asyik sendiri
b)Fase II : Condeming (ansietas berat : halusinasi menjadi menjijikkan)
(1)Karakteristik
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain. Psikotik ringan.
(2)Perilaku klien
Meningkatkan tanda-tanda sistem syarat otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah, rentang perhatian menyempit, asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realita.
c)Fase III : kontrolling (ansietas berat : pengalaman sensori menjadi berkuasa)
(1)Karakteristik
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik, klien mungkin mengalami kesepian jika sensori halusinasi berhenti. Psikotik.
(2)Perilaku klien
Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti, kesukaran berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit, adanya tanda-tanda fisik ansietas berat seperti : berkeringat, tremor, tidak mampu mengikuti perintah.
d)Fase IV : Conquering (panic : umumnya menjadi melebur dengan halusinasinya)
(1)Karakteristik
Pengalaman sensori menjadi mengancam, jika klien mengikuti perintah halusinasinya. Halusinasi berakhir dalam beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi therapiutik.
Psikotik berat
(2)Perilaku klien
Prilaku teror akibat panic, potensi kuat suicide atau homicide, aktifitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti prilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia, tidak mampu berespon terhadap perintah komplek.
3)Jenis Halusinasi
Wilson dan Kneisl (1988 hal. 406) membagi halusinasi sebagai berikut :
a)Halusinasi dengar (Akustik, Audotorik)
Individu mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan atau mengancam dirinya pada hal tidak ada suara disekitarnya. Halusinasi dengar sering terjadi pada skizoprenia.
b)Halusinasi lihat (Visual)
Individu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada. Halusinasi lihat sering terjadi pada gangguan mental organic (Acut organic brain syndrome).
c)Halusinasi bau atau hirup (Olfaktorik)
Halusinasi ini jarang ditemukan, individu yang mengalami halusinasi bau mengatakan mencium bau – bauan seperti : bau bunga, bau kemenyan, bau mayat yang tidak ada sumbernya.
d)Halusinasi kecap (Gustatorik)
Individu merasa mengecap suatu rasa di mulutnya. Halusinasi ini sering terjadi pada seizure disorders.
e)Halusinasi raba /singgungan (Taktil)
Individu yang bersangkutan mereasa binatang merayat pada kulitnya. Bila rabaan ini merupakan rangsangan seksual maka halusinasi ini disebut Halusinasi Haptik.
f)Halusinasi Chenes Thetik
Individu merasakan fungsi tubuhnya seperti aliran darah di vena atau arteri.
g)Halusinasi Kinestetik
Individu merasakan pergarakan sementara individu berdiri tanpa bergerak.
4)Tanda dan gejala
Tanda atau gejala yang muncul pada klien halusinasi adalah bicara kacau, senyum dan tertawa sendiri, mengatakan mendengar suara-suara yang tidak jelas dari mana sumbernya, menarik diri, mudah tersinggung, jengkel, marah, ekspresi wajah tegang tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata.
d.Penatalaksanaan Medis
Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran keluarga sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di BPK RSJ Propinsi Bali dan klien dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam hal merawat klien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan sebagai pengawas minum obat (Maramis,2004)
1)Farmakoterapi
a)Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita skizoprenia yang menahun, hasilnya lebih banyak jika mulai diberi dalam dua tahun penyakit.
b)Neuroleptika dengan dosis efektif tinggi bermanfaat pada penderita dengan psikomotorik yang meningkat.
2)Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizoprenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
3)Psikoterapi dan Rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan klien kembali ke masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong klien bergaul dengan orang lain, klien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti therapy modalitas yang terdiri dari :
a)Therapy aktivitas
()1Therapy musik
Focus : mendengar,memainkan alat musik, bernyanyi.
Yaitu menikmati dengan relaksasi musik yang disukai klien.
()2Therapy seni
Focus : untuk mengekspresikan perasaan melalui berbagai pekerjaan seni.
()3Therapy menari
Focus pada : ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh
()4Therapy relaksasi
Belajar dan praktek relaksasi dalam kelompok
Rasional : untuk koping / prilaku mal adaptif / deskriptif, meningkatkan partisipasi dan kesenanga klien dalam kehidupan.
b)Therapy sosial
Klien belajar bersosialisasi dengan klien lain
c)Therapy kelompok
Group therapy (therapy kelompok)
()1Therapy group (kelompok terapiutik)
()2Adjunctive group activity therapy (therapy aktivitas kelompok)
d)Therapy lingkungan
Suasana rumah sakit dibuat seperti suasana di dalam keluarga (home like atmosphere)
2.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pasien dengan Halusinasi
Proses keperawatan adalah suatu pendekatan yang teratur dan sistematis dalam mengidentifikasikan masalah klien, membuat rencana, melaksanakan dan menilai daya guna dalam pemecahan masalah klien.
a.Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis untuk mengumpulkan data, menganalisa dan menentukan diagnosa keperawatan (Depkes RI, 1991)
1)Pengumpulan data
a)Persepsi dan harapan klien dan keluarga terhadap masalah dan pemecahannya. Klien biasanya tidak menyadari dirinya sakit dan tidak menyadari adanya masalah. Persepsi keluarga terhadap masalah biasanya dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan kepercayaannya.
b)Pengkajian psikologis
(1)Status emosi
Biasanya klien bicara sendiri, sering membentak teman, sering mengamuk, sering bengong, kalau diajak berbicara pandangan tajam, kecemasan berat atau panik.
(2)konsep diri
(a)Body image (gambaran diri)
Merupakan sikap klien terhadap tubuhnya baik disadari maupun tidak disadari yang meliputi ukuran, fungsi, penampilan dan potensi tubuh.
(b)Self ideal
Merupakan persepsi klien tentang bagaimana ia bertingkah laku berdasarkan standar pribadi, gambaran diri, aspirasi, tujuan yang ingin dicapai.
(c)Harga diri
Merupakan pendapat klien tentang kesejahteraan atau nilai yang telah dicapai dengan menganalisa berapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya.
(d)Peran
Merupakan serangkaian pola tingkah laku yang diharapkan oleh masyarakat yang dihubungkan dengan fungsi klien dalam kelompok sosialnya.
(e)Identitas
Merupakan kesadaran klien untuk menjadi diri sendiri yang tidak ada duanya dengan mensintesa semua gambaran diri sebagai satu kesatuan utuh dan perasaan berbeda dengan orang lain.
(3)Gaya komunikasi
Bicaranya cepat, sering terjadi penyimpangan komunikasi, bicaranya keras.
(4)Pola interaksi
Interaksi akan menjadi terbatas dan hanya terjadi dengan orang yang dipercaya, sering bengong.
(5)Pola pertahanan yang sering dipakai adalah mengamuk.
c)Pengkajian sosial
(1)Pendidikan dan pekerjaan
Hal ini tidak mutlak mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa atau perubahan prilaku.
(2)Hubungan sosial
Klien sulit untuk melakukan hubungan sosial dengan lingkungannya.
(3)Faktor sosial budaya
Budaya tertentu dapat mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa, biasanya klien berasal dari masyarakat yang mempunyai berbagai aturan yang menekan seperti pingitan.
d)Pengkajian keluarga
Klien biasanya mempunyai keluarga yang pernah menderita kelainan jiwa. Hubungan atau komunikasi dalam keluarga juga mempengaruhi gangguan jiwa. Klien lebih banyak berasal dari keluarga yang hubungan inter dan antar keluarganya kurang baik serta kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua atau pasangannya.
e)Pengkajian kesehatan fisik
Kesehatan fisik seseorang tidak mutlak dapat mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa.
f)Status mental
(1)Kebenaran data
Imformasi yang diberikan biasanya sulit dipahami dan dianalisa karena sering memberikan keterangan yang tidak sesuai.
(2)Status sensorik
Perhatiannya cepat berubah, klien sering melamun, tersenyum dan menangis tanpa sebab.
(3)Status persepsi
Halusinasi ada, klien mengatakan mendengarkan bisikan-bisikan.
(4)Status motorik
Klien biasanya mengalami peningkatan aktifitas
(5)Afek
Sering terjadi penumpulan afek, pendataran afek atau afek yang tidak sesuai.
(6)Orientasi
Sering mengalami disorientasi baik disorintasi tempat, waktu dan orang.
(7)Pikiran
Sering mengalami gangguan dalam arus pikiran atau tindakannya bukan berasal dari dirinya.
(8)Delusi / waham
Biasanya terjadi delusi / waham terutama waham curiga.
(9)Insight
Penghayatan terhadap dirinya kurang, klien tidak mampu menghayati berbagai hal yang dapat menimbulkan berbagai masalah bagi dirinya.
Prilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya, apakah halusinasinya merupakan halusinasi pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, peraba, kinesthetik atau chanesthetik. Apabila perawat mengidentifikasikan adanya tanda-tanda dan prilaku halusinasi, maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasinya saja, validasi imformasi tentang halusinasinya sangat diperlukan meliputi :
a.Isi halusinasi yang dialami klien
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar atau bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, bila halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi bau atau hirup, rasa apa yang dikecap, untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan apa yang dipermukaan tubuh bila halusinasi perabaan.
b.Waktu dan frekuensi halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Bila memungkinkan klien diminta menjelaskan kapan pesisnya waktu terjadi halusinasi tersebut. Imformasi ini penting untuk mengidentifikasikan pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.
c.Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang di alami klien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu perawat juga dapat mengobservasi apa yang dialami klien menjelang muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
d.Respon klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien, bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien mampu mengontrol stimulasi halusinasi atau sudah tidak berdaya terhadap stimulasi
2)Analisa data
Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data untuk merumuskan masalah-masalah yang dihadapi klien. Data tersebut diklasifikasikan menjadi data subyektif dan obyektif.
a)Data subyektif
Menyatakan mendengar suara-suara dan melihat sesuatu yang tidak nyata, tidak percaya terhadap lingkungan, sulit tidur, tidak dapat memusatkan perhatian dan konsentrasi, merasa berdosa, menyesal dan bingung terhadap halusinasinya, perasaan tidak aman, merasa cemas, takut dan kadang-kadang panik, kebingungan.
b)Data obyektif
Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata, pembicaraan kacau kadang tidak masuk akal, sulit membuat keputusan, tidak perhatian terhadap perawatan dirinya, sering menyangkal dirinya sakit atau kurang menyadari adanya masalah, ekpresi wajah sedih, ketakutan atau gembira, klien tampak gelisah, insght kurang, tidak ada minat untuk makan.
Dari data tersebut diatas, kemudian didapatkan rumusan masalah sehingga ditemukan diagnosa keperawatan
b.Diagnosa Keperawatan
Kemampuan perawat yang diperlukan dalam merumuskan diagnosa adalah kemampuan pengambilan keputusan yang logis, pengetahuan tentang batasan adaptif atau ukuran normal, kemampuan memberikan justifikasi atau pembenaran, kepekaan sosial budaya (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kegiatan atau perilaku perawat dibutuhkan dalam merumuskan diagnosa adalah mengidentifikasi pola data, membandingkan data dengan keadaan adaptif, menganalisa dan mensintesa data, mengidentifikasi kebutuhan atau masalah klien, memvalidasi dan menyusun masalah dengan klien, membuat pohon masalah, merumuskan diagnosa keperawatan. Menurut Budi Anna Keliat (1998), dari masalah-masalah tersebut maka dapat disusun pohon masalah sebagai berikut :
Akibat
Masalah utama
Penyabab
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul dari pohon masalah di atas adalah :
1)Kekerasan resiko tinggi berhubungan dengan halusinasi dengar
2)Perubahan persepsi sensori : halusinasi dengar berhubungan dengan kerusakan interaksi sosial : menarik diri
3)Kerusakan interaksi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
c.Perencanaan
Dalam menyusun rencana perawatan, terlebih dahulu dirumuskan prioritas diagnosa. Prioritas diagnosa keperawatan dapat ditentukan berdasarkan urutan kebutuhan manusia menurut maslow, atau berat ringannya masalah, serta mudah tidaknya masalah dapat diatasi. Hal tersebut tidak terlepas dari keadaan atau kondisi klien saat menyusun rencana perawatan. Adapun prioritas diagnosa perawatannya adalah :
1)Resiko kekerasan diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang berhubungan dengan halusinasi.
a)Tupan : Tidak terjadi tindakan kekerasan yang ditujukan pada diri sendiri dan lingkungan
b)Tupen:
(1)Klien dapat membina hubungan saling percaya
(2)Klien dapat mengenal halusinasinya
(3)Klien dapat mengontrol halusinasinya
(4)Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik untuk mengontrol halusinasi
(5)Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya
Rencana Perawatan
Bina hubungan saling percaya : Sapa klien dengan Ramah baik verbal maupun non verbal , Perkenalkan diri dengan sopan, tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menempati janji. Dorong klien untuk mengungkapkan perasannya, dengarkan ungkapan klien dengan empati, adakan kontak sering dan singkat secara bertahap, bantu klien mengenal halusinasinya, diskusikan dengan klien tentang situasi yang menimbulkan / tidak menimbulkan halusinasi, waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi, terima halusinasi sebagai hal yang nyata bagi klien, tetapi tidak bagi perawat (tidak menyangkal dan membenarkan). Diskusikan cara untuk memutus dan mengontrol timbulnya halusinasi, Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap, beri kesempatan untuk melakukan cara yang terlatih, evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil, anjurkan klien mengikuti therapi aktifitas kelompok, beri pujian atas upaya klien. Diskusikan dengan klien dan tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat untuk mengontrol halusinasinya, dorong klien untuk memberitahu keluarga ketika timbul halusinasi. Lakukan kunjungan rumah (Home Visit) kenalkan keluarga pada halusinasi klien, bantu untuk memutuskan tindakan untuk mengontrol halusinasi, cara merawat klien dirumah, memanfaatkan fasilitas kesehatan dalam mengontrol halusinasi klien.
2)Perubahan persepsi sensori : halusinasi yang berhubungan dengan menarik diri.
a)Tupan : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
b)Tupen :
(1)Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
(2)Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
(3)Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap
Rencana perawatan
Bina hubungan saling percaya, kaji pengetahuan klien tentang prilaku menarik diri dan tanda-tandanya, berikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri, diskusikan bersama klien tentang prilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang muncul. Kaji pengetahuan klien tentang prilaku menarik diri dan tanda-tandanya, berikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri, diskusikan bersama klien tentang prilaku menarik diri, tanda-tanda. Dorong dan bantu klien berhubungan dengan orang lain melalui tahap sebagai berikut : klien-perawat, klien-perawat-perawat lain, klien-perawat-perawat lain-klien lain, klien-kelompok kecil, klien-keluarga/kelompok/masyarakat, beri pujian atas keberhasilan yang dicapai.
3)Kerusakan interaksi sosial : menarik diri yang berhubungan dengan harga diri rendah.
a)Tupan : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap
b)Tupen :
(1)Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
(2)Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
(3)Klien dapat menilai kemampuan yang masih bisa dikembangkan selama dirawat
(4)Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki
(5)Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
(6)Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Rencana perawatan
Bina hubungan saling percaya , dorong klien untuk mengungkapkan perasannya. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki, setiap bertemu klien hindarkan memberi penilaian negatif, utamakanmemberi pujian yang realistis. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih bisa digunakan selama sakit, diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan. Rencanakan bersama bersama klien aktifitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan ( kegiatan mandiri, dengan bantuan sebagian, membutuhkan bantuan total), tingkatkan kegiatan sesuai toleransi kondisi klien, beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang. Beri kesempatan kepada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan., beri pujian atas keberhasilan klien. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah., bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
d.Pelaksanaan
Merupakan tahap pelaksanaan rencana tindakan yang telah ditentukan dengan maksud agar kebutuhan klien terpenuhi secara optimal. dalam pelaksanaan disesuaikan dengan rencana keperawatan dan kondisi klien.
e.Evaluasi
Evaluasi yang ingin dicapai diantaranya yaitu :
1)Klien dapat membina hubungan saling percaya
2)Klien mengenal halusinasinya
3)Klien dapat mengontrol halusinasinya
4)Klien mulai dan mempertahankan hubungan dengan orang lain
5)Klien mengerjakan aktifitas sehari-hari dan aktifitas yang disenangi
6)Klien dapat berinteraksi di dalam kelompok
asuhan keperawatanh klien dengan kerusakan interaksi sosial
ejalan dengan pembangunan bangsa Indonesia, khususnya dibidang kesehatan, maka manusia berlomba-lomba untuk meningkatkan taraf hidup kesehatannya baik itu secara fisik, psikologis dan sosial yang memungkinkan setiap individu untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi sesuai apa yang menjadi tujuan dari pembangunan kesehatan itu sendiri yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal (Undang-undang kesehatan no. 23, 1992). Perkembangan tehnologi yang semakin canggih akan menuntut pola pikir manusia yang semakin maju sehingga dapat memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan untuk bisa berkompetisi dan mempertahankan hidupnya. Di satu sisi manusia bisa berkompetisi tetapi disisi lain ada manusia yang tidak mampu berkompopetisi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang nantinya dapat menimbulkan terjadinya konflik intrapsikis atau stress psikososial yang merupakan indikator terjadinya gangguan jiwa (Suliswati dkk, 2005).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 disebutkan bahwa sekitar 2,5 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, dari tingkat ringan hingga berat. Sedangkan data yang dikeluarkan Departemen Kesehatan pada tahun 2008 menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,6 juta jiwa, yang diambil dari data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) se-Indonesia (Depkes RI, 2008). Masyarakat Bali yang mengalami gangguan jiwa setiap tahunnya bertambah antara 100-150 orang”(Suryani, 2007). Berdasarkan laporan tahunan RSJ Propinsi Bali tahun 2008 jumlah klien yang dirawat sebanyak 421 orang dengan rincian Skizoprenia sebanyak 292 (69,32%), Psikosa afektif sebanyak 46 orang (10,92%), gangguan kepribadian sebanyak 2 orang (0,47%), Depresif sebanyak 31 orang (7,36%), Redartasi Mental sebanyak 8 orang (1,90%), Epilepsi sebanyak 35 orang (16,66%) dan Delirium Dan Sindroma Otak Organik lainnya sebanyak 2 orang (0,47%).
Tiap individu mempunyai potensi untuk terlibat dalam hubungan sosial pada berbagai tingkat hubungan yaitu hubungan biasa sampai hubungan saling ketergantungan. Di dalam mengatasi berbagai kebutuhan hidup sehari–hari individu tidak mampu mengatasi/memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa adanya hubungan dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu individu perlu membina hubungan interpersonal yang memuaskan. Kepuasan hubungan dapat dicapai jika individu terlibat secara aktif dalam proses berhubungan, peran serta yang tinggi didalam berhubungan disertai respon lingkungan yang positif akan meningkatkan rasa memiliki, kerja sama, hubungan timbak balik yang sinkron. Peran serta dalam proses hubungan dapat berfluktuasi sepanjang rentang tergantung (dependen) dan mandiri (independent) artinya suatu individu tergantung pada orang lain itu tergantung pada individu itu sendiri (Maramis 2004). Tingkah laku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain atau suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (Rawlins, 1993;336). Menarik diri terjadi apabila individu menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Pemutusan proses hubungan terkait erat dengan ketidakpuasan individu terhadap proses hubungan yang disebabkan oleh kurangnya peran serta, respons lingkungan yang negatif, kondisi ini dapat mengembangkan rasa tidak percaya diri dan keinginan menghindar dari orang lain. Apabila tingkah laku tersebut tidak segera ditanggulangi dapat menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa yang elbih berat seperti munculnya halusinasi, risiko mencederai diri dan orang lain dan penurunan minat kebutuhan dasar psikologis.
Klien Gangguan jiwa dengan gangguan hubungan sosial : menarik diri memerlukan kemampuan perawat yang berkualitas dan professional, wujud pelayanan keperawatan untuk menanggulangi klien dengan gangguan jiwa di kenal dengan “ Tri Upaya Bina Jiwa” yaitu Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif (DepKes RI, 1995). Sehubungan dengan hal tersebut maka peran perawat sangatlah penting terutama dalam memenuhi dan berupaya seoptiomal mungkin di dalam meningkatkan aktualisasi diri klien dengan membantu menumbuhkan, mengembangkan, menyadari sambil mencari kompensasi ketidakmampuan didalam upaya menyelesaikan masalah klien yang berhubungan dengan konsep diri dan membantu klien agar lebih mengerti akan dirinya secara tepat.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melaksanakan Asuhan Keperawatan pada klien DM.D dengan gangguan hubungan sosial : menarik diri di ruang Durupadi RSJ Propinsi, mengingat kondisi ini apabila tidak ditanggulangi dengan segera dapat menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa yang lebih berat misalnya resiko kekerasan yang ditujukan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Manfaat yang ingin penulis capai adalah agar laporan kasus ini berguna bagi keperawatan dan teori yang didapat mampu diaplikasikan sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan khususnya di rumah sakit jiwa. Selain itu dengan penulisan laporan kasus ini, diharapkan dapat bermanfaat terhadap pelayanan perawatan khususnya dalam bidang asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan kerusakan interaksi sosial : menarik diri.
A.Tujuan Penulisan
asuhan keperawatanh klien dengan kerusakan interaksi sosial
ejalan dengan pembangunan bangsa Indonesia, khususnya dibidang kesehatan, maka manusia berlomba-lomba untuk meningkatkan taraf hidup kesehatannya baik itu secara fisik, psikologis dan sosial yang memungkinkan setiap individu untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi sesuai apa yang menjadi tujuan dari pembangunan kesehatan itu sendiri yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal (Undang-undang kesehatan no. 23, 1992). Perkembangan tehnologi yang semakin canggih akan menuntut pola pikir manusia yang semakin maju sehingga dapat memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan untuk bisa berkompetisi dan mempertahankan hidupnya. Di satu sisi manusia bisa berkompetisi tetapi disisi lain ada manusia yang tidak mampu berkompopetisi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang nantinya dapat menimbulkan terjadinya konflik intrapsikis atau stress psikososial yang merupakan indikator terjadinya gangguan jiwa (Suliswati dkk, 2005).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 disebutkan bahwa sekitar 2,5 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, dari tingkat ringan hingga berat. Sedangkan data yang dikeluarkan Departemen Kesehatan pada tahun 2008 menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,6 juta jiwa, yang diambil dari data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) se-Indonesia (Depkes RI, 2008). Masyarakat Bali yang mengalami gangguan jiwa setiap tahunnya bertambah antara 100-150 orang”(Suryani, 2007). Berdasarkan laporan tahunan RSJ Propinsi Bali tahun 2008 jumlah klien yang dirawat sebanyak 421 orang dengan rincian Skizoprenia sebanyak 292 (69,32%), Psikosa afektif sebanyak 46 orang (10,92%), gangguan kepribadian sebanyak 2 orang (0,47%), Depresif sebanyak 31 orang (7,36%), Redartasi Mental sebanyak 8 orang (1,90%), Epilepsi sebanyak 35 orang (16,66%) dan Delirium Dan Sindroma Otak Organik lainnya sebanyak 2 orang (0,47%).
Tiap individu mempunyai potensi untuk terlibat dalam hubungan sosial pada berbagai tingkat hubungan yaitu hubungan biasa sampai hubungan saling ketergantungan. Di dalam mengatasi berbagai kebutuhan hidup sehari–hari individu tidak mampu mengatasi/memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa adanya hubungan dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu individu perlu membina hubungan interpersonal yang memuaskan. Kepuasan hubungan dapat dicapai jika individu terlibat secara aktif dalam proses berhubungan, peran serta yang tinggi didalam berhubungan disertai respon lingkungan yang positif akan meningkatkan rasa memiliki, kerja sama, hubungan timbak balik yang sinkron. Peran serta dalam proses hubungan dapat berfluktuasi sepanjang rentang tergantung (dependen) dan mandiri (independent) artinya suatu individu tergantung pada orang lain itu tergantung pada individu itu sendiri (Maramis 2004). Tingkah laku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain atau suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (Rawlins, 1993;336). Menarik diri terjadi apabila individu menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Pemutusan proses hubungan terkait erat dengan ketidakpuasan individu terhadap proses hubungan yang disebabkan oleh kurangnya peran serta, respons lingkungan yang negatif, kondisi ini dapat mengembangkan rasa tidak percaya diri dan keinginan menghindar dari orang lain. Apabila tingkah laku tersebut tidak segera ditanggulangi dapat menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa yang elbih berat seperti munculnya halusinasi, risiko mencederai diri dan orang lain dan penurunan minat kebutuhan dasar psikologis.
Klien Gangguan jiwa dengan gangguan hubungan sosial : menarik diri memerlukan kemampuan perawat yang berkualitas dan professional, wujud pelayanan keperawatan untuk menanggulangi klien dengan gangguan jiwa di kenal dengan “ Tri Upaya Bina Jiwa” yaitu Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif (DepKes RI, 1995). Sehubungan dengan hal tersebut maka peran perawat sangatlah penting terutama dalam memenuhi dan berupaya seoptiomal mungkin di dalam meningkatkan aktualisasi diri klien dengan membantu menumbuhkan, mengembangkan, menyadari sambil mencari kompensasi ketidakmampuan didalam upaya menyelesaikan masalah klien yang berhubungan dengan konsep diri dan membantu klien agar lebih mengerti akan dirinya secara tepat.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melaksanakan Asuhan Keperawatan pada klien DM.D dengan gangguan hubungan sosial : menarik diri di ruang Durupadi RSJ Propinsi, mengingat kondisi ini apabila tidak ditanggulangi dengan segera dapat menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa yang lebih berat misalnya resiko kekerasan yang ditujukan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Manfaat yang ingin penulis capai adalah agar laporan kasus ini berguna bagi keperawatan dan teori yang didapat mampu diaplikasikan sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan khususnya di rumah sakit jiwa. Selain itu dengan penulisan laporan kasus ini, diharapkan dapat bermanfaat terhadap pelayanan perawatan khususnya dalam bidang asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan kerusakan interaksi sosial : menarik diri.
A.Tujuan Penulisan
terapi aktivitas keliompok stimulasi persepsi
Konsep Dasar Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
2.1.1 Pengertian
Kelompok adalah suatu system social yang khas yang dapat didefinisikan dan dipelajari. Sebuah kelompok terdiri dari individu yang saling berinteraksi, interelasi, interdependensi dan saling membagikan norma social yang sama (Stuart & Sundeen, 1998).
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Kelliat, 2005).
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997).
Terapi aktivitas kelompok adalah aktivitas membantu anggotanya untuk identitas hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang maladaptive (Stuart & Sundeen, 1998).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagi terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan (Kelliat, 2005)
2.1.2 Tujuan terapi aktifitas kelompok (TAK)
Depkes RI (1997) mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai berikut:
1.Tujuan umum
a.Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu mrmperoleh pemahaman dan cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
b.Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
c.Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.
d.Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi kognitif dan afektif.
2.Tujuan khusus
a.Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri tentang mengenal dirinya di dalam lingkungan nya.
b.Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh anggota kelompok lainnya.
c.Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkominikasi yang memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya.
2.1.3Dampak Terapiutik dari Kelompok
Terjadinya interaksi yang diharapkan dalam aktivitas kelompok dapat memberikan dampak yang bermanfaat bagi komponen yang terlibat. Yalom (1985) dalam tulisannya mengenai terapi kelompok telah melaporkan 11 kasus yang terlibat dalam efek terapeutik dari kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah :
1.Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia sendiri yang mempunyai masalah dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi atau setidaknya dapat dimengerti oleh orang lain.
2.Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang lain yang telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan emosional yang diberikan oleh kelompok lainnya.
3.Altruisme, dapat dialami karena anggota memberikan dukungan satu sama lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya menerima ide dari yang lainnya.
4.Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga primer yang untuk kebanyakan klien merupakan problematic. Baik terapis maupun anggota lainnya dapat jadi resepien reaksi tranferensi yang kemudian dapat dilakukan.
5.Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan kemampuan untuk menghubungkan dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien dapat memperoleh umpan balik dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih cara baru berinteraksi.
6.Pemasukan informasi, dapat dapat berkisar dari memberikan informasi tentang ganguan seseorang terhadap umpan balik langsung tentang perilaku orang dan pengaruhnya terhadap anggota kelompok lainnya.
7.Identifikasi, prilaku imitative dan modeling dapat dihasilkan dari terapis atau anggota lainnya memberikan model peran yang baik.
8.Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan berkembangnya rasa kesatuan dan persatuan memberi pengaruh kuat dan memberi perasaan memiliki dan menerima yang dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang.
9.pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar berhubungan antar pribadi, bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan mempunyai pengalaman memperbaiki hubungan menjadi lebih baik.
10.Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya membantu mengurangi ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan kedekatan dalam kelompok.
11.Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk mengakui keterbatasan seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap diri seseorang.
1.4.4Indikasi Dan Kontra Indikasi Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)
Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI (1997) adalah :
1.Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak terkontrol, mudah bosan.
2.Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas kelompok antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok.
3.Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan problem yang sama.
2.1.5Komponen Kelompok
Kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut (Kelliat, 2005) :
1.Struktur kelompok
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
2.Besar kelompok
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibbatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi (Kelliat, 2005).
3.Lamanya sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).
2.1.6 Proses Terapi Aktifitas Kelompok
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-terapis dan kemudian mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan sebagai perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara. Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkatoleh karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Dapat juga co-terapis membantu mengatasi kemacetan.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak pasif atau katalisator. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu-individu.
Di akhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya. (Kelliat, 2005).
2.1.7Perkembangan Kelompok
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan kembang. Pemimpin akan mengembangkan kelompok melalui empat fase (Kelliat, 2005) yaitu :
1.Fase prakelompok
Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai kelompok adalah tujuan dari kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin dan pelaksana kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk itu perlu disusun panduan pelaksanaan kegiatan kelompok.
2.Fase awal kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru. Dan peran yang baru. Fase ini terbagi dalam tiga fase (Kelliat, 2005) yaitu:
a.Tahap orientasi
Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan. Pemimpin kelompok mengorientasikan anggota pada tugas utama dan melakukan kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasian, waktu pertemuan, struktur, kejujuran dan aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang berbicara pada satu waktu, norma perilaku, rasa memiliki, atau kohesif antara anggota kelompok diupayakan terbentuk pada fase orientasi.
b.Tahap konflik
Peran dependen dan independent terjadi pada tahap ini, sebagian ingin pemimpin yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih mengarahkan, atau sebaliknya anggota ingin berperan sebagai pemimpin. Adapula anggota yang netral dan dapat membantu menyelesaikan konflik peran yang terjadi. Perasaan bermusuhan yang ditampilkan, baik antara kelompok maupun anggota dengan pemimpin dapat terjadi pada tahap ini. Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negative dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku yang tidak produktif, seperti menuduh anggota tertentu sebagai penyebab konflik.
c.Tahap kohesif
Setalah tahap konflik, anggota kelompok merasakan ikatan yang kuat satu sama lain. Perasaan p[ositif akan semakin sering diungkapkan. Pada tahap ini, anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu sama lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan anggota kelompok dalam melakukan penyelesaian masalah. Pada tahap akhir fase ini, tiap anggota kelompok belajar bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan, mereka belajar persamaan dan perbedaan, anggota kelompok akan membantu pencapaian tujuan yang menjadi suatui realitas.
c.Fase kerja kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim, walaupun mereka bekerja keras, tetapi menyenangkan bagi anggota dan pemimpin kelompok. Kelompok menjadi stabil dan realistis.
Tugas utama pemimpin adalah membantu kelompok mencapai tujuan dan tetap menjaga kelompok kea rah pencapaian tujuan, serta mengurangi dampak dari factor apa saja yang dapat mengurangi produktivitas kelompok. Selain itu pemimpin juga bertindak sebagai konsultan.
Beberapa problem yang mungkin muncul adalah subgroup, conflict, self-desclosure,dan resistance. Beberapa anggota kelompok menjadi sangat akrab, berlomba mendapatkan perhatian pemimpin, tidak ada lagi kerahasian karena keterbukaan sangat tinggi dan keengganan berubah perlu didefinisikan pemimpin kelompok agar segera melakukan strukturisasi.
Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian. Pada fase ini kelompok segera masuk ke fase berikutnya yaitu perpisahan.
d.Fase terminasi
Terminasi dapat sementara atau akhir. Terminasi dapat pula terjadi karena anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok.
Evaluasi umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian, baik kelompok maupun individu. Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrument evaluasi kemampuan individual dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi atau beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian tertentu. Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari.
2.1.8 Jenis Terapi Kelompok
Kegiatan kelompok dibedakan berdasarkan kegiatan kelompok sebagai tindakan keperawatan pada kelompok dan terapi kelompok. Menurut kelliat, 2005 membagi kelompok menjadi tiga yaitu :
1.Terapi kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. Focus terapi kelompok adalah membuat sadar diri, peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan atau ketiganya.
2.Kelompok terapeutik
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stress emosi, penyakit fisik krisis, tumbuh kembang, atau penyesuaian social, misalnya kelompok ibu hamil yang akan menjadi ibu, individu yang kehilangan, dan penyakit terminal. Banyak kelompok terapeutik dikembangkan menjadi self-help-group. Tujuan dari kelompok ini adalah sebagai berikut : mencegah masalah kesehatan, mendidik dan mengembangkan potensi anggota kelompok, meningkatkan kualitas kelompok. antara anggota kelompok saling membantu dalam menyelesaiakan masalah.
3.Terapi aktivitas kelompok (TAK)
Terapi aktivitas kelompok sering dipakai sebagai terapi tambahan. Terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi empat (Kelliat,2005) yaitu :
a.Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah.
Tujuan umum terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya. Sedangkan tujuan khususnya adalah klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat, klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami.
Aktivitas terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dibagi dalam empat bagian yaitu :
1)Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata sehari-hari
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien dengan perubahan perubahan persepsi sensori dan klien menarik diri yang telah mengikuti terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Aktivitas dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu aktivitas menonton televisi, aktivitas membaca majalah/Koran/artikel dan aktivitas melihat gambar.
2)Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata dan respon yang dialami dalam kehidupan
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien dengan perilaku kekerasan yang telah kooperatif. Aktivitas dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : aktivitas mengenal kekerasan yang biasa dilakukan, aktivitas mencegah kekerasan melalui kegiatan fisik, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi social asertif, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.
3)Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata yang menyebabkan harga diri rendah
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien gangguan konsep diri : harga diri rendah. Aktivitas ini dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : aktivitas mengidentifikasikan aspek yang membuat harga diri rendah dan aspek positif kemempuan yang dimiliki selama hidup (di rumah dan di rumah sakit), aktivitas melatih kemampuan yang dapat digunakan di rumah sakit dan di rumah
4)Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam kehidupan
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien yang mengalami perubahan persepsi sensori : halusinasi. Aktivitas ini dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : aktivitas mengenal halusinasi, aktivitas mengusir/menghardik halusinasi, aktivitas mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, aktivitas mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, aktivitas mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
Sesi 1 mengenal halusinasi
a)Tujuan
(1)Klien dapat mengenal halusinasi
(2)Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi
(3)Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi
(4)Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi
b)Setting
(1)Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2)Tempat tenang dan nyaman
c)Alat
(1)Spidol
(2)Papan tulis/whiteboart/flipchat
d)Metode
(1)Diskusi dan Tanya jawab
(2)Bermain peran/stimulasi
e)Langkah Kegiatan
(1)Persiapan
Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu klien dengan perubahan persepsi sensori : halusinasi, khususnya klien dengan halusinasi pendengaran fase II : condemning. Membuat kontrak dengan klien, mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2)Orientasi
Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama), menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan nama).
Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
Kontrak
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar.
Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar (halusinasi) tentang isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan klien pada saat terjadi.
Terapis meminta klien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan klien saat terjadi halusinasi. Mulai dari klien yang sebelah kanan, secara berurutanpai semua klien mendapat giliran. Hasilnya tulis di whiteboard.
Beri pujian kepada klien yang melakukan dengan baik
Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan klien dari suara yang biasa didengar.
(4)Tahap terminasi
Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
Tindak lanjut
Terapis meminta klien melaporkan isi, waktu, situasi dan perasaannya jika terjadi halusinasi.
Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi, menyepakati waktu dan tempat
f)Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.
Tabel 2.1
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 1
No
Nama klien
Menyebut isi halusinasi
Menyebut waktu terjadi halusinasi
Menyebut situasi terjadi halusinasi
Menyebut perasaan saat halusinasi
1
2
3
4
5
6
7
8
Petunjuk :
Tuliskan nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan mengenal halusinasi : isi, waktu, situasi, dan perasaan. Beri tanda (√) jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.
2.1.1 Pengertian
Kelompok adalah suatu system social yang khas yang dapat didefinisikan dan dipelajari. Sebuah kelompok terdiri dari individu yang saling berinteraksi, interelasi, interdependensi dan saling membagikan norma social yang sama (Stuart & Sundeen, 1998).
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Kelliat, 2005).
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997).
Terapi aktivitas kelompok adalah aktivitas membantu anggotanya untuk identitas hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang maladaptive (Stuart & Sundeen, 1998).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagi terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan (Kelliat, 2005)
2.1.2 Tujuan terapi aktifitas kelompok (TAK)
Depkes RI (1997) mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai berikut:
1.Tujuan umum
a.Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu mrmperoleh pemahaman dan cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
b.Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
c.Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.
d.Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi kognitif dan afektif.
2.Tujuan khusus
a.Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri tentang mengenal dirinya di dalam lingkungan nya.
b.Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh anggota kelompok lainnya.
c.Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkominikasi yang memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya.
2.1.3Dampak Terapiutik dari Kelompok
Terjadinya interaksi yang diharapkan dalam aktivitas kelompok dapat memberikan dampak yang bermanfaat bagi komponen yang terlibat. Yalom (1985) dalam tulisannya mengenai terapi kelompok telah melaporkan 11 kasus yang terlibat dalam efek terapeutik dari kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah :
1.Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia sendiri yang mempunyai masalah dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi atau setidaknya dapat dimengerti oleh orang lain.
2.Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang lain yang telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan emosional yang diberikan oleh kelompok lainnya.
3.Altruisme, dapat dialami karena anggota memberikan dukungan satu sama lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya menerima ide dari yang lainnya.
4.Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga primer yang untuk kebanyakan klien merupakan problematic. Baik terapis maupun anggota lainnya dapat jadi resepien reaksi tranferensi yang kemudian dapat dilakukan.
5.Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan kemampuan untuk menghubungkan dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien dapat memperoleh umpan balik dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih cara baru berinteraksi.
6.Pemasukan informasi, dapat dapat berkisar dari memberikan informasi tentang ganguan seseorang terhadap umpan balik langsung tentang perilaku orang dan pengaruhnya terhadap anggota kelompok lainnya.
7.Identifikasi, prilaku imitative dan modeling dapat dihasilkan dari terapis atau anggota lainnya memberikan model peran yang baik.
8.Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan berkembangnya rasa kesatuan dan persatuan memberi pengaruh kuat dan memberi perasaan memiliki dan menerima yang dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang.
9.pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar berhubungan antar pribadi, bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan mempunyai pengalaman memperbaiki hubungan menjadi lebih baik.
10.Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya membantu mengurangi ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan kedekatan dalam kelompok.
11.Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk mengakui keterbatasan seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap diri seseorang.
1.4.4Indikasi Dan Kontra Indikasi Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)
Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI (1997) adalah :
1.Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak terkontrol, mudah bosan.
2.Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas kelompok antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok.
3.Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan problem yang sama.
2.1.5Komponen Kelompok
Kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut (Kelliat, 2005) :
1.Struktur kelompok
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
2.Besar kelompok
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibbatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi (Kelliat, 2005).
3.Lamanya sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).
2.1.6 Proses Terapi Aktifitas Kelompok
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-terapis dan kemudian mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan sebagai perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara. Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkatoleh karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Dapat juga co-terapis membantu mengatasi kemacetan.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak pasif atau katalisator. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu-individu.
Di akhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya. (Kelliat, 2005).
2.1.7Perkembangan Kelompok
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan kembang. Pemimpin akan mengembangkan kelompok melalui empat fase (Kelliat, 2005) yaitu :
1.Fase prakelompok
Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai kelompok adalah tujuan dari kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin dan pelaksana kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk itu perlu disusun panduan pelaksanaan kegiatan kelompok.
2.Fase awal kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru. Dan peran yang baru. Fase ini terbagi dalam tiga fase (Kelliat, 2005) yaitu:
a.Tahap orientasi
Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan. Pemimpin kelompok mengorientasikan anggota pada tugas utama dan melakukan kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasian, waktu pertemuan, struktur, kejujuran dan aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang berbicara pada satu waktu, norma perilaku, rasa memiliki, atau kohesif antara anggota kelompok diupayakan terbentuk pada fase orientasi.
b.Tahap konflik
Peran dependen dan independent terjadi pada tahap ini, sebagian ingin pemimpin yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih mengarahkan, atau sebaliknya anggota ingin berperan sebagai pemimpin. Adapula anggota yang netral dan dapat membantu menyelesaikan konflik peran yang terjadi. Perasaan bermusuhan yang ditampilkan, baik antara kelompok maupun anggota dengan pemimpin dapat terjadi pada tahap ini. Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negative dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku yang tidak produktif, seperti menuduh anggota tertentu sebagai penyebab konflik.
c.Tahap kohesif
Setalah tahap konflik, anggota kelompok merasakan ikatan yang kuat satu sama lain. Perasaan p[ositif akan semakin sering diungkapkan. Pada tahap ini, anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu sama lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan anggota kelompok dalam melakukan penyelesaian masalah. Pada tahap akhir fase ini, tiap anggota kelompok belajar bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan, mereka belajar persamaan dan perbedaan, anggota kelompok akan membantu pencapaian tujuan yang menjadi suatui realitas.
c.Fase kerja kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim, walaupun mereka bekerja keras, tetapi menyenangkan bagi anggota dan pemimpin kelompok. Kelompok menjadi stabil dan realistis.
Tugas utama pemimpin adalah membantu kelompok mencapai tujuan dan tetap menjaga kelompok kea rah pencapaian tujuan, serta mengurangi dampak dari factor apa saja yang dapat mengurangi produktivitas kelompok. Selain itu pemimpin juga bertindak sebagai konsultan.
Beberapa problem yang mungkin muncul adalah subgroup, conflict, self-desclosure,dan resistance. Beberapa anggota kelompok menjadi sangat akrab, berlomba mendapatkan perhatian pemimpin, tidak ada lagi kerahasian karena keterbukaan sangat tinggi dan keengganan berubah perlu didefinisikan pemimpin kelompok agar segera melakukan strukturisasi.
Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian. Pada fase ini kelompok segera masuk ke fase berikutnya yaitu perpisahan.
d.Fase terminasi
Terminasi dapat sementara atau akhir. Terminasi dapat pula terjadi karena anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok.
Evaluasi umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian, baik kelompok maupun individu. Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrument evaluasi kemampuan individual dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi atau beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian tertentu. Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari.
2.1.8 Jenis Terapi Kelompok
Kegiatan kelompok dibedakan berdasarkan kegiatan kelompok sebagai tindakan keperawatan pada kelompok dan terapi kelompok. Menurut kelliat, 2005 membagi kelompok menjadi tiga yaitu :
1.Terapi kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. Focus terapi kelompok adalah membuat sadar diri, peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan atau ketiganya.
2.Kelompok terapeutik
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stress emosi, penyakit fisik krisis, tumbuh kembang, atau penyesuaian social, misalnya kelompok ibu hamil yang akan menjadi ibu, individu yang kehilangan, dan penyakit terminal. Banyak kelompok terapeutik dikembangkan menjadi self-help-group. Tujuan dari kelompok ini adalah sebagai berikut : mencegah masalah kesehatan, mendidik dan mengembangkan potensi anggota kelompok, meningkatkan kualitas kelompok. antara anggota kelompok saling membantu dalam menyelesaiakan masalah.
3.Terapi aktivitas kelompok (TAK)
Terapi aktivitas kelompok sering dipakai sebagai terapi tambahan. Terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi empat (Kelliat,2005) yaitu :
a.Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah.
Tujuan umum terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya. Sedangkan tujuan khususnya adalah klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat, klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami.
Aktivitas terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dibagi dalam empat bagian yaitu :
1)Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata sehari-hari
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien dengan perubahan perubahan persepsi sensori dan klien menarik diri yang telah mengikuti terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Aktivitas dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu aktivitas menonton televisi, aktivitas membaca majalah/Koran/artikel dan aktivitas melihat gambar.
2)Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata dan respon yang dialami dalam kehidupan
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien dengan perilaku kekerasan yang telah kooperatif. Aktivitas dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : aktivitas mengenal kekerasan yang biasa dilakukan, aktivitas mencegah kekerasan melalui kegiatan fisik, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi social asertif, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.
3)Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata yang menyebabkan harga diri rendah
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien gangguan konsep diri : harga diri rendah. Aktivitas ini dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : aktivitas mengidentifikasikan aspek yang membuat harga diri rendah dan aspek positif kemempuan yang dimiliki selama hidup (di rumah dan di rumah sakit), aktivitas melatih kemampuan yang dapat digunakan di rumah sakit dan di rumah
4)Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam kehidupan
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien yang mengalami perubahan persepsi sensori : halusinasi. Aktivitas ini dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : aktivitas mengenal halusinasi, aktivitas mengusir/menghardik halusinasi, aktivitas mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, aktivitas mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, aktivitas mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
Sesi 1 mengenal halusinasi
a)Tujuan
(1)Klien dapat mengenal halusinasi
(2)Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi
(3)Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi
(4)Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi
b)Setting
(1)Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran
(2)Tempat tenang dan nyaman
c)Alat
(1)Spidol
(2)Papan tulis/whiteboart/flipchat
d)Metode
(1)Diskusi dan Tanya jawab
(2)Bermain peran/stimulasi
e)Langkah Kegiatan
(1)Persiapan
Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu klien dengan perubahan persepsi sensori : halusinasi, khususnya klien dengan halusinasi pendengaran fase II : condemning. Membuat kontrak dengan klien, mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
(2)Orientasi
Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama), menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan nama).
Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
Kontrak
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar.
Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit, setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
(3) Tahap kerja
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar (halusinasi) tentang isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan klien pada saat terjadi.
Terapis meminta klien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan klien saat terjadi halusinasi. Mulai dari klien yang sebelah kanan, secara berurutanpai semua klien mendapat giliran. Hasilnya tulis di whiteboard.
Beri pujian kepada klien yang melakukan dengan baik
Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan klien dari suara yang biasa didengar.
(4)Tahap terminasi
Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
Tindak lanjut
Terapis meminta klien melaporkan isi, waktu, situasi dan perasaannya jika terjadi halusinasi.
Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi, menyepakati waktu dan tempat
f)Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses keperawatan klien.
Tabel 2.1
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 1
No
Nama klien
Menyebut isi halusinasi
Menyebut waktu terjadi halusinasi
Menyebut situasi terjadi halusinasi
Menyebut perasaan saat halusinasi
1
2
3
4
5
6
7
8
Petunjuk :
Tuliskan nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan mengenal halusinasi : isi, waktu, situasi, dan perasaan. Beri tanda (√) jika klien mampu dan tanda (x) jika klien tidak mampu.
TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG PERMAINAN EDUKATIF PADA ANAK PRA SEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lima tahun pertama kehidupan anak merupakan masa emas kehidupan individu (The Golden Years). Pada masa-masa The Golden Years tumbuh kembang anak berlangsung begitu pesat, stimulus atau respon tepat yang diberikan pada masa-masa puncak perkembangan memungkinkan anak mencapai prestasi perkembangan yang optimal, jadi semakin banyak stimulus yang diberikan orang tua kepada anaknya semakin banyak pula bekal yang diberikan untuk mengembangkan aspek kecerdasan emosionalnya. Peran dan kehadiran orang tua sangat dibutuhkan pada masa-masa awal tumbuh kembang anak, mengingat sebagian besar waktu anak dihabiskan di lingkungan rumah. Tumbuh kembang anak tidak mengenal waktu, senantiasa membutuhkan stimulus, respon, dan arahan setiap waktu. Salah satu stimulus yang dapat diberikan kepada anak untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya adalah dengan bermain (Rosida,2008)
Dunia anak adalah dunia bermain, karena selama rentang perkembangan usia dini anak melakukan kegiatan dengan bermain, mulai dari bayi, balita hingga masa kanak-kanak. Kebutuhan atau dorongan internal (terutama tumbuhnya sel saraf di otak) sangat memungkinkan anak melakukan berbagai aktivitas bermain tanpa mengenal lelah, dengan bermain anak dapat menyalurkan kelebihan energi yang terkandung dalam tubuhnya sekaligus belajar atau berlatih dalam suasana riang untuk meningkatkan fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Tetapi sering terjadi kesalahan fatal yang dilakukan orangtua, guru dan pengasuh terhadap anak karena mereka salah mengartikan tentang pentingnya bermain pada usia kanak-kanak. (Fajriananda,2008).
Permainan edukatif adalah suatu kegiatan yang menyenangkan dan dapat merupakan cara yang mendidik. Permainan edukatif dapat meningkatkan kemampuan berfikir, berbahasa, serta bergaul dengan orang lain. Selain itu, anak dapat menguatkan anggota badan, menjadi lebih terampil, dan menumbuhkan serta mengembangkan kepribadiannya. (Hutomo, 2008). Sekarang ini banyak diciptakan berbagai kegiatan permainan juga alat main yang semakin kreatif, mahal dan beraneka macam, bahkan telah diproduksi masal oleh pabrik-pabrik besar. Namun terkadang alat main tersebut kurang berfaedah bagi anak-anak karena sebenarnya alat bermain hanyalah alat bantu saja bagi seorang anak dan bukan merupakan indikator mutlak untuk anak berkembang lebih baik. Anak akan dapat bermain dengan manfaat yang besar apabila orang dewasa yang ada disekitar anak juga mengetahui sisi kegunaan mainan tersebut. bermain dapat dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat, karena dalam melakukan kegiatan bermain anak menggunakan seluruh pancainderanya. (Fajriananda,2008).
Para orangtua berusaha melakukan apa saja demi kebahagiaan buah hatinya, salah satunya memberikan mainan untuk anak. Meski bertujuan untuk membahagiakan anak, orangtua juga harus memahami dan menyeimbangkan antara kebutuhan dan apa yang diinginkan anak karena tak semua keinginan, baik untuk perkembangan fisik maupun psikis anak. Dalam perkembangan yang terjadi saat ini, sebagian orangtua mulai sadar bagaimana seharusnya memilih mainan yang baik untuk memenuhi kebutuhan anak sekaligus keinginan orangtua mencerdaskan putra putrinya (Indriana, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian di beberapa lembaga pendidikan anak pasekolah di 5 kota besar di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Bandung dan Makasar). Data memperlihatkan tingkat pengetahuan para orang tua tentang manfaat mestimulasi perkembangan anak dengan permainan edukatif didapatkan data sebanyak 42 % orang tua tingkat pengetahuan kurang, 33% dengan tingkat pengetahuan cukup, hanya 25% dengan pengetahuan baik. Sedangkan penyediaan alat permainan yang bersifat edukatif di sekolah didapatkan data hanya 42,4% sekolah menyedikan alat permainan edukatif (Fajriananda,2008). Beragamnya pendidikan orangtua mempengaruhi kemampuan dalam menstimulasi perkembangan anak. Di desa Angantaka orangtua khususnya para ibu yang mempunyai anak usia pra sekolah memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, yaitu 50 % lebih hanya lulusan SMP. Rendahnya latar belakang pendidikan orang tua membuat orang cenderung membiarkan anak berkembang apa adanya tanpa rangsangan/stimulasi dari luar sementara mereka juga memberi perlindungan yang berlebih kepada anaknya sehingga menghambat kesiapan berkembangnya anak. Salah satu peran aktif atau tugas orang tua adalah memberikan stimulasi pada perkembangan anak salah satunya adalah dengan menyediakan alat permainan edukatif. Kurang aktifnya orang tua dalam memberikan stimulasi pada perkembangan anak akan menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan pada anak sehingga mengakibatkan tidak tercapainya tingkat perkembangan yang optimal.
TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG PERMAINAN EDUKATIF PADA ANAK PRA SEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lima tahun pertama kehidupan anak merupakan masa emas kehidupan individu (The Golden Years). Pada masa-masa The Golden Years tumbuh kembang anak berlangsung begitu pesat, stimulus atau respon tepat yang diberikan pada masa-masa puncak perkembangan memungkinkan anak mencapai prestasi perkembangan yang optimal, jadi semakin banyak stimulus yang diberikan orang tua kepada anaknya semakin banyak pula bekal yang diberikan untuk mengembangkan aspek kecerdasan emosionalnya. Peran dan kehadiran orang tua sangat dibutuhkan pada masa-masa awal tumbuh kembang anak, mengingat sebagian besar waktu anak dihabiskan di lingkungan rumah. Tumbuh kembang anak tidak mengenal waktu, senantiasa membutuhkan stimulus, respon, dan arahan setiap waktu. Salah satu stimulus yang dapat diberikan kepada anak untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya adalah dengan bermain (Rosida,2008)
Dunia anak adalah dunia bermain, karena selama rentang perkembangan usia dini anak melakukan kegiatan dengan bermain, mulai dari bayi, balita hingga masa kanak-kanak. Kebutuhan atau dorongan internal (terutama tumbuhnya sel saraf di otak) sangat memungkinkan anak melakukan berbagai aktivitas bermain tanpa mengenal lelah, dengan bermain anak dapat menyalurkan kelebihan energi yang terkandung dalam tubuhnya sekaligus belajar atau berlatih dalam suasana riang untuk meningkatkan fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Tetapi sering terjadi kesalahan fatal yang dilakukan orangtua, guru dan pengasuh terhadap anak karena mereka salah mengartikan tentang pentingnya bermain pada usia kanak-kanak. (Fajriananda,2008).
Permainan edukatif adalah suatu kegiatan yang menyenangkan dan dapat merupakan cara yang mendidik. Permainan edukatif dapat meningkatkan kemampuan berfikir, berbahasa, serta bergaul dengan orang lain. Selain itu, anak dapat menguatkan anggota badan, menjadi lebih terampil, dan menumbuhkan serta mengembangkan kepribadiannya. (Hutomo, 2008). Sekarang ini banyak diciptakan berbagai kegiatan permainan juga alat main yang semakin kreatif, mahal dan beraneka macam, bahkan telah diproduksi masal oleh pabrik-pabrik besar. Namun terkadang alat main tersebut kurang berfaedah bagi anak-anak karena sebenarnya alat bermain hanyalah alat bantu saja bagi seorang anak dan bukan merupakan indikator mutlak untuk anak berkembang lebih baik. Anak akan dapat bermain dengan manfaat yang besar apabila orang dewasa yang ada disekitar anak juga mengetahui sisi kegunaan mainan tersebut. bermain dapat dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat, karena dalam melakukan kegiatan bermain anak menggunakan seluruh pancainderanya. (Fajriananda,2008).
Para orangtua berusaha melakukan apa saja demi kebahagiaan buah hatinya, salah satunya memberikan mainan untuk anak. Meski bertujuan untuk membahagiakan anak, orangtua juga harus memahami dan menyeimbangkan antara kebutuhan dan apa yang diinginkan anak karena tak semua keinginan, baik untuk perkembangan fisik maupun psikis anak. Dalam perkembangan yang terjadi saat ini, sebagian orangtua mulai sadar bagaimana seharusnya memilih mainan yang baik untuk memenuhi kebutuhan anak sekaligus keinginan orangtua mencerdaskan putra putrinya (Indriana, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian di beberapa lembaga pendidikan anak pasekolah di 5 kota besar di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Bandung dan Makasar). Data memperlihatkan tingkat pengetahuan para orang tua tentang manfaat mestimulasi perkembangan anak dengan permainan edukatif didapatkan data sebanyak 42 % orang tua tingkat pengetahuan kurang, 33% dengan tingkat pengetahuan cukup, hanya 25% dengan pengetahuan baik. Sedangkan penyediaan alat permainan yang bersifat edukatif di sekolah didapatkan data hanya 42,4% sekolah menyedikan alat permainan edukatif (Fajriananda,2008). Beragamnya pendidikan orangtua mempengaruhi kemampuan dalam menstimulasi perkembangan anak. Di desa Angantaka orangtua khususnya para ibu yang mempunyai anak usia pra sekolah memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, yaitu 50 % lebih hanya lulusan SMP. Rendahnya latar belakang pendidikan orang tua membuat orang cenderung membiarkan anak berkembang apa adanya tanpa rangsangan/stimulasi dari luar sementara mereka juga memberi perlindungan yang berlebih kepada anaknya sehingga menghambat kesiapan berkembangnya anak. Salah satu peran aktif atau tugas orang tua adalah memberikan stimulasi pada perkembangan anak salah satunya adalah dengan menyediakan alat permainan edukatif. Kurang aktifnya orang tua dalam memberikan stimulasi pada perkembangan anak akan menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan pada anak sehingga mengakibatkan tidak tercapainya tingkat perkembangan yang optimal.
gangguan isi pikir : Waham curiga
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap manusia mengingankan suatu bentuk kehidupan yang berjalan teratur dan terpenuhi semua kebutuhan sesuai apa yang direncanakan. Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan dasar berbentuk piramida yang harus terpenuhi yaitu fisiologi, rasa nyaman dan aman, mencintai dan dicintai. Apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar tersebut akan mengakibatkan manusia berusaha memenuhi kebutuhan tersebut dengan jalan berusaha menyusuaikan diri terhadap lingkungannya. Bila tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik akan dapat menimbulkan ketegangan atau akan mengalami hal yang dapat merupakan faktor pencetus penyebab suatu penyakit ataupun stress psikososial.
Perkembangan jaman yang terus berjalan sudah tentu akan menghasilkan suatu kondisi yang penuh gejolak dan persaingan yang sangat ketat, bahkan cenderung mengarah pada iklim kompetisi yang kurang sehat ditambah krisis yang berkepanjangan yang dialami oleh bangsa indonesia baik krisis ekonomi yang berdampak pada adanya peningkatan harga-harga kebutuhan dasar yang salah satunya adalah peningkatan BBM yang terus meningkat yang berimbas pada peningkatan harga yang terus melambung. disamping itu belakangan ini Bangsa Indonesia beberapa kali mengalami kejadian baik yang disebabkan karena fenomena alam seperti banjir, tanah longsor dan lain-lain, juga kejadian yang disebabkan oleh perbuatan manusia itu sendiri seperti adanya Bom Bali I dan II yang sangat berpengaruh pada semua sektor kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Bali dimana berdampak pada makin lesunya perekonomian dan makin meningkatnya angka pengangguran. Semua hal tersebut diatas akan berdampak pada makin tinginya angka kemiskinan di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Proses keperawatan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat langsung seperti masalah kesehatan fisik, memperlihatkan gejala yang berbeda dan muncul dengan berbagai penyebab. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan memerlukan metode ilmiah dalam memberikan proses keperawatan yang therapiutik berbentuk Bio – Psiko – sosial – spiritual dengan tujuan membantu menyelesaikan masalah dan kebutuhan klien melalui perawatan dan peningkatan pengetahuan kesehatan. Dengan melibatkan kerja sama dengan klien, keluarga, dan atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
Salah satu penyakit gangguan jiwa yang menyebabkan klien mengalami gangguan isi pikir : waham curiga adalah Skizoprenia. Berdasarkan laporan tahunan BPK RSJ Propinsi Bali periode Januari – Juli 2005 jumlah klien rawat inap berjumlah 1103 orang klien dimana terdapat 1034 klien (93,74%) yang menderita Skizoprenia dan jumlah klien rawat inap periode yang sama berjumlah 2819 orang klien dimana 1704 orang klien (60,45 %) menderita Skizoprenia. Untuk tahun 2006 jumlah klien di ruang Drupadi 84 % menderita skizoprenia dari 126 orang klien yang dirawat pada periode tersebut. Data tersebut bukanlah jumlah penderita yang sebenarnya dimasyarakat, penderita gangguan jiwa dimasyarakat dapat digambarkan sebagai suatu fenomena “ Gunung Es “ dimana yang jumlah penderitayang tercatat di BPK RSJ Propinsi Bali hanyalah sebagian kecil dari semua kasus dikarenakan adanya pelayanan kesehatan jiwa di RSU, pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas serta kunjungan ke klinik swasta dan dokter praktek. Kenyataannya dimasyarakat masih banyak penderita gangguan jiwa yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang disebabkan oleh karena faktor ekonomi (biaya), kurangnya pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa serta keengganan keluarga membawa penderita ke RSJ karena malu dan lebih memilih pengobatan alternatif.
Pada penderits skizoprenia terdapat gejala primer berupa gangguan pada proses berpikir, gangguan afek dan emosi, gangguan kemauan dan gejala psikomotor. Sedangkan pada gejala sekunder terdapat waham dan halusinasi ( Marimis 2004). Waham merupakan salah satu gejala sekunder yang umum terjadi pada klien dengan skizoprenia dimana merupakan gangguan proses pikir ( isi pikir ) yaitu kenyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak dinyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas sosial ( Stuart dan sundeen, 1998). Ada beberapa jenis waham salah satunya adalah waham curiga yang merupakan kecurigaan yang berlebihan atau tidak rasional dan tidak mempercayai orang lain, dicirikan dengan waham yang sistematis bahwa orang lainingin menangkap dan memata-matainya (Stuart dan sundeen, 1998). Pada kasus-kasus skizoprenia dengan prilaku waham, individu mencoba berprilaku sesuai dengan jenis waham yang dinyakininya, dengan prilaku yang tampak curiga, sikap eksentrik, ketakutan, murung, bicara sendiri dan lain-lain. Apabila waham ii tidak ditanggulangio dengan segera menyebabkan individu mengalami gangguan yang lebih derat misalnya, resiko menciderai diri sendiri dan orang lain
Berdasarkan kenyataan ini penulis tertarik untuk mengangkat kasus penderita dengan gangguan isi pikir waham : curiga yang merupakan salah satu gangguan perilaku pada kasus-kasus Skizoprenia juga karena penyembuhan klien dengan kasus ini tidak saja memerlukan pengobatan tetapi yang paling penting adalah bagaimana perawatan yang diberikan dalam lingkungan yang kondusif, untuk itu dibutuhkan ketrampilan yang khusus agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal dengan menitik beratkan pada keadaan psikososial tanpa mengabaikan keadaan fisiknya.
23 Maret 2009
GAMBARAN PENDAMPINGAN SELAMA PROSES PERSALINAN KALA SATU PADA IBU BERSALIN DI RUANG VK RUMAH
A. Pendampingan
1. Pengertian
Pendampingan adalah perbuatan mendampingi, menemani dan menyertai dalam suka dan duka (Depdiknas, 2001). Keluarga adalah dua individu atau lebih yang tergabung menjadi satu hubungan darah, hubungan perkawinan, hidup dalam satu rumah tangga, saling berinteraksi serta mempertahankan kebudayaan (Effendy, 1998).
2. Dukungan pendampingan persalinan
Menurut Marshall (2000) menyebutkan bahwa dukungan pada persalinan dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Dukungan fisik adalah dukungan lansung berupa pertolongan lansung yang diberikan oleh keluarga atau suami kepada ibu bersalin.
b. Dukungan emosional adalah dukungan berupa kehangatan, kepedulian maupun ungkapan empati yang akan menimbulkan keyakinan bahwa ibu merasa dicintai dan diperhatikan oleh suami, yang pada akhirnya dapat berpengaruh kepada keberhasilan.
Persalinan adalah saat menegangkan dan menggugah emosi bagi ibu dan keluarga. Persalinan menjadi saat yang menyakitkan dan menakutkan bagi ibu, karena itu pastikan bahwa setiap ibu mendapatkan asuhan sayang ibu selama persalinan dan kelahiran. Asuhan ibu yang dimaksud berupa dukungan emosional dari suami dan anggota keluarga lain untuk berada di samping ibu selama proses persalinan dan kelahiran. Suami dianjurkan untuk melakukan peran aktif dalam mendukung ibu dan mengidentifikasi langkah-langkah yang mungkin untuk kenyamanan ibu. Hargai keinginan ibu untuk menghadirkan teman atau saudara untuk menemaninya (Depkes RI,2002).
Dukungan suami dalam proses persalinan akan memberi efek pada sistem limbic ibu yaitu dalam hal emosi, emosi ibu yang tenang akan menyebabkan sel-sel neuronnya mensekresi hormon oksitosin yang reaksinya akan menyebabkan kontraktilitas uterus pada akhir kehamilan untuk mengeluarkan bayi (Guyton, 1997).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pendamping persalinan
Menurut Hamilton (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi peran pendamping persalinan antara lain sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, pengetahuan, umur dan pendidikan.
4. Peran pendamping
Menurut Hamilton (1995) menyatakan peran pendamping selama proses persalinan yaitu :
a. Mengatur posisi ibu, dengan membantu ibu tidur miring atau sesuai dengan keinginan ibu disela-sela kontraksi dan mendukung posisi ini agar dapat mengedan secara efektif saat relaksasi.
b. Mengatur nafas ibu, dengan cara membimbing ibu mengatur nafas saat kontraksi dan beristirahat saat relaksasi.
c. Memberikan asuhan tubuh dengan menghapuskan keringat ibu, memegang tangan, memberikan pijatan, mengelus perut ibu dengan lembut
d. Memberi informasi kepada ibu tentang kemajuan persalinan.
e. Menciptakan suasana kekeluargaan dan rasa aman
f. Membantu ibu ke kamar mandi
g. Memberikan cairan dan nutrisi sesuai keinginan ibu
h. Memberikan dorongan spiritual dengan ikut berdoa
i. Memberi dorongan semangat mengedan saat kontraksi serta memberikan pujian atas kemampuan ibu saat mengedan.
GAMBARAN PENDAMPINGAN SELAMA PROSES PERSALINAN KALA SATU PADA IBU BERSALIN DI RUANG VK RUMAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis serta peristiwa alamiah yang sangat dinantikan oleh ibu dan keluarga selama sembilan bulan. Ketika proses persalinan dimulai, peran ibu adalah melahirkan bayinya, sedangkan peran petugas kesehatan adalah memantau persalinan untuk mendeteksi dini adanya kompikasi serta bersama keluarga memberikan bantuan dan dukungan ibu bersalin (Saifuddin, 2002). Asuhan keperawatan yang diberikan pada ibu bersalin bertujuan untuk mengupayakan kelangsungan hidup dan mencapai derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya dengan memperhatikan asuhan sayang ibu. Prinsip asuhan sayang ibu antara lain saling menghargai budaya, kepercayaan dan keinginan sang ibu. Salah satu prinsip dasar asuhan sayang ibu adalah mengikutsertakan suami dan keluarga selama proses persalinan dan kelahiran bayi. Banyak hasil penelitian menunjukkan jika ibu diperhatikan dan diberi dukungan serta didampingi oleh suami selama persalinan dan kelahiran bayi serta mengetahui dengan baik mengenai proses persalinan dan asuhan yang akan mereka terima, mereka akan mendapatkan rasa aman serta dapat mengurangi persalinan dengan tindakan (Depkes RI, 2002).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa calon ibu yang persalinannya didampingi oleh suami lebih jarang mengalami depresi pasca persalinan dibandingkan yang tidak didampingi. Penelitian lain terhadap 200 ibu melahirkan di rumah sakit yang berada di 5 kota besar di Indonesia, diperoleh fakta sekitar 86,2% menyatakan perasaan senang dan bahagia karena selama proses persalinan didampingi oleh suami dan sisanya merasa senang bila didampingi keluarga khususnya ibu kandung (Aswiningrum, http://www.situs kesrepro.htm). Pendamping terutama orang terdekat ibu selama proses persalianan ternyata dapat membuat persalinan menjadi lebih singkat, nyeri berkurang, robekan jalan lahir lebih jarang serta nilai APGAR pun menjadi lebih baik (Iskandar, 2005). Namum saat ini partisipasi pria dalam kesehatan reproduksi masih sangat rendah, masih banyak suami belum mampu menunjukkan dukungan penuh terhadap proses persalinan, terdapat sekitar 68% persalinan di Indonesia tidak didampingi suami selama proses persalinan (Cholil, 2002). Di RSUD Sanjiwani Gianyar data tentang pendampingan selama proses persalinan tidak ada karena sebelumnya tidak pernah diadakan penelitian.
Saat ini kehadiran suami dalam kamar bersalin telah disambut dengan baik karena dapat membawa ketentraman bagi istri yang akan melahirkan, suami juga dapat memainkan peranan yang aktif dalam memberikan dukungan fisik dan moral kepada istrinya. Suami yang telah ikut aktif berpartisipasi dalam kursus antenatal dan persiapan kelahiran biasanya memandang persalinan sebagai hal yang positif (Ferrer, 2001). Dalam proses persalinan suami biasanya ingin turut berpartisipasi dalam kelahiran anak mereka. Dalam proses kelahiran, suami dapat ikut berperan membantu agar ibu dapat menjalani proses persalinan dengan lancar. Peran yang dapat suami lakukan dalam proses persalihan antara lain mengatur posisi ibu, memberikan nutrisi dan cairan, mengalihkan perhatian ibu dari rasa nyeri selama proses persalinan, mengukur waktu kontraksi, mengusap-usap punggung ibu, menjadi titik fokus, bernapas bersama ibu saat kontraksi, menginformasikan kemajuan persalinan, memberikan dorongan spiritual, memberi dukungan moral, menghibur dan memberi dorongan semangat (Lucianawaty.http://www.bibilung.wordress.com).
Peran dan tanggung jawab suami sangat berpengaruh dalam kesehatan terkait dengan persiapan persalinan. Suami diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan istrinya saat dalam proses kehamilan dan persiapan sampai dengan saat proses persalinan. Sampai saat ini masih banyak suami yang bersikap dan berperilaku kurang bertanggung jawab dalam kesehatan reproduksi, sehingga membahayakan persalinan. Pendekatan baru dalam meningkatkan peran suami dalam kesehatan reproduksi adalah membekali suami dengan informasi yang benar dan mengikutsertakan mereka dalam setiap upaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi. Kenyataannya pria/suami merupakan patner yang potensial untuk mencapai tingkat kesehatan reproduksi yang lebih baik.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis serta peristiwa alamiah yang sangat dinantikan oleh ibu dan keluarga selama sembilan bulan. Ketika proses persalinan dimulai, peran ibu adalah melahirkan bayinya, sedangkan peran petugas kesehatan adalah memantau persalinan untuk mendeteksi dini adanya kompikasi serta bersama keluarga memberikan bantuan dan dukungan ibu bersalin (Saifuddin, 2002). Asuhan keperawatan yang diberikan pada ibu bersalin bertujuan untuk mengupayakan kelangsungan hidup dan mencapai derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya dengan memperhatikan asuhan sayang ibu. Prinsip asuhan sayang ibu antara lain saling menghargai budaya, kepercayaan dan keinginan sang ibu. Salah satu prinsip dasar asuhan sayang ibu adalah mengikutsertakan suami dan keluarga selama proses persalinan dan kelahiran bayi. Banyak hasil penelitian menunjukkan jika ibu diperhatikan dan diberi dukungan serta didampingi oleh suami selama persalinan dan kelahiran bayi serta mengetahui dengan baik mengenai proses persalinan dan asuhan yang akan mereka terima, mereka akan mendapatkan rasa aman serta dapat mengurangi persalinan dengan tindakan (Depkes RI, 2002).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa calon ibu yang persalinannya didampingi oleh suami lebih jarang mengalami depresi pasca persalinan dibandingkan yang tidak didampingi. Penelitian lain terhadap 200 ibu melahirkan di rumah sakit yang berada di 5 kota besar di Indonesia, diperoleh fakta sekitar 86,2% menyatakan perasaan senang dan bahagia karena selama proses persalinan didampingi oleh suami dan sisanya merasa senang bila didampingi keluarga khususnya ibu kandung (Aswiningrum, http://www.situs kesrepro.htm). Pendamping terutama orang terdekat ibu selama proses persalianan ternyata dapat membuat persalinan menjadi lebih singkat, nyeri berkurang, robekan jalan lahir lebih jarang serta nilai APGAR pun menjadi lebih baik (Iskandar, 2005). Namum saat ini partisipasi pria dalam kesehatan reproduksi masih sangat rendah, masih banyak suami belum mampu menunjukkan dukungan penuh terhadap proses persalinan, terdapat sekitar 68% persalinan di Indonesia tidak didampingi suami selama proses persalinan (Cholil, 2002). Di RSUD Sanjiwani Gianyar data tentang pendampingan selama proses persalinan tidak ada karena sebelumnya tidak pernah diadakan penelitian.
Saat ini kehadiran suami dalam kamar bersalin telah disambut dengan baik karena dapat membawa ketentraman bagi istri yang akan melahirkan, suami juga dapat memainkan peranan yang aktif dalam memberikan dukungan fisik dan moral kepada istrinya. Suami yang telah ikut aktif berpartisipasi dalam kursus antenatal dan persiapan kelahiran biasanya memandang persalinan sebagai hal yang positif (Ferrer, 2001). Dalam proses persalinan suami biasanya ingin turut berpartisipasi dalam kelahiran anak mereka. Dalam proses kelahiran, suami dapat ikut berperan membantu agar ibu dapat menjalani proses persalinan dengan lancar. Peran yang dapat suami lakukan dalam proses persalihan antara lain mengatur posisi ibu, memberikan nutrisi dan cairan, mengalihkan perhatian ibu dari rasa nyeri selama proses persalinan, mengukur waktu kontraksi, mengusap-usap punggung ibu, menjadi titik fokus, bernapas bersama ibu saat kontraksi, menginformasikan kemajuan persalinan, memberikan dorongan spiritual, memberi dukungan moral, menghibur dan memberi dorongan semangat (Lucianawaty.http://www.bibilung.wordress.com).
Peran dan tanggung jawab suami sangat berpengaruh dalam kesehatan terkait dengan persiapan persalinan. Suami diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan istrinya saat dalam proses kehamilan dan persiapan sampai dengan saat proses persalinan. Sampai saat ini masih banyak suami yang bersikap dan berperilaku kurang bertanggung jawab dalam kesehatan reproduksi, sehingga membahayakan persalinan. Pendekatan baru dalam meningkatkan peran suami dalam kesehatan reproduksi adalah membekali suami dengan informasi yang benar dan mengikutsertakan mereka dalam setiap upaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi. Kenyataannya pria/suami merupakan patner yang potensial untuk mencapai tingkat kesehatan reproduksi yang lebih baik.