LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBINEMIA (IKTERUS NEONATORUM)
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi / Pengertian
Hiperbilirubinemia / Ikterus neonatorum) adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning ( Ngastiyah, 1997).
2.Epidemiologi ( insiden kasus )
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.
3. Klasifikasi
Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis ( Ngastiyah,1997).
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987, Ngastiyah, ):
• Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.
• Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
• Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
• Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
• Ikterus hilang pada 10 hari pertama
• Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu
Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik.
b. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis.
Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut :
Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis).
Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
4. Penyebab ( Faktor Predisposisi )
a.Penyebab Ikterus fisiologis
- Kurang protein Y dan Z
- Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
b.Penyebab ikterus patologis
1) Peningkatan produksi :
• Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
• Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
• Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
• Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
• Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
• Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
• Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2) Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn,dll.
3) Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis,dll.
4) Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5) Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif, hirschsprung.
5 . Patofisiologi Ikterus
Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih dahulu akan diuraikan tentang metabolisme bilirubin
a. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
Diagram Metabolisme Bilirubin
ERITROSIT
HEMOGLOBIN
HEM
GLOBIN
BESI/FE
BILIRUBIN INDIREK
( tidak larut dalam air )
Terjadi pada
Limpha, Makrofag
BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN ALBUMIN
Terjadi dalam
plasma darah
MELALUI HATI
BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN GLUKORONAT/ GULA RESIDU BILIRUBIN DIREK
( larut dalam air )
Hati
BILIRUBIN DIREK DIEKSRESI KE KANDUNG EMPEDU
Melalui
Duktus Billiaris
KANDUNG EMPEDU KE DUODENUM
BILIRUBIN DIREK DI EKSKRESI MELALUI URINE & FECES
b. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).
6. Komplikasi
Komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi Kern Ikterus yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.Gambaran klinik dari kern ikterus adalah :
- Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputar-putar
- Letargi, lemas tidak mau menghisap.
- Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus
- Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
- Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.
7. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal, danlain-lain.
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri. Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis, fibrosis kistis dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau patologis.
Ikterus fisiologis.
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1 – 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai puncak antara hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7 kehidupan.
Hiperbilirubin patologis.
Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi , berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl pada bayi aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada kadar yanglebihrendah(10–15mg/dl) .
DiagnosisBanding
Ikterus yang timbul 24 jam pertama kehidupan mungkin akibat eritroblstosis foetalis, sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya. Ikterus yang permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk adanya septicemia, atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya.
Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome”. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pylorus.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan sesuai dengan waktu timbulnya ikterus, yaitu :
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb:
• Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
• Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
• Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
• Kadar Bilirubin Serum berkala.
• Darah tepi lengkap (blood smear perifer ) untuk menunjukkan sel darah merah abnormal atau imatur, eritoblastosisi pada penyakit Rh atau sferosis pada inkompatibilitas ABO.
• Golongan darah ibu dan bayi untuk mengidentifikasi inkompeten ABO.
• Test Coombs pada tali pusat bayi baru lahir
Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A dan anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi ( Rh+, anti A, anti B dari neonatus )
• Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.
b. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
• Biasanya Ikterus fisiologis.
• Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
• Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
• Polisetimia.
• Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:
• Pemeriksaan darah tepi.
• Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
• Pemeriksaan lain bila perlu.
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
• Sepsis.
• Dehidrasi dan Asidosis.
• Defisiensi Enzim G6PD.
• Pengaruh obat-obat.
• Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
• Karena ikterus obstruktif.
• Hipotiroidisme
• Breast milk Jaundice.
• Infeksi.
• Hepatitis Neonatal.
• Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
• Pemeriksaan Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan darah tepi.
• Skrining Enzim G6PD.
• Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
9. Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
Menghilangkan Anemia
Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
Meningkatkan Badan Serum Albumin
Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
a. Fototherapi
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg%. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga dapt dikeluarkan melalui urin dan faeces. Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic usus meningkat dan bilirubin keluar bersama faeces. Dengan demikian kadar bilirubin akan menurun.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi sinar adalah :
1) Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.
2) Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam. Sebelum digunakan cek apakah lampu semuanya menyala. Tempelkan pada alat terapi sinar ,penggunaan yang keberapa pada bayi itu untuk mengetahui kapan mencapai 500 jam penggunaan.
3) Pasang label , kapan mulai dan kapan selesainya fototerapi.
Komplikasi fototerapi :
1) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (IWL) (penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3kali lebih besar.
2) Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya bilirubin indirek dalam cairan empedu dan meningkatnya peristaltik usus.
3) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar ( berupa kulit kemerahan)tetapi akan hilang setelah terapi selesai.
4) Gangguan retina bila mata tidak ditutup.
5) Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian lampu dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu semua dimatikan sementara, bayi dikompres dingin dan diberikan ekstra minum.
6) Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan.
b.Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
Tes Coombs Positif
Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
Bayi dengan Hidrops saat lahir.
Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
c.Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses keperawatan yang meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.
1. Pengkajian
a. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
b.Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah, iritabilitas.
c. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia .
Analisa Data :
Data Subyektif Data Obyektif
1.Ibu mengatakan anak rewel, daya hisap lemah .
2. Ibu mengatakan merasa khawatir dan takut karena tidak bisa terus bersama- sama dengan bayinya. 1. Kulit dan sklera terlihat kuning
2. Bayi iritabel, letargi
3. Kadar bilirubin indirek lebih dari 12,5 mg% pada bayi cukup bulan dan pada bayi BBLR lebih dari 10 mg%
4. Kulit tampak kemerahan.
5. Frekuensi bab meningkat.
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.
b. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi.
c. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
d. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
e. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
f. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
g. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi) berhubungan dengan tranfusi tukar.
h. PK : Kern Ikterus
3. Rencana Asuhan Keperawatan .
a. Dx Keperawatan :
Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :
1) Jumlah intake dan output seimbang
2) Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
3) Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
1) Kaji reflek hisap bayi ( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
2) Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat (R: menjamin keadekuatan intake )
3) Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces( R : mengetahui kecukupan intake )
4) Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam (R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi )
5) Timbang BB setiap hari (R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
b. Dx Perawatan :
Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan rasionalisasi :
1) Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam (R : suhu terpantau secara rutin )
2) Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin serta ekstra minum ( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
3) Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi ( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi ).
c. Diagnosa Keperawatan :
Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :
1) tidak terjadi decubitus
2) Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
1) Kaji warna kulit tiap 8 jam (R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
2) Ubah posisi setiap 2 jam (R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
3) Masase daerah yang menonjol (R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah tersebut ).
4) Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab ( R : mencegah lecet )
5) Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan (R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
d. Diagnosa Keperawatan :
Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi :
1) Bawa bayi ke ibu untuk disusui ( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
2) Buka tutup mata saat disusui (R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
3) Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya (R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
4) Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan ( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
5) Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya (R: mengurangi beban psikis orangtua)
e. Diagnosa Keperawatan :
Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan :
Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam perawatan.
Intervensi :
1) Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien ( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
2) Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya ( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
3) Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah (R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)
f.Diagnosa Keperawatan :
Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
1) Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya ( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
2) Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir (R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif 0
3) Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam (R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
4) Buka penutup mata setiap akan disusukan. ( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).
5) Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan ( R : memberi rasa aman pada bayi ).
g.Diagnosa Keperawatan :
Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
1) Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan (R : menjamin keadekuatan akses vaskuler )
2) Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan ( R : mencegah trauma pada vena umbilical ).
3) Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan (R: mencegah aspirasi )
4) Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur ( R : mencegah hipotermi
5) Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar ( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0
6) Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit, kejang
selama dan sesudah tranfusi (R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat melakukan tindakan lebih dini )
7) Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif (R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan )
h. Dx perawatan :
PK Kern Ikterus
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tanda-tanda awal kern ikterus bisa dipantau
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda awal Kern Ikterus ( mata berputar, letargi , epistotonus, dll )
2) Kolaborasi dengan dokter bila ada tanda-tanda kern ikterus.
4. Aplikasi Discharge Planing.
Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi hiperbilirubinemia (Waley &Wong, 1994):
1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.
2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan kelancaran air susu.
3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin bayi.
4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah peningkatan bilirubin.
5. Mengajarkan tentang perawatan kulit :
• Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.
• Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit yang rusak.
• Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.
• Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
• Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet karena gesekan
• Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang lama, garukan .
• Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.
• Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit, capilari reffil.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38 celsius)
2. Perawatan tali pusat / umbilikus
3. Mengganti popok dan pakaian bayi
4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru
5. Temperatur / suhu
6. Pernapasan
7. Cara menyusui
8. Eliminasi
9. Imunisasi
10. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
• letargi ( bayi sulit dibangunkan )
• demam ( suhu > 37 celsius)
• muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
• diare ( lebih dari 3 x)
• tidak ada nafsu makan.
11. Keamanan
• Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.
• Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.
Pembentukan Ggn Konjugasi Bilirubin Ggn transportasi Ggn ekskresi
Bilirubin↑ bilirubin bilirubin
HIPERBILIRUBINEMIA
Bilirubin Direk ↑ Terapi Bilirubin indirek ↑
Fototerapi Tranfusi tukar
Hepatomegali Penumpukan bilirubin dalam otak
IWL ↑ Pajanan sinar Pemisahan dgn ortu
Anoreksia Defikasi ↑ PK. Kern Ikterus
Intake nutrisi ↓ Risk/ Defisit vol. cairan Ggn parenting Kecemasan
Risti komplikasi
Risk Hipertermi Risk Ggn integritas kulit Risk Injury
Daftar pustaka
Suriadi, Yuliani,2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak. CV Sagung Seto, Jakarta
Staf Pengajar FKUI, 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3. Infomedika;Jakarta
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit. EGC,Jakarta
Betz & Sowden,2000, Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. EGC ,Jakarta:
Wong and Whaley,. 1995 , Clinical Manual of Pediatric Nursing, Mosby, Philadelphia
Drakeiron,2008, Info Iterus Neonatorumhttp://drakeiron.wordpress.com/2008/12/03/info-ikterus-neonatorum/ ( 5 Agustus 2010 )
18 September 2010
SATUAN ACARA PENYULUHAN GASTRITIS
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Pokok Bahasan : Penyakit saluran pencernaan
Sub Pokok Bahasan : Penyakit Gastritis (Maag)
Sasaran : Orang tua pasien
Hari/Tanggal : Senin, 6 September 2010
Waktu : 30 Menit
Tempat : Ruang Pudak RSUP Sanglah
Pemberi Materi : I Wayan Darsana
A. Latar Belakang
Penyakit Gastritis yang dikenal dengan Gastritis saluran pencernaan bagian atas yang banyak dikeluhkan masyarakat dan paling banyak dibagian gastroenterologi. Menurut Herlan (2009), menyatakan Gastritis bukanlah penyakit tunggal, tetapi beberapa kondisi yang mengacu pada peradangan lambung. Biasanya peradangan tersebut merupakan akibat dari infeksi bakteri yang dapat mengakibatkan borok lambung yaitu Helicobacter Pylory.
Keluhan Gastritis merupakan suatu keadaan yang sering dan banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang kita jumpai penderita Gastritis kronis selama bertahun-tahun pindah dari satu dokter ke dokter yang lain untuk mengobati keluhan Gastritis tersebut. Berbagai obat-obatan penekan asam lambung sudah pernah diminum seperti antasid, namun keluhan selalu datang silih berganti. Keluhan yang berkepanjangan dalam menyembuhkan Gastritis ini dapat menimbulkan stress, gara-gara Gastritis sekitar 10% dan biaya yang tidak sedikit. Bagi stress ini bukan tidak mungkin justru menambah berat Gastritis penderita yang sudah ada (Budiana, 2008).
Budiana (2008), mengatakan bahwa Gastritis ini terbesar di seluruh dunia dan bahkan diperkirakan diderita lebih dari 1,7 milyar. Pada negara yang sedang berkembang infeksi diperoleh pada usia dini dan pada negara maju sebagian besar dijumpai pada usia tua. Faktor etiologi Gastritis lainnya adalah asupan alkohol berlebihan (20%), merokok (5%), makanan berbumbu (15%), obat-obatan (18%) dan terapi radiasi (2%).
Gastritis banyak dijumpai dan menyerang 80 – 90% laki-laki. Pasien dan keluarga dengan penyakit gastritis membutuhkan pengawasan diet makanan setelah pulang dari rumah sakit dan sangat mudah terkena bila tidak mematuhi tentang penatalaksanaan diet dirumah. Makan makanan yang teratur dan menghindari makan yang dapat mengiritasi lambung.
B. Tujuan Instruksional Umum
Setelah dilakukan penyuluhan ibu mengetahui tentang penyakit gastritis (maag)
C. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan ibu dapat:
1. Menyebutkan pengertian tentang penyakit gastritis (maag)
2. Menyebutkan penyebab penyakit gastritis (maag)
3. Menyebutkan Proses terjadinya penyakit gastritis (maag)
4. Menyebutkan tanda dan gejala penyakit gastritis (maag)
5. Menyebutkan bahaya penyakit gastritis (maag)
6. Menyebutkan cara perawatan dan pencegahan penyakit gastritis (maag)
7. Menyebutkan cara minum obat penyakit gastritis (maag)
8. Menyebutkan obat tradisional penyakit gastritis (maag)
D. Materi (Terlampir)
E. Metode
Ceramah
Tanya jawab
F. Media
Leaflet
G. Kegiatan Penyuluhan
Waktu Kegiatan Mahasiswa Kegiatan Audient
5 Menit A. Pembukaan
1. Mengucapkan salam
2. Apersepsi tentang materi yang akan dibahas
3. menjelaskan tujuan penyuluhan yang hendak dicapai
1. Menjawab salam
2. Merespon persepsi penyuluhan
3. Memperhatikan penjelasan tentang tujuan penyuluhan yang ingin dicapai
20 Menit B. Kegiatan Inti
1. Menjelaskan pengertian tentang penyakit gastritis (maag)
2. Menjelaskan penyebab penyakit gastritis (maag)
3. Menjelaskan Proses terjadinya penyakit gastritis (maag)
4. Menjelaskan tanda dan gejala penyakit gastritis (maag)
5. Menjelaskan bahaya penyakit gastritis (maag)
6. Menjelaskan cara pencegahan penyakit gastritis (Maag)
7. Menjelaskan cara perawatan penyakit gastritis (maag)
8. Menjelaskan cara minum obat penyakit gastritis (maag)
9. Menjelaskan obat tradisional penyakit gastritis (maag)
1. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
2. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
3. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
4. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
5. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
6. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
7. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
8. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
9. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
5 Menit C. Penutup
1. Memberikan kesempatan pada orang tua yang ingin bertanya
2. Melakukan evaluasi dengan bertanya tentang materi yang telah disampaikan
3. Memberi salam penutup
1. Mengajukan pertanyaan dari materi yang disampaikan
2. Menjawab pertanyaan
3. Menjawab salam
H. Evaluasi
1. Prosedur : Akhir kegiatan
2. Waktu : 5 menit
3. Bentuk soal : Essay
4. Jumlah soal : 3 soal
- Sebutkan salah satu penyebab penyakit gastritis (maag
- Sebutkan salah satu cara pencegahan penyakit maag
- Sebutkan salah satu cara perawatan penyakit maag
5. Jenis soal ; Menguraikan secara lisan
I. Referensi
Budiana (2008) Pola hidup Pengaruhi insiden penyakit gastritis http://healthreference-ilham.blogspot.com
Dongoes, Marlynn. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 8. EGC; Jakarta
Herlan (2009) angka kejadian penyakit gastritis di indonesia http://www.mahalo.com
Mansjoer, Arif. (2000)Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius: Jakarta
Price, Sylvia. A. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Prose-proses Penyakit. Edisi 4. EGC : Jakarta
Smeltzer & Bare (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
MATERI
A. Pengertian
Maag atau gastritis adalah suatu peradangan pada permukaan lapisan lambung sehingga terjadi perlukaan akibat asam lambung.
B. Penyebab
1. Makanan yang merangsang lambung contoh cabe, cuka, sambal, ketan dan lain-lain. Makan terlalu banyak atau cepat, dan makanan yang terimfeksi oleh bakteri helicobakter phylory.
2. Obat-obatan seperti asipirin, antalgin
3. Minuman beralkohol
4. minuman yang berkafein contohnya kopi
5. stress
6. Keracunan makanan
C. Proses Terjadi
Asam lambung adalah zat yang dihasilkan untuk mencerna, jika perut kosong atau jika produksi asam lambung berlebih karena terangsang sehingga jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah zat yang dicerna akan menyebabkan luka pada permukaan lambung.
D. Tanda dan Gejala
1. Nyeri ulu hati
2. mual dan kadang muntah
3. kembung
4. nyeri pada perut sehabis makan
E. Bahaya Penyakit Maag
Perlukaan yang terjadi dapat berlanjut sampai ke bagian dalam lambung sehingga menyebabkan lambung menjadi bolong dan akhirnya terjadi perdarahan dan kanker lambung
F. Cara Perawatan dan pencegahan
1. Makan dengan porsi kecil tapi sering contoh: biscuit, roti
2. Menghindari alkohol dan kopi
3. Menghindari makanan yang merangsang lambung contoh : cabe, cuka, sambal, ketan danlain-lain.
4. Makan teratur sesuai dan tepat waktu
5. Istirahat cukup
6. Menghindari stress
7. Minum obat bila maag kambuh
G. Pembuatan Obat Tradisonal untuk mengatasi penyakit Maag
1. Siapkan kunir ( KUNYIT) lalu parut dan peras airnya
2. campur air kunir dengan madu
3. minum setiap hari selama gejala maag masih ada
Pokok Bahasan : Penyakit saluran pencernaan
Sub Pokok Bahasan : Penyakit Gastritis (Maag)
Sasaran : Orang tua pasien
Hari/Tanggal : Senin, 6 September 2010
Waktu : 30 Menit
Tempat : Ruang Pudak RSUP Sanglah
Pemberi Materi : I Wayan Darsana
A. Latar Belakang
Penyakit Gastritis yang dikenal dengan Gastritis saluran pencernaan bagian atas yang banyak dikeluhkan masyarakat dan paling banyak dibagian gastroenterologi. Menurut Herlan (2009), menyatakan Gastritis bukanlah penyakit tunggal, tetapi beberapa kondisi yang mengacu pada peradangan lambung. Biasanya peradangan tersebut merupakan akibat dari infeksi bakteri yang dapat mengakibatkan borok lambung yaitu Helicobacter Pylory.
Keluhan Gastritis merupakan suatu keadaan yang sering dan banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang kita jumpai penderita Gastritis kronis selama bertahun-tahun pindah dari satu dokter ke dokter yang lain untuk mengobati keluhan Gastritis tersebut. Berbagai obat-obatan penekan asam lambung sudah pernah diminum seperti antasid, namun keluhan selalu datang silih berganti. Keluhan yang berkepanjangan dalam menyembuhkan Gastritis ini dapat menimbulkan stress, gara-gara Gastritis sekitar 10% dan biaya yang tidak sedikit. Bagi stress ini bukan tidak mungkin justru menambah berat Gastritis penderita yang sudah ada (Budiana, 2008).
Budiana (2008), mengatakan bahwa Gastritis ini terbesar di seluruh dunia dan bahkan diperkirakan diderita lebih dari 1,7 milyar. Pada negara yang sedang berkembang infeksi diperoleh pada usia dini dan pada negara maju sebagian besar dijumpai pada usia tua. Faktor etiologi Gastritis lainnya adalah asupan alkohol berlebihan (20%), merokok (5%), makanan berbumbu (15%), obat-obatan (18%) dan terapi radiasi (2%).
Gastritis banyak dijumpai dan menyerang 80 – 90% laki-laki. Pasien dan keluarga dengan penyakit gastritis membutuhkan pengawasan diet makanan setelah pulang dari rumah sakit dan sangat mudah terkena bila tidak mematuhi tentang penatalaksanaan diet dirumah. Makan makanan yang teratur dan menghindari makan yang dapat mengiritasi lambung.
B. Tujuan Instruksional Umum
Setelah dilakukan penyuluhan ibu mengetahui tentang penyakit gastritis (maag)
C. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan ibu dapat:
1. Menyebutkan pengertian tentang penyakit gastritis (maag)
2. Menyebutkan penyebab penyakit gastritis (maag)
3. Menyebutkan Proses terjadinya penyakit gastritis (maag)
4. Menyebutkan tanda dan gejala penyakit gastritis (maag)
5. Menyebutkan bahaya penyakit gastritis (maag)
6. Menyebutkan cara perawatan dan pencegahan penyakit gastritis (maag)
7. Menyebutkan cara minum obat penyakit gastritis (maag)
8. Menyebutkan obat tradisional penyakit gastritis (maag)
D. Materi (Terlampir)
E. Metode
Ceramah
Tanya jawab
F. Media
Leaflet
G. Kegiatan Penyuluhan
Waktu Kegiatan Mahasiswa Kegiatan Audient
5 Menit A. Pembukaan
1. Mengucapkan salam
2. Apersepsi tentang materi yang akan dibahas
3. menjelaskan tujuan penyuluhan yang hendak dicapai
1. Menjawab salam
2. Merespon persepsi penyuluhan
3. Memperhatikan penjelasan tentang tujuan penyuluhan yang ingin dicapai
20 Menit B. Kegiatan Inti
1. Menjelaskan pengertian tentang penyakit gastritis (maag)
2. Menjelaskan penyebab penyakit gastritis (maag)
3. Menjelaskan Proses terjadinya penyakit gastritis (maag)
4. Menjelaskan tanda dan gejala penyakit gastritis (maag)
5. Menjelaskan bahaya penyakit gastritis (maag)
6. Menjelaskan cara pencegahan penyakit gastritis (Maag)
7. Menjelaskan cara perawatan penyakit gastritis (maag)
8. Menjelaskan cara minum obat penyakit gastritis (maag)
9. Menjelaskan obat tradisional penyakit gastritis (maag)
1. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
2. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
3. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
4. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
5. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
6. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
7. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
8. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
9. Memperhatikan penjelasan yang diberikan
5 Menit C. Penutup
1. Memberikan kesempatan pada orang tua yang ingin bertanya
2. Melakukan evaluasi dengan bertanya tentang materi yang telah disampaikan
3. Memberi salam penutup
1. Mengajukan pertanyaan dari materi yang disampaikan
2. Menjawab pertanyaan
3. Menjawab salam
H. Evaluasi
1. Prosedur : Akhir kegiatan
2. Waktu : 5 menit
3. Bentuk soal : Essay
4. Jumlah soal : 3 soal
- Sebutkan salah satu penyebab penyakit gastritis (maag
- Sebutkan salah satu cara pencegahan penyakit maag
- Sebutkan salah satu cara perawatan penyakit maag
5. Jenis soal ; Menguraikan secara lisan
I. Referensi
Budiana (2008) Pola hidup Pengaruhi insiden penyakit gastritis http://healthreference-ilham.blogspot.com
Dongoes, Marlynn. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 8. EGC; Jakarta
Herlan (2009) angka kejadian penyakit gastritis di indonesia http://www.mahalo.com
Mansjoer, Arif. (2000)Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius: Jakarta
Price, Sylvia. A. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Prose-proses Penyakit. Edisi 4. EGC : Jakarta
Smeltzer & Bare (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
MATERI
A. Pengertian
Maag atau gastritis adalah suatu peradangan pada permukaan lapisan lambung sehingga terjadi perlukaan akibat asam lambung.
B. Penyebab
1. Makanan yang merangsang lambung contoh cabe, cuka, sambal, ketan dan lain-lain. Makan terlalu banyak atau cepat, dan makanan yang terimfeksi oleh bakteri helicobakter phylory.
2. Obat-obatan seperti asipirin, antalgin
3. Minuman beralkohol
4. minuman yang berkafein contohnya kopi
5. stress
6. Keracunan makanan
C. Proses Terjadi
Asam lambung adalah zat yang dihasilkan untuk mencerna, jika perut kosong atau jika produksi asam lambung berlebih karena terangsang sehingga jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah zat yang dicerna akan menyebabkan luka pada permukaan lambung.
D. Tanda dan Gejala
1. Nyeri ulu hati
2. mual dan kadang muntah
3. kembung
4. nyeri pada perut sehabis makan
E. Bahaya Penyakit Maag
Perlukaan yang terjadi dapat berlanjut sampai ke bagian dalam lambung sehingga menyebabkan lambung menjadi bolong dan akhirnya terjadi perdarahan dan kanker lambung
F. Cara Perawatan dan pencegahan
1. Makan dengan porsi kecil tapi sering contoh: biscuit, roti
2. Menghindari alkohol dan kopi
3. Menghindari makanan yang merangsang lambung contoh : cabe, cuka, sambal, ketan danlain-lain.
4. Makan teratur sesuai dan tepat waktu
5. Istirahat cukup
6. Menghindari stress
7. Minum obat bila maag kambuh
G. Pembuatan Obat Tradisonal untuk mengatasi penyakit Maag
1. Siapkan kunir ( KUNYIT) lalu parut dan peras airnya
2. campur air kunir dengan madu
3. minum setiap hari selama gejala maag masih ada
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TETRALOGI FALLOT
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TETRALOGI FALLOT
A. Konsep Dasar Teori
1. Pengertian
Tetralogi fallot (TF) adalah kelainan jantung dengan gangguan sianosis yang ditandai dengan kombinasi 4 hal yang abnormal meliputi defek septum ventrikel, stenosis pulmonal, overriding aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan.
Komponen yang paling penting dalam menentukan derajat beratnya penyakit adalah stenosis pulmonal dari sangat ringan sampai berat. Stenosis pulmonal bersifat progresif , makin lama makin berat.
2. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaa tidak diketahui secara pasti. diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor –faktor tersebut antara lain :
Faktor endogen
a. Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom
b. Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
c. Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung atau kelainan bawaan
Faktor eksogen
a. Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB oral atau suntik,minum obat-obatan tanpa resep dokter, (thalidmide,dextroamphetamine.aminopterin,amethopterin, jamu)
b. Ibu menderita penyakit infeksi : rubella
c. Pajanan terhadap sinar -X
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang terpisah menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebab adaah multifaktor. Apapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab harus ada sebelum akhir bulan kedua kehamilan , oleh karena pada minggu ke delapan kehamilan pembentukan jantung janin sudah selesai.
3. Patofisiologi
Pengembalian vena sistemis
Atrium kanan Ventrikel kanan
Menguncup stenosis pulmonalis
Cacat septum ventikel aorta
Ketidakjenuhan darah arteri
Sianosis menetap
4. Tanda dan gejala
a. Sianosis
Obstruksi aliran darah keluar ventrikel kanan hipertropi infundibulum meningkat obstruksi meningkat disertai pertumbuhan yang semakin meningkat sianosis.
b. Dispnea
Terjadi bila penderita melakukan aktifitas fisik.
c. Serangan-serangan dispnea paroksimal (serangan-serangan anoksia biru)
Semakin bertambah usia, sianosis bertambah berat umum pada pagi hari.
d. Keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan
Gangguan pada pertambahan tinggi badan terutama pada anak, keadaan gizi kurang dari kebutuhan normal, pertumbuhan otot-otot dari jaringan subkutan terlihat kendur dan lunak, masa pubertas terlambat.
e. Denyut pembuluh darah normal
Jantung baisanya dalam ukuran normal, apeks jantung jela sterlihat, suatu getaran sistolis dapat dirasakan di sepanjang tepi kiri tulang dada, pada celah parasternal 3 dan 4.
f. Bising sistolik
Terdengar keras dan kasar, dapat menyebar luas, tetapi intensitas terbesar pada tepi kiri tulang dada
5. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH.pasien dengan Hn dan Ht normal atau rendah mungkin menderita defisiensi besi.
b. Radiologis
Sinar X pada thoraks menunjukkan penurunan aliran darah pulmonal, tidak ada pembesaran jantung . gambaran khas jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu.
c. Elektrokardiogram
Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak pula hipertrofi ventrikel kanan. Pada anak besar dijumpai P pulmonal
d. Ekokardiografi
Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel kanan,penurunan ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran darah ke paru-paru
e. Kateterisasi
Diperlukan sebelum tindakan pembedahan untuk mengetahui defek septum ventrikel multiple, mendeteksi kelainan arteri koronari dan mendeteksi stenosis pulmonal perifer. Mendeteksi adanya penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan tekanan pulmonalis normal atau rendah.
6. Penanganan
a. Oksigenasi
b. Prostaglandin E1 relaksan kuat untuk melebarkan duktus arteriosus aliran darah pulmonal memadai.
c. Pencegahan hipotermia, dehidrasi
d. Pintasan Blalock-Taussig menyambung arteri subklavia ke cabang arteri pulmonalis homolateral.
7. Komplikasi
a. Trombosis pulmonal
b. CVA trombosis
c. Abses otak
d. Perdarahan
e. Anemia relatif
8. Pathway
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
Data yang umum ditemukan pada pasien dengan tetralogi fallot adalah:
a. Cyanosis menyeluruh atau pada membran mukosa bibir, lidah, konjungtiva. Sianosis juga timbul pada saat menangis, makan, tegang, berendam dalam air dapat perifer atau sentral.
b. Dispnea biasanya menyertai aktifitas makan, menangis atau tegang/stress.
c. Kelemahan, umum pada kaki.
d. Pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai dengan usia.
e. Digital clubbing
f. Sakit kepala
g. Epistaksis
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplay oksigen
c. Intolerans aktivitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh.
d. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
e. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
3. RENCANA INTERVENSI
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplay oksigen
Tujuan : Pertukaran gas adequat
Intervensi Rasional
obsevasi vital sign
observasi frekwensi dan kedalaman pernafasan
awasi tingkat kesadaran/status mental pasien
observasi tanda syanosis
beri pasien posisi yang nyaman/semi fowler
kolaborasi dalam pemberian O2 dan pantau AGD tanda-tanda vital merupakan indikator kesehatan secara umum
berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan kronisnya proses penyakit
gelisah dan ansietas manifestasi umum dari hipoksia, AGD buruk disertai manifetasi umum bingung/somnolen berhubungan dengan hipoksemia
syanosis merupakan tanda akibat dari hipoksia dan hipoksemia
peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dan untuk pengembangan paru-paru lebih baik
O2 dapat memperbaiki dan mencegah memburuknya hipoksia
b. Resiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung.
Tujuan: penurunan cardiac output tidak terjadi.
Kriteria hasil: tanda vital dalam batas yang dapat diterima, bebas gejala gagal jantung, melaporkan penurunan episode dispnea, ikut serta dalam aktifitas yang mengurangi beban kerja jantung, urine output adekuat: 0,5 – 2 ml/kgBB.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara teratur setiap 4 jam.
• Catat bunyi jantung.
• Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.
• Pantau intake dan output setiap 24 jam.
• Batasi aktifitas secara adekuat.
• Berikan kondisi psikologis lingkungan yang tenang. • Memonitor adanya perubahan sirkulasi jantung sedini mungkin.
• Mengetahui adanya perubahan irama jantung.
• Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.
• Ginjal berespon untuk menurunkna curah jantung dengan menahan produksi cairan dan natrium.
• Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan.
• Stres emosi menghasilkan vasokontriksi yangmeningkatkan TD dan meningkatkan kerja jantung.
c. Intolerans aktivitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh.
Tujuan: Pasien akan menunjukkan keseimbangan energi yang adekuat.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti aktifitas sesuai kemampuan, istirahat tidur tercukupi.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Ikuti pola istirahat pasien, hindari pemberian intervensi pada saat istirahat.
• Lakukan perawatan dengan cepat, hindari pengeluaran energi berlebih dari pasien.
• Bantu pasien memilih kegiatan yang tidak melelahkan.
• Hindari perubahan suhu lingkungan yang mendadak.
• Kurangi kecemasan pasien dengan memberi penjelasan yang dibutuhkan pasien dan keluarga.
• Respon perubahan keadaan psikologis pasien (menangis, murung dll) dengan baik. • Menghindari gangguan pada istirahat tidur pasien sehingga kebutuhan energi dapat dibatasi untuk aktifitas lain yang lebih penting.
• Meningkatkan kebutuhan istirahat pasien dan menghemat energi paisen.
• Menghindarkan psien dari kegiatna yang melelahkan dan meningkatkan beban kerja jantung.
• Perubahan suhu lingkungna yang mendadak merangsang kebutuhan akan oksigen yang meningkat.
• Kecemasan meningkatkan respon psikologis yang merangsang peningkatan kortisol dan meningkatkan suplai O2.
• Stres dan kecemasan berpengaruh terhadap kebutuhan O2 jaringan.
d. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
Tujuan: Pertumbuhan dan perembangan dapat mengikuti kurca tumbuh kembang sesuai dengan usia.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuia dengan usia, pasien terbebas dari isolasi social.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Sediakan kebutuhan nutrisi adekuat.
• Monitor BB/TB, buat catatan khusus sebagai monitor.
• Kolaborasi intake Fe dalam nutrisi. • Menunjang kebutuhan nutrisi pada masa pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan daya tahan tubuh.
• Sebagai monitor terhadap keadaan pertumbuhan dan keadaan gizi pasien selama dirawat.
• Mencegah terjadinya anemia sedini mungkin sebagi akibat penurunan kardiak output.
e. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
Tujuan: Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: Bebas dari tanda – tanda infeksi.
Intervensi Rasional
• Kaji tanda vital dan tanda – tanda infeksi umum lainnya.
• Hindari kontak dengan sumber infeksi.
• Sediakan waktu istirahat yang adekuat.
• Sediakan kebutuhan nutrisi yang adekuat sesuai kebutuhan.
• Memonitor gejala dan tanda infeksi sedini mungkin.
• Menghindarkan pasien dari kemungkinan terkena infeksi dari sumber yang dapat dihindari.
• Istirahat adekuat membantu meningkatkan keadaan umum pasien.
• Nutrisi adekuat menunjang daya tahan tubuh pasien yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur C. Guyton and John E. Hall ( 1997), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
2. Marylin E. Doengoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
3. Nelson (1993), Ilmu Kesehatan Anak: Textbook of Pediatrics Edisi 12, Buku kedokteran EGC, Jakarta.
4. Sylvia A. Price (1995), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit Edisi 4, Buku kedokteran EGC, Jakarta.
5. Wong and Whaley’s (1996), Clinical Manual of Pediatrics Nursing 4th Edition, Mosby-Year Book, St.Louis, Missouri.
A. Konsep Dasar Teori
1. Pengertian
Tetralogi fallot (TF) adalah kelainan jantung dengan gangguan sianosis yang ditandai dengan kombinasi 4 hal yang abnormal meliputi defek septum ventrikel, stenosis pulmonal, overriding aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan.
Komponen yang paling penting dalam menentukan derajat beratnya penyakit adalah stenosis pulmonal dari sangat ringan sampai berat. Stenosis pulmonal bersifat progresif , makin lama makin berat.
2. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaa tidak diketahui secara pasti. diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor –faktor tersebut antara lain :
Faktor endogen
a. Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom
b. Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
c. Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung atau kelainan bawaan
Faktor eksogen
a. Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB oral atau suntik,minum obat-obatan tanpa resep dokter, (thalidmide,dextroamphetamine.aminopterin,amethopterin, jamu)
b. Ibu menderita penyakit infeksi : rubella
c. Pajanan terhadap sinar -X
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang terpisah menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebab adaah multifaktor. Apapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab harus ada sebelum akhir bulan kedua kehamilan , oleh karena pada minggu ke delapan kehamilan pembentukan jantung janin sudah selesai.
3. Patofisiologi
Pengembalian vena sistemis
Atrium kanan Ventrikel kanan
Menguncup stenosis pulmonalis
Cacat septum ventikel aorta
Ketidakjenuhan darah arteri
Sianosis menetap
4. Tanda dan gejala
a. Sianosis
Obstruksi aliran darah keluar ventrikel kanan hipertropi infundibulum meningkat obstruksi meningkat disertai pertumbuhan yang semakin meningkat sianosis.
b. Dispnea
Terjadi bila penderita melakukan aktifitas fisik.
c. Serangan-serangan dispnea paroksimal (serangan-serangan anoksia biru)
Semakin bertambah usia, sianosis bertambah berat umum pada pagi hari.
d. Keterlambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan
Gangguan pada pertambahan tinggi badan terutama pada anak, keadaan gizi kurang dari kebutuhan normal, pertumbuhan otot-otot dari jaringan subkutan terlihat kendur dan lunak, masa pubertas terlambat.
e. Denyut pembuluh darah normal
Jantung baisanya dalam ukuran normal, apeks jantung jela sterlihat, suatu getaran sistolis dapat dirasakan di sepanjang tepi kiri tulang dada, pada celah parasternal 3 dan 4.
f. Bising sistolik
Terdengar keras dan kasar, dapat menyebar luas, tetapi intensitas terbesar pada tepi kiri tulang dada
5. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH.pasien dengan Hn dan Ht normal atau rendah mungkin menderita defisiensi besi.
b. Radiologis
Sinar X pada thoraks menunjukkan penurunan aliran darah pulmonal, tidak ada pembesaran jantung . gambaran khas jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu.
c. Elektrokardiogram
Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak pula hipertrofi ventrikel kanan. Pada anak besar dijumpai P pulmonal
d. Ekokardiografi
Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel kanan,penurunan ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran darah ke paru-paru
e. Kateterisasi
Diperlukan sebelum tindakan pembedahan untuk mengetahui defek septum ventrikel multiple, mendeteksi kelainan arteri koronari dan mendeteksi stenosis pulmonal perifer. Mendeteksi adanya penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan tekanan pulmonalis normal atau rendah.
6. Penanganan
a. Oksigenasi
b. Prostaglandin E1 relaksan kuat untuk melebarkan duktus arteriosus aliran darah pulmonal memadai.
c. Pencegahan hipotermia, dehidrasi
d. Pintasan Blalock-Taussig menyambung arteri subklavia ke cabang arteri pulmonalis homolateral.
7. Komplikasi
a. Trombosis pulmonal
b. CVA trombosis
c. Abses otak
d. Perdarahan
e. Anemia relatif
8. Pathway
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
Data yang umum ditemukan pada pasien dengan tetralogi fallot adalah:
a. Cyanosis menyeluruh atau pada membran mukosa bibir, lidah, konjungtiva. Sianosis juga timbul pada saat menangis, makan, tegang, berendam dalam air dapat perifer atau sentral.
b. Dispnea biasanya menyertai aktifitas makan, menangis atau tegang/stress.
c. Kelemahan, umum pada kaki.
d. Pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai dengan usia.
e. Digital clubbing
f. Sakit kepala
g. Epistaksis
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplay oksigen
c. Intolerans aktivitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh.
d. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
e. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
3. RENCANA INTERVENSI
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplay oksigen
Tujuan : Pertukaran gas adequat
Intervensi Rasional
obsevasi vital sign
observasi frekwensi dan kedalaman pernafasan
awasi tingkat kesadaran/status mental pasien
observasi tanda syanosis
beri pasien posisi yang nyaman/semi fowler
kolaborasi dalam pemberian O2 dan pantau AGD tanda-tanda vital merupakan indikator kesehatan secara umum
berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan kronisnya proses penyakit
gelisah dan ansietas manifestasi umum dari hipoksia, AGD buruk disertai manifetasi umum bingung/somnolen berhubungan dengan hipoksemia
syanosis merupakan tanda akibat dari hipoksia dan hipoksemia
peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dan untuk pengembangan paru-paru lebih baik
O2 dapat memperbaiki dan mencegah memburuknya hipoksia
b. Resiko penurunan cardiac output b/d adanya kelainan structural jantung.
Tujuan: penurunan cardiac output tidak terjadi.
Kriteria hasil: tanda vital dalam batas yang dapat diterima, bebas gejala gagal jantung, melaporkan penurunan episode dispnea, ikut serta dalam aktifitas yang mengurangi beban kerja jantung, urine output adekuat: 0,5 – 2 ml/kgBB.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara teratur setiap 4 jam.
• Catat bunyi jantung.
• Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.
• Pantau intake dan output setiap 24 jam.
• Batasi aktifitas secara adekuat.
• Berikan kondisi psikologis lingkungan yang tenang. • Memonitor adanya perubahan sirkulasi jantung sedini mungkin.
• Mengetahui adanya perubahan irama jantung.
• Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.
• Ginjal berespon untuk menurunkna curah jantung dengan menahan produksi cairan dan natrium.
• Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan.
• Stres emosi menghasilkan vasokontriksi yangmeningkatkan TD dan meningkatkan kerja jantung.
c. Intolerans aktivitas b/d ketidakseimbangan pemenuhan O2 terhadap kebutuhan tubuh.
Tujuan: Pasien akan menunjukkan keseimbangan energi yang adekuat.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti aktifitas sesuai kemampuan, istirahat tidur tercukupi.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Ikuti pola istirahat pasien, hindari pemberian intervensi pada saat istirahat.
• Lakukan perawatan dengan cepat, hindari pengeluaran energi berlebih dari pasien.
• Bantu pasien memilih kegiatan yang tidak melelahkan.
• Hindari perubahan suhu lingkungan yang mendadak.
• Kurangi kecemasan pasien dengan memberi penjelasan yang dibutuhkan pasien dan keluarga.
• Respon perubahan keadaan psikologis pasien (menangis, murung dll) dengan baik. • Menghindari gangguan pada istirahat tidur pasien sehingga kebutuhan energi dapat dibatasi untuk aktifitas lain yang lebih penting.
• Meningkatkan kebutuhan istirahat pasien dan menghemat energi paisen.
• Menghindarkan psien dari kegiatna yang melelahkan dan meningkatkan beban kerja jantung.
• Perubahan suhu lingkungna yang mendadak merangsang kebutuhan akan oksigen yang meningkat.
• Kecemasan meningkatkan respon psikologis yang merangsang peningkatan kortisol dan meningkatkan suplai O2.
• Stres dan kecemasan berpengaruh terhadap kebutuhan O2 jaringan.
d. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
Tujuan: Pertumbuhan dan perembangan dapat mengikuti kurca tumbuh kembang sesuai dengan usia.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuia dengan usia, pasien terbebas dari isolasi social.
Rencana intervensi dan rasional:
Intervensi Rasional
• Sediakan kebutuhan nutrisi adekuat.
• Monitor BB/TB, buat catatan khusus sebagai monitor.
• Kolaborasi intake Fe dalam nutrisi. • Menunjang kebutuhan nutrisi pada masa pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan daya tahan tubuh.
• Sebagai monitor terhadap keadaan pertumbuhan dan keadaan gizi pasien selama dirawat.
• Mencegah terjadinya anemia sedini mungkin sebagi akibat penurunan kardiak output.
e. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
Tujuan: Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: Bebas dari tanda – tanda infeksi.
Intervensi Rasional
• Kaji tanda vital dan tanda – tanda infeksi umum lainnya.
• Hindari kontak dengan sumber infeksi.
• Sediakan waktu istirahat yang adekuat.
• Sediakan kebutuhan nutrisi yang adekuat sesuai kebutuhan.
• Memonitor gejala dan tanda infeksi sedini mungkin.
• Menghindarkan pasien dari kemungkinan terkena infeksi dari sumber yang dapat dihindari.
• Istirahat adekuat membantu meningkatkan keadaan umum pasien.
• Nutrisi adekuat menunjang daya tahan tubuh pasien yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur C. Guyton and John E. Hall ( 1997), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
2. Marylin E. Doengoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
3. Nelson (1993), Ilmu Kesehatan Anak: Textbook of Pediatrics Edisi 12, Buku kedokteran EGC, Jakarta.
4. Sylvia A. Price (1995), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit Edisi 4, Buku kedokteran EGC, Jakarta.
5. Wong and Whaley’s (1996), Clinical Manual of Pediatrics Nursing 4th Edition, Mosby-Year Book, St.Louis, Missouri.
SPO MENGUKUR TINGGI FUNDUS UTERI PADA KALA IV PERSALINAN
Pengertian : Mengukur tinggi fundus uteri menggunakan meteran atau jari pemeriksa
Tujuan : Mengetahui tingkat kontraksi dan involusi uteri
Kebijakan : Setiap ibu yang memasuki kala IV persalinan dilakukan pengukuran tinggi fundus uteri setiap minimal 30 menit atau sesuai indikasi.
Persiapan : 1. Meteran
2. Selimut
3. Alat-alat cuci tangan
4. Rekam medis pasien
Prosedur kegiatan :
1. Beritahu ibu tentang maksud dan tujuan pemeriksaan
2. Meminta ibu untuk berbaring dengan kedua kaki diluruskan
3. Pasang selimut dan buka pakaian atas ibu
4. Mencuci tangan
5. Tentukan bagian tertinggi fundus memakai tangan kiri, sedikit menekan dinding atas perut ibu.
6. Bila menggunakan meteran : ukur tinggi fundus uteri dengan menggunakan meteran dari bagian tertinggi fundus ke simfisis atau sebaliknya. Tinggi fundus dinyatakan dalam satuan centimeter (cm).
Bila menggunakan jari pemeriksa, ukur dengan jari tangan kanan berapa jari diatas atau di bawah pusat .
7. Rapikan pakaian ibu, selimut dan alat.
8. Cuci tangan
9. Catat hasil pada status ibu.
Tujuan : Mengetahui tingkat kontraksi dan involusi uteri
Kebijakan : Setiap ibu yang memasuki kala IV persalinan dilakukan pengukuran tinggi fundus uteri setiap minimal 30 menit atau sesuai indikasi.
Persiapan : 1. Meteran
2. Selimut
3. Alat-alat cuci tangan
4. Rekam medis pasien
Prosedur kegiatan :
1. Beritahu ibu tentang maksud dan tujuan pemeriksaan
2. Meminta ibu untuk berbaring dengan kedua kaki diluruskan
3. Pasang selimut dan buka pakaian atas ibu
4. Mencuci tangan
5. Tentukan bagian tertinggi fundus memakai tangan kiri, sedikit menekan dinding atas perut ibu.
6. Bila menggunakan meteran : ukur tinggi fundus uteri dengan menggunakan meteran dari bagian tertinggi fundus ke simfisis atau sebaliknya. Tinggi fundus dinyatakan dalam satuan centimeter (cm).
Bila menggunakan jari pemeriksa, ukur dengan jari tangan kanan berapa jari diatas atau di bawah pusat .
7. Rapikan pakaian ibu, selimut dan alat.
8. Cuci tangan
9. Catat hasil pada status ibu.
STANDAR OPRASIONAL PROSEDUR ( S.O.P ) MENGHITUNG DJJ
A. Pra interaksi
• Cek catatan Klien
• Cuci tangan
• Siapkan alat ( Jam tangan, fetoscope/pinard stethoscope)
B. Orientasi
• Berikan salam dan panggil klien dengan namanya
• Jelaskan prosedur dan tujuan dari tindakan
C. Tahap Kerja
• Tentukan lokasi untuk mendengarkan DJJ. Dengan memastikan posisi punggung janin atau pada area garis tengah fundus 2-3 cm diatas simphisis terus kearah kuadran dibawahnya.
• Letakan fetoscope/pinrd sthetoscope di area yang telah di tentukan
• Hitung DJJ.
D. Terminasi
• Evaluasi hasil kegiatan ( subyektif dan obyektif)
• Beri reinforcement positif pada klien.
• Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya.
• Akhiri dengan cara yang baik.
E. Dokumentasi
• Lakukan pendokumentasian nama klien, waktu, dan hasilnya.
• Cek catatan Klien
• Cuci tangan
• Siapkan alat ( Jam tangan, fetoscope/pinard stethoscope)
B. Orientasi
• Berikan salam dan panggil klien dengan namanya
• Jelaskan prosedur dan tujuan dari tindakan
C. Tahap Kerja
• Tentukan lokasi untuk mendengarkan DJJ. Dengan memastikan posisi punggung janin atau pada area garis tengah fundus 2-3 cm diatas simphisis terus kearah kuadran dibawahnya.
• Letakan fetoscope/pinrd sthetoscope di area yang telah di tentukan
• Hitung DJJ.
D. Terminasi
• Evaluasi hasil kegiatan ( subyektif dan obyektif)
• Beri reinforcement positif pada klien.
• Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya.
• Akhiri dengan cara yang baik.
E. Dokumentasi
• Lakukan pendokumentasian nama klien, waktu, dan hasilnya.
STANDAR OPRASIONAL PROSEDUR ( S.O.P ) PEMERIKSAAN LEOPOLD 1 – IV
A. TAHAP PRA-INTERAKSI
1. Cek Catatan klien
2. Cuci tangan
3. Mempersiapkan alat
B. TAHAP ORIENTASI
1. Memberikan salam dan memanggil klien dengan namanya
2. Jelaskan prosedur dan tujuan dari tindakan yang dilakukan
C. TAHAP KERJA
1. Berikan kesempatan klien untuk bertanya
2. Anjurkan klien untuk buang air kecil
3. Jaga privacy klien ( tutup kamar/pasang tirai )
4. Persilahkan klien untuk tidur dengan satu bantal dibagian kepala, lalu tutupi tubuh klien dengan alat tenun bagian tubuh klien yang tidak masuk area pemeriksaan
5. Lakukan manuver Leopold I
• Pemeriksa menghadap ke kepala klien
• Letakan kedua belah tangan di bagian fundus uteri klien
• Lakukan palpasi dengan ujung jari untuk menentukan apa yang ada di bagian fundus uteri.
• Tentukan apa yang ada di bagian fundus uteri.
6. Lakukan manuver Leopold II
• Pemeriksa menghadap kekepala klien
• Letakan kedua telapak tangan di kedua sisi abdomen klien
• Pertahankan letak uterus dengan menggunakan tangan yang satu.
• Gunakan tangan yang lain untuk melakukan palpasi uterus disisi yang lain
• Tentukan dimana letak punggung janin.
7. Lakukan manuver Leopold III
• Pemeriksa menghadap ke kepala klien
• Letakan tiga ujung jari kedua tangan pada kedua sisi abdomen klien tepat diatas symphisis
• Ajurkan klien untuk menarik nafas dalam dan menghembuskannya.
• Tekan jari tangan kebawah secara perlahan dan dalam di sekitar daerah presentasi pada saat klien menghembuskan nafas.
• Tentukan bagian apa yang menjadi presentasi.
8. Lakukan manuver Leopold IV
• Pemeriksa menghadap ke kaki klien.
• Letakan kedua belah telapak tangan di kedua sisi abdomen
• Gerakan jari tangan secara perlahan ke sisi bawah abdomen kea rah pelvis
• Palpasi bagian presentasi.
• Tentukan letak dari bagian presentasi tersebut.
9. Lakukan penghitungan DJJ
• Tentukan lokasi untuk mendengarkan DJJ.dengan memastikan posisi punggung janin atau pada area garis tengah fundus 2-3 cm di atas symphisis pubis.
• Letakan fetoskop di daerah yang telah ditentukan untuk mendengarkan DJJ.
• Hitung DJJ.
D. TAHAP TERMINASI
1. Evaluasi hasil yang didapat sbb.:
• Evaluasi hasil kegiatan ( subyektif/obyektif)
• Beri reinforcement positif pada klien
• Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
• Akhiri kegiatan dengan cara yang baik.
• Cuci tangan
2. Dokumentasi
Lakukan pendokumentasian nama klien, tanggal, dan waktu, hasil yang dicapai
1. Cek Catatan klien
2. Cuci tangan
3. Mempersiapkan alat
B. TAHAP ORIENTASI
1. Memberikan salam dan memanggil klien dengan namanya
2. Jelaskan prosedur dan tujuan dari tindakan yang dilakukan
C. TAHAP KERJA
1. Berikan kesempatan klien untuk bertanya
2. Anjurkan klien untuk buang air kecil
3. Jaga privacy klien ( tutup kamar/pasang tirai )
4. Persilahkan klien untuk tidur dengan satu bantal dibagian kepala, lalu tutupi tubuh klien dengan alat tenun bagian tubuh klien yang tidak masuk area pemeriksaan
5. Lakukan manuver Leopold I
• Pemeriksa menghadap ke kepala klien
• Letakan kedua belah tangan di bagian fundus uteri klien
• Lakukan palpasi dengan ujung jari untuk menentukan apa yang ada di bagian fundus uteri.
• Tentukan apa yang ada di bagian fundus uteri.
6. Lakukan manuver Leopold II
• Pemeriksa menghadap kekepala klien
• Letakan kedua telapak tangan di kedua sisi abdomen klien
• Pertahankan letak uterus dengan menggunakan tangan yang satu.
• Gunakan tangan yang lain untuk melakukan palpasi uterus disisi yang lain
• Tentukan dimana letak punggung janin.
7. Lakukan manuver Leopold III
• Pemeriksa menghadap ke kepala klien
• Letakan tiga ujung jari kedua tangan pada kedua sisi abdomen klien tepat diatas symphisis
• Ajurkan klien untuk menarik nafas dalam dan menghembuskannya.
• Tekan jari tangan kebawah secara perlahan dan dalam di sekitar daerah presentasi pada saat klien menghembuskan nafas.
• Tentukan bagian apa yang menjadi presentasi.
8. Lakukan manuver Leopold IV
• Pemeriksa menghadap ke kaki klien.
• Letakan kedua belah telapak tangan di kedua sisi abdomen
• Gerakan jari tangan secara perlahan ke sisi bawah abdomen kea rah pelvis
• Palpasi bagian presentasi.
• Tentukan letak dari bagian presentasi tersebut.
9. Lakukan penghitungan DJJ
• Tentukan lokasi untuk mendengarkan DJJ.dengan memastikan posisi punggung janin atau pada area garis tengah fundus 2-3 cm di atas symphisis pubis.
• Letakan fetoskop di daerah yang telah ditentukan untuk mendengarkan DJJ.
• Hitung DJJ.
D. TAHAP TERMINASI
1. Evaluasi hasil yang didapat sbb.:
• Evaluasi hasil kegiatan ( subyektif/obyektif)
• Beri reinforcement positif pada klien
• Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
• Akhiri kegiatan dengan cara yang baik.
• Cuci tangan
2. Dokumentasi
Lakukan pendokumentasian nama klien, tanggal, dan waktu, hasil yang dicapai
LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG DEMAM
LAPORAN PENDAHULUAN
KEJANG DEMAM
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Price, 1995).
Kejang demam atau febrile convulsion adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997).
Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu (Arif Mansjoer, 2000)
Kejang demam adalah kejang yang terjadi biasanya karena suhu tubuh yang tinggi. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi. Epilepsi ditandai dengan
a. Insiden epilepsi lebih sering dijumpai pada keturunan orang yang menderita epilepsi.
b. Ditandai dengan aktivitas serangan kejang berulang tanpa demam.
c. Serangan tidak lama, tidak terkontrol serta timbul secara episodik.
d. Diakibatkan kelainan fungsional (motorik, sensorik atau psikis)
e. Menyerang segala kelompok usia dan segala jenis bangsa / keturunan.
f. Biasanya pasien tetap sadar tetapi berhalusinasi. (Sylvia A. Price, 2000)
2. Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73)
3. Penyebab/factor predisposisi
Penyebab kejang demam belum diketahui dengan pasti, namun disebutkan penyebab utama kejang demam ialah demam yag tinggi. Menurut Arif Mansjoer. 2000) demam yang terjadi sering disebabkan oleh :
a. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
b. Gangguan metabolik
c. Penyakit infeksi diluar susunan saraf misalnya tonsilitis, otitis media, bronchitis.
d. Keracunan obat
e. Faktor herediter
f. Idiopatik.
Selain penyebab diatas Ada 5 Faktor yang mempengaruhi kejang, faktor – faktor tersebut adalah :
a. Umur
- Kurang lebih 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
- Jarang terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
- Insiden tertinggi didapatkan pada umur 2 tahun dan menurun setelah berumur 4 tahun. Hal ini mungkin disebabkan adanya kenaikan dari ambang kejang sesuai dengan bertambahnya umur. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur.
b. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering didapatkan pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena pada wanita didapatkan kematangan otak yang lebih cepat dibanding laki-laki.
c. Suhu badan
Adanya kenaikan suhu badan merupakan suatu syarat untuk terjadinya kejang demam. Tingginya suhu badan pada saat timbulnya serangan merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38.30C – 41.40C. Adanya perbedaan ambang kejang ini dapat menerangkan mengapa pada seseorang anak baru timbul kejang sesudah suhu meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak lainnya kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.
d. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam. Beberapa penulis mendapatkan 25 – 50% daripada pada anak dengan kejang demam mempunyai anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.
4. Patofisiologi
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.
5. Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama dibedakan menjadi dua yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kreteria antara lain : keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsy, sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun, serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan sampai 6 tahun, lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit, kejang tidak bersifat fokal, tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang, sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormal perkembangan, kejang tidak berulang dalam waktu singkat. Bila kejang demam tidak memenuhi kriteria tersebut di atas maka digolongkan sebagai kejang deman jenis kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih daripada 1 kali kejang perepisode demam).
6. Gejala klinis
Adapun tanda gejala yang dapat ditemukan yaitu :
a. Serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral
b. Mata terbalik ke atas
c. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal
d. Umumnya kejang berlangsung kurang dari 6 menit, kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit
e. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
f. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis todd),
g. Suhu 38oc atau lebih.
7. Pemeriksaan diagnostic
a. EEG
Untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak akibat lesi organik, melalui pengukuran EEG ini dilakukan 1 minggu atau kurang setelah kejang.
b. CT SCAN
Untuk mengidentifikasi lesi serebral, mis: infark, hematoma, edema serebral, dan Abses.
c. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis
d. Laboratorium
Darah tepi, lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, Trombosit ) mengetahui sejak dini apabila ada komplikasi dan penyakit kejang demam. (Arif Mansyoer,2000)
8. Tindakan/penanganan
Ada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu
a. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigennisasi terjami. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10>10kg). bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
b. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitiss, misalnya bila ada gejala meningitis atau kejang demam berlangsung lama.
c. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam atau (2) profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis intermiten diberian diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat diberikan pula secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5 0 C. efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu :
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
- Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologist sementara dan menetap.
- Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara kandung.
- Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan obat jangka panjang maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rectal tuap 8 jam disamping antipiretik.
9. Komplikasi
Menurut Arif Mansyoer,2000) kejang demam dapat mengakibatkan :
a. Kerusakan sel otak
b. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit dan bersifat unilateral
c. Kelumpuhan
10. Path way
Infeksi diluar susunan saraf pusat
↓
Peningkatan suhu tubuh
↓
Metabolisme meningkat
↓
Kebutuhan glukosa dan O2
↓
Perbedaan potensial sel membran
↓
Keseimbangan membran neuron
terganggu
↓
Difusi K+ dan Na+
↓
Lepas muatan listrik
↓
Kejang
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data subyektif
- Badan terasa panas
- Adanya mual dan muntah
- Merasa haus
- Adanya kesulitan saat bernafas
- Adanya aktivitas kejang berulang, pergerakan otot tidak terkoordinasi, kelemahan
- Merasa tidak nyaman, gerah.
- Adanya kekhawatiran orang tua.
b. Data obyektif
- Suhu meningkat / tinggi
- Badan teraba panas
- Membran mukosa / kulit kering
- Perubahan tonus/kekuatan otot, gerakan involunter/ kontraksi sekelompok otot.
- Penurunan kesadaran, pernafasan stridor.
- Tingkah laku distraksi/gelisah
- Tampak kecemasan, kebingungan.
- Saliva keluar berlebih.
2. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan Carpenito (2001) dan Doenges, (2000), diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien kejang demam adalah :
a. Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder terhadap infeksi
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan masukan oral
d. Risiko terjadinya kejang berulang berhubungan dengan hipertermi
e. Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik sekunder akibat kejang.
f. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit dan perawatan.
h. Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kejang berulang.
3. Rencana asuhan keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder terhadap infeksi.
1) Tujuan : suhu tubuh normal : 36,5 – 37 oC
2) Intervensi :
- Kaji factor penyebab terjadinya hipertermi
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hipertermi. Penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan panas.
- Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan perawatan.
- Pertahankan suhu tubuh normal
Rasional :suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.
- Beri kompres dingin
Rasional :perpindahan panas secara konduktif
- Longgarkan pakaian, berikan pakaian yang tipis yang menyerap keringat
Rasional :proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat.
- Beri ekstra cairan (air, susu, sari buah dll)
Rasional :saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
- Batasi aktivitas fisik
Rasional :aktivitas meningkatkan metabolisme sehingga meningkatkan produksi panas
- Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antipiretik
Rasional :menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis.
- Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (darah lengkap)
Rasional : peningkatan kadar WBC merupakan indicator adanya infeksi
b. Resiko terjadi kejang berulang berhubungan dengan hipertermi
1) Tujuan : Kejang berulang tidak terjadi.
2) Intervensi :
- Observasi kejang dan dokumentasikan karakteristiknya : awitan dan durasi, kejadian pra kejang dan pasca kejang.
Rasional :Untuk mengetahui kejang secara dini dan jika ada kelainan akibat kejang.
- Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang menyerap keringat
Rasional :proses konfeksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat
- Beri kompres dingin
Rasional :perpindahan panas secara konduksi.
- Beri extra cairan (air, susu, sari buah dan lain-lain )
Rasional :saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat
- Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
Rasional :Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan.
- Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antipiretik.
Rasional :Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan Sebagai propilaksis
c. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dcngan penumpukan secret
1) Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif
2) Intervensi
- Lakukan suction
Rasional : Untuk rnengeluarkan cairan atau sekret yang ada dalam saluran pernafasan.
- Setelah kejang berikan pasien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Untuk mencegah bila terjadi aspirasi, isi lambung tidak menutupi jalan nafas
- Atur tempat tidur di bagian kepala ditinggikan kurang lebih 45o
Rasional : Kepala lebih tinggi akan memudahkan pasien dalam bernafas.
- Berikan tongue spatel antara gigi dan lidah
Rasional : Untuk mencegah resiko cidera yaitu lidah tergigit
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
1) Tujuan : Nutrisi pasien terpenuhi
2) Intervensi :
- Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan batuk dan mengatasi sekresi
Rasional :faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan
- Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan atau hilangnya atau suara yang hiperaktif
Rasional :bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau berkembangnya komplikasi
- Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional :mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
- Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur
Rasional :meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
- Tingkatkan kenyamanan lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan
Rasional :sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau teman dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan
- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet
Rasional :merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori atau nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang.
e. Kekurangan volume cairan kebutuhan penurunan masukan oral
1) Tujuan : Cairan pasien adekuat
2) Intervensi :
- Awasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional :kekurangan atau perpindahan cairan menurunkan tekanan darah, mengurangi volume nadi.
- Catat perkembangan turgor kulit, hidrasi, membran mukosa
Rasional :kekurangan cairan juga dapat diidentifikasi dengan penurunan turgor kulit, membran mukosa kering.
- Ukur atau hitung masukan, pengeluaran dan keseimbangan cairan, catat kehilangan tidak tampak (IWL)
Rasional :memberikan informasi tentang status cairan umum, kecenderungan keseimbangan cairan negatif dapat menunjukkan terjadi defisit.
- Timbang berat badan setiap hari
Rasional :perubahan cepat menunjukkan gangguan dalam air tubuh total .
- Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena
Rasional :salah satu cara untuk memenuhi keseimbangan cairan dalam tubuh ialah dengan cara pemberian melalui parentral
f. Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik skunder akibat kejang.
1) Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan
2) Intervensi :
- Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah
Rasional :Meminimalkan injuri saat kejang.
- Jangan tinggalkan klien selama fase kejang.
Rasional :Meningkatkan keamanan-pasien.
- Beri tongue spatel antara gigi dan lidah.
Rasional :Menurunkan resiko trauma pada mulut.
- Letakkan klien pada tempat tidur yang lembut.
Rasional :Membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstremitas ketika kontrol otot volunter berkurang
- Setelah kejang berikan klien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Mencegah penutupan jalan nafas.
- Kendurkan pakaian pasien.
Rasional :Mengurangi tekanan pada jalan nafas.
- Catat tipe dan frekuensi kejang.
Rasional : Membantu menurunkan lokasi area cereberal yang terganggu.
- Catat tanda-tanda vital setelah fase kejang.
Rasional :Mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal
g. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit dan perawatan
1) Tujuan:Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya
2) Intervensi :
- Kaji tingkat pengetahuan keluarga.
Rasional :Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi yang didapat.
- Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam
Rasional : Penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan keluarga.
- Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam.
Rasional :Agar keluarga mengetahui cara menolong anak kejang dan rnencegah kejang demam.
- Jelaskan setiap tindakan keperawatan yang dilakukan.
Rasional :Agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan.
h. Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kejang berulang.
1) Tujuan:Pertumbuhan dan perkembangan tidak mengalami gangguan.
2) Intervensi :
- Cegah terjadinya kejang berulang
Rasional :dengan tidak terjadinya kejang berulang dapat mencegah terjadinya kerusakan motorik dan sensorik.
- Konsul dengan ahli terapi untuk mengevaluasi obat sesuai indikasi
Rasional :Pengobatan yang teratur akan dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
- Berikan anak latihan dan kesempatam meningkatkan hubungan sosial
Rasional :Latihan dan hubungan sosial dengan orang lain dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan.
- Berikan nutrisi yang cukup/memenuhi kebutuhan tubuh.
Rasional :Nutrisi akan dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.j. (2000). Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta : EGC.
Doenges, M.E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Hasan, dkk. (1985). Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta : FKUI.
Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Nelson. (2000). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 3. Edisi ke-15. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : FKUI.
Price S.A. (1995). Patofisiologi. Edisi Ke-4. Jakarta : EGC
Soetomenggolo, Taslims. (2000). Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan ke-2. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.
KEJANG DEMAM
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Price, 1995).
Kejang demam atau febrile convulsion adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997).
Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu (Arif Mansjoer, 2000)
Kejang demam adalah kejang yang terjadi biasanya karena suhu tubuh yang tinggi. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi. Epilepsi ditandai dengan
a. Insiden epilepsi lebih sering dijumpai pada keturunan orang yang menderita epilepsi.
b. Ditandai dengan aktivitas serangan kejang berulang tanpa demam.
c. Serangan tidak lama, tidak terkontrol serta timbul secara episodik.
d. Diakibatkan kelainan fungsional (motorik, sensorik atau psikis)
e. Menyerang segala kelompok usia dan segala jenis bangsa / keturunan.
f. Biasanya pasien tetap sadar tetapi berhalusinasi. (Sylvia A. Price, 2000)
2. Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73)
3. Penyebab/factor predisposisi
Penyebab kejang demam belum diketahui dengan pasti, namun disebutkan penyebab utama kejang demam ialah demam yag tinggi. Menurut Arif Mansjoer. 2000) demam yang terjadi sering disebabkan oleh :
a. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
b. Gangguan metabolik
c. Penyakit infeksi diluar susunan saraf misalnya tonsilitis, otitis media, bronchitis.
d. Keracunan obat
e. Faktor herediter
f. Idiopatik.
Selain penyebab diatas Ada 5 Faktor yang mempengaruhi kejang, faktor – faktor tersebut adalah :
a. Umur
- Kurang lebih 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
- Jarang terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
- Insiden tertinggi didapatkan pada umur 2 tahun dan menurun setelah berumur 4 tahun. Hal ini mungkin disebabkan adanya kenaikan dari ambang kejang sesuai dengan bertambahnya umur. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur.
b. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering didapatkan pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena pada wanita didapatkan kematangan otak yang lebih cepat dibanding laki-laki.
c. Suhu badan
Adanya kenaikan suhu badan merupakan suatu syarat untuk terjadinya kejang demam. Tingginya suhu badan pada saat timbulnya serangan merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38.30C – 41.40C. Adanya perbedaan ambang kejang ini dapat menerangkan mengapa pada seseorang anak baru timbul kejang sesudah suhu meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak lainnya kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.
d. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam. Beberapa penulis mendapatkan 25 – 50% daripada pada anak dengan kejang demam mempunyai anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.
4. Patofisiologi
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.
5. Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama dibedakan menjadi dua yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kreteria antara lain : keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsy, sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun, serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan sampai 6 tahun, lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit, kejang tidak bersifat fokal, tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang, sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormal perkembangan, kejang tidak berulang dalam waktu singkat. Bila kejang demam tidak memenuhi kriteria tersebut di atas maka digolongkan sebagai kejang deman jenis kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih daripada 1 kali kejang perepisode demam).
6. Gejala klinis
Adapun tanda gejala yang dapat ditemukan yaitu :
a. Serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral
b. Mata terbalik ke atas
c. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal
d. Umumnya kejang berlangsung kurang dari 6 menit, kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit
e. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
f. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis todd),
g. Suhu 38oc atau lebih.
7. Pemeriksaan diagnostic
a. EEG
Untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak akibat lesi organik, melalui pengukuran EEG ini dilakukan 1 minggu atau kurang setelah kejang.
b. CT SCAN
Untuk mengidentifikasi lesi serebral, mis: infark, hematoma, edema serebral, dan Abses.
c. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis
d. Laboratorium
Darah tepi, lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, Trombosit ) mengetahui sejak dini apabila ada komplikasi dan penyakit kejang demam. (Arif Mansyoer,2000)
8. Tindakan/penanganan
Ada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu
a. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigennisasi terjami. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10>10kg). bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
b. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitiss, misalnya bila ada gejala meningitis atau kejang demam berlangsung lama.
c. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam atau (2) profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis intermiten diberian diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat diberikan pula secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5 0 C. efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu :
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
- Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologist sementara dan menetap.
- Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara kandung.
- Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan obat jangka panjang maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rectal tuap 8 jam disamping antipiretik.
9. Komplikasi
Menurut Arif Mansyoer,2000) kejang demam dapat mengakibatkan :
a. Kerusakan sel otak
b. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit dan bersifat unilateral
c. Kelumpuhan
10. Path way
Infeksi diluar susunan saraf pusat
↓
Peningkatan suhu tubuh
↓
Metabolisme meningkat
↓
Kebutuhan glukosa dan O2
↓
Perbedaan potensial sel membran
↓
Keseimbangan membran neuron
terganggu
↓
Difusi K+ dan Na+
↓
Lepas muatan listrik
↓
Kejang
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data subyektif
- Badan terasa panas
- Adanya mual dan muntah
- Merasa haus
- Adanya kesulitan saat bernafas
- Adanya aktivitas kejang berulang, pergerakan otot tidak terkoordinasi, kelemahan
- Merasa tidak nyaman, gerah.
- Adanya kekhawatiran orang tua.
b. Data obyektif
- Suhu meningkat / tinggi
- Badan teraba panas
- Membran mukosa / kulit kering
- Perubahan tonus/kekuatan otot, gerakan involunter/ kontraksi sekelompok otot.
- Penurunan kesadaran, pernafasan stridor.
- Tingkah laku distraksi/gelisah
- Tampak kecemasan, kebingungan.
- Saliva keluar berlebih.
2. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan Carpenito (2001) dan Doenges, (2000), diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien kejang demam adalah :
a. Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder terhadap infeksi
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan masukan oral
d. Risiko terjadinya kejang berulang berhubungan dengan hipertermi
e. Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik sekunder akibat kejang.
f. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit dan perawatan.
h. Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kejang berulang.
3. Rencana asuhan keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder terhadap infeksi.
1) Tujuan : suhu tubuh normal : 36,5 – 37 oC
2) Intervensi :
- Kaji factor penyebab terjadinya hipertermi
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hipertermi. Penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan panas.
- Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan perawatan.
- Pertahankan suhu tubuh normal
Rasional :suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.
- Beri kompres dingin
Rasional :perpindahan panas secara konduktif
- Longgarkan pakaian, berikan pakaian yang tipis yang menyerap keringat
Rasional :proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat.
- Beri ekstra cairan (air, susu, sari buah dll)
Rasional :saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
- Batasi aktivitas fisik
Rasional :aktivitas meningkatkan metabolisme sehingga meningkatkan produksi panas
- Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antipiretik
Rasional :menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis.
- Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (darah lengkap)
Rasional : peningkatan kadar WBC merupakan indicator adanya infeksi
b. Resiko terjadi kejang berulang berhubungan dengan hipertermi
1) Tujuan : Kejang berulang tidak terjadi.
2) Intervensi :
- Observasi kejang dan dokumentasikan karakteristiknya : awitan dan durasi, kejadian pra kejang dan pasca kejang.
Rasional :Untuk mengetahui kejang secara dini dan jika ada kelainan akibat kejang.
- Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang menyerap keringat
Rasional :proses konfeksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat
- Beri kompres dingin
Rasional :perpindahan panas secara konduksi.
- Beri extra cairan (air, susu, sari buah dan lain-lain )
Rasional :saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat
- Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
Rasional :Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan.
- Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antipiretik.
Rasional :Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan Sebagai propilaksis
c. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dcngan penumpukan secret
1) Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif
2) Intervensi
- Lakukan suction
Rasional : Untuk rnengeluarkan cairan atau sekret yang ada dalam saluran pernafasan.
- Setelah kejang berikan pasien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Untuk mencegah bila terjadi aspirasi, isi lambung tidak menutupi jalan nafas
- Atur tempat tidur di bagian kepala ditinggikan kurang lebih 45o
Rasional : Kepala lebih tinggi akan memudahkan pasien dalam bernafas.
- Berikan tongue spatel antara gigi dan lidah
Rasional : Untuk mencegah resiko cidera yaitu lidah tergigit
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
1) Tujuan : Nutrisi pasien terpenuhi
2) Intervensi :
- Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan batuk dan mengatasi sekresi
Rasional :faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan
- Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan atau hilangnya atau suara yang hiperaktif
Rasional :bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau berkembangnya komplikasi
- Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional :mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
- Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur
Rasional :meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
- Tingkatkan kenyamanan lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan
Rasional :sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau teman dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan
- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet
Rasional :merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori atau nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang.
e. Kekurangan volume cairan kebutuhan penurunan masukan oral
1) Tujuan : Cairan pasien adekuat
2) Intervensi :
- Awasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional :kekurangan atau perpindahan cairan menurunkan tekanan darah, mengurangi volume nadi.
- Catat perkembangan turgor kulit, hidrasi, membran mukosa
Rasional :kekurangan cairan juga dapat diidentifikasi dengan penurunan turgor kulit, membran mukosa kering.
- Ukur atau hitung masukan, pengeluaran dan keseimbangan cairan, catat kehilangan tidak tampak (IWL)
Rasional :memberikan informasi tentang status cairan umum, kecenderungan keseimbangan cairan negatif dapat menunjukkan terjadi defisit.
- Timbang berat badan setiap hari
Rasional :perubahan cepat menunjukkan gangguan dalam air tubuh total .
- Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena
Rasional :salah satu cara untuk memenuhi keseimbangan cairan dalam tubuh ialah dengan cara pemberian melalui parentral
f. Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik skunder akibat kejang.
1) Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan
2) Intervensi :
- Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah
Rasional :Meminimalkan injuri saat kejang.
- Jangan tinggalkan klien selama fase kejang.
Rasional :Meningkatkan keamanan-pasien.
- Beri tongue spatel antara gigi dan lidah.
Rasional :Menurunkan resiko trauma pada mulut.
- Letakkan klien pada tempat tidur yang lembut.
Rasional :Membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstremitas ketika kontrol otot volunter berkurang
- Setelah kejang berikan klien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Mencegah penutupan jalan nafas.
- Kendurkan pakaian pasien.
Rasional :Mengurangi tekanan pada jalan nafas.
- Catat tipe dan frekuensi kejang.
Rasional : Membantu menurunkan lokasi area cereberal yang terganggu.
- Catat tanda-tanda vital setelah fase kejang.
Rasional :Mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal
g. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit dan perawatan
1) Tujuan:Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya
2) Intervensi :
- Kaji tingkat pengetahuan keluarga.
Rasional :Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi yang didapat.
- Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam
Rasional : Penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan keluarga.
- Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam.
Rasional :Agar keluarga mengetahui cara menolong anak kejang dan rnencegah kejang demam.
- Jelaskan setiap tindakan keperawatan yang dilakukan.
Rasional :Agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan.
h. Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kejang berulang.
1) Tujuan:Pertumbuhan dan perkembangan tidak mengalami gangguan.
2) Intervensi :
- Cegah terjadinya kejang berulang
Rasional :dengan tidak terjadinya kejang berulang dapat mencegah terjadinya kerusakan motorik dan sensorik.
- Konsul dengan ahli terapi untuk mengevaluasi obat sesuai indikasi
Rasional :Pengobatan yang teratur akan dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
- Berikan anak latihan dan kesempatam meningkatkan hubungan sosial
Rasional :Latihan dan hubungan sosial dengan orang lain dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan.
- Berikan nutrisi yang cukup/memenuhi kebutuhan tubuh.
Rasional :Nutrisi akan dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.j. (2000). Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta : EGC.
Doenges, M.E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Hasan, dkk. (1985). Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta : FKUI.
Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Nelson. (2000). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 3. Edisi ke-15. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : FKUI.
Price S.A. (1995). Patofisiologi. Edisi Ke-4. Jakarta : EGC
Soetomenggolo, Taslims. (2000). Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan ke-2. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN SEPSIS NEONATORUM
A. Pengertian
Sepsis pada periode neonatal adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan penyakit sistemik simtomatik dan bakteri dalam darah.
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis neonatorum dapat berlangsung cepat sehungga seringkali tidak terpantau, tanpa pengobatan yang memadai bayi dapat meninggal dalam 24 sampai 48jam.(perawatan bayi beriko tinggi, penerbit buku kedoktoran,
Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi selama empat minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600 kelahiran hidup
B. Epidemiologi
Organisme tersering sebagai penyebab penyakit adalah Escherichia Coli dan streptokok grup B (dengan angka kesakitan sekitar 50 – 70 %), Stapylococcus aureus, enterokok, Klebsiella-Enterobacter sp., Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp., Listeria monositogenes dan organisme yang anaerob. Faktor-faktor dari ibu dan organisme diperoleh dari cairan ketuban yang terinfeksi atau ketika janin melewati jalan lahir (penyakit yang mempunyai awitan dini), bayi mungkin terinfeksi dalam lingkungannya atau dari sejumlah sumber dari rumah sakit (penyakit yang mempunyai awitan lambat)
C. Penyebab
1. Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis.
2. Mikroorganisme berupa bakteri, jamur, virus atau riketsia. Penyebab paling sering dari sepsis : Escherichia Coli dan Streptococcus grup B (dengan angka kesakitan sekitar 50 – 70 %. Diikuti dengan malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.
3. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.
4. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan
Faktor- factor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga kelompok, yaitu :
1. Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu (kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD)
e. Prosedur selama persalinan.
2. Faktor Neonatatal
a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun dan penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor diluar ibu dan neonatal
a. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan resiko pada neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat ganda.
c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling sering akibat kontak tangan.
d. Pada bayi yang minum ASI, spesiesLactbacillus danE.colli ditemukan dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh
e. colli.
4. Faktor predisposisi
Terdapar berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis, baik dari ibu maupun bayi sehingga dapat dilakukan tindakan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sepsis. Faktor tersebut adalah :
a. Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan
b. Perawatan antenatal yang tidak memadai
c. Ibu menderita eklampsia, diabetes mellitus
d. Pertolongan persalina yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.
e. Kelahiran kurang bulan, BBLR, dan cacat bawaan.
f. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus.
g. Tidak menerapakan rawat gabung
h. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak
i. Ketuban pecah dini,
D. Patofisiologi
Berdasarkan waktu timbulnya dibagi menjadi 3 :
1. Early Onset (dini) : terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai system saluran pernafasan, progresif dan akhirnya syok.
2. Late Onset (lambat) : timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya kelainan system susunan saraf pusat.
3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit.
Mekanisme terjadinya sepsis neonatorum :
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara yaitu :
1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan toksoplasma.
2. Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai kiroin dan amnion akibatnya, terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau “port de entre” lain saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman (mis. Herpes genitalis, candida albican dan gonorrea).
3. Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan diluar rahim (mis, melalui alat-alat; pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasagastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial.
E. Klasifikasi
1. Sepsis dini –> terjadi 7 hari pertama kehidupan. Karakteristik : sumber organisme pada saluran genital ibu dan atau cairan amnion, biasanya fulminan dengan angka mortalitas tinggi.
2. Sepsis lanjutan/nosokomial –> terjadi setelah minggu pertama kehidupan dan didapat dari lingkungan pasca lahir. Karakteristik : Didapat dari kontak langsung atau tak langsung dengan organisme yang ditemukan dari lingkungan tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi.
F. Tanda dan gejala
Gejala infeksi sepsis pada neonatus ditandai dengan :
1. Tanda dan Gejala Umum
Hipertermia (jarang) atau hipothermia (umum) atau bahkan normal, Aktivitas lemah atau tidak ada, Tampak sakit, Menyusun buruk/intoleransi pemberian susu.
2. Sistem Pernafasan
Dispenu, Takipneu, Apneu, Tampak tarikan otot pernafasan, Merintih, Mengorok, Pernapasan cuping hidung, Sianosis
3. Sistem Kardiovaskuler
Hipotensi, Kulit lembab dan dingin, Pucat, Takikardi, Bradikardi. Edema, Henti jantung
4. Sistem Pencernaan
Distensi abdomen, Anorexia, Muntah, Diare, Menyusu buruk, Peningkatan residu lambung setelah menyusu, Darah samar pada feces,
Hepatomegali
5. Sistem Saraf Pusat
Refleks moro abnormal, Inhabilitas, Kejang, Hiporefleksi, Fontanel anterior menonjol, Tremor, Koma, Pernafasan tidak teratur, High-pitched cry
6. Hematologi
Ikterus, Petekie, Purpura, Prdarahan, Splenomegali, Pucat, Ekimosis
G. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
Kulit kekuningan, Sulit bernafas, Letargi, Kejang, Mata berputar, Palpasi, tonos otot meningkat, leher kaku
2. Palpasi
tonos otot meningkat, leher kaku
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin (hb,leuko,trombosit,CT,BT,LED,SGOT,SGPT)
2. Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab.
3. Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal fungsi dapat
4. mendeteksi organisme.
5. DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) dengan peningkatan
6. neutrofil immatur yang menyatakan adanya infeksi.
7. Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya
8. inflamasi.
I. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik : Organsisme penyebab terjadinya infeksi bisa diketahui dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis maupun pembiakan terhadap contoh darah, air kemih maupun cairan dari telinga dan lambung. Jika diduga suatu meningitis, maka dilakukan fungsi lumbal. Bila ditemukan satu atau lebih faktor resisko infeksi adalah sebagai berikut ;
1. Ibu selama melahirkan demam ( suhu > 38.5 oC).
2. Ibu leukositosis ( lekosit > 1500/ mm3).
3. Air ketuban keruh dan atau berbau busuk.
4. Ketuban pecah >12 jam sebelum lahir.
5. Partus kasep
Langkah diagnosis :
1. Indikasi faktor resiko infeksi yang didiagnosa tersangkan infeksi.
2. Tetapkan apakah kasus tersangka infeksi berkembang menjadi sepsis neonatarum dengan mengamati munculnya gejala klinis serta kelainan hasil pemeriksaan laboratorium
3. Untuk penderita yang telah mengalami kelainan klinis dapat dilakukan dengan identifikasi pemeriksaan secara cermat
4. Lakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin,pemeriksaan CRP dan kultur darah.
5. Semua penderita sepsis neonatorum dilakukan lumbal fungsi untuk melihat apakah sudah terjadi komplikasi, batasan minignitis :
Usia 0-48 jam > 100
Usia 2-7 hari > 50
Usia > 7 hari > 22
6. Bila ada alat ultrasonografi ( USG), maka USG transfontanel bisa membantu menegakkan diagnosis meningitis.
J. Therapy/Penanganan
1. Suportif
a. Lakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa
b. Berikan koreksi jika terjadi hipovolemia, hipokalsemia dan hipoglikemia
c. Atasi syok, hipoksia, dan asidosis metabolic.
d. Awasi adanya hiperbilirubinemia
e. Pertimbangkan nurtisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral.
2. Kausatif
Antibiotic diberikan sebelum kuman penyebab diketahui. Biasanya digunakan golongan Penicilin seperti Ampicillin ditambah Aminoglikosida seperti Gentamicin. Pada sepsis nasokomial, antibiotic diberikan dengan mempertimbangkan flora di ruang perawatan, namun sebagai terapi inisial biasanya diberikan vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosforin generasi ketiga. Setelah didaapt hasil biakan dan uji sistematis diberikan antibiotic yang sesuai. Tetapi dilakukan selama 10-14 hari, bila terjadi Meningitis, antibiotic diberikan selama 14-21 hari dengan dosis sesuai untuk Meningitis.
K. Komplikasi
– Meningitis
– Hipoglikemia, asidosis metabolik
– Koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard, perdarahan intrakranial
– ikterus/kernikterus
L. Prognosis
Angka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10 – 40 %. Angka tersebut berbeda-beda tergantung pada cara dan waktu awitan penyakit, agen atiologik, derajat prematuritas bayi, adanya dan keparahan penyakit lain yang menyertai dan keadaan ruang bayi atau unit perawatan.
M. Pencegahan
Peningkatan penggunaan fasilitas perawatan prenatal, perwujudan program melahirkan bagi ibu yang mempunyai kehamilan resiko tinggi, pada pusat kesehatan yang memiliki fasilitas perawatan intensif bayi neonatal dan pengambangan alat pengangkutan yang modern, mempunyai pengaruh yang cukup berarti dalam penurunan faktor ibu dan bayi yang merupakan predisposisi infeksi pada bayi neonatus. Pemberian antibiotik profilaktik dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada bayi neonatus.
II Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. PENGKAJIAN
1. Data Sybyektif
2. Data Obyektif : Bayi tampak lesu, tidak kuat menghisap, denyut jantung lambat dan suhu tubuhnya turun-naik, gangguan pernafasan, kejang, jaundice (sakit kuning), muntah, diare,perut kembung
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1. Hipertermi b/d efek endotoksin, perubahan regulasi temperatur, dihidrasi, peningkatan metabolism
2. resiko tinggi perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia
3. resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan kebocoran cairan kedalam intersisial
4. resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan terganggunya pengiriman oksigen kedalam jaringan,
5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
6. resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun
7. kurang pengetahuan berhubungan kurangnya informasi
(Doenges, 2000)
C. RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN
1. hipertermi b/d efek endotoksin, perubahan regulasi temperatur, dihidrasi, peningkatan metabolism
Tujuan : Suhu tubuh dalam keadaan normal ( 36,5-37 )
Intervensi :
a. pantau suhu pasien
Rasional : suhu 38,9 -41,1 derajad celcius menunjukkkan proses penyakit infeksius akut
b. pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen sesuai indikasi
Rasional : suhu ruangan harus di ubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal
c. berikan kompres hangat, hindari penggunaan alcohol
Rasional : membantu mengurangi demem
d. kolaborasi dalam pemberian antipiretik, misalnya aspirin, asetaminofen
Rasional : mengurangi demem dengan aksi sentral pada hipotalamus
2. Resiko tinggi i perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia
Tujuan / Kriteria hasil
Intervensi :
a. pertahankan tirah baring
Rasional : menurunkan beban kerja mikard dan konsumsi oksigen
b. pantau perubahan pada tekanan darah
R: hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah
c. pantau frekuensi dan irama jantung, perhatikan disritmia
R: disritmia jantung dapat terjadi sebagai akibat dari hipoksia
d. kaji ferkuensi nafas, kedalaman, dan kualitas
R: peningkatan pernapasan terjadi sebagai respon terhadap efek-efek langsung endotoksin pada pusat pernapasan didalam otak
e. catat haluaran urine setiap jam dan berat jenisnya
R: penurunan urine mengindikasikan penurunan perfungsi ginjal
f. kaji perubahan warna kulit,suhu, kelembapan
R: mengetahui status syok yang berlanjut
g. kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral
R: mempertahankan perfusi jaringan
h. kolaborasi dalam pemberian obat
R: mempercepat proses penyembuhan
3. resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d kebocoran cairan kedalam intersisial
Tujuan / Kriteria hasil
Intervensi :
a. catat haluaran urine setiap jam dan berat jenisnya
R: penurunan urine mengindikasikan penurunan perfungsi ginjal serta menyebabkan hipovolemia
b. pantau tekanan darah dan denyut jantung
R: pengurangan dalam sirkulasi volum cairan dapat mengurangi tekanan darah
c. kaji membrane mukosa
R: hipovolemia akan memperkuat tanda-tanda dehidrasi
d. kolaborasi dalam pemberian cairan IV misalnya kristaloid
R: cairan dapat mengatasi hipovolemia
4. resiko tinggi kerusakan pertukaran gas b/d terganggunya pengiriman oksigen kedalam jaringan
Tujuan /Kriteria hasil :
Intervensi
a. pertahankan jalan nafas dengan posisi yang nyaman atau semi fowler
R: meningkatkan ekspansi paru-paru
b. pantau frekuensi dan kedalaman jalan nafas
R: pernapasan cepat dan dangkal terjadi karena hipoksemia, stress dan sirkulasi endotoksin
c. auskultasi bunyi nafas, perhatikan krekels, mengi
R: kesulitan bernafas dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator dari kongesti pulmona/ edema intersisial
d. catat adanya sianosis sirkumoral
R: menunjukkna oksigen sistemik tidak adequate
e. selidiki perubahan pada sensorium
R: fungsi serebral sangat sensitif terhadap penurunan oksigenisasi
Daftar Pustaka :
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Tucker Susan Martin, at al.,1999, Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan, Diagnosis dan evaluasi, EGC, Jakarta.
Dongoes, Marlynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Arif, mansjoer (2000). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: EGC.
Behrman (2000). Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta: EGC.
Bobak (2005). Buku ajar keperawatn maternitas. Jakarta: EGC.
Sepsis pada periode neonatal adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan penyakit sistemik simtomatik dan bakteri dalam darah.
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis neonatorum dapat berlangsung cepat sehungga seringkali tidak terpantau, tanpa pengobatan yang memadai bayi dapat meninggal dalam 24 sampai 48jam.(perawatan bayi beriko tinggi, penerbit buku kedoktoran,
Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi selama empat minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600 kelahiran hidup
B. Epidemiologi
Organisme tersering sebagai penyebab penyakit adalah Escherichia Coli dan streptokok grup B (dengan angka kesakitan sekitar 50 – 70 %), Stapylococcus aureus, enterokok, Klebsiella-Enterobacter sp., Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp., Listeria monositogenes dan organisme yang anaerob. Faktor-faktor dari ibu dan organisme diperoleh dari cairan ketuban yang terinfeksi atau ketika janin melewati jalan lahir (penyakit yang mempunyai awitan dini), bayi mungkin terinfeksi dalam lingkungannya atau dari sejumlah sumber dari rumah sakit (penyakit yang mempunyai awitan lambat)
C. Penyebab
1. Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis.
2. Mikroorganisme berupa bakteri, jamur, virus atau riketsia. Penyebab paling sering dari sepsis : Escherichia Coli dan Streptococcus grup B (dengan angka kesakitan sekitar 50 – 70 %. Diikuti dengan malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.
3. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.
4. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan
Faktor- factor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga kelompok, yaitu :
1. Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu (kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD)
e. Prosedur selama persalinan.
2. Faktor Neonatatal
a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun dan penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor diluar ibu dan neonatal
a. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan resiko pada neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat ganda.
c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling sering akibat kontak tangan.
d. Pada bayi yang minum ASI, spesiesLactbacillus danE.colli ditemukan dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh
e. colli.
4. Faktor predisposisi
Terdapar berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis, baik dari ibu maupun bayi sehingga dapat dilakukan tindakan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sepsis. Faktor tersebut adalah :
a. Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan
b. Perawatan antenatal yang tidak memadai
c. Ibu menderita eklampsia, diabetes mellitus
d. Pertolongan persalina yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.
e. Kelahiran kurang bulan, BBLR, dan cacat bawaan.
f. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus.
g. Tidak menerapakan rawat gabung
h. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak
i. Ketuban pecah dini,
D. Patofisiologi
Berdasarkan waktu timbulnya dibagi menjadi 3 :
1. Early Onset (dini) : terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai system saluran pernafasan, progresif dan akhirnya syok.
2. Late Onset (lambat) : timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya kelainan system susunan saraf pusat.
3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit.
Mekanisme terjadinya sepsis neonatorum :
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara yaitu :
1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan toksoplasma.
2. Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai kiroin dan amnion akibatnya, terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau “port de entre” lain saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman (mis. Herpes genitalis, candida albican dan gonorrea).
3. Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan diluar rahim (mis, melalui alat-alat; pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasagastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial.
E. Klasifikasi
1. Sepsis dini –> terjadi 7 hari pertama kehidupan. Karakteristik : sumber organisme pada saluran genital ibu dan atau cairan amnion, biasanya fulminan dengan angka mortalitas tinggi.
2. Sepsis lanjutan/nosokomial –> terjadi setelah minggu pertama kehidupan dan didapat dari lingkungan pasca lahir. Karakteristik : Didapat dari kontak langsung atau tak langsung dengan organisme yang ditemukan dari lingkungan tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi.
F. Tanda dan gejala
Gejala infeksi sepsis pada neonatus ditandai dengan :
1. Tanda dan Gejala Umum
Hipertermia (jarang) atau hipothermia (umum) atau bahkan normal, Aktivitas lemah atau tidak ada, Tampak sakit, Menyusun buruk/intoleransi pemberian susu.
2. Sistem Pernafasan
Dispenu, Takipneu, Apneu, Tampak tarikan otot pernafasan, Merintih, Mengorok, Pernapasan cuping hidung, Sianosis
3. Sistem Kardiovaskuler
Hipotensi, Kulit lembab dan dingin, Pucat, Takikardi, Bradikardi. Edema, Henti jantung
4. Sistem Pencernaan
Distensi abdomen, Anorexia, Muntah, Diare, Menyusu buruk, Peningkatan residu lambung setelah menyusu, Darah samar pada feces,
Hepatomegali
5. Sistem Saraf Pusat
Refleks moro abnormal, Inhabilitas, Kejang, Hiporefleksi, Fontanel anterior menonjol, Tremor, Koma, Pernafasan tidak teratur, High-pitched cry
6. Hematologi
Ikterus, Petekie, Purpura, Prdarahan, Splenomegali, Pucat, Ekimosis
G. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
Kulit kekuningan, Sulit bernafas, Letargi, Kejang, Mata berputar, Palpasi, tonos otot meningkat, leher kaku
2. Palpasi
tonos otot meningkat, leher kaku
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin (hb,leuko,trombosit,CT,BT,LED,SGOT,SGPT)
2. Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab.
3. Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal fungsi dapat
4. mendeteksi organisme.
5. DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) dengan peningkatan
6. neutrofil immatur yang menyatakan adanya infeksi.
7. Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya
8. inflamasi.
I. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik : Organsisme penyebab terjadinya infeksi bisa diketahui dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis maupun pembiakan terhadap contoh darah, air kemih maupun cairan dari telinga dan lambung. Jika diduga suatu meningitis, maka dilakukan fungsi lumbal. Bila ditemukan satu atau lebih faktor resisko infeksi adalah sebagai berikut ;
1. Ibu selama melahirkan demam ( suhu > 38.5 oC).
2. Ibu leukositosis ( lekosit > 1500/ mm3).
3. Air ketuban keruh dan atau berbau busuk.
4. Ketuban pecah >12 jam sebelum lahir.
5. Partus kasep
Langkah diagnosis :
1. Indikasi faktor resiko infeksi yang didiagnosa tersangkan infeksi.
2. Tetapkan apakah kasus tersangka infeksi berkembang menjadi sepsis neonatarum dengan mengamati munculnya gejala klinis serta kelainan hasil pemeriksaan laboratorium
3. Untuk penderita yang telah mengalami kelainan klinis dapat dilakukan dengan identifikasi pemeriksaan secara cermat
4. Lakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin,pemeriksaan CRP dan kultur darah.
5. Semua penderita sepsis neonatorum dilakukan lumbal fungsi untuk melihat apakah sudah terjadi komplikasi, batasan minignitis :
Usia 0-48 jam > 100
Usia 2-7 hari > 50
Usia > 7 hari > 22
6. Bila ada alat ultrasonografi ( USG), maka USG transfontanel bisa membantu menegakkan diagnosis meningitis.
J. Therapy/Penanganan
1. Suportif
a. Lakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa
b. Berikan koreksi jika terjadi hipovolemia, hipokalsemia dan hipoglikemia
c. Atasi syok, hipoksia, dan asidosis metabolic.
d. Awasi adanya hiperbilirubinemia
e. Pertimbangkan nurtisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral.
2. Kausatif
Antibiotic diberikan sebelum kuman penyebab diketahui. Biasanya digunakan golongan Penicilin seperti Ampicillin ditambah Aminoglikosida seperti Gentamicin. Pada sepsis nasokomial, antibiotic diberikan dengan mempertimbangkan flora di ruang perawatan, namun sebagai terapi inisial biasanya diberikan vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosforin generasi ketiga. Setelah didaapt hasil biakan dan uji sistematis diberikan antibiotic yang sesuai. Tetapi dilakukan selama 10-14 hari, bila terjadi Meningitis, antibiotic diberikan selama 14-21 hari dengan dosis sesuai untuk Meningitis.
K. Komplikasi
– Meningitis
– Hipoglikemia, asidosis metabolik
– Koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard, perdarahan intrakranial
– ikterus/kernikterus
L. Prognosis
Angka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10 – 40 %. Angka tersebut berbeda-beda tergantung pada cara dan waktu awitan penyakit, agen atiologik, derajat prematuritas bayi, adanya dan keparahan penyakit lain yang menyertai dan keadaan ruang bayi atau unit perawatan.
M. Pencegahan
Peningkatan penggunaan fasilitas perawatan prenatal, perwujudan program melahirkan bagi ibu yang mempunyai kehamilan resiko tinggi, pada pusat kesehatan yang memiliki fasilitas perawatan intensif bayi neonatal dan pengambangan alat pengangkutan yang modern, mempunyai pengaruh yang cukup berarti dalam penurunan faktor ibu dan bayi yang merupakan predisposisi infeksi pada bayi neonatus. Pemberian antibiotik profilaktik dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada bayi neonatus.
II Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. PENGKAJIAN
1. Data Sybyektif
2. Data Obyektif : Bayi tampak lesu, tidak kuat menghisap, denyut jantung lambat dan suhu tubuhnya turun-naik, gangguan pernafasan, kejang, jaundice (sakit kuning), muntah, diare,perut kembung
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1. Hipertermi b/d efek endotoksin, perubahan regulasi temperatur, dihidrasi, peningkatan metabolism
2. resiko tinggi perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia
3. resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan kebocoran cairan kedalam intersisial
4. resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan terganggunya pengiriman oksigen kedalam jaringan,
5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
6. resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun
7. kurang pengetahuan berhubungan kurangnya informasi
(Doenges, 2000)
C. RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN
1. hipertermi b/d efek endotoksin, perubahan regulasi temperatur, dihidrasi, peningkatan metabolism
Tujuan : Suhu tubuh dalam keadaan normal ( 36,5-37 )
Intervensi :
a. pantau suhu pasien
Rasional : suhu 38,9 -41,1 derajad celcius menunjukkkan proses penyakit infeksius akut
b. pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen sesuai indikasi
Rasional : suhu ruangan harus di ubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal
c. berikan kompres hangat, hindari penggunaan alcohol
Rasional : membantu mengurangi demem
d. kolaborasi dalam pemberian antipiretik, misalnya aspirin, asetaminofen
Rasional : mengurangi demem dengan aksi sentral pada hipotalamus
2. Resiko tinggi i perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia
Tujuan / Kriteria hasil
Intervensi :
a. pertahankan tirah baring
Rasional : menurunkan beban kerja mikard dan konsumsi oksigen
b. pantau perubahan pada tekanan darah
R: hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah
c. pantau frekuensi dan irama jantung, perhatikan disritmia
R: disritmia jantung dapat terjadi sebagai akibat dari hipoksia
d. kaji ferkuensi nafas, kedalaman, dan kualitas
R: peningkatan pernapasan terjadi sebagai respon terhadap efek-efek langsung endotoksin pada pusat pernapasan didalam otak
e. catat haluaran urine setiap jam dan berat jenisnya
R: penurunan urine mengindikasikan penurunan perfungsi ginjal
f. kaji perubahan warna kulit,suhu, kelembapan
R: mengetahui status syok yang berlanjut
g. kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral
R: mempertahankan perfusi jaringan
h. kolaborasi dalam pemberian obat
R: mempercepat proses penyembuhan
3. resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d kebocoran cairan kedalam intersisial
Tujuan / Kriteria hasil
Intervensi :
a. catat haluaran urine setiap jam dan berat jenisnya
R: penurunan urine mengindikasikan penurunan perfungsi ginjal serta menyebabkan hipovolemia
b. pantau tekanan darah dan denyut jantung
R: pengurangan dalam sirkulasi volum cairan dapat mengurangi tekanan darah
c. kaji membrane mukosa
R: hipovolemia akan memperkuat tanda-tanda dehidrasi
d. kolaborasi dalam pemberian cairan IV misalnya kristaloid
R: cairan dapat mengatasi hipovolemia
4. resiko tinggi kerusakan pertukaran gas b/d terganggunya pengiriman oksigen kedalam jaringan
Tujuan /Kriteria hasil :
Intervensi
a. pertahankan jalan nafas dengan posisi yang nyaman atau semi fowler
R: meningkatkan ekspansi paru-paru
b. pantau frekuensi dan kedalaman jalan nafas
R: pernapasan cepat dan dangkal terjadi karena hipoksemia, stress dan sirkulasi endotoksin
c. auskultasi bunyi nafas, perhatikan krekels, mengi
R: kesulitan bernafas dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator dari kongesti pulmona/ edema intersisial
d. catat adanya sianosis sirkumoral
R: menunjukkna oksigen sistemik tidak adequate
e. selidiki perubahan pada sensorium
R: fungsi serebral sangat sensitif terhadap penurunan oksigenisasi
Daftar Pustaka :
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Tucker Susan Martin, at al.,1999, Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan, Diagnosis dan evaluasi, EGC, Jakarta.
Dongoes, Marlynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Arif, mansjoer (2000). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: EGC.
Behrman (2000). Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta: EGC.
Bobak (2005). Buku ajar keperawatn maternitas. Jakarta: EGC.
SATUAN ACARA PENYULUHAN PIJAT BAYI
Tempat : Ruang Cempaka bayi RSUP Sanglah
Sasaran : Ibu – ibu yang mempunyai bayi
Waktu : Satu kali pertemuan (60 menit)
1. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Setelah mendapat penyuluhan selama 60 menit,peserta penyuluhan mampu melakukan pijat bayi.
2. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah mendapatkan penyuluhan peserta penyuluhan dapat :
1) Menyebutkan tujuan dan manfaat pijat bayi dengan benar.
2) Menyebutkan persiapan alat pijat bayi dengan benar dan lemgkap.
3) Menyebutkan hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pijat bayi.
4) Mendemonstrasikan pijat bayi dengan benar.
3. MATERI
1) Tujuan dan manfaat pijat bayi.
2) Persiapan alat – alat untuk pijat bayi.
3) Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pijat bayi.
4) Teknik atau cara pijat bayi.
4. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
NO AKTIFITAS FASILITATOR AKTIFITAS PESERTA WAKTU
1 - Memberikan salam dan memperkenalkan diri
- Menjelaskan maksut pertemuan dan tujuan dari pembelajaran. - Membalas salam
- mendengarkan 5 menit
2 Menanyakan apakah ada yang sudah pernah atau mengetahui tentang pijat bayi (manfaat, tujuan dan cara) Menjawab dan menyampaikan pendapatnya. 10 menit
3 Menjelaskan manfaat, tujuan, hal yang perlu diperhatikan dalam pijat bayi Mendengarkan dan bertanya. 15 menit
4 Menjelaskan dan memperagakan langkah atau cara pijat bayi Memperhatikan, mendengarkan dan mempraktekkan 20 menit
5 - Menanyakan apakah ada pertanyaan.
- Penutup. Bertanya 10 menit
5. METODE
1) Ceramah dan tanya jawab.
2) Demonstrasi.
3) Redemonstrasi oleh orang tua (audiens)
6. MEDIA / ALAT
1) Boneka.
2) Bantal.
3) Handuk.
4) Baby oil.
5) Laptop dan Proyektor
7. EVALUASI
1) Struktur pelaksanaan diharapkan sesuai.
2) Proses kegiatan melalui prosedur tahapan pada pijat bayi.
3) Hasilnya diharapkan sesuai tujuan.
8. SUMBER
1) Roesli,U. (2000). Pijat Bayi: Makalah Kursus Dalam Rangka Pro-Kongres Nasional Perinasia VII. Tidak dipublikasikan. 28 Nopember.
2) Roesli,U. (2001). Pedoman Pijat Bayi Prematur dan Bayi Usia 0-3 Bulan. Trubus Agriwidya. Jakarta.
3) Roesli,U. (2001). Pedoman Pijat Bayi. Edisi Revisi. Trubus Agriwidya. Jakarta.
4) Sutini,S. (2004). Agar Bayi Cepat Jalan: Pijat Yang Tepat Banyak Manfaat. Jawa Pos. 30 Maret.
5) Hogg and Blau. (2002) Secret Of The Baby Wispherer: Cara Efektif Menenangkan dan Berkomunikasi Dengan bayi Anda Dari Perawatan Bayi Sampai Perawatan Ibu Paska Melahirkan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
MATERI PENYULUHAN
1.1 Konsep pijat
Pijat adalah terapi sentuh tertua yang dikenal manusia dan yang paling popular yang merupakan seni perawatan kesehatan dan pengobatan yang dipraktekkan sejak berabad-abad tahun silam sehingga tidak ada tehnik atau cara pemijatan yang baku. Pijat memberi kesempatan pada orang tua untuk mengenal tubuh bayinya, membantu bayi untuk rileks, serta menciptakan hubungan yang erat antara orang tua dan anak.
1.2 Manfaat dan tujuan pijat bayi.
1) Peningkatan pertumbuhan
2) Peningkatan daya tahan tubuh
3) Membina ikatan kasih sayang orang tua dan anak
4) Mengurangi stress dan keadaan tersinggung.
5) Kebugaran otot
6) Mempercepat perkembangan otak dan system saraf.
7) Meningkatkan produksi air susu ibu
8) meningkatkan berat badan
9) Membuat bayi tidur lebih lelap sehingga saat bangun konsentrasi bayi meningkat.
1.3 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pijat bayi.
Pedoman yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemijatan adalah :
1) Awali pemijatan dengan sentuhan ringan kemudian secara bertahap tambah tekanannya.
2) Tekanan pemijatan disesuaikan umur:
(1) 0-1 bulan : Gerakan atau tekanan lebih mendekati usapan halus dan sebelum tali pusat lepas sebaiknya tidak dilakukan pemijatan daerah perut.
(2) 1-3 bulan : Tekanan lebih kuat dan gerakan lebih variatif.
(3) 3 bulan- 3 tahun : Dilakukan seluruh gerakan pemijatan sesuai teknik pasda seluruh tubuh.
3) Pada bayi premature sebelum bayi sehat betul, hanya dipegangi.
4) Pemijatan dimulai dari ujung kaki kemudian keatas serta pertahankan kontak mata selama pemijatan.
5) Tanggap terhadap bayi, seperti bila bayi menangis tenangkan dulu baru setelah diam pemijatan dilanjutkan.
6) Tidak membangunkan bayi hanya untuk melakukan pemijatan
7) Tidak melakukan pemijatan bila :
(1) Segera setelah selesai makan.
(2) Bayi dalam keadaan tidak sehat.
(3) Bayi tidak mau dipijat atau memaksakan posisi pijat tertentu.
8) Saat pemijatan gunakan baby oil dan jangan sampai mengenai mata baru setelah selesai dimandikan.
1.4 Persiapan alat pijat bayi
1. Bantal
2. Alas tahan air
3. Dua handuk mandi yang halus
4. Minyak bayi (baby oil)
1.5 Cara / teknik pijat bayi.
Siapkan peralatan yaitu letakkan bantal diatas lantai, kemudian alasi dengan alas yang tahan air dan satu handuk. Kemudian letakkan bayi diatasnya dan mulailah memijat dengan mengolesi terlebih dulu tangan dengan baby oil, dengan setiap gerakan diulang kurang lebih 6 kali, teknik gerakan pemijatannya seperti di bawah:
Sasaran : Ibu – ibu yang mempunyai bayi
Waktu : Satu kali pertemuan (60 menit)
1. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Setelah mendapat penyuluhan selama 60 menit,peserta penyuluhan mampu melakukan pijat bayi.
2. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah mendapatkan penyuluhan peserta penyuluhan dapat :
1) Menyebutkan tujuan dan manfaat pijat bayi dengan benar.
2) Menyebutkan persiapan alat pijat bayi dengan benar dan lemgkap.
3) Menyebutkan hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pijat bayi.
4) Mendemonstrasikan pijat bayi dengan benar.
3. MATERI
1) Tujuan dan manfaat pijat bayi.
2) Persiapan alat – alat untuk pijat bayi.
3) Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pijat bayi.
4) Teknik atau cara pijat bayi.
4. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
NO AKTIFITAS FASILITATOR AKTIFITAS PESERTA WAKTU
1 - Memberikan salam dan memperkenalkan diri
- Menjelaskan maksut pertemuan dan tujuan dari pembelajaran. - Membalas salam
- mendengarkan 5 menit
2 Menanyakan apakah ada yang sudah pernah atau mengetahui tentang pijat bayi (manfaat, tujuan dan cara) Menjawab dan menyampaikan pendapatnya. 10 menit
3 Menjelaskan manfaat, tujuan, hal yang perlu diperhatikan dalam pijat bayi Mendengarkan dan bertanya. 15 menit
4 Menjelaskan dan memperagakan langkah atau cara pijat bayi Memperhatikan, mendengarkan dan mempraktekkan 20 menit
5 - Menanyakan apakah ada pertanyaan.
- Penutup. Bertanya 10 menit
5. METODE
1) Ceramah dan tanya jawab.
2) Demonstrasi.
3) Redemonstrasi oleh orang tua (audiens)
6. MEDIA / ALAT
1) Boneka.
2) Bantal.
3) Handuk.
4) Baby oil.
5) Laptop dan Proyektor
7. EVALUASI
1) Struktur pelaksanaan diharapkan sesuai.
2) Proses kegiatan melalui prosedur tahapan pada pijat bayi.
3) Hasilnya diharapkan sesuai tujuan.
8. SUMBER
1) Roesli,U. (2000). Pijat Bayi: Makalah Kursus Dalam Rangka Pro-Kongres Nasional Perinasia VII. Tidak dipublikasikan. 28 Nopember.
2) Roesli,U. (2001). Pedoman Pijat Bayi Prematur dan Bayi Usia 0-3 Bulan. Trubus Agriwidya. Jakarta.
3) Roesli,U. (2001). Pedoman Pijat Bayi. Edisi Revisi. Trubus Agriwidya. Jakarta.
4) Sutini,S. (2004). Agar Bayi Cepat Jalan: Pijat Yang Tepat Banyak Manfaat. Jawa Pos. 30 Maret.
5) Hogg and Blau. (2002) Secret Of The Baby Wispherer: Cara Efektif Menenangkan dan Berkomunikasi Dengan bayi Anda Dari Perawatan Bayi Sampai Perawatan Ibu Paska Melahirkan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
MATERI PENYULUHAN
1.1 Konsep pijat
Pijat adalah terapi sentuh tertua yang dikenal manusia dan yang paling popular yang merupakan seni perawatan kesehatan dan pengobatan yang dipraktekkan sejak berabad-abad tahun silam sehingga tidak ada tehnik atau cara pemijatan yang baku. Pijat memberi kesempatan pada orang tua untuk mengenal tubuh bayinya, membantu bayi untuk rileks, serta menciptakan hubungan yang erat antara orang tua dan anak.
1.2 Manfaat dan tujuan pijat bayi.
1) Peningkatan pertumbuhan
2) Peningkatan daya tahan tubuh
3) Membina ikatan kasih sayang orang tua dan anak
4) Mengurangi stress dan keadaan tersinggung.
5) Kebugaran otot
6) Mempercepat perkembangan otak dan system saraf.
7) Meningkatkan produksi air susu ibu
8) meningkatkan berat badan
9) Membuat bayi tidur lebih lelap sehingga saat bangun konsentrasi bayi meningkat.
1.3 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pijat bayi.
Pedoman yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemijatan adalah :
1) Awali pemijatan dengan sentuhan ringan kemudian secara bertahap tambah tekanannya.
2) Tekanan pemijatan disesuaikan umur:
(1) 0-1 bulan : Gerakan atau tekanan lebih mendekati usapan halus dan sebelum tali pusat lepas sebaiknya tidak dilakukan pemijatan daerah perut.
(2) 1-3 bulan : Tekanan lebih kuat dan gerakan lebih variatif.
(3) 3 bulan- 3 tahun : Dilakukan seluruh gerakan pemijatan sesuai teknik pasda seluruh tubuh.
3) Pada bayi premature sebelum bayi sehat betul, hanya dipegangi.
4) Pemijatan dimulai dari ujung kaki kemudian keatas serta pertahankan kontak mata selama pemijatan.
5) Tanggap terhadap bayi, seperti bila bayi menangis tenangkan dulu baru setelah diam pemijatan dilanjutkan.
6) Tidak membangunkan bayi hanya untuk melakukan pemijatan
7) Tidak melakukan pemijatan bila :
(1) Segera setelah selesai makan.
(2) Bayi dalam keadaan tidak sehat.
(3) Bayi tidak mau dipijat atau memaksakan posisi pijat tertentu.
8) Saat pemijatan gunakan baby oil dan jangan sampai mengenai mata baru setelah selesai dimandikan.
1.4 Persiapan alat pijat bayi
1. Bantal
2. Alas tahan air
3. Dua handuk mandi yang halus
4. Minyak bayi (baby oil)
1.5 Cara / teknik pijat bayi.
Siapkan peralatan yaitu letakkan bantal diatas lantai, kemudian alasi dengan alas yang tahan air dan satu handuk. Kemudian letakkan bayi diatasnya dan mulailah memijat dengan mengolesi terlebih dulu tangan dengan baby oil, dengan setiap gerakan diulang kurang lebih 6 kali, teknik gerakan pemijatannya seperti di bawah: