PEDOMAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI PERSEPSI
AKTIVITAS MEMPERSEPSIKAN STIMULUS TIDAK NYATA DAN RESPON YANG DIALAMI DALAM KEHIDUPAN SESI 1-5
1. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah (Kelliat, 2005).
2. Tujuan Umum
Tujuan umum terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya.
3. Tujuan Khusus
Klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat, klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami.
4. Indikasi
Klien yang mengalami perubahan persepsi sensori : halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi verbal dengan baik.
5. Tempat
Badan Pelayanan Khusus Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali di Bangli, di ruang Darmawangsa dan di ruang Abimanyu
6. Waktu pelaksanaan
a. Dilaksanakan selama 3 minggu
b. Pelaksanaan 1 hari 1 kali pertemuan
c. Setiap pertemuan waktunya 45 menit
d. Dibagi dalam 5 sesi
e. Setiap sesi dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan
7. Metode
a. Dinamika kelompok
b. Diskusi dan tanya jawab
c. Bermain peran
8. Evaluasi
a. Setiap selesai pertemuan dalam pelaksanaan masing-masing sesi
b. Setelah selesai pelaksanaan seluruh sesi
c. Menggunakan lembar observasi terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dan observasi tingkah laku klien dengan halusinasi pendengaran fase II : condemning.
Sesi 1 mengenal halusinasi
1. Pengertian
Suatu bentuk aktivitas kelompok dimana seorang terapis mengajak klien sebagai anggota kelompok terapi untuk mengingat kembali halusinasi yang dialami dan memfasilitasi klien agar menyadari bahwa pengalaman aneh halusinasinya sebagai sesuatu yang harus diatasi.
2. Tujuan umum
Klien mampu mengidentifikasi penyebab terjadinya halusinasi
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat mengenal halusinasi
b. Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi
c. Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi
d. Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
5. Persiapan
a. Klien
1) Memilih klien yang mengalami halusinasi pendengaran fase II : condemning yang sudah kooperatif
2) Membuat kontrak dengan klien sehari sebelumnya.
3) Mengingatkan kembali akan pertemuan TAK yang akan dilaksanakan sehari sebelumnya dan menjelang TAK 1 jam sebelumnya.
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK yaitu : leader, co leader, fasilitator dan observer sesuai dengan kemampuan masing-masing.
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, ang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengadakan kontrak dengan kelompok TAK
1) Perawat memperkenalkan diri dan masing-masing klien memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama panggilan saja.
2) Pemimpin dan anggota kelompok menetapkan peraturan yaitu : klein hadir tepat pada waktu, tidak diperkenankan meninggalkan TAK sebelum kegiatan selesai dengan kontrak waktu yang telah ditetapkan.
3) Pemimpin menetapkan tata cara dan tujuan kelompok yaitu kelompok dapat mengikuti TAK sesuai dengan tujuan pertemuan yang telah ditetapkan.
b. Pemimpin memotivasi anggota kelompok untuk menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan saat terjadi halusinasi.
c. Memberi pujian pada klien yang dapat melakukan dengan baik
d. Pemimpin memfasilitasi anggota kelompok dalam berdiskusi dan mencapai tujuan kelompok.
e. Menyimpulkan isi ,waktu terjadi, situasi terjadi dan perasaan klien dari suara yang biasa didengar.
f. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
g. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
Sesi 2 : Mengontrol halusinasi dengan menghardik
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK yang memfokuskan pada aktivitas menghardik halusinasi untuk mengontrol halusinasi.
2. Tujuan umum
Klien mampu mengidentifikasi dan memperagakan alternative baru yang dapat dilakukan untuk mengontrol halusinasi .
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi halusinasi.
b. Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi
c. Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1
5. Persiapan
a. Klien
1) Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi sebelumnya kembali dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, ang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengulang kontrak pada pertemuan selanjutnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan pertama atau tindak lanjut hasil pertemuan pertama.
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin memotivasi anggota kelompok menyebutkan cara yang selama ini digunakan untuk mengatasi halusinasi
c. Pemimpin menjelaskan cara mengatasi hasulinasi dengan menghardik dan memperagakan menghardik halusinasi saat halusinasi muncul
d. Pemimpin memperagakan cara menghardik halusinasi
e. Pemimpin mengajurkan anggota kelompok memperagakan secara bergantian sampai semua anggota kelompok dapat memperagakan.
f. Memberi pujian saat setiap klien selesai memperagakan menghardik halusinasi.
g. Pemimpin memfasilitasi anggota kelompok untuk mengungkapkan pendapat tentang peragaan yang dilakukan.
h. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
i. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan termina
Sesi 3 : Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK yang memfokuskan pada aktivitas mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
2. Tujuan umum
Klien mampu mengidentifikasi dan memperagakan alternative baru yang dapat dilakukan untuk mengontrol halusinasi .
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan untuk mencegah munculnya halusinasi.
b. Klien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1 dan 2
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1 dan 2
5. Persiapan
a. Klien
Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1 dan 2 dan tidak droup out sehari sebelumnya dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, yang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
b. Mengulang kontrak pada pertemuan sebelumnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan sesi 2 atau tindak lanjut hasil pertemuan sesi 2
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin memotivasi anggota kelompok melakukan kegiatan sehari-hari untuk mencegah halusinasi
c. Pemimpin menyampaikan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari dan bersama klien menyusun jadwal kegiatan sehari-hari
d. Pemimpin melatih anggota kelompok memperagakan kegiatan yang telah disusun
e. Memberi pujian kepada klien yang sudah selesai membuat jadwal dan memperagakan kegiatan.
f. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
g. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
Sesi 4 : Mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK yang memfokuskan pada aktivitas mengontrol halusinasi dengan belajar mengungkapkan perasaan kepada orang lain mengenai halusinasi yang dialami dengan cara bercakap-cakap.
2. Tujuan umum
Klien mampu mengungkapkan perasaan kepada orang lain mengenai halusinasi yang dialami
3. Tujuan khusus
a. Klien dapat memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah munculnya halusinasi.
b. Klien dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah terjadinya halusinasi.
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1, 2 dan 3
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1, 2 dan 3
5. Persiapan
a. Klien
Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1,2 dan 3 dan tidak droup out sehari sebelumnya dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, yang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengulang kontrak pada pertemuan sebelumnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan sesi 3 atau tindak lanjut hasil pertemuan sesi 3
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin meminta kepada anggota kelompok untuk menyebutkan orang yang biasa diajak bercakap-cakap dan topic apa yang dibicarakan
c. Pemimpin memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul
d. Pemimpin melatih anggota kelompok menyusun jadwal percakapan.
e. Pemimpin melatih anggota kelompok memperagakan percakapan dengan orang disebelahnya kepada semua anggota secara bergiliran.
f. Memberi pujian atas keberhasilan klien
g. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
h. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
Sesi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
1. Pengertian
Suatu bentuk TAK untuk mencegah munculnya halusinasi melalui minum obat.
2. Tujuan umum
Klien dapat mencegah halusinasi melalui minum pobat
3. Tujuan khusus
a. Klien memahami pentingnya patuh minum obat
b. Klien memahami akibat tidak patuh minum obat
c. Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.
4. Indikasi
a. Klien dengan halusinasi yang tidak dalam keadaan gelisah dan dapat berkomunikasi secara verbal dengan baik dan lancar.
b. Klien telah mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1, 2, 3 dan 4
c. Klien tidak droup out saat mengikuti TAK stimulasi persepsi sesi 1,2,3 dan 4
5. Persiapan
a. Klien
Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1,2, 3 dan 4 dan tidak droup out sehari sebelumnya dan menjelang TAK (1 jam sebelumnya).
b. Perawat
1) Lakukan pra interaksi sebelum pelaksanaan
2) Mempersiapkan topic yang akan dibahas pada pertemuan pertama
3) Pengorganisasian perawat dalam TAK
c. Ruangan
1) Disiapkan ruangan tersendiri dan terpisah agar kegiatan TAK tidak terganggu oleh aktivitas klien lain.
2) Diupayakan situasi yang tenang bersih, aman dan nyaman.
3) Pangaturan posisi, bisa duduk dikursi atau dilantai dengan alas karpet, yang penting antara klien dan petugas saling berhadapan.
6. Pelaksanaan
a. Mengulang kontrak pada pertemuan sebelumnya
1) Pemimpin bersama-sama kelompok mengevaluasi pertemuan sesi 4 atau tindak lanjut hasil pertemuan sesi 4
2) Pemimpin mengingatkan kembali tentang pertemuan hari ini
b. Pemimpin menjelaskan keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat
c. Pemimpin menjelaskan macam obat yang diminum klien : nama, warna, serta waktu minumnya.
d. Pemimpin menjelaskan 5 benar cara minum obat, benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum obat dan benar dosis obat.
e. Pemimpin meminta menyebutkan 5 benar cara minum obat kepada semua anggota secara bergiliran.
f. Memberi pujian atas keberhasilan klien
g. Mengevaluasi perasaan anggota kelompok setelah pertemuan
h. Membuat kontrak atau menyepakati kegiatan untuk pertemuan selanjutnya yang berisi tentang waktu pelaksanaan serta tindak lanjut dan terminasi.
02 September 2009
PEDOMAN PELAKSANAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK : STIMULASI SENSORI SESI 1-3
TAKS Sesi 1 (mendengar musik)
a. Tujuan
Klien mampu mengenal musik yang didengar, klien mampu memberi respon terhadap musik, klien mampu menceritakan perasaannya setelah mendengar musik, sedangkan setting sesi 1 adalah sebagai berikut :
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran
2) Ruangan nyaman dan tenang
c. Alat
1) Tape recorder
2) Kaset lagu melayu (dipilih lagu yang memiliki cerita yang bermakna atau lagu-lagu yang bermakna religius
d. Metode
1) Diskusi
2) Sharing persepsi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Memilih klien dengan indikasi, yaitu kerusakan interaksi sosial : menarik diri
b) Membuat kontrak dengan klien
c) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan:
a) Memberi salam terapiutik : salam terapis
b) Evaluasi/ validasi: menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mendengarkan musik
(2) Menjelaskan aturan main sebagai berikut :
(a) Jika ada klien yang meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3) Tahap kerja
a) Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri (nama dan nama panggilan) di mulai dari terapis secara berurutan searah jarum jam.
b) Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis mengajak semua klien untuk bertepuk tangan.
c) Terapis dan klien memakai papan nama.
d) Terapis menjelaskan bahwa akan diputar lagu, klien boleh tepuk tangan atau berjoget sesuai dengan irama lagu. Setelah lagu selesai klien akan diminta menceritakan isi dari lagu tersebut dan perasaan klien setelah mendengar lagu
e) Terapis memutar lagu, klien mendengar, boleh berjoget atau tepuk tangan (kira-kira 15 menit). Musik yang diputar boleh diulang beberapa kali. Terapis mengobservasi respons klien terhadap musik.
f) Secara bergiliran, klien diminta menceritakan isi lagu dan perasaannya. Sampai semua klien mendapat giliran.
g) Terapis memberikan pujian, setiap klien selesai menceritakan perasaannya dan mengajak klien lain bertepuk tangan
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan perasaan klien setelah menbgikuti TAK
(2) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien untuk mendengarkan musik yang disukai dan bermakna dalam kehidupannya
c) Kontrak yang akan datan
(1) Menyepakati TAK yang akan dating, yaitu menggambar
(2) Menyepakati waktu dan tempat
Sesi 2 TAKS (menggambar)
a. Tujuan
Sesi 2 bertujuan agar klien dapat mengekspresikan perasaan melalui gambar, klien dapat memberi makna gambar.
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran
2) Ruang nyaman dan tenang
c. Alat
1) Kertas HVS
2) Pensil 2B (bila tersedia krayon juga dapat digunakan)
d. Metode
1) Dinamika kelompok
2) Diskusi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok pada sesi 1.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
a) Memberi salam terapiutik : salam dari terapis, peserta dan terapis memakai papan nama
b) Evaluasi/ validasi : menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menggambar dan menceritakan kepada orang lain
(2) Menjelaskan aturan main berikut:
(a) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta ijin kepada terapis.
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3) Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menggambar dan menceritakan hasil gambar kepada klien lain.
b) Terapis membagikan kertas dan pensil untuk tiap klien
c) Terapis meminta klien menggambar apa saja sesuai dengan yang diinginkan saat ini.
d) Sementara klien mulai menggambar, terapis berkeliling dan memberikan penguatan kepada klien untuk terus menggambar, jangan mencela klien.
e) Setelah semua klien selesai menggambar terapis meminta masing-masing klien untuk memperlihatkan dan menceritakan gambar yang telah dibuatnya kepada klien lain. Yang harus diceritakan adalah gambar apa dan apa makna gambar tersebut menurut klien.
f) Kegiatan poin e dilakukan sampai semua klien mendapat giliran
g) Setiap kali klien selesai menceritakan gambarnya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangan.
3) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
(2) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan melalui gambar
c) Kontrak yang akan datang
(1) Menyepakati kegiatan yang akan datang, yaitu menonton TV
(2) Menyepakati waktu dan tempat
Sesi 3 TAKS (Menonton TV/Videa)
a. Tujuan
Agar klien klien dapat memberi respon terhadap tontonan TV/video, klien menceritakan makna acara yang ditonton.
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran.
2) Ruangan nyaman dan tenang.
c. Alat
1) Video/CD player dan video tape/CD
2) Televisi
d. Metode
Diskusi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang tela mengikuti TAK sesi 2
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
a) Memberi salam terapiutik
(1) Salam terapis
(2) Peserta dan terapis memakai papan nama.
b) Evaluasi/ validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menonton TV/Video dan menceritakannya.
(2) Menjelaskan aturan main berikut :
(a) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta Ijin kepada terapis
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3) Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menonton TV/Video dan menceritakan makna yang telah ditonton
b) Terapis memutar TV/Video yang telah disiapkan
c) Terapis mengobservasi klien selama menonton TV/Video
d) Setelah selesai menonton, masing-masing klien diberi kesempatan menceritakan isi tontonan dan maknanya untuk kehidupan klien. Berurutan searah jarum jam, dimulai dari klien yang ada di sebelah kiri terapis sampai semua klien mendapat giliran
e) Setelah selesai klien menceritakan persepsinya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangandan memberi pujian
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan persaan klien setelah mengikuti TAK
(2) Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk menonton TV yang baik
b) Kontrak yang akan datang
(1) Menyepakati TAK yang akan datang sesuai dengan indikasi klien.
(2) Menyepakati waktu dan tempat.
a. Tujuan
Klien mampu mengenal musik yang didengar, klien mampu memberi respon terhadap musik, klien mampu menceritakan perasaannya setelah mendengar musik, sedangkan setting sesi 1 adalah sebagai berikut :
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran
2) Ruangan nyaman dan tenang
c. Alat
1) Tape recorder
2) Kaset lagu melayu (dipilih lagu yang memiliki cerita yang bermakna atau lagu-lagu yang bermakna religius
d. Metode
1) Diskusi
2) Sharing persepsi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Memilih klien dengan indikasi, yaitu kerusakan interaksi sosial : menarik diri
b) Membuat kontrak dengan klien
c) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan:
a) Memberi salam terapiutik : salam terapis
b) Evaluasi/ validasi: menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mendengarkan musik
(2) Menjelaskan aturan main sebagai berikut :
(a) Jika ada klien yang meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3) Tahap kerja
a) Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri (nama dan nama panggilan) di mulai dari terapis secara berurutan searah jarum jam.
b) Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis mengajak semua klien untuk bertepuk tangan.
c) Terapis dan klien memakai papan nama.
d) Terapis menjelaskan bahwa akan diputar lagu, klien boleh tepuk tangan atau berjoget sesuai dengan irama lagu. Setelah lagu selesai klien akan diminta menceritakan isi dari lagu tersebut dan perasaan klien setelah mendengar lagu
e) Terapis memutar lagu, klien mendengar, boleh berjoget atau tepuk tangan (kira-kira 15 menit). Musik yang diputar boleh diulang beberapa kali. Terapis mengobservasi respons klien terhadap musik.
f) Secara bergiliran, klien diminta menceritakan isi lagu dan perasaannya. Sampai semua klien mendapat giliran.
g) Terapis memberikan pujian, setiap klien selesai menceritakan perasaannya dan mengajak klien lain bertepuk tangan
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan perasaan klien setelah menbgikuti TAK
(2) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Terapis menganjurkan klien untuk mendengarkan musik yang disukai dan bermakna dalam kehidupannya
c) Kontrak yang akan datan
(1) Menyepakati TAK yang akan dating, yaitu menggambar
(2) Menyepakati waktu dan tempat
Sesi 2 TAKS (menggambar)
a. Tujuan
Sesi 2 bertujuan agar klien dapat mengekspresikan perasaan melalui gambar, klien dapat memberi makna gambar.
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran
2) Ruang nyaman dan tenang
c. Alat
1) Kertas HVS
2) Pensil 2B (bila tersedia krayon juga dapat digunakan)
d. Metode
1) Dinamika kelompok
2) Diskusi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok pada sesi 1.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
a) Memberi salam terapiutik : salam dari terapis, peserta dan terapis memakai papan nama
b) Evaluasi/ validasi : menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menggambar dan menceritakan kepada orang lain
(2) Menjelaskan aturan main berikut:
(a) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta ijin kepada terapis.
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3) Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menggambar dan menceritakan hasil gambar kepada klien lain.
b) Terapis membagikan kertas dan pensil untuk tiap klien
c) Terapis meminta klien menggambar apa saja sesuai dengan yang diinginkan saat ini.
d) Sementara klien mulai menggambar, terapis berkeliling dan memberikan penguatan kepada klien untuk terus menggambar, jangan mencela klien.
e) Setelah semua klien selesai menggambar terapis meminta masing-masing klien untuk memperlihatkan dan menceritakan gambar yang telah dibuatnya kepada klien lain. Yang harus diceritakan adalah gambar apa dan apa makna gambar tersebut menurut klien.
f) Kegiatan poin e dilakukan sampai semua klien mendapat giliran
g) Setiap kali klien selesai menceritakan gambarnya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangan.
3) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
(2) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan melalui gambar
c) Kontrak yang akan datang
(1) Menyepakati kegiatan yang akan datang, yaitu menonton TV
(2) Menyepakati waktu dan tempat
Sesi 3 TAKS (Menonton TV/Videa)
a. Tujuan
Agar klien klien dapat memberi respon terhadap tontonan TV/video, klien menceritakan makna acara yang ditonton.
b. Setting
1) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran.
2) Ruangan nyaman dan tenang.
c. Alat
1) Video/CD player dan video tape/CD
2) Televisi
d. Metode
Diskusi
e. Langkah kegiatan
1) Persiapan
a) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang tela mengikuti TAK sesi 2
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2) Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan :
a) Memberi salam terapiutik
(1) Salam terapis
(2) Peserta dan terapis memakai papan nama.
b) Evaluasi/ validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini
c) Kontrak
(1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menonton TV/Video dan menceritakannya.
(2) Menjelaskan aturan main berikut :
(a) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta Ijin kepada terapis
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3) Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menonton TV/Video dan menceritakan makna yang telah ditonton
b) Terapis memutar TV/Video yang telah disiapkan
c) Terapis mengobservasi klien selama menonton TV/Video
d) Setelah selesai menonton, masing-masing klien diberi kesempatan menceritakan isi tontonan dan maknanya untuk kehidupan klien. Berurutan searah jarum jam, dimulai dari klien yang ada di sebelah kiri terapis sampai semua klien mendapat giliran
e) Setelah selesai klien menceritakan persepsinya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangandan memberi pujian
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Menanyakan persaan klien setelah mengikuti TAK
(2) Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Rencana tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk menonton TV yang baik
b) Kontrak yang akan datang
(1) Menyepakati TAK yang akan datang sesuai dengan indikasi klien.
(2) Menyepakati waktu dan tempat.
hubangan kecemasan dengan derajat asma saat serangan
Latar Belakang
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makropag, neutrofil dan sel epitel, serta meningkatnya respon saluran napas (hipereaktivitas bronkus) terhadap berbagai stimulant.(Dahlan, 2009). Salah satu faktor pencetus serangan asma adalah kondisi psikologis klien yang tidak stabil termasuk di dalamnya cemas. (Sinclair, 1999). Kecemasan dapat mengakibatkan perubahan pada paru yang memungkinkan terjadinya asma. Respon yang ditimbulkan oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh syaraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan dilepasnya mediator-mediator kimia (Histamin, Eosinofil dll) sehingga menyebabkan timbulnya reaksi utama : kontriksi otot-otot polos saluran nafas yang besar atau kecil yang menimbulkan bronchospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah sempitnya saluran nafas lebih lanjut, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukosa. Bila terjadi bronchospasme maka lumen bronchus menjadi menyempit, O2 berkurang masuk dan CO2 tertahan sehingga tubuh kekurangan O2.(Taylor,1999).
Reaksi tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 adalah dengan menambah frekuensi pernafasan sehingga menimbulkan gejala sesak nafas, expirasi memanjang, batuk wheezing dan produksi sputum banyak. Bila keadaan spasme tidak di tanggulangi dan berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi yang akan dijumpai : retraksi otot sternal, penggunaan otot-otot abdomen, pernafasan cuping hidung, hypoksia berat dan jika hal ini berlanjut dapat mengakibatkan asidosis yang akan mengancam kematian.(anonym,2009). Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibanding dewasa. Cemas yang berhubungan dengan asma dilaporkan sebagai diagnosa yang sering di tangani (50% - 74%) (Carpenito, 2000). Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 300 juta orang di dunia mengidap asma, dan pada tahun 2005 sebanyak 225 ribu orang meninggal karena gagal nafas yang diakibatkan hipoksemia berat karena asma. Hasil penelitian pada tahun sama menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari 4,2% menjadi 5,4 % (Aditama, 2009). Sedangkan berdasarkan survei di berbagai rumah sakit, jumlah penderita asma di sejumlah propinsi seperti Bali (2,4%), Jawa Timur (7%), Jakarta untuk anak-anak (16,5%), Malang untuk anak-anak (22%), Jakarta Timur untuk dewasa (18,3%) dan Jakarta Pusat (7%) (Yunus, 2009). Kunjungan kasus asma di Unit gawat darurat BP SUD Wangaya Denpasar, berdasarkan data-data yang didapat dari catatan medis bulan Januari sampai dengan Maret 2009 dari 488 jumlah kunjungan pasien asma sebanyak 64 orang (13,11%). Dari hasil survey pendahuluan yang peneliti lakukan di ruang UGD BP RSU Wangaya dari 10 orang pasien yang mengalami serangan asma 5 orang sebelumnya mengalami kecemasan.
Asma dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas selama serangan akut. Gangguan ini dapat menimbulkan hipoksemia dari yang ringan sampai berat. Derajat arterial hypoxemia (hipoksemia arteri) berhubungan dengan beratnya obstruksi jalan napas (National Institute of Health, 2004). Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal PaO285-100 mmHg), SaO2 95%. Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan Vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasiti transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002). Dampak lain yang lain tak kalah pentingnya adalah penurunan sistem imun dan respon inflamasi. Di mana kecemasan akan menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah putih yang lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan proses inflamasi di bronkus sehingga keadaan asma akan berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi lebih sering karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap proses inflamasi.
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi pada tiap penderita. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras serta kecemasan juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari. Pada serangan yang sangat berat, penderita hanya sanggup mengucapkan sedikit kata-kata tanpa berhenti untuk bernapas. Terkadang, bunyi saat bernapas berkurang karena banyaknya udara yang keluar-masuk paru-paru secara berat. Kekacauan, kelesuan, dan kulit yang membiru (cyanosis), merupakan tanda bahwa orang tersebut kekurangan oksigen, dan dibutuhkan pengobatan yang cepat. Biasanya, orang yang mendapat pengobatan lengkap, akan terbebas dari serangan asma yang berat. Beberapa kantung udara pada paru-paru (alveoli) bisa pecah, tetapi hal ini jarang terjadi, udara akan berkumpul dalam pleural space (ruangan di antara lapisan membran yang melindungi paru-paru) atau udara berkumpul di sekitar organ-organ yang terdapat dalam dada. Komplikasi ini akan memperpendek napas yang telah pendek. (Anonim, 2009).
Menurut Sundaru (2001) sebagaimana penyakit lain, penatalaksanaan asma didasarkan pada pemahaman mengenai pathogenesis penyakit. Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: penatalaksanaan asma saat serangan (reliever) dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller). Berdasarkan panduan asma internasional (GINA: Global Intiative for Asthma), tujuan penatalaksanaan asma yang berhasil adalah bagaimana penyakit asma tersebut bisa dikontrol. Menurut GINA yang telah diakui oleh WHO dan National Healt, Lung and Blood Institute-USA (NHBCLI), ada beberapa kriteria yang dimaksudkan dengan asma terkontrol. Idealnya tidak ada gejala-gejala kronis, jarang terjadi kekambuhan, tidak ada kunjungan ke gawat darurat, tidak ada keterbatasan aktivitas fisik, seperti latihan fisik dan olahraga, fungsi paru normal atau mendekati normal, minimal efek samping dari penggunaan obat dan idealnya tidak ada kebutuhan akan obat-obat yang digunakan kalau perlu. Dalam penatalaksanaan asma, yang penting adalah menghindari pencetus (trigger) dan memilih pengobatan yang tepat untuk mencegah munculnya gejala asma. Selain itu, menghilangkan gejala dengan cepat dan menghentikan serangan asma yang sedang terjadi. Faktor psikologis salah satunya cemas sering diabaikan oleh klien sehingga frekwensi kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada keadaan yang lebih buruk. Kondisi ini merupakan suatu rantai yang sulit ditentukan mana yang menjadi penyebab dan mana yang merupakan akibat. Keadaan cemas menyebabkan atau memperburuk serangan, serangan asthma dapat menyebabkan kecemasan besar pada klien asthma padahal kecemasan justru memperburuk keadaan menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma baik pada saat serangan ataupun saat tidak terjadi serangan sangat penting, sebab seperti yang telah dijelaskan di atas maka lingkaran mengenai penyebab dan akibat cemas harus diputus. Dengan demikian berarti memutus salah satu faktor pencetus asthma dan memutus keadaan cemas yang disebabkan oleh asthma. Sehingga dapat memperpendek masa serangan dan memperkecil frekwensi kekambuhan (Sinclair, 1999).
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Adakah hubangan kecemasan dengan derajat asma saat serangan
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makropag, neutrofil dan sel epitel, serta meningkatnya respon saluran napas (hipereaktivitas bronkus) terhadap berbagai stimulant.(Dahlan, 2009). Salah satu faktor pencetus serangan asma adalah kondisi psikologis klien yang tidak stabil termasuk di dalamnya cemas. (Sinclair, 1999). Kecemasan dapat mengakibatkan perubahan pada paru yang memungkinkan terjadinya asma. Respon yang ditimbulkan oleh kecemasan dapat dimanifestasikan oleh syaraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Respon simpatis akan menyebabkan dilepasnya mediator-mediator kimia (Histamin, Eosinofil dll) sehingga menyebabkan timbulnya reaksi utama : kontriksi otot-otot polos saluran nafas yang besar atau kecil yang menimbulkan bronchospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah sempitnya saluran nafas lebih lanjut, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukosa. Bila terjadi bronchospasme maka lumen bronchus menjadi menyempit, O2 berkurang masuk dan CO2 tertahan sehingga tubuh kekurangan O2.(Taylor,1999).
Reaksi tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 adalah dengan menambah frekuensi pernafasan sehingga menimbulkan gejala sesak nafas, expirasi memanjang, batuk wheezing dan produksi sputum banyak. Bila keadaan spasme tidak di tanggulangi dan berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi yang akan dijumpai : retraksi otot sternal, penggunaan otot-otot abdomen, pernafasan cuping hidung, hypoksia berat dan jika hal ini berlanjut dapat mengakibatkan asidosis yang akan mengancam kematian.(anonym,2009). Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibanding dewasa. Cemas yang berhubungan dengan asma dilaporkan sebagai diagnosa yang sering di tangani (50% - 74%) (Carpenito, 2000). Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 300 juta orang di dunia mengidap asma, dan pada tahun 2005 sebanyak 225 ribu orang meninggal karena gagal nafas yang diakibatkan hipoksemia berat karena asma. Hasil penelitian pada tahun sama menunjukkan, di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak dari 4,2% menjadi 5,4 % (Aditama, 2009). Sedangkan berdasarkan survei di berbagai rumah sakit, jumlah penderita asma di sejumlah propinsi seperti Bali (2,4%), Jawa Timur (7%), Jakarta untuk anak-anak (16,5%), Malang untuk anak-anak (22%), Jakarta Timur untuk dewasa (18,3%) dan Jakarta Pusat (7%) (Yunus, 2009). Kunjungan kasus asma di Unit gawat darurat BP SUD Wangaya Denpasar, berdasarkan data-data yang didapat dari catatan medis bulan Januari sampai dengan Maret 2009 dari 488 jumlah kunjungan pasien asma sebanyak 64 orang (13,11%). Dari hasil survey pendahuluan yang peneliti lakukan di ruang UGD BP RSU Wangaya dari 10 orang pasien yang mengalami serangan asma 5 orang sebelumnya mengalami kecemasan.
Asma dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas selama serangan akut. Gangguan ini dapat menimbulkan hipoksemia dari yang ringan sampai berat. Derajat arterial hypoxemia (hipoksemia arteri) berhubungan dengan beratnya obstruksi jalan napas (National Institute of Health, 2004). Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal PaO285-100 mmHg), SaO2 95%. Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan Vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasiti transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002). Dampak lain yang lain tak kalah pentingnya adalah penurunan sistem imun dan respon inflamasi. Di mana kecemasan akan menurunkan kadar limfosit dalam darah dan komponen sel darah putih yang lain. Kadar limfosit yang rendah tidak mampu melawan proses inflamasi di bronkus sehingga keadaan asma akan berlangsung lama dan kekambuhan akan menjadi lebih sering karena penurunan sistem imun menyebabkan kerentanan terhadap proses inflamasi.
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi pada tiap penderita. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras serta kecemasan juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari. Pada serangan yang sangat berat, penderita hanya sanggup mengucapkan sedikit kata-kata tanpa berhenti untuk bernapas. Terkadang, bunyi saat bernapas berkurang karena banyaknya udara yang keluar-masuk paru-paru secara berat. Kekacauan, kelesuan, dan kulit yang membiru (cyanosis), merupakan tanda bahwa orang tersebut kekurangan oksigen, dan dibutuhkan pengobatan yang cepat. Biasanya, orang yang mendapat pengobatan lengkap, akan terbebas dari serangan asma yang berat. Beberapa kantung udara pada paru-paru (alveoli) bisa pecah, tetapi hal ini jarang terjadi, udara akan berkumpul dalam pleural space (ruangan di antara lapisan membran yang melindungi paru-paru) atau udara berkumpul di sekitar organ-organ yang terdapat dalam dada. Komplikasi ini akan memperpendek napas yang telah pendek. (Anonim, 2009).
Menurut Sundaru (2001) sebagaimana penyakit lain, penatalaksanaan asma didasarkan pada pemahaman mengenai pathogenesis penyakit. Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: penatalaksanaan asma saat serangan (reliever) dan penatalaksanaan asma di luar serangan (controller). Berdasarkan panduan asma internasional (GINA: Global Intiative for Asthma), tujuan penatalaksanaan asma yang berhasil adalah bagaimana penyakit asma tersebut bisa dikontrol. Menurut GINA yang telah diakui oleh WHO dan National Healt, Lung and Blood Institute-USA (NHBCLI), ada beberapa kriteria yang dimaksudkan dengan asma terkontrol. Idealnya tidak ada gejala-gejala kronis, jarang terjadi kekambuhan, tidak ada kunjungan ke gawat darurat, tidak ada keterbatasan aktivitas fisik, seperti latihan fisik dan olahraga, fungsi paru normal atau mendekati normal, minimal efek samping dari penggunaan obat dan idealnya tidak ada kebutuhan akan obat-obat yang digunakan kalau perlu. Dalam penatalaksanaan asma, yang penting adalah menghindari pencetus (trigger) dan memilih pengobatan yang tepat untuk mencegah munculnya gejala asma. Selain itu, menghilangkan gejala dengan cepat dan menghentikan serangan asma yang sedang terjadi. Faktor psikologis salah satunya cemas sering diabaikan oleh klien sehingga frekwensi kekambuhan menjadi lebih sering dan klien jatuh pada keadaan yang lebih buruk. Kondisi ini merupakan suatu rantai yang sulit ditentukan mana yang menjadi penyebab dan mana yang merupakan akibat. Keadaan cemas menyebabkan atau memperburuk serangan, serangan asthma dapat menyebabkan kecemasan besar pada klien asthma padahal kecemasan justru memperburuk keadaan menurunkan tingkat kecemasan pada klien asma baik pada saat serangan ataupun saat tidak terjadi serangan sangat penting, sebab seperti yang telah dijelaskan di atas maka lingkaran mengenai penyebab dan akibat cemas harus diputus. Dengan demikian berarti memutus salah satu faktor pencetus asthma dan memutus keadaan cemas yang disebabkan oleh asthma. Sehingga dapat memperpendek masa serangan dan memperkecil frekwensi kekambuhan (Sinclair, 1999).
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Adakah hubangan kecemasan dengan derajat asma saat serangan
hubungan dukungan suami dengan kesiapan ibu hamil primigravida trimester III menghadapi persalinan
A. Latar Belakang
Kehamilan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis dan harus disadari oleh wanita yang akan melahirkan. Keadaan fisiologis ini setiap saat dapat berisiko terjadinya komplikasi baik pada ibu maupun janinnya. Penerimaan terhadap kehamilan ini perlu persiapan baik fisik maupun mental dari seorang ibu begitu pula dalam menghadapi persalinan karena persalinan sangat membutuhkan kesiapan dari seorang ibu. Sering ibu melupakan akan pentingnya persiapan dalam menghadapi persalinan, sehingga pada saat persalinan ibu menjadi tidak tahu apa yang harus dilakukan dan akibat yang timbul dapat buruk bagi ibu maupun bayinya. Hal ini dapat memicu semakin tingginya angka kematian ibu.
Strategi nasional making pregnancy safer (MPS) Indonesia 2001-2010 disebutkan bahwa dalam konteks rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 memiliki visi “Kehamilan dan Persalinan di Indonesia Berlangsung Aman, Serta Bayi Yang Dilahirkan Hidup Dan Sehat”, dengan misi “Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi baru lahir melalui pemantapan system kesehatan dengan biaya efektif berdasarkan bukti ilmiah yang berkualitas, memberdayakan wanita, keluarga dan masyarakat, melalui kegiatan yang mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir”. Salah satu sasaran yang ditetapkan untuk tahun 2010 adalah menurukan angka kematian bayi baru lahir menjadi 16/100.000 kelahiran hidup (Endjun, 2005).
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator kerhasilan pelaksanaan program kesehatan yang direncanakan oleh pemerintah. Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2002-2003) menyatakan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi walaupun sudah terjadi penurunan dari 307/100.000 KH menjadi 263/100.000 KH. AKI di Bali tahun 2004 sebesar 94,27/100.000 KH, yang pada tahun 2005 telah ditetapkan 93,20/100.000 KH.
Di Denpasar khususnya terdapat 9 orang ibu yang meninggal dari 11.055 kelahiran hidup. Di kota Denpasar penyebab 80% dari keenam penyebab kematian ibu (Dinas Kesehatan Propinsi Bali,2005). Diperkirakan 15% kehamilan akan mengalami keadaan risiko tinggi dan komplikasi obstetric yang dapat membahayakan kehidupan ibu dan janin (Sarwono,2002).
Penyebab AKI dapat dibedakan menjadi dua penyebab, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung yaitu pendarahan 42%, eklampsi 13%, pertus lam 11%, abortus 11%, dan infeksi 10%. Penyebab tidak langsung seperti sosial budaya, ekonomi, pendidikan, status gizi ibu hamil, anemia dan perilaku kesehatan (Haryono, 2005). Penyebab tidak langsung ini umunya mampu diintervensi. Identifikasi terhadap penyebab tidak langsung utamanya adalah tiga terlambat yaitu terlambat mengambil keputusan memberikan pertolongan kepada ibu hamil dan melahirkan, terlambat mencapai tempat pelayanan kesehatan dan terlambat tenaga medis memberikan pertolongan. Untuk mencegah tiga macam terlambat tersebut keluarga/suami harus memberikan dukungan dari awal kehamilan sampai persalinan, karena pada beberapa kasus tiga terlambat sering terulang akibat keluarga/suami merasa perannya sudah memadai.
Persalinan merupakan suatu keadaan yang perlu dipersiapkan oleh seorang ibu. Ibu harus tahu apa yang harus dilakukan dalam mempersiapkan persalinan tersebut. Reaksi calon ibu terhadap persalinan secara umum tergantung pada persepsinya tentang persalinan. Tidak adanya persiapan sebelum melahirkan dapat menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi ibu tentang persalinan shingga ibu menjadi tidak tenang, takut dan ragu-ragu dalam mengahadapi persalinan, keadaaan tersebut dapat mengganggu kelancaran proses persalinan (Kartono, K. 1998).
Haryono (2005) menyatakan 85 % kematian ibu karena kehamilan dan komplikasi kelahiran dapat dihindari dengan memberikan perawatan, perlindungan dan pertolongan yang baik secara bersama-sama dan terpadu, keluarga khususnya suami, maupun masyarakat dan pemerintah. Hasil penelitian menunjukan bahwa salah satu faktor penting dalam menurunkan mortalias (kematian Ibu) ialah harus adanya tenaga kesehatan yang trampil pada saat persalinan, dan sangat penting bekerjasama serta membuat rencana tindakan apabila terjadi komplikasi (Anonim, 2003). Oleh karena itu pada tahun 1999 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan meluncurkan program Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang merupakan asuhan yang menghargai budaya, kepercayaan dan keinginan ibu, salah satunya adalah dengan melibatkan suami atau kaum pria yang diwujudkan melalui Program Suami Siaga (Haryono, 2005).
Saat ini peran suami dianggap “orang yang terlupakan” selama kehamilan dan persalinan. Masih banyak suami belum mampu menunjukkan dukungan penuh terhadap kesiapan ibu menghadapi persalinan. Dengan adanya perubahan-perubahan pada sang istri selama kehamilan. Dukungan suami tersebut dapat berupa dukungan informasi, emosional, fisik, dan instrumental.
Peran dan tanggung jawab suami berpengaruh dalam kesehatan terkait dengan kesiapan ibu menghadapi persalinan. Suami diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan istrinya selama masa kehamilan. Sampai saat ini masih banyak suami yang bersikap dan berprilaku kurang bertanggungjawab dalam kesehatan reproduksi sehingga membahayakan kehamilan. Pendekatan baru dalam mengikatkan peran suami dalam kesehatan reproduksi adalah membekali suami dengan informasi yang benar dan mengikutsertakan mereka dalam setiap upaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi.
Hasil penelitian secara deskriptif di Puskesmas Pembantu Dauh Puri dilaporkan bahwa terdapat 23 orang (53,49 %) suami yang sudah memberikan dukungan pada ibu hamil dengan lengkap dan baik, 20 orang 46,51%) memberikan dukungan kurang lengkap. Disebutkan juga dari masing-masing jenis dukungan ditemukan bahwa jenis dukungan yang paling banyak diberikan adalah dukungan instrumental sebanyak 39 orang sedangkan jenis dukungan yang paling sedikit diberikan adalah dukungan informasi.
Pos Praktek Poltekkes Depkes Denpasar yang menjadi rencana tempat penelitian penulis, dalam pelayanannya memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil, bersalin, nifas baru lahir dan balita. Asuhan Kebidanan pada ibu hamil yang dilaksanakan sesuai dengan standar 7T yang dalam pelaksanaannya mencapai 6T yaitu timbang berat badan, tekanan darah, tinggi fundus, immunisasi TT, pemberian tablet besi dan temu wicara. Kunjungan ibu hamil yang memberiakan diri khusunya ibu hamil primigravida trisemester III mencapai rata-rata 74 orang perbulan terhitung mulai bulan Januari s/d Maret 2009. Berdasarkan pengalaman yang telah peneliti lakukan di Pos Praktik beberapa ibu hamil saat memeriksakan kehamilannya menyatakan keragu-raguannya dan merasa tidak siap menghadapi persalinannya.
Melihat kenyataan di masyarakat dukungan keluarga maupun suami sangat membantu seorang ibu untuk menjalani kehidupan baru sebagai wanita hamil yang akan mengalami berbagai perubahan fisik maupun emosi. Dukungan tersebut sangat berpengaruh terhadap keperdulian ibu atas kesehatannya. Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungan dukungan suami dengan kesiapan menghadapi persalinan pada ibu primigravida trimester III.
Kehamilan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis dan harus disadari oleh wanita yang akan melahirkan. Keadaan fisiologis ini setiap saat dapat berisiko terjadinya komplikasi baik pada ibu maupun janinnya. Penerimaan terhadap kehamilan ini perlu persiapan baik fisik maupun mental dari seorang ibu begitu pula dalam menghadapi persalinan karena persalinan sangat membutuhkan kesiapan dari seorang ibu. Sering ibu melupakan akan pentingnya persiapan dalam menghadapi persalinan, sehingga pada saat persalinan ibu menjadi tidak tahu apa yang harus dilakukan dan akibat yang timbul dapat buruk bagi ibu maupun bayinya. Hal ini dapat memicu semakin tingginya angka kematian ibu.
Strategi nasional making pregnancy safer (MPS) Indonesia 2001-2010 disebutkan bahwa dalam konteks rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 memiliki visi “Kehamilan dan Persalinan di Indonesia Berlangsung Aman, Serta Bayi Yang Dilahirkan Hidup Dan Sehat”, dengan misi “Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi baru lahir melalui pemantapan system kesehatan dengan biaya efektif berdasarkan bukti ilmiah yang berkualitas, memberdayakan wanita, keluarga dan masyarakat, melalui kegiatan yang mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir”. Salah satu sasaran yang ditetapkan untuk tahun 2010 adalah menurukan angka kematian bayi baru lahir menjadi 16/100.000 kelahiran hidup (Endjun, 2005).
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator kerhasilan pelaksanaan program kesehatan yang direncanakan oleh pemerintah. Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2002-2003) menyatakan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi walaupun sudah terjadi penurunan dari 307/100.000 KH menjadi 263/100.000 KH. AKI di Bali tahun 2004 sebesar 94,27/100.000 KH, yang pada tahun 2005 telah ditetapkan 93,20/100.000 KH.
Di Denpasar khususnya terdapat 9 orang ibu yang meninggal dari 11.055 kelahiran hidup. Di kota Denpasar penyebab 80% dari keenam penyebab kematian ibu (Dinas Kesehatan Propinsi Bali,2005). Diperkirakan 15% kehamilan akan mengalami keadaan risiko tinggi dan komplikasi obstetric yang dapat membahayakan kehidupan ibu dan janin (Sarwono,2002).
Penyebab AKI dapat dibedakan menjadi dua penyebab, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung yaitu pendarahan 42%, eklampsi 13%, pertus lam 11%, abortus 11%, dan infeksi 10%. Penyebab tidak langsung seperti sosial budaya, ekonomi, pendidikan, status gizi ibu hamil, anemia dan perilaku kesehatan (Haryono, 2005). Penyebab tidak langsung ini umunya mampu diintervensi. Identifikasi terhadap penyebab tidak langsung utamanya adalah tiga terlambat yaitu terlambat mengambil keputusan memberikan pertolongan kepada ibu hamil dan melahirkan, terlambat mencapai tempat pelayanan kesehatan dan terlambat tenaga medis memberikan pertolongan. Untuk mencegah tiga macam terlambat tersebut keluarga/suami harus memberikan dukungan dari awal kehamilan sampai persalinan, karena pada beberapa kasus tiga terlambat sering terulang akibat keluarga/suami merasa perannya sudah memadai.
Persalinan merupakan suatu keadaan yang perlu dipersiapkan oleh seorang ibu. Ibu harus tahu apa yang harus dilakukan dalam mempersiapkan persalinan tersebut. Reaksi calon ibu terhadap persalinan secara umum tergantung pada persepsinya tentang persalinan. Tidak adanya persiapan sebelum melahirkan dapat menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi ibu tentang persalinan shingga ibu menjadi tidak tenang, takut dan ragu-ragu dalam mengahadapi persalinan, keadaaan tersebut dapat mengganggu kelancaran proses persalinan (Kartono, K. 1998).
Haryono (2005) menyatakan 85 % kematian ibu karena kehamilan dan komplikasi kelahiran dapat dihindari dengan memberikan perawatan, perlindungan dan pertolongan yang baik secara bersama-sama dan terpadu, keluarga khususnya suami, maupun masyarakat dan pemerintah. Hasil penelitian menunjukan bahwa salah satu faktor penting dalam menurunkan mortalias (kematian Ibu) ialah harus adanya tenaga kesehatan yang trampil pada saat persalinan, dan sangat penting bekerjasama serta membuat rencana tindakan apabila terjadi komplikasi (Anonim, 2003). Oleh karena itu pada tahun 1999 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan meluncurkan program Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang merupakan asuhan yang menghargai budaya, kepercayaan dan keinginan ibu, salah satunya adalah dengan melibatkan suami atau kaum pria yang diwujudkan melalui Program Suami Siaga (Haryono, 2005).
Saat ini peran suami dianggap “orang yang terlupakan” selama kehamilan dan persalinan. Masih banyak suami belum mampu menunjukkan dukungan penuh terhadap kesiapan ibu menghadapi persalinan. Dengan adanya perubahan-perubahan pada sang istri selama kehamilan. Dukungan suami tersebut dapat berupa dukungan informasi, emosional, fisik, dan instrumental.
Peran dan tanggung jawab suami berpengaruh dalam kesehatan terkait dengan kesiapan ibu menghadapi persalinan. Suami diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan istrinya selama masa kehamilan. Sampai saat ini masih banyak suami yang bersikap dan berprilaku kurang bertanggungjawab dalam kesehatan reproduksi sehingga membahayakan kehamilan. Pendekatan baru dalam mengikatkan peran suami dalam kesehatan reproduksi adalah membekali suami dengan informasi yang benar dan mengikutsertakan mereka dalam setiap upaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi.
Hasil penelitian secara deskriptif di Puskesmas Pembantu Dauh Puri dilaporkan bahwa terdapat 23 orang (53,49 %) suami yang sudah memberikan dukungan pada ibu hamil dengan lengkap dan baik, 20 orang 46,51%) memberikan dukungan kurang lengkap. Disebutkan juga dari masing-masing jenis dukungan ditemukan bahwa jenis dukungan yang paling banyak diberikan adalah dukungan instrumental sebanyak 39 orang sedangkan jenis dukungan yang paling sedikit diberikan adalah dukungan informasi.
Pos Praktek Poltekkes Depkes Denpasar yang menjadi rencana tempat penelitian penulis, dalam pelayanannya memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil, bersalin, nifas baru lahir dan balita. Asuhan Kebidanan pada ibu hamil yang dilaksanakan sesuai dengan standar 7T yang dalam pelaksanaannya mencapai 6T yaitu timbang berat badan, tekanan darah, tinggi fundus, immunisasi TT, pemberian tablet besi dan temu wicara. Kunjungan ibu hamil yang memberiakan diri khusunya ibu hamil primigravida trisemester III mencapai rata-rata 74 orang perbulan terhitung mulai bulan Januari s/d Maret 2009. Berdasarkan pengalaman yang telah peneliti lakukan di Pos Praktik beberapa ibu hamil saat memeriksakan kehamilannya menyatakan keragu-raguannya dan merasa tidak siap menghadapi persalinannya.
Melihat kenyataan di masyarakat dukungan keluarga maupun suami sangat membantu seorang ibu untuk menjalani kehidupan baru sebagai wanita hamil yang akan mengalami berbagai perubahan fisik maupun emosi. Dukungan tersebut sangat berpengaruh terhadap keperdulian ibu atas kesehatannya. Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungan dukungan suami dengan kesiapan menghadapi persalinan pada ibu primigravida trimester III.