BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai fungsi utama mempertahankan homeostatis dalam tubuh sehingga terdapat keseimbangan optimal untuk kelangsungan hidup sel. Ginjal juga merupakan organ yang mengatur lingkungan kimia internal tubuh secara akurat, dan diperlukan untuk mempertahankan kehidupan (Brunner & suddarth, 2001, dalam Suzzane, 2002). Fungsi ginjal adalah mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa dengan cara menyaring darah melalui ginjal. Elektrolit dan non elektrolit juga mengekresikan kelebihannya sebagai kemih( urine). Ginjal mengeluarkan sampah metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat dan zat kimia asing. Kegagalan ginjal dalam melakukan fungsi-fungsi vital ini menimbulkan keadaan yang disebut uremia atau penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (Price&Wilson, 2006).
Gagal ginjal kronis (GGK) di dunia sudah mencapai 26 juta orang, dan 20 juta diantaranya sudah masuk kedalam tahap akhir atau terminal. ( www.antiloans.org, 2009). Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi 166 ribu kasus GGK dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu. Selain data tersebut, 6 juta-20 juta individu di AS diperkirakan mengalami GGK fase awal.( www.antiloans.org, 2009). Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996, ada 167 ribu penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi peningkatan menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien GGK di Jepang bisa bertahan hingga bertahun-tahun.Bahkan, dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan hingga umur lebih dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGK pun bisa ditekan menjadi 10 per 1.000 penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai.
Pada tahun 2007 jumlah pasien GGK di Indonesia mencapai 2148 orang. Kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2008 yaitu sebesar 2260. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap deteksi dini penyakit GGK tersebut. ( www.republika.co.id,2009).
Kondisi yang paling parah pada gagal ginjal dengan karakteristik nilai bersihan kreatinin (CCT) 5-10 ml/menit, laju filtrasi (GFR) 10% dari keadaan normal, ureum darah (BUN) meningkat, isoosmosis dengan berat jenis yang tetap sebesar 1,010, ginjal tidak dapat lagi mempertahankan cairan dan elektrolit tubuh ( Price & Wilson, 2006). Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah GGK seperti pola makan, transplantasi ginjal dan salah satunya dengan hemodialisis. Hemodialisis adalah salah satu upaya mengatasi gagal ginjal kronis, ini merupakan terapi pengganti utama pada pasien GGK yang berlangsung seumur hidup. Dikatakan pengganti karena menggantikan ginjal yang sudah tidak berfungsi lagi. Ginjal buatan hanya dapat menggantikan fungsi ekskresi dari zat- zat Toksik uremia yang tidak berguna lagi, bila tidak dikeluarkan dari tubuh dapat menurunkan kualitas hidup atau meninggal. Dan cara lain untuk mengeluarkan produk limbah dan toksin dalam tubuh adalah hemodialisa.
Data registrasi pada tahun 2010 diruang Hemodialisa RS BALI MEDISTRA pada bulan Januari: 147 orang, Februari: 164 orang, Maret: 165 orang. Terlihat terjadi peningkatan jumlah kunjungan pasien GGK. Sedangkan pada bulan April terjadi penurunan kunjungan yaitu 131 orang.
Pasien GGK menjalani hemodialisis secara kontinyu dan menetap untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Frekuensi dilakukan hemodialisis bervariasi tergantung pada kerusakan ginjalnya. Hemodialisis dilakukan empat sampai lima jam dalam dua sampai tiga kali perminggu. Hal ini dapat menjadi stressor bagi pasien karena dapat dikategorikan ancaman terhadap diri pasien, yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan berhubungan dengan penusukan alat dialisa, ketidakpastian berapa lama dialysis diperlukan (Hudak & Gallo, 1996). Menurut hasil penelitian Safitri.(2007): Dalam penelitian yang berjudul Gambaran Kenyamanan Klien Gagal Ginjal Kronik Pada Saat Diberikan Terapi Hemodialisa R.S Kepolisian Pusat Raden Said Soekanto Kramat Jati. Didapatkan hasil dari 57,5% responden mengatakan nyaman secara fisik, psiko spiritual, social dan lingkungan pada saat diberikan terapi hemodialisa dan sebanyak 42,5% mengatakan tidak nyaman secara fisik, psikospiritual, social dan lingkungan. Jadi lebih banyak responden yang menagatakan nyaman pada saat diberikan terapi hemodialisa.
Klien yang menjalani hemodialisis mengalami depresi , ketakutan dan kecemasan. Tingkat kecemasan klien hemodialisis dipengaruhi oleh beberapa factor fisiologis dan biologis, baik dari dalam pasien maupun dari luar pasien, penerimaan terhadap pelaksanaan hemodialisis, social ekonomi, usia pasien, kondisi pasien. Lama dan frekuensi menjalani hemodialisa timbul karena ancaman diri pasien sehingga menimbulkan respon psikologis dan prilaku pasien yang dapat diamati, sedangkan ancaman diri pada pasien hemodialisis dapat bersumber dari respon manusia (perawat), interaksi manusia dan lingkungan yang terpapar oleh alat yang digunakan (Lazarus & Folkman, 1984, dalam Welch,2001). Pasien yang mengalami dialysis jangka panjang maka akan merasa khawatir atas kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dan berefek terhadap gaya hidup. (Brunner & Suddarth,2001, dalam Suzzane, 2002). Menurut hasil penelitian Sunardi.(2001): Dalam penelitian yang berjudul tentang hubungan lama menjalani hemodialisa dengan tingkat kecemasan terkait alat/unit dialisa pada pasien GGK Di RSUPN Dr.cipto Mangunkusumo.Didapatkan hasil nilai “ r ” sebesar 0,22 hasil ini menunjukkan korelasi/hubungan sangat rendah antara lamanya menjalani hemodialisa terhadap tingkat kecemasan terkait alat/unit dialisa yang berarti bahwa terdapat hubungan positif sangat rendah antara dua variable tsb. Bila nilai tersebut dikuadratkan menjadi 0,0484, yang berarti terdapat hubungan positif linier sebesar 4,8% terhadap keduanya. Jadi dapat diartikan bila semakin lama menjalan hemodialisa terjadi peningkatan kecemasan pada klien GGK dilakukan hemodialisa sebesar 4,8% atau sebaliknya.
Berdasarkan wawancara dan observasi pada 2 pasien GGK yang menjalani hemodialisa di unit Hemodialisa RS Bali Medistra , pasien yang baru menjalani hemodialisa mengatakan merasa cemas akan penusukan jarum dialisa, melihat darah yang ada diselang kateter dialisa dan suara alarm unit dialisa yang berbunyi. Kemudian pada pasien yang sudah lama menjalani hemodialisa mengatakan merasa cemas akan penusukan jarum dialisa dan juga mengatakan sampai kapan penyakitnya dapat diatasi.
Dari penguraian diatas berdasarkan wawancara dan observasi pada pasien GGK yang menjalani Hemodialisa serta penelitian terkait diatas, peneliti ingin meneliti Hubungan Lama dan Frekuensi Menjalani Hemodialisis dengan Tingkat Kecemasan Terkait Alat Dialisa Di RS medistra.
05 Februari 2012
Hubungan Komunikasi Verbal dan non verbal perawat dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin meningkatnya jumlah pasien gangguan fungsi ginjal yang memerlukan tindakan hemodialisa sehingga membutuhkan peran optimal dari tenaga kesehatan khususnya perawat. Disamping peran perawat juga dibutuhkan kerja sama antara pasien dan keluarga agar tindakan hemodialisa dapat dilaksanakan dengan baik sehingga komplikasi yang dapat di timbulkan dari tindakan hemodialisa dapat dicegah. Tindakan hemodialisa harus dilakukan secara rutin oleh pasien dengan gangguan fungsi sehingga hal ini akan dapat menimbulkan permasalah bagi pasien karena tindakan ini memerlukan biaya sangat mahal, disamping itu. Terkait dengan tindakan hemodilisa pasien sering mengeluhkan perasaan cemas, takut dan sejenisnya yang disebabkan oleh pemasangan alat-alat invasive, berbagai hal dari tindakan hemodialisa itu sendiri, kurangnya informasi tentang efek samping hemodialisa, kurang pemahaman mengenai penyakit gagal ginjal kronik, Pengetahuan, Jenis Kelamin, Umur, Status Sosial ekonomi serta keluarga yang belum mampu memberikan dukungan secara psikososial (Brunner dan Suddarth, 2000).
Pengalaman emperis pasien saat menjalani hemodia1isa sering menunjukkan kegelisahan, ekspresi wajah tegang, tekanan darah meningkat dan nadi meningkat, dilaporkan sebanyak 50 %-74 % kasus. (Carpenito, 2000). Berdasarkan studi pendahuluan peneliti di ruang hemodialisa RS medistra dari 15 responden yang menjalani hemodialisa 12 responden diantaranya mengalami kecemasan. Mencermati dari data tersebut di atas disimpulkan bahwa angka kecemasan pada pasien yang akan menjalani hemodialisa tinggi, akan berdampak pada psikologis pasien seperti rasa khawatir berlebihan, gelisah serta dampak depresi. Semua hal itu dapat menghambat jalannya hemodialisa.
Kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien merupakan salah satu alasan keluhan umum pasien di rumah sakit yang dapat menjadi sumber stressor. Pasien sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang diterima dari tenaga kesehatan. Tiga puluh lima sampai dengan empat puluh persen pasien tidak puas berkomunikasi dengan dokter dan perawat, aspek yang paling membuat ketidakpuasan adalah jumlah dan jenis informasi yang diterima (Bart Smet, 2004). Dalam penelitian Achiryani (2006) mendapatkan bahwa jumlah informasi yang diberikan oleh dokter kepada pasien rata-rata 18 jenis informasi untuk diingat, ternyata hanya mampu mengingat 31%. Andrew (2006) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter dan perawat salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis (sulit untuk dimengerti) dan banyaknya instruksi yang harus diingat oleh pasien. Hasil penelitian Ellis (2000), menyatakan bahwa dalam hal komunikasi dengan pasien, dari semua perawat yang diteliti sebanyak 38 orang mendapatkan nilai kurang. Hal ini disebabkan kurang disadari pentingnya komunikasi oleh perawat dan rendahnya pengalaman perawat akan teori, konsep dan arti penting komunikasi terapeutik dalam pemberian asuhan keperawatan. Dari hasil penelitian Saelan tersebut, tidak menutup kemungkinan kondisi yang sama terjadi pula dirumah sakit lain.
Kecemasan yang sering muncul pada pasien merupakan salah satu respon individu terhadap situasi yang mengancam atau mengganggu integritas diri. Berbagai dampak psikologis yang dapat muncul adalah adanya ketidaktahuan akan dapat mengakibatkan kecemasan yang terekspresi dalam berbagai bentuk seperti marah, menolak atau apatis terhadap kegiatan keperawatan. Klien yang cemas sering menggalami ketakutan atau perasaan tidak tenang. Berbagai bentuk ketakutan muncul seperti ketakutan akan hal yang tidak diketahui seperti terhadap prosedur tindakan salah satunya tindakan hemodialisa, anastesi, masa depan, keuangan dan tanggungjawab keluarga; ketakutan akan nyeri atau kematian atau ketakutan akan perubahan citra diri dan konsep diri. (Rotrock, 1999). Kecemasan dapat menimbulkan adanya perubahan secara fisik maupun psikologis yang akhirnya sering mengaktifkan syaraf otonom dimana detak jantung menjadi bertambah, tekanan darah naik, frekuensi nafas bertambah dan secara umum mengurangi tingkat energi pada klien, sehingga dapat merugikan individu itu sendiri (Rothrock, 1999). Berdasarkan konsep psikoneuroimunologi; kecemasan merupakan stressor yang dapat menurunkan sistem imunitas tubuh. Hal ini terjadi melalui serangkaian aksi yang diperantarai oleh HPA-axis (Hipotalamus, Pituitari dan Adrenal). Stress akan merangsang hipotalamus untuk meningkatkan produksi CRF (Corticotropin Releasing Factor). CRF ini selanjutnya akan merangsang kelenjar pituitari anterior untuk meningkatkan produksi ACTH (Adreno Cortico Tropin Hormon.(Guiton & Hall, 1996). Hormon ini yang akan merangsang kortek adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol inilah yang selanjutnya akan menekan sistem imun tubuh (Ader, 1996)
Dalam kaitan antara komunikasi terapeutik perawat terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien maka sangat diperlukan solusi–solusi yang dapat meningkatkan ketrampilan berkomunikasi perawat dan juga yang dapat menhilangkan berbagai hambatan–hambatan terhadap komunikasi yang dilaksanakan perawat. Ketrampilan berkomunikasi bukan merupakan kemampuan yang kita bawa sejak lahir dan juga tidak akan muncul secara tiba – tiba saat kita memerlukannya. Ketrampilan tersebut harus dipelajari dan dilatih secara terus menerus melalui kemampuan belajar mandiri, penyegaran dan pelatihan terutama berhubungan dengan upaya untuk mendapatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan (Ellis, 1999). Selain itu, faktor-faktor penghambat komunikasi merupakan faktor yang dapat mengganggu atau sama sekali bisa membuat perawat tidak mampu berkomunikasi secara terapeutik. Solusi–solusi ini dapat dijadikan pilihan karena bertujuan membantu tenaga kesehatan profesional (termasuk perawat) memperbaiki penampilan kerja guna memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut : adakah hubungan komunikasi verbal dan non verbal perawat dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa di RS medistra?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari hubungan antara komunikasi verbal dan non verbal perawat dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa RS medistra.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengidentifikasi komunikasi verbal dan non verbal yang dilakukan perawat di ruang hemodialisa RS medistra.
b. Untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa RS medistra.
c. Menganalisis hubungan antara komunikasi verbal dan non verbal yang dilakukan perawat dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa RS medistra.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
a. Meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan khususnya terhadap ketrampilan dalam berkomunikasi.
b. Memberikan informasi terntang pentingnya pelatihan komunikasi terapeutik sebagai salah satu upaya yang harus terus menerus dilaksanakan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien dan keluarganya serta masyarakat.
c. Mendorong peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan khususnya kemampuan komunikasi perawat.
2. Praktis
a. Menambah pengetahuan dalam upaya meningkatkan kualitas personal perawat sebagai “care giver”.
b. Dapat memberi gambaran atau informasi bagi peneliti berikutnya.
c. Memberi informasi terhadap perawat tentang pengaruh komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan kelurga dari pasien dan didalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
d. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian tentang hubungan komunikasi verbal dan non verbal perawat dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisa di RS medistra, namun terdapat beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan pasien diantaranya:
1. Faktor-faktor apakah yang dominan yang berhubungan dengan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani hemodialisa di RSUD Tabanan oleh I Ketut Sulawa tahun 2007. dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa faktor fisik sangat dominan berhubungan dengan kecemasan pasien dengan p= 0.02
2. Hubungan Komunikasi perawat dengan kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan di di ruang perawatan bedah RSUD Prof.Dr.W.Z. Johannes Kupang-NTT oleh David A. Mandala. Dari hasil penelitian didapatkan hasil ada hubungan Komunikasi perawat dengan kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan dengan p =0,032