BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya pembangunan di Indonesia didasari oleh upaya pembangunan manusia sebagai pondasi awal penyediaan sumber daya manusia yang bermutu dan bermoral. Salah satu upaya membangun manusia seutuhnya adalah upaya pembangunan kesehatan yang di selenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang di lakukan sejak dini utamanya sejak masih dalam kandungan ibu. Upaya kesehatan ibu sebelum dan sesudah hamil hingga melahirkan ditujukan untuk menghasilkan keturunan yang sehat dan lahir dengan selamat. Upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih dalam kandungan sampai lima tahun pertama kehidupannya ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang yang optimal (Depkes RI,2005).
Anak adalah individu yang unik dan bukan orang dewasa mini.Anak juga bukan merupakan harta atau kekayaan orang tua yang dapat dinilai secara sosial ekonomi, melainkan masa depan bangsa yang berhak atas pelayanan kesehatan secara induvidual. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Supartini,2004).
Untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang berkualitas faktor perkembangan anak juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Tumbuh kembang anak harus berjalan sejajar agar dapat menghasilkan manusia yang mandiri dan bertanggung jawab. Jika anak dirawat dengan baik, maka anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula sesuai dengan keinginan dan harapan. Akan tetapi bila tidak dirawat dengan baik maka anak tidak akan tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya (Suherman, 2000).
Di Indonesia jumlah anak balita pada tahun 1991 mencapai 23,5 juta. Jumlah ini sangat besar dan butuh perhatian secara khusus, pada masa balita ini merupakan masa yang sangat menentukan dalam proses tumbuh kembang dan menjadi dasar terbentuknya manusia seutuhnya (Soetjiningsih, 1998).
Periode umur anak 0 sampai 1 tahun adalah masa rawan terhadap masalah gizi dan kekurangan vitamin. Pada umur ini anak sering terkena infeksi karena praktik pemberian makanan dan kontak yang lebih luas dengan dunia luar serta stress emosional dihubungkan dengan proses penyapihan (Supariasa, 2001).
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses kehidupan yang berjalan secara simultan. Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran dan juga jumlah sel serta jaringan inter seluler, yang berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat. Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian. Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan sistem neuromuskuler, kemampuan bicara, emosi, dan sosialisasi. Seluruh fungsi tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia yang utuh. Untuk mendeteksi semua kelainan maupun keterlambatan anak maka diperlukan suatu pemeriksaan yang dilakukan secara berkala sesuai dengan tahapan perkembangan anak (Sofiany, 2007).
Pemeriksaan tumbuh kembang merupakan bagian yang tidak dapat dilalaikan dari keberlangsungan proses tumbuh kembang anak karena dari pemeriksaan baik secara pengukuran pertumbuhan maupun penilaian perkembangan dapat diketahui penyimpangan yang terjadi pada anak. Pemeriksaan ini dilakukan tidak hanya pada saat anak sakit tetapi saat anak sehat pun sebenarnya wajib dilakukan sehingga secara berkala dapat diketahui kemajuan tumbuh kembang anak maupun penyimpangan – penyimpangan yang terjadi.
Proses tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan mulai dari konsepsi sampai dewasa yang mengikuti pola tertentu yang khas untuk setiap anak. Dimana terjadi proses interaksi terus menerus serta rumit antara faktor genetika dan faktor lingkungan, baik lingkungan sebelum anak dilahirkan maupun lingkungan setelah dilahirkan. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar dalam mempengaruhi tumbuh kembang (Soetjiningsih, 1998).
Faktor dominan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan adalah status gizi bayi yang dilahirkan. Apabila setelah dilahirkan bayi mengalami kekurangan gizi dapat dipastikan pertumbuhan anak akan terlambat (Supariasa, 2001).
Di Negara yang sedang berkembang angka kesakitan dan angka kematian pada anak umur 0 sampai 1 tahun dipengaruhi oleh keadaan gizi. Pengaruh keadaan gizi pada umur ini lebih besar dari pada umur lebih dari 1 tahun. Dengan demikian angka kesakitan dan kematian pada periode ini dapat dijadikan informasi yang berguna mengenai keadaan kurang gizi di masyarakat (Supariasa, 2001).
Menurut Soetjiningsih, pada perkembangan anak usia 0 sampai 1 tahun adalah kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistim lainnya, sebab melibatkan kemampuan kognitif, sensori motor, pisikologi emosi dan lingkungan disekitar anak. Seorang anak tidak akan mampu berbicara tanpa dukungan dari lingkungannya mereka harus mendengar pembicaraan yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Mereka harus belajar mengekspresikan dirinya, membagi pengalamannya dengan orang lain dan mengemukakan keinginannya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari bagian Humas RSUD Kabupaten Karangasem bahwa kunjungan total bayi tahun terakhir yaitu tahun 2009 pada umur 0 – 12 bulan ke Poliklinik Anak RSUD Kabupaten Karangasem adalah sebanyak 440 orang. Untuk kunjungan bayi sehat sebanyak 210 orang. Sedangkan kunjungan bayi sakit sebanyak 230 orang. Rata – rata kunjungan bayi sehat perbulannya sebanyak 18 orang (8,6 %). Kunjungan untuk usia bayi 0 – 3 bulan tahun terakhir sebanyak 49 orang (23,3 %), usia bayi 4 – 6 bulan sebanyak 59 orang (28,1 %), untuk usia bayi 7 – 9 bulan sebanyak 82 orang (39 %) dan untuk usia 10 – 12 bulan sebanyak 20 orang (9,5 %).
Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti bermaksud meneliti tentang “Gambaran Tingkat Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi Sehat yang Berkunjung ke Poliklinik Anak RSUD Kabupaten Karangasem ”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah Gambaran Tingkat Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi Sehat yang Berkunjung ke Poliklinik Anak RSUD Kabupaten Karangasem?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran tingkat pertumbuhan dan perkembangan bayi sehat yang berkunjung di Poliklinik Anak RSUD Kabupaten Karangasem.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik bayi yang berkunjung ke Poliklinik Anak RSUD Kabupaten Karangasem.
b. Mengidentifikasi gambaran tingkat pertumbuhan bayi sehat yang berkunjung ke Poliklinik Anak RSUD Kabupaten Karangasem.
c. Mengidentifikasi gambaran tingkat perkembangan bayi sehat yang berkunjung ke Poliklinik anak RSUD Kabupaten Karangasem.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis
a. Mengembangkan dan menambahkan wawasan dibidang ilmu pengetahuan pada
bidang keperawatan bayi khususnya tentang gambaran tingkat pertumbuhan dan perkembangan bayi sehat yang berkunjung ke poliklinik anak RSUD kabupaten Karangasem
b.Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data selanjutnya, dalam hal meneliti gambaran tingkat pertumbuhan dan perkembangan bayi sehat secara lebih mendalam.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman penelitian mengenai pentingnya pemeriksaan tumbuh kembang bayi guna meningkatkan kualitas tumbuh kembang bayi.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi profesi kesehatan lainnya dalam upaya meningkatkan kualitas asuhan keperawatan kepada bayi agar sesuai dengan tumbuh kembang yang normal.
22 Oktober 2010
PERSEPSI IBU NIFAS TERHADAP PELAYANAN INTRANATAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi di bidang jasa pelayanan terjadi persaingan di antara rumah sakit swasta maupun pemerintah baik secara domestik ataupun internasional. Untuk memenangkan persaingan, rumah sakit harus mampu memberikan pelayanan yang bermutu kepada pelanggannya (pasien). Kualitas pelayanan kebidanan dapat diukur dengan membandingkan persepsi antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima dan dirasakan oleh konsumen. Apabila mutu pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan (Tjiptono, 2000). Kepuasan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan sangat kecewa. Bila kinerja sesuai harapan, maka pelanggan akan sangat puas (Purwanto, 2007).
Setiap manusia selalu berubah kebutuhan dan kepuasannya, berdasarkan perubahan perilaku yang sangat unik. Akibatnya setiap perubahan yang terjadi persepsinya akan selalu berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya (Nursalam, 2001). Persepsi dipengaruhi oleh perhatian, latar belakang pendidikan, status ekonomi, budaya, suasana hati. Perbedaan tersebut membawa konsekuensi terhadap masalah pelayanan. Persepsi pasien akan mempengaruhi proses penyembuhan pasien. Pasien yang salah mempersepsikan pelayanan kebidanan akan kurang kooperatif terhadap tindakan bidan atau bidan sehingga akan menghambat proses penyembuhan penyakitnya.
Untuk meminimalkan persepsi yang salah oleh pasien terhadap pelayanan keb yaitu; kebidanan pertama, bidan harus menciptakan hubungan kerja yang baik sehingga mereka dipandang sebagai bidan yang baik dan dapat dipercaya. Kedua, bidan harus menggali keyakinan mengenai kesehatan pasien dan membentuk komunikasi yang baik. Ketiga, bidan harus tetap berhati-hati terhadap pemahaman yang berbeda yang dapat digunakan oleh pasien dalam membaca isyarat pesan-pesannya. Keempat, bidan harus memperkirakan kemampuan pasien dalam membaca isyarat berbagai pesan yang berbeda dan merumuskan pesan-pesan mereka dalam suatu cara yang akan mudah dipahami oleh pasien.
Pelayanan kebidanan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan profesional yang diberikan kepada pasien sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, bahkan sebagai faktor penentu mutu pelayanan rumah sakit. Pelayanan kebidanan yang buruk menimbulkan ketidakpuasan dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan rumah sakit. Apabila pasien tidak puas akan pelayanan maka jumlah pasien terus mengalami penurunan dari tahun ketahun, penurunan jumlah pasien akan menyebabkan menurunnya jumlah pendapatan rumah sakit, pembiayaan operasional rumah sakit akan menurun, kualitas pelayanan rendah, sehingga pelayanan yang diberikan kepada pasien jelek hal ini menyebabkan kepuasan pelanggan/pasien terus menurun, pasien/pelanggan yang tidak puas akan menurunkan minat mereka menggunakan jasa pelayanan rumah sakit. Dampaknya kembali akan menurunkan jumlah pasien untuk menggunakan jasa pelayanan. (Pusdiknakes, 2003).
Kepuasan atau ketidakpuasan adalah suatu keputusan penilaian. Tingkat kepuasan pelayanan pasien dari persepsi pasien atau keluarga terdekat. Kepuasan pasien akan tercapai bila diperoleh hasil yang optimal bagi setiap pasien dan pelayanan kesehatan memperhatikan pasien dan keluarganya, ada perhatian terhadap keluhan, kondisi lingkungan fisik dan tanggap kepada kebutuhan pasien sehingga tercapai keseimbangan yang sebaik-baiknya antara tingkat rasa puas dan derita serta jerih payah yang harus dialami guna memperoleh hasil tersebut. Dalam kepuasan suatu pelayanan di rumah sakit hal ini dipengaruhi karena adanya komunikasi, Empati, biaya, tangibility, assurance, reability, dan responsiveness. Hubungan yang baik antara pasien dan bidan dapat dilakukan apabila menerapkan suatu model asuhan kebidanan yang baik. Dengan menerapkan model yang baik maka pelayanan pasien menjadi sempurna sehingga pasien dapat terpenuhi kepuasannya (Muninjaya, 2004).
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi di bidang jasa pelayanan terjadi persaingan di antara rumah sakit swasta maupun pemerintah baik secara domestik ataupun internasional. Untuk memenangkan persaingan, rumah sakit harus mampu memberikan pelayanan yang bermutu kepada pelanggannya (pasien). Kualitas pelayanan kebidanan dapat diukur dengan membandingkan persepsi antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima dan dirasakan oleh konsumen. Apabila mutu pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan (Tjiptono, 2000). Kepuasan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan sangat kecewa. Bila kinerja sesuai harapan, maka pelanggan akan sangat puas (Purwanto, 2007).
Setiap manusia selalu berubah kebutuhan dan kepuasannya, berdasarkan perubahan perilaku yang sangat unik. Akibatnya setiap perubahan yang terjadi persepsinya akan selalu berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya (Nursalam, 2001). Persepsi dipengaruhi oleh perhatian, latar belakang pendidikan, status ekonomi, budaya, suasana hati. Perbedaan tersebut membawa konsekuensi terhadap masalah pelayanan. Persepsi pasien akan mempengaruhi proses penyembuhan pasien. Pasien yang salah mempersepsikan pelayanan kebidanan akan kurang kooperatif terhadap tindakan bidan atau bidan sehingga akan menghambat proses penyembuhan penyakitnya.
Untuk meminimalkan persepsi yang salah oleh pasien terhadap pelayanan keb yaitu; kebidanan pertama, bidan harus menciptakan hubungan kerja yang baik sehingga mereka dipandang sebagai bidan yang baik dan dapat dipercaya. Kedua, bidan harus menggali keyakinan mengenai kesehatan pasien dan membentuk komunikasi yang baik. Ketiga, bidan harus tetap berhati-hati terhadap pemahaman yang berbeda yang dapat digunakan oleh pasien dalam membaca isyarat pesan-pesannya. Keempat, bidan harus memperkirakan kemampuan pasien dalam membaca isyarat berbagai pesan yang berbeda dan merumuskan pesan-pesan mereka dalam suatu cara yang akan mudah dipahami oleh pasien.
Pelayanan kebidanan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan profesional yang diberikan kepada pasien sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, bahkan sebagai faktor penentu mutu pelayanan rumah sakit. Pelayanan kebidanan yang buruk menimbulkan ketidakpuasan dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan rumah sakit. Apabila pasien tidak puas akan pelayanan maka jumlah pasien terus mengalami penurunan dari tahun ketahun, penurunan jumlah pasien akan menyebabkan menurunnya jumlah pendapatan rumah sakit, pembiayaan operasional rumah sakit akan menurun, kualitas pelayanan rendah, sehingga pelayanan yang diberikan kepada pasien jelek hal ini menyebabkan kepuasan pelanggan/pasien terus menurun, pasien/pelanggan yang tidak puas akan menurunkan minat mereka menggunakan jasa pelayanan rumah sakit. Dampaknya kembali akan menurunkan jumlah pasien untuk menggunakan jasa pelayanan. (Pusdiknakes, 2003).
Kepuasan atau ketidakpuasan adalah suatu keputusan penilaian. Tingkat kepuasan pelayanan pasien dari persepsi pasien atau keluarga terdekat. Kepuasan pasien akan tercapai bila diperoleh hasil yang optimal bagi setiap pasien dan pelayanan kesehatan memperhatikan pasien dan keluarganya, ada perhatian terhadap keluhan, kondisi lingkungan fisik dan tanggap kepada kebutuhan pasien sehingga tercapai keseimbangan yang sebaik-baiknya antara tingkat rasa puas dan derita serta jerih payah yang harus dialami guna memperoleh hasil tersebut. Dalam kepuasan suatu pelayanan di rumah sakit hal ini dipengaruhi karena adanya komunikasi, Empati, biaya, tangibility, assurance, reability, dan responsiveness. Hubungan yang baik antara pasien dan bidan dapat dilakukan apabila menerapkan suatu model asuhan kebidanan yang baik. Dengan menerapkan model yang baik maka pelayanan pasien menjadi sempurna sehingga pasien dapat terpenuhi kepuasannya (Muninjaya, 2004).
faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian kanker leher rahim
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker merupakan penyakit tidak menular. Penyakit ini timbul akibat kondisi fisik yang tidak normal dan pola hidup yang tidak sehat. Kanker dapat menyerang berbagai jaringan di dalam organ tubuh, termasuk organ repoduksi wanita yang terdiri dari payudara, rahim, indung telur, dan vagina (Mangan, 2003).
Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker leher rahim di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Sementara itu di negara berkembang masih menempati urutan teratas sebagai penyebab kematian akibat kanker di usia reproduktif (Rasjidi, 2007). Kanker leher rahim merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan dampak psikososial yang luas, terutama bagi pasien dan keluarganya. Menurut Rachmadahniar (2005), pada tahun 2000 sekitar 80% penyakit kanker leher rahim ada di negara berkembang, yaitu di Afrika sekitar 69.000 kasus, di Amerika Latin sekitar 77.000 kasus, dan di Asia sekitar 235.000 kasus. Penelitian oleh Vavuhala (Rachmadahniar, 2005) pada tahun 2004 menunjukkan setiap tahunnya di dunia terdapat sekitar 500.000 kasus baru kanker leher rahim dengan tingkat kematian sekitar 200.000 kasus.
Di Indonesia terjadi sekitar 90 sampai 100 kasus baru kanker leher rahim per 100.000 penduduk per tahun (Depkes, 2001). Hal ini dikuatkan dengan penelitian Ayu dan Pradjatmo (2004) yang menyimpulkan bahwa kanker leher rahim merupakan jenis kanker ginekologis terbanyak, disusul oleh kanker ovarium. Profil kesehatan 2010 menyebutkan bahwa indikator penyakit kanker leher rahim adalah 19,70% per 10.000 penduduk. Berdasarkan laporan program yang berasal dari Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Denpasar pada tahun 2009, kasus penyakit kanker yang ditemukan sebanyak 2.020 kasus, 55% di antaranya adalah kanker leher rahim dan 90% diantaranya bukan kanker leher rahim (Dinkes, 2009).
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker leher rahim yaitu faktor sosiodemografis yang meliputi usia, status sosial ekonomi,dan faktor aktifitas seksual yang meliputi usia pertama kali melakukan hubungan seks, pasangan seks yang berganti-ganti, paritas, kurang menjaga kebersihan genital, merokok, riwayat penyakit kelamin, trauma kronis pada serviks, serta penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun (Diananda, 2007). Menurut hasil penelitian Khasbiyah (2004) di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang pada Bulan Agustus-September 2008 menunjukkan sebagian besar penderita kanker leher rahim memiliki paritas >3 (52%). Kebanyakan penderita melakukan hubungan seksual yang pertama kali pada umur dibawah 20 tahun (74%) dengan satu pasangan seksual (82%) didapatkan hasil statistik bahwa ada hubungan yang bermakna antara paritas dan usia pertama kali melakukan hubungan seksual dengan kejadian kanker serviks uteri. Sedangkan variabel penggunaan alat kontrasepsi oral tidak menunjukan hubungan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker merupakan penyakit tidak menular. Penyakit ini timbul akibat kondisi fisik yang tidak normal dan pola hidup yang tidak sehat. Kanker dapat menyerang berbagai jaringan di dalam organ tubuh, termasuk organ repoduksi wanita yang terdiri dari payudara, rahim, indung telur, dan vagina (Mangan, 2003).
Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker leher rahim di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Sementara itu di negara berkembang masih menempati urutan teratas sebagai penyebab kematian akibat kanker di usia reproduktif (Rasjidi, 2007). Kanker leher rahim merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan dampak psikososial yang luas, terutama bagi pasien dan keluarganya. Menurut Rachmadahniar (2005), pada tahun 2000 sekitar 80% penyakit kanker leher rahim ada di negara berkembang, yaitu di Afrika sekitar 69.000 kasus, di Amerika Latin sekitar 77.000 kasus, dan di Asia sekitar 235.000 kasus. Penelitian oleh Vavuhala (Rachmadahniar, 2005) pada tahun 2004 menunjukkan setiap tahunnya di dunia terdapat sekitar 500.000 kasus baru kanker leher rahim dengan tingkat kematian sekitar 200.000 kasus.
Di Indonesia terjadi sekitar 90 sampai 100 kasus baru kanker leher rahim per 100.000 penduduk per tahun (Depkes, 2001). Hal ini dikuatkan dengan penelitian Ayu dan Pradjatmo (2004) yang menyimpulkan bahwa kanker leher rahim merupakan jenis kanker ginekologis terbanyak, disusul oleh kanker ovarium. Profil kesehatan 2010 menyebutkan bahwa indikator penyakit kanker leher rahim adalah 19,70% per 10.000 penduduk. Berdasarkan laporan program yang berasal dari Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Denpasar pada tahun 2009, kasus penyakit kanker yang ditemukan sebanyak 2.020 kasus, 55% di antaranya adalah kanker leher rahim dan 90% diantaranya bukan kanker leher rahim (Dinkes, 2009).
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker leher rahim yaitu faktor sosiodemografis yang meliputi usia, status sosial ekonomi,dan faktor aktifitas seksual yang meliputi usia pertama kali melakukan hubungan seks, pasangan seks yang berganti-ganti, paritas, kurang menjaga kebersihan genital, merokok, riwayat penyakit kelamin, trauma kronis pada serviks, serta penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun (Diananda, 2007). Menurut hasil penelitian Khasbiyah (2004) di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang pada Bulan Agustus-September 2008 menunjukkan sebagian besar penderita kanker leher rahim memiliki paritas >3 (52%). Kebanyakan penderita melakukan hubungan seksual yang pertama kali pada umur dibawah 20 tahun (74%) dengan satu pasangan seksual (82%) didapatkan hasil statistik bahwa ada hubungan yang bermakna antara paritas dan usia pertama kali melakukan hubungan seksual dengan kejadian kanker serviks uteri. Sedangkan variabel penggunaan alat kontrasepsi oral tidak menunjukan hubungan.