I. Tujuan
A. Tujuan umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang narkoba, diharapkan sasaran mampu memahami dan melaksanakan penanganan dan pencegahan bahaya narkoba
B. Tujuan khusus
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan selama 1 x 60 menit sasaran diharapkan mampu :
1. Sasaran mengetahui beberapa pengertian narkoba
2. Sasaran mengetahui factor-faktor penyebab penyalahgunaan narkoba
3. Sasaran mengetahui penggolongan narkoba
4. Sasaran mengetahui cara kerja narkoba dan pengaruhnya pada otak
5. Sasaran mengetahui pengaruh berbagai jenis narkoba pada tubuh
6. Sasaran mengetahui akibat penyalahgunaan narkoba
7. Peran orang tua dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba
II. Kegiatan belajar Mengajar
No Tahap Waktu Kegiatan penyuluh Kegiatan peserta
1 Pembukaan 5 menit a. Salam
b. Perkenalan
c. Menjelaskan tujuan dari pertemuan
d. Kontrak waktu
e. Apersepsi Menjawab salam
Mendengarkan
Menjawab
2 Isi materi 20 menit a. Menjelaskan beberapa pengertian narkoba
b. Menjelaskan factor-faktor penyebab penyalahgunaan narkoba
c. Menjelaskan penggolongan narkoba
d. Menjelaskan cara kerja narkoba dan pengaruhnya pada otak
e. Menjelaskan pengaruh berbagai jenis narkoba pada tubuh
f. Menjelaskan akibat penyalahgunaan narkoba
g. Menjelaskan peran orang tua dalam mencegah dan menanggulangi penyqlqhgunaan narkoba
h. Memberi kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk menanyakan hal hal yang belum dimengerti
a. Menjelaskan kembali tentang hal yang ditanyakan pasien dan keluarga Memperhatikan
penjelasan perawat
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
Bertanya
Memperhatikan
3 penutup 5 menit a. Memberikan pernyataan lisan kepada pasien dan keluarga
b. Menyimpulkan kegiatan yang telah disampaikan.
c. Memberikan salam penutup Menjawab pertanyaan
Memperhatikan
Menjawab salam
III. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
IV. Media
Leaflet
V. Evaluasi
1. Jenis evaluasi : pernyataan lisan
2. Waktu : akhir kegiatan
Soal Evaluasi
1. Jelaskan salah satu pengertian narkoba?
2. Sebutkan salah satu factor-faktor penyebab penyalahgunaan narkoba?
3. sebutkan salah satu golongan narkoba?
4. sebutkan pengaruih narkoba pada tubuh?
5. sebutkan pengaruh salah satu jenis narkoba pada tubuh?
6. sebutkan salah satu akibat penyalahgunaan narkoba
7. sebutkkan salah satu peran orang tua dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba
VI. Daftar Pustaka
Badan Narkotika Nasional (2004). Terapi KomunitasDalam Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta : Departemen Sosial RI
http:// www.Kompas.co.id/ Merokok dan Narkoba Sama Bahayanya.16 juli 2009, jam 10.00 wita
http:// www.infonarkoba.com/ Gerbang Informasi Dan Solusi Masalah Narkoba. 16 juli 2009, jam 10.00 wita
Joewana, Satya (2005) Pencegahan Dan Penanggulanagan Penyalahgunaan Narkoba Berbasis Sekolah. Jakarta : PT Balai Pustaka
Martono, L. Harlina (1998) Pendidikan Sebagai Sarana Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta : Badan Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat (BPKJM)
Lampiran Materi
A. Pengertian
Akan dibahas beberapa pengertian yang meliputi :
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Martono, 2000)
2. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku (Martono, 2000)
3. Zat adiktik adalah zat atau obat yang dapat menyebabkan ketagihan/adiksi (Martono, 2000)
4. Narkoba atau nafza adalah bahan/obat/zat yang bukan tergolong makanan, jika diminum, diisap, dihirup, ditelan atau disuntikkan berpengaruh terutama pada kerja otak (susunan saraf pusat), dan sering menyebabkan ketergantungan, akibatnya kerja otak berubah (meningkat atau menurun) demikian pula fungsi vital organ tubuh lain seperti jantung, peredaran darah, pernafasan dan lain-lain (Joewono, 2004).
5. Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih yang secara kurang teratur dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan fisik, mental, dan kehidupan sosialnya (Joewono, 2004).
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba sangat komplek, tetapi selalu merupakan interaksi. Ada tiga faktor penyebab penyalahgunaan narkoba diantaranyan :
1. Faktor narkoba
Faktor narkoba berbicara tentang zat, yaitu jenis, dosis dan cara pakai dan pengaruhnya pada tubuh, serta ketersedian dan pengendalian peredarannya.
2. Faktor individu
Dari sudut individu penyalahgunaan narkoba harus dipahami dari masalah perilaku yang kompleks, yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
3. Faktor lingkungan
Lingkungan berbicara tentang keluarga, kelompok sebaya, kehidupan sekolah dan masyarakat luas.
C. Penggolongan Narkoba
Karena bahaya ketergantungan, penggunaan, dan peredaran narkoba diatur dalam undang-undang, yaitu undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika, undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika. Penggolongan jenis-jenis narkoba didasarkan pada peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. Narkotika
Menurut undang-undang Nomor 22 tahun 1997, narkotika dibagi menurut potensi yang menyebabkan ketergantungannya adalah sebagai berikut :
a. Narkotika Golongan I : berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan, tidak digunakan untuk terapi (pengobatan). Contoh : heroin, kokain dan ganja. Putauw adalah heroin tidak murni berupa bubuk.
b. Narkotikan Golongan II : berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan, digunakan pada terapi sebagai pilihan terakhir. Contoh : morfin, petidin dan metadon.
c. Narkotika Golongan III : berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan banyak digunakan dalam terapi. Contoh : kodein.
2. Psikotropika
Menurut undang-undang Nomor 5 tahun 1997 psikotropika dibagi menurut potensi yang dapat menyebabkan ketergantungan antara lain :
a. Psikotropika Golongan I : amat kuat menyebabkan ketergantungan dan tidak digunakan dalam terapi. Contoh : MDMA (ekstasi)
b. Psikotropika Golongan II : kuat menyababkan ketergantungan, digunakan terbatas pada terapi. Contoh : amfetamin, metamfetamin (sabu), fensiklidin, dan ritalin.
c. Psikotropika Golongan III : potensi sedang menyebabkan ketergantungan, banyak digunakan dalam terapi. Contoh : pentobarbital dan flunitrazepam.
d. Psikotropika Golongan IV : potensi ringan menyebabkan ketergantungan dan sangat luas digunakan dalam terapi. Contoh : diazepam, klobazam, fenobarbital, barbital, klorazepam, klordiazepoxide, dan nitrazepam (nipam, pil KB/koplo)
3. Zat psiko-aktif lain
Tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan tentang narkotika dan psikotropika. Yang sering disalah gunakan adalah :
a. Alkohol, yang terdapat pada berbagai jenis minuman keras
b. Inhalasia/sovel, yaitu gas atau zat yang mudah menguap yang terdapat pada berbagai keperluan pabrik, kantor dan rumah tangga.
c. Nikotin yang terdapat pada tembakau
d. Kafein pada kopi, minuman penambah energi dan obat sakit kepala tertentu.
Penggolongan narkotiba, psikotropika, dan zat adiktik lainnya menurut WHO didasarkan atas pengaruhnya terhadap tubuh manusia antara lain :
1. Opioida : mengurangi rasa nyeri dan menyebabkan mengantuk atau turunnya kesadaran. Contoh : opium, morfin, heroin dan petidin.
2. Ganja : menyebabkan perasaan riang, meningkatkan daya khayal, dan perubahan perasaan waktu. Contoh : mariyuana, hasis.
3. kokain dan daun koka, tergolong stimulansia (meningkatkan aktivitas otak/fungsi organ tubuh lain).
4. Golongan amfetamin, tergolong stimulansia. Contoh : ekstasi, sabu.
5. Alkohol, yang terdapat pada minuman keras.
6. Halusinogen, memberikan halusinasi (khayal). Contoh : Lysergic Acid (LSD) sering disebut acid, red dragon, blue heaven, sugar cuber, trips dan tabs.
7. Sedativa dan Hipnotika (obat penenang/obat tidur, seperti pil BK, MG)
8. Solven dan inhalasi : gas atau uap yang dihirup. Contoh : tiner dan lem
9. Nikotin, terdapat pada tembakau (termasuk stimulansia).
10. kafein, terdapat dalam kopi, berbagai jenis obat penghilang rasa sakit atau nyeri, dan minuman kola (termasuk stimulansia).
D. Cara Kerja Narkoba Dan Pengaruhnya Pada Otak
Narkoba berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan perasaan yang disebut sistem limbus. Hipotalamus merupakan pusat kenikmatan pada otak adalah bagian dari sistem limbus. Narkoba menghasilkan perasaan ”High” dengan mengubah susunan biokimia molekul pada sel otak yang disebut neurotransmitter. Dapat dikatakan otak bekerja dengan motto jika merasa enak. Lakukanlah. Otak dilengkapi alat untuk menguatkan rasa nikmat dan menghindarkan rasa sakit atau tidak enak, guna membantu kita memnuhi kebutuhan dasar manusia seperti rasa lapar, haus, rasa hangat dan tidur. Mekanisme ini merupakan mekanisme pertahanan diri. Jika kita lapar, otak menyampaikan pesan agar mencari makanan yang kita butuhkan, kita berupaya mencari makanan itu dan menempatkat diatas segala-galanya, kta rela meninggalkan pekerjaan dan kegiatan lain demi memperoleh makanan itu.
Yang terjadi pada adiksi adalah semacam pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan (hipotalamus), jika mengonsumsi narkoba, otak akan membaca tanggapan kita jika nikmat otak akan menngeluarkan neurotransmitter yang menyampaikan pesan ”zat ini berguna bagi mekanisme pertahanan tubuh, jadi ulangi pemakaiannya” jika memakai narkoba lagi, kita kembali merasa nikmat seolah-olah kebutuhan kita terpuaskan. Otak akan merekamnya sebagai suatu yang harus dicari sebagai prioritas akibatnya otak membuat program salah, seolah-olah kita memang memerlukanya sebagai mekanisme pertahanan diri maka terjadilah kecanduan.
E. Pengaruh Berbagai Jenis Narkoba Pada Tubuh
1. Opioida
a. Pengaruh jangka pendek : hilangnya rasa nyeri, ketegangan berkurang, rasa nyaman (eforik) diikuti perasaan seperti mimpi dan rasa mengantuk.
b. Pengaruh jangka panjang : ketergantungan (gejala putus zat, toleransi) dan meninggal dunia karena over dosis. Dapat menimbulkan komplikasi seperti sembelit, gangguan mentruasi dan impotensi. Karena pemakaian jarum suntik tidak steril timbul abses dan tertulas hepatitis B/C atau penyakit HIV/AIDS.
2. Ganja (mariyuana, cimeng, gelek, dan hasis)
a. Pengaruh jangka pendek : segera setelah pemakaian akan timbul rasa cemas, gembira, banyak bicara, tertawa cekikikan, halusinasi, dan berubahnya perasaan waktu (lama dikira sebentar) dan ruang (jauh dikira dekat), peningkatan denyut jantung, mata merah, mulut dan tenggorokan kering, selera makan meningkat.
b. Pengaruh jangka panjang : daya pikir berkurang, motivasi belajar turun, perhatian ke sekitarnya berkurang, daya tahan terhadap infeksi menurun, aliran darah ke jantung berkurang dan perubahan pada sel-sel otak.
3. Kokain
a. Pengaruh jangka pendek : rasa percaya diri meningkat, banyak bicara, rasa lelah hilang, kebutuhan tidur berkurang, minat seksual meningkat, halusinasi visual dan taktil (seperti ada serangga merayap), waham curiga dan waham kebesaran.
b. Pengaruh jangka panjang : kurang gizi, anemia, sekat hidung rusak/berlubang, dan gangguan jiwa psikotik.
4. Alkohol
a. Pengaruh jangka pendek : alkohol dapat menyebabkan mabuk, jalan sempoyongan, bicara cadel, kekerasan atau perbuatan merusak, ketidakmampuan belajar dan mengingat dan menyababkan kecelakaan karena mengendarai dalam keadaan mabuk.
b. Pengaruh jangka panjang : menyebabkan kerusakan pada hati, kelenjar getah lambung, saraf tepi, otak, gangguan jantung, meningkatkan risiko kanker, dan bayi lahir cacat dari ibu pecandu alkohol.
5. Golongan amfetamin
a. Pengaruh jangka pendek : tidak tidur (terjaga), rasa riang, perasaan melambung (fly), rasa nyaman, meningkatkan keakraban. Namun setelah itu timbul rasa tidak enak, murung, nafsu makan hilang, berkeringat, rasa haus, rahang kaku dan bergerak-gerak, badan gemetar, jantung berdebar dan tekanan darah meningkat.
b. Pengaruh jangka panjang : kurang gizi, anemia, penyakit jantung, dan gangguan jiwa. Pembuluh darah otak dapat pecah sehingga mengalami stroke atau gagal jantung yang dapat menyebabkan kematian.
6. Halusinogen (lysergic acid)
a. Pengaruh jangka pendek : pengaruh LSD tak dapat diduga dimana sensasi dan perasaan berubah secara dramatis, mengalami flasbacks dan bad trips (halusinasi) secara berulang tanpa peringatan sebelumnya, pupil melebar, tidak dapat tidur, selera makan hilang, suhu tubuh meningkat, berkeringat, denyut nadi dan tekanan darah meningkat.
b. Pengaruh jangka panjang : merusak sel otak, gangguan daya ingat, dan pemusatan perhatian, meningkatnya resiko kejang, kegagalan pernafasan dan jantung.
7. Sedativa dan hipnotika (obat penenang dan obat tidur)
a. Pengaruh jangka pendek : perasaan tenang dan otot-otot mengendur. Pada dosis lebih besar dapat terjadi gangguan bicara (pelo), persepsi terganggu, dan jalan sempoyongan, untuk dosis lebih tinggi mengakibatkan tertekannya pernafasan, koma, dan kematian.
b. Pengaruh jangka panjang : gejala ketergantungan.
8. Solven dan inhalasi
a. Pengaruh jangka pendek : dapat mengakibatkan kematian mendadak karena otak kekurangan oksigen atau karena ilusi, halusinasi dan persepsi salah (merasa bisa terbang sehingga mati ketika terjun dari tempat tinggi).
b. Pengaruh jangka panjang : kerusakan otak, paru-paru, ginjal, sumsum tulang dan jantung.
9. Nikotin
Menyebabkan kanker paru, penyempitan pembuluh darah, penyakit jantung dan tekanan darah tinggi.
F. Akibat Penyalahgunaan Narkoba
1. Bagi diri sendiri
a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal remaja seperti :
1) Daya ingat sehingga mudah lupa
2) Perhatian sehingga sulit berkonsentrasi
3) Perasaan sehingga tidak dapat bertindak rasional dan impulsif
4) Persepsi sehingga memberi perasaan semu/khayal
5) Motivasi sehingga keinginan dan kemampuan belajar merosot, persahabatan rusak, minat dan cita-cita semula padam
b. Intoksikasi (keracunan)
Yaitu gejala yang timbul akibat pemakaian narkoba dalam jumlah yang cukup berpengaruh pada tubuh dan perilakunya. Gejalanya tergantung jenis, jumlah dan cara penggunaannya.
c. Over dosis
Dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernafasan (heroin) atau perdarahan otak (amfetamin,sabu). Over dosis terjadi karena toleransi maka perlu dosis yang lebih besar, atau karena sudah lama berhenti pakai, lalu memakai lagi dengan dosis yang dahulu digunakan.
d. Gejala putus zat
Yaitu gejala ketika dosis yang dipakai berkurang atau dihentikan pemakiannya. Berat ringan gejala bergantung jenis zat, dosis dan lama pemakaian.
e. Berulang kali kambuh
Yaitu ketergantungan yang menyebabkan craving (rasa rindu pada narkoba), walau telah berhenti pakai. Narkoba dan perangkatnya seperti kawan-kawan sesama pemakai, suasana dan tempat-tempat penggunaannya dahulu mendorong untuk memakai narkoba kembali. Itu sebabnya pecandu akan berulang kali kambuh.
f. Gangguan perilaku/mental-sosial
Sikap acuh tak acuh, sulit mengendalikan diri, mudah tersinggung, menarik diri dari pergaulan, hubungan dengan keluarga dan teman terganggu, terjadi perubahan mental diantaranya gangguan pemusatan perhatian, motivasi belajar/bekerja lemah, ide paranoid, gejala parkinson.
g. Gangguan kesehatan
Yaitu kerusakan atau gangguan fungsi organ tubuh seperti hati, jantung, paru, ginjal, kelenjar endokrin, alat reproduksi, infeksi hepatitis B/C, HIV/AIDS, penyakit kulit dan kelamin, kurang gizi dan gigi berlubang.
h. Kendornya nilai-nilai
Mengendornya nilai-nilai kehidupan agama, sosial, budaya seperti perilaku seks bebas dengan akibatnya (penyakit kelamin, kehamilan yang tidak diinginkan), sopan santun hilang, menjadi asosial, mementingkan diri sendiri dan tidak memperdulikan kepentingan orang lain.
i. Keuangan dan hukum
Yaitu keuangan menjadi kacau karena harus memenuhi kebutuhan akan narkoba. Itu sebabnya ia akan mencuri, menipu dan menjual barang-barang milik sendiri atau orang lain. Jika masih sekolah,uang sekolah digunakan untuk membeli narkoba sehingga akan terancam putus sekolah. Dapat juga malakukan tindakan kriminal sehingga bisa terkena sanksi hukum (ditahan, dipenjara atau didenda).
2. Bagi keluarga
Suasana hidup nyaman dan tentram menjadi terganggu, membuat keluarga resah karena barang-barang berharga di rumah hilang. Anak berbohong, mencuri, menipu, bersikap kasar, acuh tak acuh dengan urusan keluarga, tidak bertanggung jawab, hidup semaunya dan asosial.
Orang tua menjadi malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah, tetapi juga sedih dan marah. Perilakunya ikut berubah sehingga fungsi keluarga terganggu. Orang tua menjadi putus asa karena masa depan anak tidak jelas, stres meningkat dan membuat kehidupan ekonomi morat-marit, pengeluaran uang meningkat karena pemakaian narkoba atau karena harus berulang kali dirawat dan bahkan mungkin mendekam di penjara.
3. Bagi sekolah
Narkoba merusak disiplin dan motivasi yang sangat penting bagi proses belajar. Siswa penyalahguna narkoba mengganggu suasana belajar-mengajar di kelas dan prestasi belajar turun drastis. Penyalahgunaan narkoba juga berkaitan dengan kenakalan dan putus sekolah, kemungkinan siswa penyalahguna narkoba membolos lebih besar dari siswa lain.
Penyalahgunaan narkoba juga berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu suasana tertib dan aman, perusakan barang-barang milik sekolah, meningkatnya perkelahian. Mereka juga menciptakan iklim acuh tak acuh dan tidak menghormati pihak lain. Banyak diantara mereka menjadi pengedar atau pencuri barang milik teman atau karyawan sekolah.
4. Bagi masyarakat, bangsa dan negara
Mafia perdagangan gelap selalu berusaha memasok narkoba. Terjalin hubungan antara pengedar/bandar dan korban sehingga tercipta pasar gelap. Oleh karena itu, sekali pasar terbentuk akan sulit memutus mata rantai peredarannya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan, sehingga kesinambungan pembangunan terancam. Negara menderita kerugian karena masyarakatnya tidak produktif dan tingkat kejahatan meningkat, belum lagi sarana dan prasarana yang harus disediakan.
G. Peran Orang Tua Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba.
Orang tua dapat berperan dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba dengan jalan melaksanakan tugas sebagai berikut:
1. Mengajarkan standar perilaku benar/salah dan baik/buruk serta menunjukkan keteladanan dalam standar perilaku tersebut dengan cara :
a. Menjadi contoh yang baik bagi anak dan tidak memakai narkoba
b. Menjelaskan sedini mungkin kepada anak sampai remaja bahwa penyalahgunaan narkoba tidak dapat dibenarkan dan berbahaya
c. Mendisiplinkan anak dengan memberi tugas harian untuk melatih tanggung jawab atas kegiatan dan perilakunya sehari-hari.
d. Mendorong anak agar berdiri teguh jika menghadapi tekanan kelompok sebaya untuk memakai narkoba.
2. Membantu anak menolak tekanan kelompok sebaya untuk memakai narkoba, mengawasi kegiatan, mengetahui teman-teman anak dan berbicara dengan mereka mengenai minat dan permasalahannya dengan cara :
a. Mengetahui kegiatan anak sehari-hari dan teman-temannya
b. Meningkatkan komunikasi keluarga dan mendengarkan anak secara aktif
c. Membahas hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba
d. Bersikap selektif terhadap acara televisi dan film yang ditonton annak.
3. Memiliki pengetahuan tentang narkoba dan tanda-tanda penyalahgunaannya, jika menemukan gejala segera mengambil langkah yang diperlukan, dengan cara :
a. Mempelajari luasnya permasalahan penyalahgunaan narkoba di lingkungannya dan di sekolah anaknya.
b. Terampil mengenal tanda-tanda penyalahgunaan narkoba
c. Jika anak diduga menyalahgunakan narkoba membahas hal itu dengan tenang bersama anak, tidak pada saat anak memakai narkoba, membuat peraturan yang dapat menjauhkan anak dari lingkungan yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan narkoba.
d. Bersama para orang tua membahas masalah penyalahgunaan narkoba di sekolah, menciptakan mekanisme informasi mengenai penyalahgunaan narkoba.
4. Mendukung kebijakan sekolah bebas narkoba dengan :
a. Mendukung mereka yang giat dibidang penanggulangan penyalahgunaan narkoba.
b. Membantu sekolah memonitor kehadiran siswa, merencanakan dan mendukung kegiatan-kegiatan yang disponsori sekolah.
c. Berkomunikasi teratur dengan sekolah perihal perilaku anaknya.
03 Februari 2011
Hubungan Antara Dukungan Suami dengan Kecendrungan Depresi pada Ibu Post Partum Primipara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Periode kehamilan dan melahirkan merupakan periode kehidupan yang penuh dengan potensi stres. Seorang wanita dalam periode kehamilan dan periode melahirkan (post partum) cenderung mengalami stress yang cukup besar karena keterbatasan kondisi fisik yang membuatnya harus membatasi aktivitas. Secara psikologis seorang ibu post partum akan melalui proses adaptasi psikologis masa postpartum (Sarwono, 2005). Adaptasi psikologis masa postpartum dibagi dalam tiga periode. Periode pertama disebut dengan taking in yang berlangsung selama satu sampai dua hari setelah melahirkan. Periode kedua disebut dengan taking hold yang berlangsung tiga sampai sepuluh hari setelah melahirkan. Periode ketiga disebut dengan letting go yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan, pada periode ini ibu menerima tanggung jawab sebagai ibu dan mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya (Mansur, 2009).
Pada masa adaptasi psikologis postpartum sebagian wanita mampu beradaptasi terhadap peran barunya sebagai seorang ibu dengan baik, tetapi ada sebagian lainya tidak berhasil beradaptasi sehingga jatuh dalam kondisi gangguan psikologis postpartum. Secara umum gangguan psikologis postpartum digolongkan menjadi tiga yaitu post partum blues, depresi postpartum dan postpartum psikosis (Mansur, 2009)
Depresi post partum merupakan gangguan suasana hati pada ibu postpartum yang terjadi dalam delapan minggu setelah melahirkan dan bisa berlanjut sampai dengan setahun yang ditandai dengan dipenuhi rasa sedih, menangis tanpa sebab, gangguan tidur dan labilitas afek (Cunningham, 2006). Depresi post partum terjadi lebih dari 25% pada ibu postpartum (Bobak, 2004). Kondisi yang lebih ringan dari depresi postpartum disebut dengan post partum blues. Pada kondisi ini, perempuan tersebut mengalami tanda-tanda sebagaimana pada depresi postpartum hanya saja dalam intensitas yang lebih ringan dan dalam rentang waktu yang lebih pendek. Menurut Danuatmaja (2003) kondisi ini tergolong normal dan hanya sementara. Kondisi yang lebih berat dari depresi post partum adalah post partum psikosis. Gangguan ini sangat jarang ditemukan, diperkirakan 4 dari 1000 kelahiran (Cunningham, 2006). Melihat ketiga gangguan psikologis post partum di atas masalah yang paling penting pada gangguan psikologis post partum adalah depresi post partum, mengingat angka kejadiannya yang tinggi dan penatalaksanaan yang salah dapat mengakibatkan gangguan jiwa yang serius.
Penyebab depresi post partum masih belum dapat diterangkan secara jelas. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab depresi post partum adalah faktor paritas, hormonal, umur, dan latar belakang psikososial. Faktor paritas diduga riwayat obstetri dan komplikasi yang meliputi riwayat hamil sampai melahirkan sebelumnya. Faktor hormonal meliputi meningkatnya kadar hormon progesteron dan menurunnya kadar hormon estrogen secara cepat setelah melahirkan. Faktor umur saat kehamilan dan melahirkan yang berkaitan dengan kesiapan mental untuk menjadi seorang ibu. Faktor latar belakang psikososial meliputi tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan dan keadekuatan dukungan sosial lingkungan (suami, keluarga dan teman) (Ingela, 2009).
Penanganan depresi post partum salah satunya berupa dukungan sosial, menurut Sarason (2005) dukungan sosial diartikan sebagai keberadaan atau kemampuan seseorang dimana individu dapat bergantung padanya, yang menunjukkan kalau dia peduli terhadap individu, bahwa individu ini berharga dan dia mencintai atau menyayangi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat diberikan dalam beberapa bentuk, yaitu dukungan emosional, dukungan berupa penghargaan, dukungan berupa bantuan langsung dan dukungan informasional. Dukungan sosial yang dapat diberikan oleh orang-orang yang ada disekitarnya antara lain : suami, orang tua, sahabat, dan rekan kerja. Dari semua sumber dukungan sosial, dukungan sosial dari suami merupakan dukungan yang pertama dan utama dalam memberikan dukungan kepada istri. Hal ini karena suami adalah orang yang pertama yang menyadari akan adanya perubahan dalam diri pasangannya. Apabila ia menilai bahwa suami memberikan dukungan terhadap dirinya, maka akan dapat memungkinkan terjadi pengaruh positif dalam diri calon ibu tersebut. Para ibu yang memiliki jaringan sosial yang baik, akan lebih siap menghadapi kondisi setelah melahirkan. Mereka terlihat tersenyum dan berbicara pada bayi mereka (Ingela, 2009).
Dukungan suami merupakan faktor terbesar untuk memicu terjadinya depresi post partum. Hal ini dikarenakan dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi stress (Ingela, 2009). Penelitian yang mendukung hal ini adalah penelitian di Universitas Tarumanegara yang dilakukan Hidayatul pada tahun 2009 mengenai persepsi perempuan primipara tentang dukungan suami dalam usaha menanggulangi gejala pasca persalinan. Responden dari penelitian ini berjumlah 3 orang terdiri dari 1 orang Ibu bekerja dan 2 orang Ibu rumah tangga. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang memperoleh dukungan suami baik secara emosional, support, penghargaan relatif tidak menunjukkan gejala depresi post partum, sedangkan mereka yang kurang memperoleh dukungan suami relatif mengalami gejala depresi post partum (Marshall, 2004). Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta oleh Zahra tahun 2008, dimana dilaporkan bahwa dukungan suami dapat menurunkan terjadinya gejala depresi post partum (www.mitrakeluarga.netl, 2008).
Depresi post partum berdampak merusak terhadap hubungan interaksi antara bayi dan ibu dalam tahun pertama kehidupan mereka. Ada hubungan signifikan antara prilaku bayi dan ibu yang mengalami depresi, dimana bayi-bayi dari ibu yang mengalami depresi dilaporkan menunjukan prilaku yang lebih rewel, mudah menangis dan kurang merespon terhadap rangsangan yang diberikan kepadanya. Depresi ini juga dapat menurunkan semangat hidup, bahkan sampai pada tindakan ekstrem yaitu bunuh diri (Beck dalam Soep, 2009).
Angka kejadian depresi postpartum menurut laporan WHO dalam Soep (2009) diperkirakan wanita yang melahirkan dan mengalami depresi ringan berkisar 10 per 1000 kelahiran hidup dan depresi postpartum sedang atau berat berkisar 30 sampai 200 per 1000 kelahiran hidup. Di Asia angka kejadian depresi postpartum cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85% dari wanita pasca persalinan (Iskandar, 2007 dalam Munawaroh, 2008). Chen (2000) dalam Soep (2009), melaporkan kejadian depresi postpartum ringan sampai berat di Taiwan sebesar 40%. Di Indonesia hasil penelitian yang dilakukan Wratsangka (1996) dalam Soep (2009) di RS Hasan Sadikin Bandung mencatat 33% ibu setelah melahirkan mengalami depresi postpartum. Hasil penelitian Alfiben (2000) dalam Soep (2009) di RSUP Cipto Mangunkusumo mencatat 33% ibu setelah melahirkan mengalami depresi post partum. Hasil penelitian yang dilakukan Sylvia (2002) dalam Soep (2009) di RSUD Serang mencatat 30% ibu setelah melahirkan mengalami depresi post partum. Untuk di Propinsi Bali, sejauh pengetahuan peneliti belum ditemukan pencatatan mengenai angka kejadian depresi post partum.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Oktober 2010 di Rumah sakit Daerah Sanjiwani Gianyar rata-rata jumlah kunjungan ibu post partum di Poliklinik Kebidanan setiap bulan sebanyak 30 sampai 40 orang. Dari hasil wawancara dengan petugas poliklinik yang menerima kunjungan satu minggu postpartum sering menemukan keluhan susah tidur, perasaan sedih, mudah marah dan tidak ada nafsu makan yang rata-rata dialami oleh ibu primipara. Menurut Bobak (2004) ibu pasca melahirkan primipara belum mempunyai pengalaman melahirkan sehingga lebih membutuhkan support daripada yang sudah mempunyai pengalaman melahirkan sebelumnya untuk mencegah depresi postpartum. Sedangkan Dewi (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan kejadian pospartum blues pada ibu primipara.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Periode kehamilan dan melahirkan merupakan periode kehidupan yang penuh dengan potensi stres. Seorang wanita dalam periode kehamilan dan periode melahirkan (post partum) cenderung mengalami stress yang cukup besar karena keterbatasan kondisi fisik yang membuatnya harus membatasi aktivitas. Secara psikologis seorang ibu post partum akan melalui proses adaptasi psikologis masa postpartum (Sarwono, 2005). Adaptasi psikologis masa postpartum dibagi dalam tiga periode. Periode pertama disebut dengan taking in yang berlangsung selama satu sampai dua hari setelah melahirkan. Periode kedua disebut dengan taking hold yang berlangsung tiga sampai sepuluh hari setelah melahirkan. Periode ketiga disebut dengan letting go yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan, pada periode ini ibu menerima tanggung jawab sebagai ibu dan mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya (Mansur, 2009).
Pada masa adaptasi psikologis postpartum sebagian wanita mampu beradaptasi terhadap peran barunya sebagai seorang ibu dengan baik, tetapi ada sebagian lainya tidak berhasil beradaptasi sehingga jatuh dalam kondisi gangguan psikologis postpartum. Secara umum gangguan psikologis postpartum digolongkan menjadi tiga yaitu post partum blues, depresi postpartum dan postpartum psikosis (Mansur, 2009)
Depresi post partum merupakan gangguan suasana hati pada ibu postpartum yang terjadi dalam delapan minggu setelah melahirkan dan bisa berlanjut sampai dengan setahun yang ditandai dengan dipenuhi rasa sedih, menangis tanpa sebab, gangguan tidur dan labilitas afek (Cunningham, 2006). Depresi post partum terjadi lebih dari 25% pada ibu postpartum (Bobak, 2004). Kondisi yang lebih ringan dari depresi postpartum disebut dengan post partum blues. Pada kondisi ini, perempuan tersebut mengalami tanda-tanda sebagaimana pada depresi postpartum hanya saja dalam intensitas yang lebih ringan dan dalam rentang waktu yang lebih pendek. Menurut Danuatmaja (2003) kondisi ini tergolong normal dan hanya sementara. Kondisi yang lebih berat dari depresi post partum adalah post partum psikosis. Gangguan ini sangat jarang ditemukan, diperkirakan 4 dari 1000 kelahiran (Cunningham, 2006). Melihat ketiga gangguan psikologis post partum di atas masalah yang paling penting pada gangguan psikologis post partum adalah depresi post partum, mengingat angka kejadiannya yang tinggi dan penatalaksanaan yang salah dapat mengakibatkan gangguan jiwa yang serius.
Penyebab depresi post partum masih belum dapat diterangkan secara jelas. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab depresi post partum adalah faktor paritas, hormonal, umur, dan latar belakang psikososial. Faktor paritas diduga riwayat obstetri dan komplikasi yang meliputi riwayat hamil sampai melahirkan sebelumnya. Faktor hormonal meliputi meningkatnya kadar hormon progesteron dan menurunnya kadar hormon estrogen secara cepat setelah melahirkan. Faktor umur saat kehamilan dan melahirkan yang berkaitan dengan kesiapan mental untuk menjadi seorang ibu. Faktor latar belakang psikososial meliputi tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan dan keadekuatan dukungan sosial lingkungan (suami, keluarga dan teman) (Ingela, 2009).
Penanganan depresi post partum salah satunya berupa dukungan sosial, menurut Sarason (2005) dukungan sosial diartikan sebagai keberadaan atau kemampuan seseorang dimana individu dapat bergantung padanya, yang menunjukkan kalau dia peduli terhadap individu, bahwa individu ini berharga dan dia mencintai atau menyayangi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat diberikan dalam beberapa bentuk, yaitu dukungan emosional, dukungan berupa penghargaan, dukungan berupa bantuan langsung dan dukungan informasional. Dukungan sosial yang dapat diberikan oleh orang-orang yang ada disekitarnya antara lain : suami, orang tua, sahabat, dan rekan kerja. Dari semua sumber dukungan sosial, dukungan sosial dari suami merupakan dukungan yang pertama dan utama dalam memberikan dukungan kepada istri. Hal ini karena suami adalah orang yang pertama yang menyadari akan adanya perubahan dalam diri pasangannya. Apabila ia menilai bahwa suami memberikan dukungan terhadap dirinya, maka akan dapat memungkinkan terjadi pengaruh positif dalam diri calon ibu tersebut. Para ibu yang memiliki jaringan sosial yang baik, akan lebih siap menghadapi kondisi setelah melahirkan. Mereka terlihat tersenyum dan berbicara pada bayi mereka (Ingela, 2009).
Dukungan suami merupakan faktor terbesar untuk memicu terjadinya depresi post partum. Hal ini dikarenakan dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi stress (Ingela, 2009). Penelitian yang mendukung hal ini adalah penelitian di Universitas Tarumanegara yang dilakukan Hidayatul pada tahun 2009 mengenai persepsi perempuan primipara tentang dukungan suami dalam usaha menanggulangi gejala pasca persalinan. Responden dari penelitian ini berjumlah 3 orang terdiri dari 1 orang Ibu bekerja dan 2 orang Ibu rumah tangga. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang memperoleh dukungan suami baik secara emosional, support, penghargaan relatif tidak menunjukkan gejala depresi post partum, sedangkan mereka yang kurang memperoleh dukungan suami relatif mengalami gejala depresi post partum (Marshall, 2004). Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta oleh Zahra tahun 2008, dimana dilaporkan bahwa dukungan suami dapat menurunkan terjadinya gejala depresi post partum (www.mitrakeluarga.netl, 2008).
Depresi post partum berdampak merusak terhadap hubungan interaksi antara bayi dan ibu dalam tahun pertama kehidupan mereka. Ada hubungan signifikan antara prilaku bayi dan ibu yang mengalami depresi, dimana bayi-bayi dari ibu yang mengalami depresi dilaporkan menunjukan prilaku yang lebih rewel, mudah menangis dan kurang merespon terhadap rangsangan yang diberikan kepadanya. Depresi ini juga dapat menurunkan semangat hidup, bahkan sampai pada tindakan ekstrem yaitu bunuh diri (Beck dalam Soep, 2009).
Angka kejadian depresi postpartum menurut laporan WHO dalam Soep (2009) diperkirakan wanita yang melahirkan dan mengalami depresi ringan berkisar 10 per 1000 kelahiran hidup dan depresi postpartum sedang atau berat berkisar 30 sampai 200 per 1000 kelahiran hidup. Di Asia angka kejadian depresi postpartum cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85% dari wanita pasca persalinan (Iskandar, 2007 dalam Munawaroh, 2008). Chen (2000) dalam Soep (2009), melaporkan kejadian depresi postpartum ringan sampai berat di Taiwan sebesar 40%. Di Indonesia hasil penelitian yang dilakukan Wratsangka (1996) dalam Soep (2009) di RS Hasan Sadikin Bandung mencatat 33% ibu setelah melahirkan mengalami depresi postpartum. Hasil penelitian Alfiben (2000) dalam Soep (2009) di RSUP Cipto Mangunkusumo mencatat 33% ibu setelah melahirkan mengalami depresi post partum. Hasil penelitian yang dilakukan Sylvia (2002) dalam Soep (2009) di RSUD Serang mencatat 30% ibu setelah melahirkan mengalami depresi post partum. Untuk di Propinsi Bali, sejauh pengetahuan peneliti belum ditemukan pencatatan mengenai angka kejadian depresi post partum.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Oktober 2010 di Rumah sakit Daerah Sanjiwani Gianyar rata-rata jumlah kunjungan ibu post partum di Poliklinik Kebidanan setiap bulan sebanyak 30 sampai 40 orang. Dari hasil wawancara dengan petugas poliklinik yang menerima kunjungan satu minggu postpartum sering menemukan keluhan susah tidur, perasaan sedih, mudah marah dan tidak ada nafsu makan yang rata-rata dialami oleh ibu primipara. Menurut Bobak (2004) ibu pasca melahirkan primipara belum mempunyai pengalaman melahirkan sehingga lebih membutuhkan support daripada yang sudah mempunyai pengalaman melahirkan sebelumnya untuk mencegah depresi postpartum. Sedangkan Dewi (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan kejadian pospartum blues pada ibu primipara.