20 Juni 2011

HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN MINUM OBAT DENGAN KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA PROPINSI BALI

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Pada saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2006 disebutkan bahwa sekitar 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, dari tingkat ringan hingga berat. Sedangkan data yang dikeluarkan Departemen Kesehatan menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,5 juta jiwa, yang diambil dari data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) se-Indonesia (www. mediaindonesia.com. 20 Desember 2010).
Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak produktif dan tidak efesien (Hawari, 2006). Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah skizofrenia. Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Hawari, 2006).
Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di Indonesia, di mana sekitar 99% klien di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006). Berdasarkan laporan rumah sakit di Indonesia, ditemukan prevalensi gangguan jiwa cenderung meningkat dari 1,9% pada tahun 1990 menjadi 2,0% pada tahun 1995 (Depkes RI, 2006). Sedangkan Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) yang dilakukan pada tahun 2005 menemukan prevalensi gejala gangguan jiwa sebesar 220 orang per 1000 penduduk (Bahar 2006). Di Bali diperkirakan terdapat 7000 orang penduduk mengalami gangguan jiwa berat (Suryani, 2009). Berdasarkan laporan tahunan RSJ Propinsi Bali tahun 2010 dari tiga bulan terakhir (Agustus, September, Oktober diperoleh data bahwa dari 915 pasien yang masuk dan dirawat inap di RSJ terdapat 874 klien (95,5 %) yang menderita skozofrenia diantaranya 620 laki – laki (70,9 %) dan 254 perempuan (29,1 %).
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang dianggap paling serius. Bagi kalangan medis, terapi paling dasar yang diberikan untuk pemulihan pasien yaitu pengobatan antipsikotik. Akan tetapi, kegagalan untuk rutin meminum obat-obatan anti psikotik menjadi penghambat pemulihan. Skizofrenia harus dipahami dan ditangani dengan tepat untuk mengurangi terjadinya kekambuhan sehingga pasien dapat memiliki kehidupan yang lebih produktif. Dalam menghadapi penyakit ini, kontinuitas pengobatan merupakan salah satu faktor utama keberhasilan terapi. Pasien yang tidak patuh pada pengobatan akan memiliki resiko kekambuhan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang patuh pada pengobatan. Ketidakpatuhan berobat ini yang merupakan alasan pasien kembali dirawat di rumah sakit (Aswin,2010).
Pasien dengan diagnosis skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua (Suryani, 2005) dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit jiwa (Suryani, 2005). Sedangkan menurut Solomon dkk, dalam Akbar (2008), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40% penderita mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat inap 40%-50% penderita mengalami kekambuhan, dan setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75% penderita mengalami kekambuhan, (Porkony dkk, dalam Akbar, 2008). Konsekuensi dari kekambuhan juga menyengsarakan penderita yaitu sebanyak 50% psikiater mengatakan klien mereka bunuh diri sebagai akibat kambuh (Lilly, 2008). Dengan pengobatan modern, bila klien datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan mereka masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social recovery). Sisanya biasanya mempunyai prognosa yang jelek, mereka tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju kemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa (Maramis, 2004).
Pasien yang kambuh membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali pada kondisi semula dan dengan kekambuhan yang berulang, kondisi penderita bisa semakin memburuk dan sulit untuk kembali ke keadaan semula, oleh karena itu, kecenderungan pengobatan skizofrenia saat ini tidak cukup hanya pada pengendalian gejalanya saja, tetapi juga harus dapat mencegah kekambuhan penyakit sehingga dapat mengembalikan fungsi pasien untuk produktif dan akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidupnya. (Aswin,2010).
Sedangkan pada pasien yang telah dipulangkan ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress. sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit (Widodo, 2009).
Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali adalah rumah sakit milik pemerintah Propinsi Bali yang diklasifikasikan sebagai kelas A pendidikan Berikut ini dapat diketahui perbandingan jumlah pasien yang mengalami kekambuhan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali pada triwulan terakhir tahun 2009 dan tahun 2010 dengan rincian:
Bulan Tahun 2009 Tahun 2010
Pasien lama Pasien baru Pasien lama Pasien baru
Oktober 113 102 126 120
Nopember 119 107 131 124
Desember 110 115 128 121
Jumlah 342 324 385 365
Sumber : catatan medik RS Jiwa Propinsi Bali, 2010
Dari data tersebut diatas dapat terlihat jelas pada data tiga bulan terakhir pada tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah pasien yang mengalami kekambuhan di RS Jiwa Propinsi Bali, yaitu sebanyak 43 pasien dari jumlah pasien lama pada periode yang sama tahun 2009. Perbandingan pasien lama dan baru yaitu pada tahun 2009 sebanyak 342 pasien lama dan 324 pasien baru, sedangkan tahun 2010 sebanyak 385 pasien lama dan 365 pasien baru. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang hubungan kepatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Propinsi Bali.

I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat ditentukan rumusan masalah yaitu : Apakah ada hubungan ketidakpatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Propinsi Bali tahun 2010?
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ketidakpatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Propinsi Bali tahun 2010.
I.3.2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui :
a. Mengidentifikasi ketidak patuhan minum obat pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.
b. Mengidentifikasi kekambuhan klien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.
c. Menganalisa hubungan ketidakpatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Propinsi Bali.
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya body of knowledge dari ilmu kesehatan jiwa.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat bagi Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, agar petugas medis dan paramedis dapat mengetahui dan memahami hubungan ketidakpatuhan minum obat kekambuhan yang dialami pasien skizofrenia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar